KEUTAMAAN SEPULUH HARI PERTAMA BULAN DZULHIJJAH

Oleh
Dr Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar

Imam al-Bukhari dalam shahiihnya meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda:

مَا الْعَمَلُ فِي أَيَّامِ الْعَشْرِ أَفْضَلُ مِنَ الْعَمَلِ فِيْ هَذِهِ، قَالُوا: وَلاَ الْجِهَادُ؟ فَقَالَ: وَلاَ الْجِهَادُ إِلاَّ رَجُلٌ خَرَجَ يُخَاطِرُ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ بِشَيْءٍ…

“Tidak ada amalan yang lebih utama dari amalan di sepuluh hari pertama Dzulhijjah ini. Mereka bertanya, ‘Tidak juga jihad?’ Beliau menjawab, ‘Tidak juga jihad, kecuali seorang yang keluar menerjang bahaya dengan dirinya dan hartanya sehingga tidak kembali membawa sesuatu pun.’” [1]

Dengan demikian, jelaslah bahwa sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah adalah hari-hari dunia terbaik secara mutlak. Hal itu karena ibadah induk berkumpul padanya dan tidak berkumpul pada selainnya. Padanya terdapat seluruh ibadah yang ada di hari lain, seperti shalat, puasa, shadaqah dan dzikir, namun hari-hari tersebut memiliki keistimewan yang tidak dimiliki hari-hari lain yaitu manasik haji dan syari’at berkur-ban pada hari ‘Id (hari raya) dan hari-hari Tasyriq.

Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Yang rajih bahwa sebab keistimewaan bulan Dzulhijjah karena ia menjadi tempat berkumpulnya ibadah-ibadah induk, yaitu shalat, puasa, shadaqah dan haji. Hal ini tidak ada di bulan lainnya. Berdasarkan hal ini apakah keutamaan tersebut khusus kepada orang yang berhaji atau kepada orang umum? Ada kemungkinan di dalamnya. [2]

Dalam sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah terdapat amalan berikut ini:

1. Haji dan umrah. Keduanya termasuk amalan terbaik yang dapat mendekatkan seorang hamba kepada Rabb-nya.

2. Puasa sembilan hari pertama dan khususnya hari kesembilan yang termasuk amalan-amalan terbaik. Cukuplah dalam hal ini sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِي بَعْدَهُ

“Puasa hari ‘Arafah yang mengharapkan pahala dari Allah dapat menghapus dosa-dosa satu tahun yang lalu dan satu tahun yang akan datang.” [3]

3. Takbir dan dzikir di hari-hari ini diijabahi (dikabulkan) berdasarkan firman Allah:

وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ

“Dan supaya mereka menyebut Nama Allah pada hari yang telah ditentukan” [Al Hajj/22: 28]

4. Disyari’atkan pada hari ini menyembelih kurban dari hari raya dan hari Tasyriq. Ini adalah sunnah Bapak kita, Ibrahim ketika Allah mengganti anaknya, Isma’il dengan hewan sembelihan yang besar dan juga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyembelih dua kambing gemuk lagi bertanduk untuk diri dan umatnya.

5. Sebagaimana juga disyari’atkan pada hari raya kepada seorang muslim untuk bersemangat melaksanakan shalat, mendengarkan khutbah dan memanfaatkannya untuk mengenal hukum-hukum kurban dan yang berhubungan dengannya.

6. Disyari’atkan juga pada hari-hari ini dan hari-hari lainnya untuk memperbanyak amalan sunnah, berupa shalat, membaca al-Qur-an, shadaqah, memperbaharui taubat dan meninggalkan dosa dan kemaksiatan, baik yang kecil maupun yang besar.

Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, “Sepuluh hari pertama Dzulhijjah seluruhnya adalah kemuliaan dan keutamaan, amalan di dalamnya dilipatgandakan, dan disunnahkan agar bersungguh-sungguh dalam ibadah di hari-hari tersebut.” [4]

MAKSUD DARI HARI-HARI YANG DITENTUKAN (AL-AYYAAM AL-MA’LUUMAAT) DAN HARI-HARI YANG BERBILANG (AL-AYAAM AL-MA’DUUDAAT)
Allah berfirman:

وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِي أَيَّامٍ مَعْدُودَاتٍ ۚ فَمَنْ تَعَجَّلَ فِي يَوْمَيْنِ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ وَمَنْ تَأَخَّرَ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ ۚ لِمَنِ اتَّقَىٰ ۗ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ

“Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Nama Allah dalam beberapa hari yang berbilang. Barangsiapa yang ingin cepat berangkat (dari Mina) sesudah dua hari, maka tidak ada dosa baginya. Dan barangsiapa yang ingin menangguhkan (keberangkatannya dari dua hari itu), maka tidak ada dosa pula baginya bagi orang yang bertakwa. Dan bertakwalah kepada Allah, dan ketahuilah bahwa kamu akan dikumpulkan kepada-Nya.” [al-Baqarah/2: 203]

Dan Allah Ta’ala berfirman:

لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَىٰ مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ ۖ فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ

“Supaya mereka mempersaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut Nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rizki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebagian daripadanya dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir.” [al-Hajj/22: 28]

Para ulama berselisih pendapat dalam maksud dari firman Allah di atas tentang hari-hari yang berbilang dan yang ditentukan. Di antara pendapat mereka adalah:

1. Hari-hari yang ditentukan tersebut adalah hari kurban dengan perbedaan di antara mereka apakah itu tiga hari ataukah empat hari.

2. Hari-hari yang ditentukan tersebut adalah sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah dari awal bulan sampai hari raya.

3. Hari-hari berbilang adalah hari-hari Tasyriq.

4. Hari-hari yang ditentukan adalah sepuluh hari pertama Dzulhijjah dan hari-hari Tasyriq, berarti mulai awal bulan sampai akhir tanggal tiga belas.

5. Hari-hari yang ditentukan adalah sembilan hari pertama bulan Dzulhijjah dan hari-hari berbilang adalah hari-hari Tasyriq bersama hari ‘Id.

Ada juga pendapat lemah yang mengatakan bahwa hari-hari yang ditentukan adalah sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah dan hari-hari berbilang adalah hari-hari penyembelihan. Ini menyelisihi ijma’.

Yang benar bahwa hari-hari yang ditentukan tersebut adalah sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah dan hari-hari berbilang adalah hari-hari Tasyriq.

Ibnul ‘Arabi rahimahullah mengatakan, “Ulama-ulama kami mengatakan bahwa hari-hari melempar jumrah adalah hari-hari berbilang (ma’duudaat) dan hari-hari penyembelihan adalah hari-hari yang telah ditentukan (ma’luumaat).” [5]

Sedangkan Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan, “Ada yang mengatakan, hari-hari yang ditentukan adalah hari-hari penyembelihan dan ada yang mengatakan ia adalah sepuluh hari pertama Dzulhijjah.” [6]

Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma mengatakan bahwa hari-hari yang berbilang adalah hari-hari Tasyriq, dan hari-hari yang ditentukan adalah sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah.” [7]

Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fat-hul Baari [8] dan asy-Syaukani dalam Fat-hul Qadiir [9] telah memaparkan pernyataan para ulama dalam masalah ini dan semuanya hampir tidak keluar dari apa yang telah kami sampaikan di atas. Wallahu a’laam.

PERBANDINGAN ANTARA SEPULUH HARI TERAKHIR RAMADHAN DENGAN SEPULUH HARI PERTAMA BULAN DZULHIJJAH
Hendaklah seorang muslim mengetahui bahwa membandingkan antara perkara-perkara baik tidak bermaksud merendahkan dari yang lebih utama, bahkan hal ini seharusnya menjadi pendorong untuk melipatgandakan amalan pada hal yang diutamakan dan mengambil keutamaannya sekuat dan semampunya.

Para ulama telah membahas masalah ini dan yang rajih menurut saya -wallaahu a’lam- bahwa sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah lebih utama dari sepuluh hari terakhir Ramadhan, dan sepuluh malam terakhir Ramadhan lebih utama dari sepuluh malam pertama bulan Dzulhijjah, itu karena keutamaan malam Ramadhan tersebut dilihat dari adanya malam Qadar dan ini untuk malamnya. Sedangkan sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah diutamakan hari-harinya dilihat dari adanya hari ‘Arafah, hari penyembelihan dan hari Tarwiyah (8 Dzulhijjah).

Syaikhul Islam pernah ditanya tentang perbandingan antara dua waktu tersebut, beliau menjawab, “Sepuluh hari pertama Dzulhijjah lebih utama dari sepuluh hari terakhir Ramadhan, sedangkan malam sepuluh terakhir Ramadhan lebih utama dari malam sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah.”

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Apabila orang yang mulia lagi cendikia merenungkan jawaban ini, tentulah ia mendapatinya sebagai jawaban yang cukup dan memuaskan.” [10]

PERBANDINGAN ANTARA DUA HARI RAYA
Para ulama telah membahas seputar permasalahan ini, ada yang mengutamakan ‘Idul Adh-ha atas ‘Idul Fithri dan ada yang sebaliknya. Setelah memaparkan keutamaan dua hari raya dan keduanya termasuk hari paling utama dalam setahun, maka yang rajih adalah ‘Idul Adh-ha lebih utama dari ‘Idul Fithri, karena ibadah dalam ‘Idul Adh-ha adalah sembelihan kurban dengan shalat sedangkan dalam ‘Idul Fithri adalah shadaqah dengan shalat. Padahal jelas sembelihan kurban lebih utama dari shadaqah, karena padanya berkumpul dua ibadah yaitu ibadah badan (fisik) dan harta. Kurban adalah ibadah fisik dan harta, sedangkan shadaqah dan hadyah hanyalah ibadah harta saja.

Ibnu Taimiyyah rahimahullah menjelaskan bahwa ‘Idul Adh-ha lebih utama dari ‘Idul Fithri, karena dua hal:

1. Ibadah di hari ‘Idul Adh-ha, yaitu kurban lebih utama dari ibadah di hari ‘Idul Fithri yaitu shadaqah.

2. Shadaqah di hari ‘Idul Fithri ikut kepada puasa, karena diwajibkan untuk membersihkan orang yang berpuasa dari kesia-siaan dan kejelekan dan memberi makan orang miskin serta disunnahkan dikeluarkan sebelum shalat. Sedangkan kurban disyari’atkan di hari-hari tersebut sebagai ibadah tersendiri, oleh karena itu disyari’atkan setelah shalat.

Allah -Ta’ala- berfirman tentang yang pertama:

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى ٰوَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّىٰ

“Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman), dan dia ingat Nama Rabb-nya, lalu dia shalat.” [Al-A’laa: 14-15]

Dan tentang yang kedua:

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

“Maka dirikanlah shalat karena Rabb-mu dan berkurbanlah.” [Al-Kautsar: 2]

Kemudian Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan lagi, “Sehingga shalatnya orang-orang di negeri-negerinya sama kedudukannya dengan jama’ah haji yang melempar jumrah al-‘Aqabah dan sembelihan mereka di negeri-negerinya sama kedudukannya dengan sembelihan hadyu jama’ah haji.” [11]

[Disalin dari kitab Ahkaamul Iidain wa Asyri Dzil Hijjah, Edisi Indonesia Lebaran Menurut Sunnah Yang Shahih, Penulis Dr Abdullah bin Muhammad bin Ahmad Ath-Thayyar, Penerjemah Kholid Syamhudi Lc, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
_______
Footnote
[1]. HR. Al-Bukhari lihat Fat-hul Baari (II/457).
[2]. Fat-hul Baari (II/460).
[3]. HR. Muslim, lihat Shahiih Muslim (II/818-819).
[4]. Al-Mughni (IV/446).
[5]. Ahkaamul Qur-aan (I/140), karya Ibnul ‘Arabi.
[6]. Majmuu’ al-Fataawaa (XXIII/225).
[7]. Tafsiir Ibnu Katsiir (I/244).
[8]. Fat-hul Baari (II/458).
[9]. Fat-hul Qadiir (I/205).
[10]. Majmuu’ al-Fataawaa (XXV/287) dan Zaadul Ma’aad (I/57).
[11]. Majmuu’ al-Fataawaa (XXIII/222).

 

MARI MENELADANI RASULULLAH SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM DI BULAN DZULHIJJAH

Dalam sebuah riwayat dari Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu disebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهِنَّ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الأَيَّامِ الْعَشْرِ ». فقَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ ؟ قَالَ: “وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ إِلاَّ رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَىْءٍ”.

Tidak ada hari-hari di mana amal saleh di dalamnya lebih dicintai Allâh Azza wa Jalla daripada hari–hari yang sepuluh ini”. Para sahabat bertanya, “Tidak juga jihad di jalan Allâh ? Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Tidak juga jihad di jalan Allâh, kecuali orang yang keluar mempertaruhkan jiwa dan hartanya, lalu tidak kembali dengan sesuatupun.” [HR al-Bukhâri no. 969 dan at-Tirmidzi no. 757, dan lafazh ini adalah lafazh riwayat at-Tirmidzi]

Dalam riwayat yang lain, salah seorang istri Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan:

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَصُوْمُ تِسْعَ ذِي الْحِجَّةِ

Adalah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan puasa sembilan hari bulan Dzulhijjah [HR. Abu Daud dan Nasa’i. Hadits ini dinilai shahih oleh Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Shahih Sunan Abi Daud, no. 2129 dan Shahih Sunan Nasa’I, no. 2236] [1]

Hadits ini sangat gamblang menjelaskan keutamaan sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah dan keutamaan amal shalih yang dilakukan pada masa-masa itu dibandingkan dengan hari-hari yang lain selama setahun.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah pernah ditanya tentang mana yang lebih utama antara sepuluh hari (pertama) bulan Dzulhijjah ataukah sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan ? Beliau rahimahullah menjawab, “Siang hari sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah lebih utama daripada siang hari sepuluh hari terakhir bulan Ramadhân, dan sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan lebih utama daripada sepuluh malam pertama bulan Dzulhijjah.” (Majmû Fatâwâ, 25/287)[2] Ibnul Qayyim rahimahullah juga setuju dengan perkataan guru beliau tersebut.

Hadits ini seharus sudah cukup memberikan motivasi kepada kaum Muslimin untuk berlomba melakukan amal shalih pada waktu-waktu yang diisyaratkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut. Terlebih lagi diantara waktu yang disebutkan itu ada waktu yang teramat istimewa yang juga dijelaskan keutamaannya secara khusus oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu hari Arafah. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَا مِنْ يَوْمٍ أَكْثَرَ مِنْ أَنْ يُعْتِقَ اللَّهُ فِيهِ عَبْدًا مِنَ النَّارِ مِنْ يَوْمِ عَرَفَةَ، وَإِنَّهُ لَيَدْنُو ثُمَّ يُبَاهِى بِهِمُ الْمَلاَئِكَةَ فَيَقُولُ: مَا أَرَادَ هَؤُلاَءِ ؟

Tidak ada hari di mana Allâh Azza wa Jalla membebaskan hamba dari neraka lebih banyak daripada hari Arafah, dan sungguh Dia mendekat lalu membanggakan mereka di depan para malaikat dan berkata: Apa yang mereka inginkan?” [HR. Muslim no. 1348]

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menjelaskan tentang keutamaan berpuasa pada hari ini bagi kaum Muslimin yang sedang tidak melakukan ibadah haji. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِى بَعْدَهُ

Puasa hari Arafah aku harapkan dari Allâh bisa menghapuskan dosa setahun sebelumnya dan setahun setelahnya. [HR. Muslim no. 1162]

Alangkah naifnya, kalau hari-hari yang penuh keutamaan ini kita sia-siakan begitu saja. Sudah menjadi keharusan bagi setiap kaum Muslimin yang mengimani hari akhir untuk meneladani Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam memanfaat waktu-waktu yang memiliki nilai lebih ini. Semoga Allâh Azza wa Jalla menjadikan kita termasuk diantara para hamba-Nya bisa memanfaatkan masa-masa ini dan semoga Allâh Azza wa Jalla menjadikan kita termasuk para hamba-Nya yang dibebaskan dari api neraka.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XV/1432H/2011M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Lihat al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Muyassar, 1/254
[2]. Lihat al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Muyassar, 1/256

YA ALLAH, TERIMALAH AMAL IBADAH KAMI!

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيْهَا أَحَبَّ إِلَى اللهِ مِنْ هَذِهِ اْلأَيَّامِ – يَعْنِي أَيَّامَ الْعَشْرِ. قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، وَلاَ الْجِهَادُ فِي سَبِيْلِ اللهِ ؟ قَالَ: وَلاَ الْجِهَادُ فِي سَبِيْلِ اللهِ إِلاَّ رَجُلاً خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَيْءٍ

Tidak ada hari yang amal shalih di dalamnya lebih dicintai oleh Allah daripada hari-hari tersebut (yaitu sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah).” Para Sahabat pun bertanya : “Wahai Rasulullah, tidak juga jihad di jalan Allah ?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak juga jihad di jalan Allah, kecuali orang yang keluar (berjihad) dengan jiwa dan hartanya, kemudian tidak ada yang kembali sedikitpun (karena mati syahid).”

Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini memberikan gambaran keutamaan sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah.

Ada beberapa amalan yang disyari’atkan pada sepuluh hari pertama bulan ini, di antaranya :

1. Puasa Arafah.
Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang puasa Arafah, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ

Puasa Arafah menghapus dosa-dosa setahun yang lalu dan yang akan datang. [HR. Muslim]

Puasa ini disunahkan bagi yang tidak sedang melaksanakan ibadah haji. Bagi mereka yang sedang berhaji, tidak diperbolehkan berpuasa. Pada hari itu mereka harus melakukan wukuf. Mereka harus memperbanyak dzikir dan doa pada saat wukuf di Arafah. Sehingga, keutamaan hari Arafah bisa dinikmati oleh orang yang sedang berhaji maupun yang tidak sedang berhaji. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan keutamaan hari Arafah dalam sebuah hadits shahîh riwayat Imam Muslim.

مَا مِنْ يَوْمٍ أَكْثَرَ مِنْ أَنْ يُعْتِقَ اللَّهُ فِيهِ عَبْدًا مِنْ النَّارِ مِنْ يَوْمِ عَرَفَةَ

Tidak ada satu hari yang pada hari itu Allah membebaskan para hamba dari api neraka yang lebih banyak dibandingkan hari Arafah. [HR. Muslim]

Hadits ini dengan gamblang menunjukkan keutamaan hari Arafah.

2. Berkurban Pada Hari Raya Kurban Dan Hari-hari Tasyriq.
Anas Radhiyallahu anhu menceritakan :

ضَحَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِكَبْشَيْنِ أَمْلَحَيْنِ أَقْرَنَيْنِ ذَبَحَهُمَا بِيَدِهِ وَسَمَّى وَكَبَّرَ وَوَضَعَ رِجْلَهُ عَلَى صِفَاحِهِمَا

Nabi berkurban dengan menyembelih dua ekor domba jantan berwarna putih dan bertanduk. Beliau sendiri yang menyembelihnya dengan menyebut nama Allah dan bertakbir, serta meletakkan kaki beliau di sisi tubuh domba itu. [Muttafaq ‘Alaihi]

3. Ibadah Haji Dengan Segala Rangkaiannya.
Sudah tidak asing lagi bagi kaum Muslimin, baik yang belum berkesempatan melaksanakan ibadah haji maupun yang sudah melaksanakannya, tentang keadaan ibadah yang agung ini. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ

Tidak balasan lain bagi haji mabrûr kecuali surga [HR. al-Bukhâri Muslim]

Itulah di antara ibadah-ibadah yang disyari’atkan pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah.

Setelah melakukan berbagai amal shalih di atas, kita jangan lupa berdo’a agar Allah Azza wa Jalla berkenan menerima amal ibadah yang telah lakukan, sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Ibrâhîm Alaihssallam dan Nabi Ismâ’îl Alaihissallam. Ketika akan selesai melaksanakan perintah Allah Azza wa Jalla untuk membangun Ka’bah, mereka berdo’a :

رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا ۖ إِنَّكَ أَنتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

Ya Rabb kami, terimalah daripada kami (amalan kami), Sesungguhnya Engkaulah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. [al-Baqarah/2:127]

Ini merupakan wujud kehati-hatian, barangkali dalam pelaksanaan ibadah yang Allah Azza wa Jalla perintahkan kepada kita ada yang kurang syarat atau lain sebagainya.

Kalau Nabi Ibrâhîm Alaihissallam dan Nabi Ismâ’îl Alaihissallam saja berdo’a agar amalan mereka diterima, maka kita tentu lebih layak untuk berdo’a demikian.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XIII/1430H/2009M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]

 

KEUTAMAAN SEPULUH HARI PERTAMA BULAN DZULHIJJAH

KEUTAMAAN SEPULUH HARI PERTAMA BULAN DZULHIJJAH
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas

Sepuluh hari prtama bulan Dzulhijjah merupakan hari-hari yang paling utama dibanding dengan hari-hari yang lainnya, karena Nabi bersaksi bahwa sepuluh hari tersebut adalah hari-hari yang paling utama di dunia, dan beliau juga menganjurkan untuk memperbanyak amalan shalih pada hari-hari tersebut. Semua amalan shalih yang paling utama di dunia, dan beliau juga menganjurkan untuk memperbanyak amalan shalih pada hari-hari tersebut. Semua amalan shalih yang dikerjakan pada sepuluh hari ini lebih dicintai oleh Allah dari pada amalan-amalan shalih yang dikerjakan pada selain hari-hari tersebut. Ini menunjukkan betapa utamanya amalan shalih pada hari tersebut dan betapa banyak pahalanya. Amalan-amalan shalih yang dikerjakan pada sepuluh hari tersebut akan berlipat ganda pahalanya, tanpa terkecuali.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهِا أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ عَزَّوَجَلَّ مِنْ هَذِهِ الأَيَّامِ، يَعْنِيْ أَيَّامَ الْعَشْرِ، قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ ؟ قَالَ: “وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ إِلاَّ رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَىْءٍ

“Tidak ada hari dimana suatu amal shalih lebih di cintai Allah melebihi amal shalih yang dilakukan di hari-hari ini (yakni sepuluh hari pertama Dzulhijjah)”. Para sahabat bertanya,”Wahai Rasulullah, termasuk lebih utama dari jihad di jalan Allah?” Nabi ٍShallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Termasuk lebih utama dibanding jihad di jalan Allah, kecuali orang yang keluar dengan jiwa dan hartanya (kemedan jihad) dan tidak ada satu pun yang kembali (ia mati syahid)”.[1]

Dalam lafazh lain:

مَا مِنْ عَمَلٍ أَزْكَى عِنْدَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَلَا أَعْظَمَ أَجْرًا مِنْ خَيْرٍ تَعْمَلُهُ فِي عَشْرِ الْأَضْحَى قِيلَ وَلَا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ قَالَ وَلَا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ إِلَّا رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَيْءٍ

“Tidak ada amalan yang lebih suci di sisi Allah dan lebih besar pahalanya dari pada kebaikan yang dilakukan pada sepuluh hari pertama Dzulhijjah”. Lalu ada yang bertanya, “Termasuk jihad di jalan Allah ?” Rasulullah bersabda,”Termasuk jihad di jalan Allah, kecuali seseorang keluar dengan jiwa dan hartanya (ke medan jihad) dan tidak ada satu pun yang kembali (ia mati syahid)”.[2]

Diantara keutamaan sepuluh hari pertama di bulan Dzulhijjah ini yaitu:
1. Bahwa Allah bersumpah dengan sepuluh hari tersebut dalam firman-Nya.

وَالْفَجْرِ﴿١﴾وَلَيَالٍ عَشْرٍ

Demi fajar, demi malam yang sepuluh. [al-Fajr/89:1-2]

Yang dimaksud dengan “malam yang sepuluh” adalah sepuluh hari pertama di bulan Dzulhijjah, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas, Ibnu az-Zubair, Mujahid, dan lainnya dari kalangan kaum Salaf dan Khalaf.[3]

2. Sepuluh hari tersebut termasuk hari-hari yang ditentukan, yang padanya Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan hamba-Nya untuk banyak bertasbih, bertahlil, dan bertahmid. Allah Ta’ala berfirman:

وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَىٰ مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ

…dan agar mereka menyebut nama Allah pada beberapa hari yang telah ditentukan atas rizki yang diberikan kepada mereka berupa hewan ternak..[al-Hajj/22:28].

Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhu berkata, “Hari-hari itu adalah sepuluh hari pertama Dzulhijjah”. Imam Ahmad meriwayatkan dari Jabir secara marfu’ bahwa ini (hari yang dimaksud) adalah sepuluh hari yang disumpah oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya,

وَالْفَجْرِ﴿١﴾وَلَيَالٍ عَشْرٍ

(Demi fajar, demi malam yang sepuluh) [ al-Fajr/89 ayat 1-2].[4]

3. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersaksi bahwa sepuluh hari tersebut termasuk hari-hari yang paling utama di dunia. Beliau bersabda:

أَفْضَلُ أَيَّامِ الدُّنْيَا أَيَّامُ الْعَشْرِ، يَعْنِي : عَشْرَذِيْ الْحِجَّةِ، قِيْلَ : وَلاَ مِشْلُهُنَّ فِيْ سَبِيْلِ اللَّهِ؟ قَالَ : وَلاَ مِشْلُهُنَّ فِيْ سَبِيْلِ اللّهِ، إِلاَّ رَجُلٌ عَفَّرَ وَجْهَهُ فِيْ التُّرَابِ

”Hari-hari yang paling utama di dunia ini yaitu hari yang sepuluh, yakni sepuluh hari pertama Dzulhijjah”. Dikatakan kepada beliau, “Termasuk lebih utama dari jihad dijalan Allah?” Beliau menjawab,”Termasuk lebih utama dari jihad di jalan Allah. Kecuali seseorang yang menutup wajahnya dengan debu (mati syahid-pent)”[5]

4. Di dalamnya terdapat hari Arafah, yang merupakan hari yang terbaik. Dan ibadah haji tidak sah apabila tidak wukuf di ‘Arafah. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

اَلْحَجُّ عَرَفَةُ

Haji itu wukuf di Arafah.[6]

5. Di dalamnya terdapat hari penyembelihan qurban.

6. Pada sepuluh hari tersebut, terkumpul pokok-pokok ibadah yaitu shalat, puasa, sedekah, haji, yang tidak terdapat pada hari-hari selainnya.

AMAL-AMAL SUNNAH PADA BULAN DZULHIJJAH
Tentu banyak dari kita yang telah mengetahui bahwa di hari raya ini, ummat Islam menyembelih qurbannya dalam rangka ketaatan kepada AllahAzza wa Jalla. Akan tetapi, bagi kaum Muslimin, sesungguhnya hari raya ini tidak sekedar mengumandangkan takbir dan pergi untuk shalat ‘Ied, kemudian menyembelih qurban, lalu dimasak menjadi makanan yang lezat. Ada hal-hal lain yang perlu dilakukan, sehingga hari raya ini penuh makna dalam usaha kita meraih pahala dan ganjaran dari Allah Azza wa Jalla. Semoga hari raya tahun ini menjadi hari raya yang lebih baik dengan amalan-amalan Sunnah yang sesuai dengan tuntunan Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam

Di dalam hadits di atas, Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan bahwa amal-amal shalih pada sepuluh hari di awal bulan Dzulhijjah lebih utama dari amal-amal shalih di bulan lainnya. Yang termasuk dari amal-amal shalih sangatlah banyak, di antaranya:

1. Berpuasa Pada Sembilan Hari Pertama Bulan Dzulhijjah.
Mulai dari awal bulan Dzulhijjah, ternyata telah ada amalan yang disunnahkan untuk kita kerjakan. Diriwayatkan dari sebagian isteri Nabi , mereka berkata:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ تِسْعَ ذِي الْحِجَّةِ وَيَوْمَ عَاشُورَاءَ وَثَلَاثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ أَوَّلَ اثْنَيْنِ مِنْ الشَّهْرِ وَالْخَمِيسَ

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada sembilan hari bulan Dzulhijjah, hari ‘Asyura, tiga hari pada setiap bulan, dan hari Senin pertama awal bulan serta hari Kamis.[7]

Hadits ini menganjurkan kita berpuasa pada sembilan hari bulan Dzulhijjah. Dan ini merupakan pendapat jumhur ulama. Adapun hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma berikut ini:

مَارَاَيْتُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَا ئِمًا فِيْ الْعَشْرِ قَطٌّ

Aku tidak pernah sekali pun melihat Rasulullah berpuasa pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah.[8]

Imam Ahmad rahimahullah berkata tentang dua hadits yang bertentangan ini, “Bahwasanya yang menetapkan (puasa pada sepuluh hari pertama Dzulhijjah) lebih didahulukan dari yang menafikan….”[9]

Imam an-Nawawi rahimahullah berkata,”Perkataan ‘Aisyah Radhiyalalahu anhuma bahwa beliau Shallallahu ‘alihi wa sallam tidak berpuasa pada sepuluh hari tersebut, mungkin beliau tidak berpuasa karena suatu sebab, seperti sakit, safar, atau selainnya. Atau ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma memang tidak melihat beliau berpuasa pada hari-hari tersebut. Tetapi tidak melihatnya ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma idak mesti menunjukkan bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berpuasa. Dan ini ditunjukkan oleh hadits yang pertama….”[10]

Syaikh Muhammad bin al-‘Utsaimin rahimahullah berkata,”Bahwasanya itu merupakan pengabaran dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma tentang apa yang ia ketahui. Dan perkataan Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam didahulukan atas sesuatu yang tidak diketahui oleh perawi. Imam Ahmad rahimahullah telah merajihkan bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada sepuluh hari tersebut. Jika hadits tersebut ditetapkan, maka tidak ada masalah, dan jika tidak ditetapkan, sesungguhnya puasa pada sepuluh hari tersebut masuk dalam keumuman amalan shalih yang dikatakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : ‘Tidak ada hari dimana suatu amal shalih lebih dicintai Allah melebihi amal shalih yang dilakukan di hari-hari ini (yakni sepuluh hari pertama Dzulhijjah ).’ Dan puasa termasuk dalam amalan shalih”.[11]

2. Puasa ‘Arafah
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ، وَالسَّنَةَ الَّتِيْ بَعْدَهُ

Puasa pada hari Arafah (tanggal 9 Dzulhijjah), aku berharap kepada Allah, akan menghapuskan (dosa) satu tahun sebelumnya dan satu tahun setelahnya….[12]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda ketika ditanya tentang puasa hari ‘Arafah:

يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْهَا ضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ

…..menghapuskan (dosa) setahun sebelumnya dan setahun setelahnya…[13]

Puasa ini dikenal pula dengan nama puasa Arafah karena pada tanggal tersebut orang yang sedang menjalankan haji berkumpul di Arafah untuk melakukan runtutan amalan yang wajib dikerjakan pada saat berhaji yaitu ibadah wukuf.

Pendapat jumhur ulama bahwa dosa-dosa yang dihapus dengan puasa Arafah ini yaitu dosa-dosa kecil. Adapun dosa-dosa besar, maka wajib baginya taubat. Pendapat mereka dikuatkan dengan perkataan mereka:

Karena puasa Arafah tidak lebih kuat dan lebih utama dari shalat wajib yang lima waktu, shalat Jum’at, dan Ramadhan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ وَالْجُمْعَةُ إِلَى الْجُمْعَةِ وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ مُكَفِّرَاتٌ مَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتَنَبَ الْكَبَائِرَ

Shalat yang lima waktu, shalat Jum’at sampai ke Jum’at berikutnya, Ramadhan sampai ke Ramadhan berikutnya, itu menghapus (dosa-dosa) di antara keduanya, selama dia menjauhi dosa-dosa besar.[14]

Mereka berkata:”Jika ibadah-ibadah yang agung dan mulia tersebut yang termasuk dari rukun-rukun Islam tidak kuat untuk menghapuskan dosa-dosa besar, maka puasa Arafah yang sunnah ini lebih tidak bisa lagi”. Inilah pendapat yang rajih.[15]

3. Takbiran
Ketahuilah, bahwa disyari’atkan bertakbir, bertahmid dan bertahlil pada sepuluh hari pertama Dzulhijjah ini. Dari Abu Hurairah secara marfu’:

مَا مِنْ أَيَّامٍ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ عَزَّوَجَلَّ اَلْعَمَلٌ فِهِيْنَّ مِنْ عَشرِ ذِى الْحِجَّةِ، فَعَلَيْكُم بِالتَّسْبِيْحِ وَ التَّهلِيْلِ وَالتَّكبِيْرِ

Tidak ada hari-hari yang amal shalih lebih dicintai oleh Allah dari pada sepuluh hari pertama Dzulhijjah. Maka hendaklah kalian bertasbih, bertahlil, dan bertakbir.[16]

Disyari’atkan juga bertakbir setelah shalat shubuh pada hari Arafah sampai akhir hari tasyriq, yaitu dengan takbir:

اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ، وَاللّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ

Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah, Allah Maha Besar. Allah Maha Besar, dan bagi Allah-lah segala puji.

4. Memperbanyak Amal Shalih Dan Ketaatan Kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
Yaitu dengan memperbanyak shalat-shalat sunnah, sedekah, berbakti kepada orang tua, menyambung tali kekerabatan, bertaubat kepada Allah dengan sebenar-benarnya, memperbanyak dzikir kepada Allah, bertakbir, membaca al-Qur’an, dan amalan-amalan shalih lainnya. Sedekah dianjurkan setiap hari, maka pada hari-hari ini lebih sangat dianjurkan lagi, begitu juga ibadah-ibadah yang lain.

Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma , ia berkata:

كَانَ سَعِيْدُ بْنُ جُبَيْرٍ إِذَا دَخَلَ أَيَّامَ

…Bahwa Sa’id bin Jubair jika memasuki bulan Dzulhijjah, ia sangat bersungguh-sungguh sampai-sampai dia hampir tidak mampu melakukannya. [17]

5. Haji dan Umrah
Allah Ta’ala berfirman:

وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا

….kewajiban bagi manusia kepada Allah, berhaji ke Baitullah, bagi siapa yang memiliki kemampuan untuk melakukan perjalanan….. [Ali ‘Imran/3:97]

Haji dan Umrah adalah salah satu ibadah yang paling mulia dan sarana taqarrub (pendekatan diri) kepada Allah yang paling afdhal. Di antara keutamaan haji dan Umrah adalah:

a. Barangsiapa yang berhaji dan umrah ke Baitullah, dia tidak berkata kotor, berbuat kefasikan, maka akan kembali seperti baru dilahirkan oleh ibunya.
b. Antara dua umrah menghapuskan dosa di antara keduanya, dan haji yang mabrur balasannya surga.
c. Haji mengahpus dosa-dosa sebelumnya.
d. Haji mabrur termasuk seutama-utama amal setelah jihad fi sabilillah.
e. Haji dan umrah menghilangkan kemiskinan dan dosa-dosa.
f. Jihad yang paling bagus dan paling utama adalah haji yang mabrur.
g. Orang yang haji dan umrah adalah tamu Allah.
h. Do’a orang yang haji dan umrah dikabulkan oleh Allah.
i. Orang yang meninggal dunia ketika pergi melaksanakan haji dan umrah, akan dicatat baginya pahala umrah sampai hari kiamat.
j. Orang yang meninggal ketika dalam keadaan ihram, akan dibangkitkan di hari Kiamat dalam keadaan membaca talbiyah.[18]

6. ‘Idul Adh-ha
Dari anas bin Malik Radhiyallahu anhu beliau berkata:”Bahwa ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, masyarakat Madinah memiliki dua hari yang mereka rayakan dengan bermain. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya: ‘dua hari apakah ini?’ Mereka menjawab: ‘Kami merayakannya dengan bermain di dua hari ini ketika zaman Jahiliyyah,’ kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَ تَعَالَى قَدْأَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا، يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ النَّحْرِ

Sesungguhnya Allah telah memberikan ganti kepada kalian dua hari yang lebih baik; ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adh-ha[19]

7. Berqurban
Di antara amal taat dan ibadah yang mulia yang dianjurkan adalah berqurban. Qurban adalah hewan yang disembelih pada hari raya ‘Idul Adh-ha berupa unta, sapi dan kambing yang dimaksudkan dalam rangka taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

Laksanakanlah shalat untuk Rabb-mu dan sembelihlah kurban. [al-Kautsar/108:2].

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ فَلاَ يَقْرَبَنَّ مُصَلاَّنَا

Barang siapa yang memiliki kelapangan namun ia tidak berqurban maka jangan mendekati tempat shalat kami.[20

Sebagian ulama berpendapat dengan dasar hadits di atas, bahwa hukum menyembelih binatang qurban bagi seseorang adalah wajib bagi yang mampu.

‘Atha’ bin Yasar bertanya kepada Abu Ayyub al-Anshari: “Bagaimana penyembelihan qurban pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam?”Beliau menjawab:

كَانَ الرَّجُلُ يُضَحِّي بِالشَّاةِ عَنْهُ وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ فَيَأْكُلُونَ وَيُطْعِمُونَ حَتَّى تَبَاهَى النَّاسُ فَصَارَتْ كَمَا تَرَى

Seseorang berqurban dengan seekor kambing untuk diri dan keluarganya. Kemudian mereka memakannya dan memberi makan orang-orang sampai mereka berbangga. Maka jadilah seperti yang engkau lihat”.[21]

Barangsiapa yang berqurban untuk diri dan keluarganya maka disunnahkan ketika menyembelih mengucapkan:

بِاسْمِ اللَّهِ، وَاللّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنِّىْ، اللَّهُمَّ هَذَا عَنِّىْ وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِيْ

Dengan nama Allah, dan Allah Maha Besar, Ya Allah, terimalah (qurban) dariku, ya Allah, ini dariku dan dari keluargaku.

Disunnahkan bagi orang yang berqurban agar menyembelih sendiri. Jika tidak mampu maka hendaklah ia menghadiri, dan tidak diperbolehkan memberikan upah bagi tukang jagal dari hewan kurban tersebut.

Kemudian, juga tidak memotong rambut dan kuku bagi yang berqurban. Seseorang yang ingin berqurban, dilarang memotong kuku atau rambut dirinya (bukan hewannya) ketika sudah masuk tanggal 1 Dzulhijjah sampai ia memotong hewan qurbannya.

Dari Ummu Salamah bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ كَانَ لَهُ ذِبْحٌ يَذْبَحُهُ فَإِذَا أُهِلَّ هِلَالُ ذِي الْحِجَّةِ فَلَا يَأْخُذَنَّ مِنْ شَعْرِهِ وَلَا مِنْ أَظْفَارِهِ شَيْئًا حَتَّى يُضَحِّيَ

Barang siapa yang memiliki hewan yang hendak ia sembelih(pada hari raya), jika sudah masuk tanggal 1 Dzulhijjah maka janganlah memotong (mencukur) rambutnya dan kukunya sedikitpun, sampai dia menyembelih qurbannya.[22]
Wallahu a’lam.

Semoga Allah Azza wa Jalla selalu melimpahkan shalawat, salam dan berkah-Nya kepada Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beserta keluarga serta para Sahabatnya dan orang-orang yang mengikuti jejak mereka dengan baik sampai hari Kiamat.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XVII/1434H/2013M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Shahih : HR al-Bukhari (no. 969), Abu Dawud (no. 2438), at-Tirmidzi (no. 757), Ibnu Majah (no. 1727) ad-Darimi (II/25), Ibnu Khuzaimah (no.2865), Ibnu Hibban (no.324, at-Taliqatul-Hisan), at-Thahawy dalam Syarh Musykilil Atsar (no.2970), Ahmad (I/224, 239, 346), al-Baghawi dalam Syarhus-Sunnah (no.1125), Abu Dawud ath-Thayalisi dalam Musnad-nya (no.2753), Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf (no. 8121), Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (no. 19771), al-Baihaqi (IV/284), dan ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul-Kabir (no. 12326-12328), dari Sahabat Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma.
[2]. Shahih : HR ad-Darimi (II/26), ath-Thahawi dalam Syarh Musykilil-Atsar (no.2970) dan al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman (no. 3476), dari Sahabat Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma
[3]. Tafsir Ibni Katsir (VIII/390). Cet. Dar Thaybah
[4]. Tafsir Ibni Katsir (V/415). Cet Dar Thaybah
[5]. Hasan : HR al-Bazaar dalam Kasyful-Atsar (II/28. No.1128) Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih at-Targhib wat Tarhib (no. 1150)
[6]. Shahih : HR at-Tirmidzi (no. 889) dan lainnya
[7]. Shahih : HR Abu Dawud (no. 2437)
[8]. Shahih : HR Muslim (no. 1176)
[9]. ASy-Syarhul Mumti ‘ala Zad al-Mustaqni (VI/470)
[10]. Syarh Shahih Muslim (VIII/71)
[11]. Fatawa Fadhillati asy-Syaikh al-Allamah Muhammad bin Shalih al-Utsaimin fiz ZAkati wash-Shiyam (I/792 no. 401)
[12]. Shahih : HR Muslim (no. 1162 (196))
[13]. Shahih : HR Muslim (no. 1162 (197))
[14]. Shahih : HR Muslim (no. 233))
[15]. Fat-hu Dzil-Jalail wal-Ikram (VII/356) Lihat juga Tas-hilul Ilmam (III/241) dam Taudhihul Ahkam (III/530-531)
[16] HR Abu Utsman al-Buhairi dalam al-Fawa-id. Lihat Irwa-ul Ghalil (III/398-399)
[17]. HRad-Darimi (II/26)
[18]. Selengkapnya seilakan lihat buku penulis Panduan Manasik Haji dan Umrah, Cet. 4, Pustaka Imam asy-Syafi’i.
[19]. Shahih : HR Ahmad (III/103, 178, 235, 250), Abu Dawud (no. 1134), an-Nasa-i (III/179-180), Abd bin Humaid (no.1390) dan ath-Thahawi dalam Syarh Musykilil Atsar (IV/131,no. 1488), al-Hakim (I/294), al-Baihaqi (III/272), dan al-Baihaqi (III/277) dan al-Baghawi (no.1098) dari Sahabat Anas Radhiyallahu anhu
[20]. Hasan : HR Ahmad (1/321), Ibnu Majah (no.3132) dan al-Hakim 9no.389), dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu, Dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Takhrij Musykilatil Faqr (no.102) dan Shahih at-Targhib wat Tarhib (I/629, no. 1087)
[21]. Shahih : HR at-Tirmidzi (no. 1505) dan Ibnu Majah (no. 3147), Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Irwa’ul Ghalil (no. 1142) dan Shahih Ibni Majah (II/203)
[22]. Shahih : HR Muslim (no. 1977)

 

DAGING KURBAN UNTUK ORANG KAFIR dan KURBAN ONLINE

DAGING KURBAN UNTUK ORANG KAFIR

Lajnah Da’imah ketika ditanya masalah ini menjawab [1]: Boleh memberikan daging kurban untuk orang kafir mu’ahid (orang kafir yang mengikat perjanjian damai dengan kaum muslimin) dan tawanan yang masih kafir, baik karena mereka miskin, kerabat, tetangga, atau sekedar melunakkan hati mereka, karena ibadah kurban itu intinya adalah menyembelihnya untuk mendekatkan diri kepada Allah dan ibadah kepada-Nya.

Adapun dagingnya, maka yang paling afdhal adalah dimakan pemiliknya sepertiga, diberikan kepada kerabat, tetangga dan sahabatnya sepertiga, kemudian disedekahkan buat fakir miskin sepertiga.

Seandainya pembagiannya tidak rata, atau sebagian yang lain merasa cukup (sehingga yang lain tidak mendapatkan daging kurban) maka tidak mengapa ; di dalam permasalahan ini ada keluasan. Akan tetapi , daging kurban tidak boleh diberikan kepada orang kafir harbi (yang memerangi Islam) karena yang wajib (bagi orang Islam) adalah menghinakan dan melemahkan mereka, bukan menelongnya atau menguatkan mereka dengan pemberian (sedekah) ; demikian pula hukumnya sama dalam sedekah yang bersifat sunnah, sebagaimana keumuman firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ﴿٨﴾إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَىٰ إِخْرَاجِكُمْ أَنْ تَوَلَّوْهُمْ ۚ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap mereka yang tidak memerangimu karena agama (mu) dan yang tidak mengusirmu dari tempatmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. Allah hanya melarang kamu untuk menjadikan mereka yang memerangimu, mengusirmu dari tempatmu, dan membantu orang lain mengusirmu sebagai kawanmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka adalah orang-orang yang zalim. [al-Mumtahanah/60: 8-9]

Dan juga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh Asma binti Abi Bakar Radhiyallahu anhuma untuk selalu menyambunga (silaturahmi) dengan ibunya dengan memberinya harta, padahal ibunya masih musyrik saat masih dalam perjanjian damai [2]

HUKUM MEWAKILKAN KURBAN
Pemilik binatang kurban menyembelih sendiri sembelihannya jika ia mampu, itulah salah satu yang disunnahkan dalam berkurban sebagaimana dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam berkurban.

Anas bin Malik Radhiyallahu anhu menerangkan.

ضَحَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِكَبْشَيْنِ أَمْلَحَيْنِ أَقْرَنَيْنِ ذَجَحَهُمَا بِيَدِهِ

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembelih dua ekor domba yang bagus lagi bertanduk. Beliau menyembelih sendiri dengan tangannya. [HR al-Bukhari 5139 dan Muslim 3635]

Akan tetapi, jika ada keperluan maka boleh mewakilkan kepada orang lain [3]. Sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mewakilkan sembelihannya kepada sahabatnya. Dalam sebuah hadits yang panjang tatkala Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggiring unta-untanya menuju Makkah untuk disembelih.

Jabir bin Abdullah Radhiyallahu anhuma mengatakan :

فَنَحَرَ ثَلاَثًا وَسَتَّيْنَ بِيَدِهِ ثُمَّ أَعْطَى عَلِيَّا فَنَحَرَمَا غَبَرَ

Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembelih dengan tangannya sendiri 63 ekor (dari 100 ekor untanya), kemudian menyerahkan sisanya kepada Ali Radhiyallahu anhu untuk disembelih. [HR Muslim 2137]

Demikianlah, bagi pemilik hewan kurban jika punya udzur seperti sakit, lemah karena tua, tidak mengetahui cara menyembelih, orang buta dan kaum wanita, maka boleh mewakilkannya kepada orang lain, bahkan lebih utama.

DAGING KURBAN DIBAGIKAN SETELAH DIMASAK
Lajnah Da’imah pernah ditanya tentang kurban dan pembagiannya, maka jawabnya [4] : Berkurban hukumnya sunnah kifayah, dan ulama ada yang mengatakan wajib ‘ain. Adapun masalah pembagiannya dimasak atau tidak dimasak, maka ada keluasan didalamnya, yang penting (pemiliknya memakan sebagiannya, dihadiahkan sebagiannya dan disedekahkan sebagiannya).

MENGUSAPKAN DARAH SEMBELIHAN KE BADAN BINATANG
Ada sebuah kebiasaan yang sering dilakukan oleh para penyembelih binatang kurban, yaitu setelah menyembelih leher binatang dengan pisau, lalu pisau yang berlumuran darah itu diusapkan ke badan hewan yang telah disembelih.

Jika yang dilakukan itu hanya kebiasaan semata, atau dilakukan dengan maksud membersihkan darah bekas sembelihan yang ada pada pisau, maka tidak ada masalah. Akan tetapi, jika ada suatu keyakinan yang mendasari perbuatan ini, dan menganggap perbuatan ini lebih baik daripada ditinggalkan, atau meyakini ini termasuk sunnah, maka perbuatan ini menjadi bid’ah dalam agama.

Lajnah Daimah ditanya hukum mengusapkan darah ke badan hewan dengan keyakinan bahwa ini adalah perbuatan para sahabat Nabi Ibrahim Alaihissallam, maka Lajah menjawab : Mengusapkan darah ke badan hewan sembelihan, kami tidak mengetahui seorang pun dari kalangan sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang melakukannya. Ini adalah termasuk bid’ah sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : Barangsiapa mengamalkan suatu amalan yang tidak ada dalilnya maka perbuatan itu terolak. Dan dalam suatu riwayat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Barangsiapa berbuat bid’ah dalam agama ini yang tidak termasuk darinya, maka amalan itu tertolak. [HR al-Bukhari dan Muslim][5]

KURBAN ONLINE
Kurban online adalah berkurban dengan cara mentransfer sejumlah uang sesuai dengan harga binatang kurban yang telah disepakati kepada lembaga sosial atau yang semisalnya, lalu lembaga tersebut membelikan hewan kurban, menyembelih pada waktunya dan membagikan dagingnya. Kurban semacam ini tidak jauh berbeda dengan kurban di negeri lain yang lebih membutuhkan.

Kita katakan : Hukum asalnya berkurban dilakukan dengan tangannya sendiri di negerinya sendiri, sebagian daging kurbannya dia makan, dan sebagian lainnya diberikan kepada kaum muslimin dan tidak berkurban secara online. Akan tetapi, dibolehkan kurban dengan cara online ketika ada kebutuhan yang mendesak, selagi lembaga tersebut benar-benar terpercaya, dan melaksanakan ibadah kurban sesuai aturan. Wallahu a’lam

[Disalin secara ringkas dari Kontemporer Ibadah Kurban penyusun Ustadz Abu Ibrohim Muhammad Ali AM, Majalah Al-Furqon Edisi 4 Tahun Ketigabelas Dzulqadah 1434H, Diterbitkan oleh Lajnah Dakwah Ma’had Al-Furqon al-Islami, Alamat Ma’had al-Furqon, Srowo Sidayu Gresik Jatim 61153, Telp. 031-3940347]
_______
Footnote
[1]. Fatawa Lajnah Daimah lil Buhuts al-Ilmiyyah wal Ifta. No. 1997, ditandatangani oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz sebagai ketua dan Abdullah bin Qu’uds serta Abdullah bin Ghadiyah keduanya sebagai anggota.
[2]. HR al-Bukhari 4/126 no. 3183
[3]. Lihat Fiqhus Sunnah, as-Sayyid Sabiq, cet Maktabah as-Rusyd 1422H
[4]. Fatwa Lajnah Daimah 11/394, fatwa no. 9563, ditandatangani oleh Abdul Aziz bin Baz sebagai ketua dan Abdurrazzaq Afifi sebagai wakilnya, serta Abdullah bin Ghadiyan sebagai anggota.
[5]. Fatwa no. 6667. Ditandatangani oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz sebagai ketua, Abdurrazzaq Afifi sebagai wakilnya, dan Abdullah bin Qu’ud serta Abdullah bin Ghadiyan keduanya sebagai anggota

AL-WADUD, YANG MAHA MENCINTAI HAMBA-HAMBA-NYA YANG SHALEH

Oleh
Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA

DASAR PENETAPAN
Nama Allâh Azza wa Jalla yang maha agung ini disebutkan dalam dua ayat al-Qur`ân:

1. Firman Allâh Azza wa Jalla :

وَاسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ ۚ إِنَّ رَبِّي رَحِيمٌ وَدُودٌ

Dan mohonlah ampun kepada Rabb-mu (Allah) kemudian bertaubatlah kepada-Nya, sesengguhnya Rabb-ku Maha Mencintai hamba-hamba-Nya lagi Maha Pengasih [Hûd/11 : 90]

2. Firman Allâh Azza wa Jalla :

إِنَّهُ هُوَ يُبْدِئُ وَيُعِيدُ﴿١٣﴾وَهُوَ الْغَفُورُ الْوَدُودُ

Sesungguhnya Dia-lah Yang menciptakan (makhluk) dari permulaan dan menghidupkannya (kembali). Dan Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Mencintai hamba-hamba-Nya [al-Burûj/85:13-14].

Berdasarkan ayat-ayat di atas, para Ulama menetapkan al-Wadûd sebagai salah satu dari nama Allâh Azza wa Jalla yang maha indah, seperti Imam Ibnul Atsir rahimahullah[1], Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyah rahimahullah[2] , Imam Ibnul Qayyim rahimahullah [3], Imam al-Qurthubi rahimahullah [4] , Syaikh ‘Abdur Rahmân as-Sa’di rahimahullah [5], Syaikh Muhammad bin Shâleh al-‘Utsaimîn rahimahullah [6], dan lain-lain.

MAKNA NAMA ALLAH SUBHANAHU WA TA’ALA AL-WADUD DAN PENJABARANNYA
Imam Ibnu Fâris rahimahullah dan Ibnul Atsîr rahimahullah menjelaskan bahwa asal kata nama ini secara bahasa berarti al-mahabbah (kecintaan)[7] .

Demikian pula Syaikh ‘Abdur Rahmân as-Sa’di rahimahullah menerangkan bahwa asal kata nama ini berarti al-mahabbah ash-shâfiyah (kecintaan yang murni).

Imam Ibnul Atsîr rahimahullah dan Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan bahwa nama Allâh Azza wa Jalla Al-Wadûd bisa berarti al-maudûd (yang dicintai), sehingga pengertiannya menjadi Allâh Azza wa Jalla itu dicintai dalam hati para kekasih-Nya (hamba-hamba-Nya yang taat kepada-Nya). Juga bisa berarti al-wâdd (yang mencintai), artinya Allâh Azza wa Jalla mencintai hamba-hamba-Nya yang shaleh [8] .

Syaikh ‘Abdur Rahmân as-Sa’di rahimahullah berkata: “Makna al-Wadûd yang termasuk nama-nama Allâh Azza wa Jalla (yang maha indah) adalah bahwa Dia Azza wa Jalla mencintai hamba-hamba-Nya yang beriman dan mereka pun mencintai-Nya [9], sesuai firman-Nya:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا مَنْ يَرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا يَخَافُونَ لَوْمَةَ لَائِمٍ ۚ ذَٰلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ ۚ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari (meninggalkan) agamanya, maka kelak Allâh akan mendatangkan suatu kaum yang Allâh mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah-lembut terhadap orang-orang mu’min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allâh, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allâh, diberikan-Nya kepada siap yang dihendaki-Nya, dan Allâh Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui [al-Mâidah/5:54].

Maka, makna nama Allâh Azza wa Jalla al-Wadûd adalah bahwa Allâh Azza wa Jalla mencintai para nabi dan rasul-Nya, serta orang-orang yang mengikuti (petunjuk) mereka dan mereka pun mencintai-Nya. Mereka mencintai-Nya lebih dari segala sesuatu (yang ada di dunia), sehingga hati mereka dipenuhi dengan kecintaan kepada-Nya, lidah mereka selalu mengucapkan pujian bagi-Nya dan jiwa mereka selalu tertuju kepada-Nya dalam kecintaan, keikhlasan dan kembali kepada-Nya dalam semua keadaan”[10].

Ketika menafsirkan firman Allâh Azza wa Jalla :

وَهُوَ الْغَفُورُ الْوَدُودُ

Dan Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Mencintai hamba-hamba-Nya [al-Burûj/85:14].

Syaikh ‘Abdur Rahmân as-Sa’di rahimahullah berkata, “Dialah (Allâh Azza wa Jalla) yang dicintai para wali-Nya (hamba-hamba-Nya yang taat kepada-Nya) dengan kecintaan yang tidak serupa (tidak ada bandingannya) dengan apapun (di dunia ini). Sebagaimana Dia Azza wa Jalla tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya dalam sifat-sifat keagungan, keindahan, (kesempurnaan) makna dan perbuatan-perbuatan-Nya, maka kecintaan kepada-Nya di hati hamba-hamba-Nya yang dipilih-Nya sesuai dengan itu semua, (yaitu) tidak sesuatu pun dari bentuk-bentuk kecintaan yang menyamainya. Oleh karena itu, kecintaan kepada-Nya adalah landasan pokok peribadatan (kepada-Nya), dan kecintaan ini mendahalui dan melebihi semua kecintaan (lainnya). Jika kecintaan-kecintaan lain itu tidak mengikuti/mendukung kecintaan kepada-Nya, maka semua itu akan menjadi siksaan (bencana) bagi seorang hamba. Dan Allâh Azza wa Jalla al-Wadûd, (juga) berarti Dia Azza wa Jalla mencintai para wali-Nya”[11] .

PENGARUH POSITIF DAN MANFAAT MENGIMANI NAMA ALLAH AL-WADUD
Orang yang paling sempurna dalam penghambaan diri dan ketakwaan kepada Allâh Azza wa Jalla adalah orang yang paling sempurna pemahamannya terhadap nama-nama Allâh Azza wa Jalla yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna.

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Orang yang paling sempurna dalam penghambaan diri (kepada Allâh Azza wa Jalla ) adalah orang yang menghambakan diri (kepada-Nya) dengan (memahami kandungan) semua nama dan sifat-Nya yang (bisa) diketahui oleh manusia” [12] .

Tidak terkecuali dalam hal ini nama Allâh Azza wa Jalla al-Wadûd, memahami kandungan nama ini dengan benar merupakan sebab utama untuk meraih mahabbatullâh (kecintaan kepada Allâh Azza wa Jalla ) dan menjadikan-Nya lebih dicintai dari segala sesuatu yang ada di dunia ini. Karena, dengan memahami kandungan nama ini, seorang hamba akan mempersaksikan bahwa Allâh Azza wa Jalla sungguh telah memudahkan bagi hamba-hamba-Nya berbagai sebab dan sarana agar mereka bisa mencapai mahabbatullâh (kecintaan kepada Allâh Azza wa Jalla), yang merupakan sumber kebaikan dan kebahagiaan hakiki bagi hati dan jiwa manusia [13] .

Sebab-sebab tersebut di antaranya: dengan Allâh Azza wa Jalla memperkenalkan diri-Nya kepada hamba-hamba-Nya melalui nama-nama-Nya yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna, ini merupakan sebab yang paling besar dan utama. Demikian pula dengan limpahan berbagai macam nikmat, karunia dan kebaikan dari-Nya kepada-hamba-Nya, ini tentu akan menggerakkan hati mereka untuk mencintai-Nya, karena jiwa manusia secara fitrah akan mencintai pihak yang berbuat banyak kebaikan untuk dirinya.

Syaikh ‘Abdur Rahmân as-Sa’di rahimahullah menjelaskan faidah penting ini dengan berkata, ” Al-Wadûd berarti bahwa Allâh Azza wa Jalla mengajak hamba-hamba-Nya untuk mencintai-Nya dengan (memperkenalkan kepada mereka) sifat-sifat-Nya yang maha indah, berbagai karunia-Nya yang sangat luas, kelembutan-Nya yang tersembunyi dan bemacam-macam nikmat-Nya yang tampak maupun tidak. Maka Dialah al-Wadûd yang berarti al-waaddu (yang mencintai) dan (juga) berarti al-mauduud (yang dicintai). Dialah yang mencintai para wali dan hamba yang dipilih-Nya, dan merekapun mencintai-Nya, maka Dialah yang mencintai mereka dan menjadikan dalam hati mereka kecintaan kepada-Nya. Lalu ketika mereka mencintai-Nya Dia pun mencintai (membalas cinta) mereka dengan kecintaan lain (yang lebih sempurna) sebagai balasan (kebaikan) atas kecintaan (tulus) mereka (kepada-Nya).

Maka karunia/kebaikan semua kembali kepada-Nya, karena Dialah yang memudahkan segala sebab untuk menjadikan hamba-hamba-Nya cinta kepada-Nya, Dialah yang mengajak dan menarik hati mereka untuk mencintai-Nya. Dialah yang mengajak hamba-hamba-Nya untuk mencintai-Nya dengan menyebutkan (dalam al-Qur`ân) sifat-sifat-Nya yang maha luas, agung dan indah, yang ini semua akan menarik hati-hati yang suci dan jiwa-jiwa yang lurus. Karena sesungguhnya hati dan jiwa yang bersih secara fitrah akan mencintai (sifat-sifat) kesempurnaan.

Dan Allâh Azza wa Jalla memiliki (sifat-sifat) kesempurnaan yang lengkap dan tidak terbatas. Masing-masing sifat tersebut memiliki keistimewaan dalam (menyempurnakan) penghambaan diri (seorang hamba) dan menarik hati (hamba-hamba-Nya) untuk (mencintai)-Nya. Kemudian Dia mengajak hamba-hamba-Nya untuk mencintai-Nya dengan berbagai macam nikmat dan karunia-Nya yang agung, yang dengan itu Allâh menciptakan, menghidupkan, memperbaiki keadaan dan menyempurnakan semua urusan mereka. Bahkan dengan itu Allâh menyempurnakan (pemenuhan) kebutuhan-kebutuhan pokok, memudahkan urusan-urusan, menghilangkan semua kesulitan dan kesusahan, menetapkan hukum-hukum syariat dan memudahkan mereka menjalankannya, serta menunjukkan jalan yang lurus kepada mereka…

Maka semua yang ada di dunia dari hal-hal yang dicintai oleh hati dan jiwa manusia, yang lahir maupun batin, adalah (bersumber) dari kebaikan dan kedermawanan-Nya, untuk mengajak hamba-hamba-Nya agar mencintai-Nya.

Sungguh hati manusia secara fitrah akan mencintai pihak yang (selalu) berbuat baik kepadanya. Maka kebaikan apa yang lebih agung dari kebaikan (yang Allâh Subhanahu wa Ta’ala limpahkan kepada hamba-hamba-Nya)? Kebaikan ini tidak sanggup untuk dihitung jenis dan macamnya, apalagi satuan-satuannya. Padahal setiap nikmat (dari Allâh Azza wa Jalla) mengharuskan bagi hamba untuk hati mereka dipenuhi dengan kecintaan, rasa syukur, pujian dan sanjungan kepada-Nya”[14] .

Demikian pula, termasuk bukti sempurnanya kebaikan dan kedermawanan Allâh Azza wa Jalla yaitu bahwa seorang hamba yang lancang berbuat maksiat dan kurang dalam menunaikan kewajibannya dalam beribadah kepada-Nya, tapi bersamaan dengan itu semua, Dia Azza wa Jalla tetap melimpahkan berbagai macam nikmat kepadanya, mengondisikan berbagai sebab untuk memudahkan hamba tersebut kembali kepada-Nya, bahkan Dia Azza wa Jalla mengampuni dosa-dosa dan kekurangan hamba tersebut, sehingga kembalilah kecintaan-Nya kepada hamba tersebut [15] .

Lebih dari itu, bahkan Allâh Azza wa Jalla sangat bergembira menerima taubat seorang hamba yang bertubat kepada-Nya melebihi kegembiraan terbesar yang pernah dialami manusia [16] dan Dia Azza wa Jalla menyayangi hamba-hamba-Nya melebihi sayangnya seorang ibu kepada anak bayinya[17] .

Inilah rahasia mengapa dalam dua ayat di atas Allâh Azza wa Jalla menggandengkan nama-Nya al-Wadûd dengan nama-Nya ar-Rahîm (Maha Pengasih) dan al-Ghafûr (Maha Pengampun).

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Dalam ayat ini terdapat rahasia (hikmah) yang halus, yaitu bahwa Allâh Azza wa Jalla mencintai hamba-hamba-Nya yang bertaubat (kepada-Nya) dan bahwa Dia Azza wa Jalla mencintai hamba-Nya setelah (mendapat) pengampunan-Nya. Maka Allâh Azza wa Jalla mengampuni-Nya kemudian mencintai-Nya, sebagaimana dalam firman-Nya:

إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ

Sesungguhnya Allâh mencintai orang-orang yang bertaubat dan orang-orang yang mensucikan diri (al-Baqarah/2: 222). Maka orang yang bertaubat adalah kekasih Allâh”[18] .

Demikian juga, termasuk pengaruh positif dari keimanan yang benar terhadap nama Allâh Azza wa Jalla yang maha agung ini adalah memudahkan seorang hamba untuk menjadikan segala bentuk kecintaannya, baik yang bersifat agama maupun tabiat, seluruhnya mengikuti kecintaan kepada Allâh Azza wa Jalla .

Adapun dalam kecintaan yang bersifat agama, maka ketika seorang hamba mencintai Allâh Azza wa Jalla , dia pasti akan mencintai orang-orang yang dicintai-Nya, yaitu para nabi, rasul dan orang-orang yang mengikuti petunjuk mereka. Demikian pula mencintai semua amal shaleh yang mendekatkan diri kepada Allâh Azza wa Jalla . Iia akan mencintai semua yang dicintai oleh Allâh Azza wa Jalla , berupa waktu, tempat, pebuatan maupun manusia[19] . Sebagaimana doa yang dipanjatkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “(Ya Allâh) aku memohon kepada-Mu kecintaan kepada-Mu, kecintaan kepada orang-orang yang mencintai-Mu dan mencintai (semua) amal perbuatan yang mendekatkan diriku kepada kecintaan kepada-mu” [20] .

Inilah ciri utama orang yang telah meraih kesempurnaan iman, sebagaimana sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Ada tiga sifat, barangsiapa yang memilikinya maka dia akan merasakan manisnya iman (kesempurnaan iman): menjadikan Allâh dan rasul-Nya lebih dicintai daripada (siapapun) selain keduanya, mencintai orang lain semata-mata karena Allâh, dan merasa benci (enggan) untuk kembali kepada kekafiran setelah diselamatkan oleh Allâh sebagaimana enggan untuk dilemparkan ke dalam api” [21] .

Adapun dalam kecintaan yang bersifat tabiat, maka seorang hamba yang mencintai Allâh Azza wa Jalla , dia akan melakukan hal-hal yang diinginkan oleh nafsunya secara fitrah bawaan manusia, seperti makan, minum, berpakaian dan tidur, semua itu dilakukannya dalam rangka membantunya untuk meraih kecintaan kepada Allâh Azza wa Jalla (untuk menguatkannya melakukan ketaatan kepada-Nya) dan dengan motivasi untuk menunaikan perintah-perintah-Nya yang bersifat mutlak dalam hal-hal yang mubah, seperti dalam firman-Nya:

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا

(Hai manusia), makan dan minumlah… [al-A’râf/7:31].

Maka jadilah sebab yang mendorong hamba tersebut dalam melakukan semua ini adalah untuk menunaikan perintah Allâh Azza wa Jalla dan tujuannya untuk membantunya meraih kecintaan kepada Allâh Azza wa Jalla (untuk menguatkannya melakukan ketaatan kepada-Nya). Sehingga dengan ini semua, hal-hal yang tadinya merupakan kebiasaan tersebut (hukum asalnya mubah dan tidak berpahala jika dilakukan) berubah menjadi ibadah (bernilai ketaatan di sisi-Nya) dan jadilah seluruh waktu mereka diisi dengan hal-hal yang semakin mendekatkan mereka kepada-Nya [22] .

PENUTUP
Syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa’di rahimahullah berkata, “Semua dampak positif yang agung dan mulia ini adalah termasuk buah dari kecintaan kepada Allâh Azza wa Jalla yang dilimpahkan-Nya kepada hamba-hamba-Nya. Semua ini akan semakin kuat pengaruhnya sesuai dengan (kuatnya) kecintaan (kepada-Nya) yang ada dalam hati manusia, kecintaan ini adalah ruh keimanan, hakikat tauhid, inti penghambaan diri dan landasan pendekatan diri (kepada-Nya).

Maka, sebagaimana Allâh Azza wa Jalla tidak ada yang serupa dengan-Nya dalam zat dan sifat-sifat-Nya, demikian pula kecintaan kepada-Nya dalam hati para wali-Nya (hamba-hamba-Nya yang taat kepada-Nya) tidak ada bandingannya dalam sebab (yang mendorongnya) dan tujuannya, dalam kadar dan dampaknya, dalam kenikmatan dan kelezatannya, dalam ketetapan dan kesinambungannya, serta dalam kesuciannya dari segala noda dan kotoran dari semua sisi”[23] .

Tidak lupa kami tegaskan di sini, bahwa termasuk sebab terbesar untuk meraih kecintaan Allâh Azza wa Jalla adalah mencintai Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sunnah-sunnah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta bersungguh-sungguh dalam mengikutinya[24] , sebagaimana firman-Nya:

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allâh, maka ikutilah (sunnah/petunjuk)ku, niscaya Allâh mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu, Allâh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang [Ali ‘Imran/3:31].

Demikianlah, dan kami akhiri tulisan ini dengan memohon kepada Allâh Azza wa Jalla dengan nama-nama-Nya yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna, agar Dia Azza wa Jalla senantiasa memudahkan bagi kita untuk meraih kecintaan kepada-Nya. Sesungguhnya Dia Azza wa Jalla Maha mendengar dan Maha Mengabulkan doa.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XV/1433H/2012. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. An-Nihâyah fî Gharîbil Hadîtsi wal Atsar 5/363
[2]. Majmû’ul Fatâwâ 13/296
[3]. Madârijus Sâlikîn 3/28
[4]. Al-Jâmi’ li Ahkâmil Qur`ân 9/78
[5]. Tafsîru Asmâillâhil Husnâ hlm. 87
[6]. Al-Qawâ’idul Mutslâ hlm. 41
[7]. Mu’jamu Maqâyîsil Lughah 6/55 dan an-Nihâyah fî Gharîbil Hadîtsi wal Atsar 5/363
[8]. Lihat An-Nihâyah fî Gharîbil Hadîtsi wal Atsar 5/363 dan Madârijus Sâlikîn 3/28
[9]. Taisîrul Karîmir Rahmân hlm. 388
[10]. Keterangan Syaikh ‘Abdur Rahmân as- Sa’di dalam Tafsîru Asmâillahil Husnâ hlm. 87
[11]. Taisîrul Karîmir Rahmân hlm. 919
[12]. Madârijus Sâlikîn 1/420
[13]. Lihat keterangan Imam Ibnul Qayyim dalam Ighâtsatul Lahfân 1/6
[14]. Fathur Rahîmil Malikil ‘Allâm hlm. 55-56
[15]. Lihat Fiqhul Asmâil Husnâ hlm. 223
[16]. Berdasarkan hadits riwayat al-Bukhâri no. 5950 dan Muslim no. 2747
[17]. Berdasarkan hadits riwayat al-Bukhâri no. 5653 dan Muslim no. 2754
[18]. Raudhatul Muhibbîn hlm. 47
[19]. Lihat Fathur Rahîmil Malikil ‘Allâm hlm. 57
[20]. HR. at-Tirmidzi no. 3235, dinyatakan shahih oleh Imam al-Bukhâri, at-Tirmidzi dan al-Albâni
[21]. HR. al-Bukhâri no. 16 dan 21 dan Muslim no. 43
[22]. Lihat Fathur Rahîmil Malikil ‘Allâm hlm. 57
[23]. Ibid
[24]. Lihat Fiqhul Asmâil Husnâ hlm. 225

 

AL-GHALIB DAN AN-NASHIR (ALLAH MAHA MENANG DAN MAHA PENOLONG)

Oleh
Prof. Dr. Abdur Razzaq bin Abdul Muhsin al-Abbad

Diantara nama-nama Allâh Azza wa Jalla adalah al-Ghâlib dan an-Nashîr. Nama al-Ghâlib disebutkan dalam al-Qur’an pada satu tempat saja yaitu dalam firman-Nya :

وَاللَّهُ غَالِبٌ عَلَىٰ أَمْرِهِ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

dan Allâh berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahuinya [Yusuf/12:21]

Sedangkan nama an-Nashîr disebutkan pada empat tempat :

وَإِنْ تَوَلَّوْا فَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَوْلَاكُمْ ۚ نِعْمَ الْمَوْلَىٰ وَنِعْمَ النَّصِيرُ

Dan jika mereka berpaling, maka ketahuilah bahwasanya Allâh Pelindungmu. Dia adalah sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong [al-Anfâl/8:40]

Juga dalam surat an-Nisâ’/4 ayat ke-45; Surat al-Hajj/22 ayat ke-78 dan surat al-Furqân/25 ayat ke-31.

MAKNA AL-GHALIB DAN AN-NASHR
al-Ghâlib artinya yang bisa melakukan apa saja yang dikehendaki, tidak bisa dikalahkan oleh apapun, tidak ada yang bisa menolak hukum-Nya, tidak ada seorang pun yang memiliki kemampuan untuk menolak ketetapan-Nya juga tidak ada seorang pun yang memiliki kekuatan untuk menghalangi apa yang Allâh Azza wa Jalla tetapkan berjalan.

Imam al-Qurthubi rahimahullah mengatakan, “Wajib bagi setiap orang mukallaf mengetahui bahwa Allâh Azza wa Jalla itu al-Ghâlib (Maha Menang, Tidak akan terkalahkan) secara mutlak. Orang yang berpegang teguh dengan-Nya, maka dia juga akan menang, meskipun semua penduduk penduduk bumi melawannya. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

كَتَبَ اللَّهُ لَأَغْلِبَنَّ أَنَا وَرُسُلِي

Allâh Telah menetapkan: “Aku dan rasul-rasul-Ku pasti menang”. [al-Mujâdilah/58:21]

Dan orang yang berpaling dari Allâh Azza wa Jalla lalu berpegang dengan selain Allâh Azza wa Jalla , maka dia akan kalah.”[1]

An-Nashîr maknanya adalah yang menolong para hamba-Nya, yang bisa memberikan jaminan bahwa Dia akan mendukung dan membela para wali-Nya. Semua pertolongan itu hanya dari Allâh Azza wa Jalla semata. Pertolongan (kemenangan) itu tidak akan terealisasi kecuali dengan karunia dari Allâh Azza wa Jalla . Jadi orang yang akan menang adalah orang-orang yang ditolong oleh Allâh Azza wa Jalla karena tidak ada penolong dan penjaga bagi para hamba kecuali Allâh Azza wa Jalla . Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَمَا النَّصْرُ إِلَّا مِنْ عِنْدِ اللَّهِ الْعَزِيزِ الْحَكِيمِ

Dan kemenanganmu itu hanyalah dari Allâh yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. [Ali Imrân/3:126]

Allâh Azza wa Jalla juga berfirman :

إِنْ يَنْصُرْكُمُ اللَّهُ فَلَا غَالِبَ لَكُمْ ۖ وَإِنْ يَخْذُلْكُمْ فَمَنْ ذَا الَّذِي يَنْصُرُكُمْ مِنْ بَعْدِهِ ۗ وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ

Jika Allâh menolong kamu, maka tidak ada orang yang dapat mengalahkan kamu; jika Allâh membiarkan kamu (tidak memberi pertolongan), maka siapakah gerangan yang dapat menolong kamu (selain) dari Allâh sesudah itu ? Karena itu hendaklah kepada Allâh saja orang-orang Mukmin bertawakkal. [Ali Imrân/3:160]

أَمَّنْ هَٰذَا الَّذِي هُوَ جُنْدٌ لَكُمْ يَنْصُرُكُمْ مِنْ دُونِ الرَّحْمَٰنِ ۚ إِنِ الْكَافِرُونَ إِلَّا فِي غُرُورٍ

Atau siapakah dia yang menjadi tentara bagimu yang akan menolongmu selain Allâh yang Maha Pemurah? orang-orang kafir itu tidak lain hanyalah dalam (keadaan) tertipu. [al-Mulk/67:20]

Allâh Azza wa Jalla juga berfirman :

وَمَا لَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلَا نَصِيرٍ

dan tiada bagimu selain Allâh seorang pelindung maupun seorang penolong. [al-Baqarah/2:107]

وَكَانَ حَقًّا عَلَيْنَا نَصْرُ الْمُؤْمِنِينَ
Dan kami selalu berkewajiban menolong orang-orang yang beriman. [ar-Rûm/30:47]

PERTOLONGANNHANYA DARI ALLAH AZZA WA JALLA
Dalam banyak ayat, Allâh Azza wa Jalla menyebutkan karunia-Nya kepada para nabi-Nya berupa kemenangan dan dukungan. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

إِنَّا لَنَنْصُرُ رُسُلَنَا وَالَّذِينَ آمَنُوا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيَوْمَ يَقُومُ الْأَشْهَادُ

Sesungguhnya kami menolong rasul-rasul kami dan orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia dan pada hari berdirinya saksi-saksi (hari kiamat). [al-Ghâfir/40:51]

Juga dalam firman-Nya :

لَقَدْ نَصَرَكُمُ اللَّهُ فِي مَوَاطِنَ كَثِيرَةٍ

Sesungguhnya Allâh telah menolong kamu (hai para Mukminin) di medan peperangan yang banyak [at-Taubah/9:25]

Juga dalam firman-Nya :

وَلَقَدْ مَنَنَّا عَلَىٰ مُوسَىٰ وَهَارُونَ﴿١١٤﴾وَنَجَّيْنَاهُمَا وَقَوْمَهُمَا مِنَ الْكَرْبِ الْعَظِيمِ﴿١١٥﴾وَنَصَرْنَاهُمْ فَكَانُوا هُمُ الْغَالِبِينَ

Dan Sesungguhnya Kami telah melimpahkan nikmat atas Musa dan Harun. Dan Kami selamatkan keduanya dan kaumnya dari bencana yang besar. Dan Kami tolong mereka, maka jadilah mereka orang-orang yang menang. [as-shaffât/37:114-116]

Allâh Azza wa Jalla juga memberitahukan bahwa pertolongan itu hanya diminta kepada-Nya dan hanya bisa diperoleh dengan bersandar kepada-Nya. Dalam do’a nabi Nuh Alaihissallam.

قَالَ رَبِّ انْصُرْنِي بِمَا كَذَّبُونِ

Nabi Nuh berdoa, “Ya Rabbku, tolonglah aku, karena mereka mendustakan aku.” [al-Mukminûn/ 23:26]

Dan dalam do’a Nabi Luth Alaihissallam :

قَالَ رَبِّ انْصُرْنِي عَلَى الْقَوْمِ الْمُفْسِدِينَ

Nabi Luth berdo’a, “Ya Rabbku, tolonglah aku (dengan menimpakan azab) atas kaum yang berbuat kerusakan itu.” [al-Ankabut/29:30]

Dan dalam do’a nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

أَنْتَ مَوْلَانَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ

Engkaulah penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir [al-Baqarah/2:286]

Dalam Sunan Abu Daud rahimahullah , Tirmidzi dan yang lainnya diriwayatkan dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu , dia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila melakukan peperangan, maka beliau berdo’a :

اللَّهُمَّ أَنْتَ عَضُدِي وَأَنْتَ نَصِيرِي بِكَ أَجُوْلُ وَبِكَ أَصُوْلُ وَبِكَ أُقَاتِلُ

Wahai Allâh , Engkau adalah penguatku dan Penolongku, Dengan (nama)-Mu aku menyerang dan membela.

Dalam ayat lain, Allâh Azza wa Jalla juga memberitahukan bahwa kaum kafir itu tidak memiliki penolong. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

فَأَمَّا الَّذِينَ كَفَرُوا فَأُعَذِّبُهُمْ عَذَابًا شَدِيدًا فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَمَا لَهُمْ مِنْ نَاصِرِينَ

Adapun orang-orang yang kafir, maka Aku akan siksa mereka dengan siksa yang sangat keras di dunia dan di akhirat, dan mereka tidak memperoleh penolong. [Ali Imrân/3:56]

Allâh Azza wa Jalla juga berfirman :

بَلِ اتَّبَعَ الَّذِينَ ظَلَمُوا أَهْوَاءَهُمْ بِغَيْرِ عِلْمٍ ۖ فَمَنْ يَهْدِي مَنْ أَضَلَّ اللَّهُ ۖ وَمَا لَهُمْ مِنْ نَاصِرِينَ

Tetapi orang-orang yang zalim, mengikuti hawa nafsunya tanpa ilmu pengetahuan; maka siapakah yang akan menunjuki orang yang telah disesatkan Allâh ? dan tidak ada bagi mereka seorang penolongpun. [ar-Rûm/30:29]

Juga firman-Nya :

وَكَأَيِّنْ مِنْ قَرْيَةٍ هِيَ أَشَدُّ قُوَّةً مِنْ قَرْيَتِكَ الَّتِي أَخْرَجَتْكَ أَهْلَكْنَاهُمْ فَلَا نَاصِرَ لَهُمْ

Dan betapa banyaknya negeri yang (penduduknya) lebih kuat dari pada (penduduk) negerimu (Muhammad) yang telah mengusirmu itu. Kami telah membinasakan mereka, maka tidak ada seorang penolongpun bagi mereka. [Muhammad/47:13]

Allâh Azza wa Jalla juga berfirman buat kaum Mukminin :

وَلَوْ قَاتَلَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوَلَّوُا الْأَدْبَارَ ثُمَّ لَا يَجِدُونَ وَلِيًّا وَلَا نَصِيرًا﴿٢٢﴾سُنَّةَ اللَّهِ الَّتِي قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلُ ۖ وَلَنْ تَجِدَ لِسُنَّةِ اللَّهِ تَبْدِيلًا

Dan sekiranya orang-orang kafir itu memerangi kamu Pastilah mereka berbalik melarikan diri ke belakang (kalah) kemudian mereka tiada memperoleh pelindung dan tidak (pula) penolong.

Sebagai suatu sunnatullah yang telah berlaku sejak dahulu, kamu sekali-kali tiada akan menemukan peubahan bagi sunnatullah itu. [al-Fath/48:22-23]

Firman Allâh Azza wa Jalla ini ditujukan kepada kaum Muslimin yang sudah merealisasikan tuntutan iman mereka, baik yang zhahir maupun yang bathin. Orang-orang yang seperti ini akan mendapatkan pertolongan dari Allâh Azza wa Jalla dan akan mendapatkan akhir yang baik. Oleh karena itu, selama kaum Muslimin tidak melawan nafsu mereka dalam rangka merealisasikan tuntutan keimanan mereka dan faktor-faktor yang bisa mendatangkan kemenangan, maka kemenangan itu tidak akan pernah menghampiri mereka. Bahkan sebalinya, mereka akan senantiasa berada dalam penjajahan dan bayang-bayang kekuasaan musuh-musuh mereka akibat dari kesalahan dan dosa-dosa mereka.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan, “Dimanapun kaum kafir mendapatkan kemenangan, maka itu disebabkan oleh dosa kaum Muslimin yang mengisyaratkan iman mereka kurang. Jika mereka bertaubat dengan menyempurnakan keimanan mereka, maka Allâh akan menolong mereka, sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :

وَلَا تَهِنُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَنْتُمُ الْأَعْلَوْنَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman. [Ali Imrân/3:139]

Juga berfirman :

أَوَلَمَّا أَصَابَتْكُمْ مُصِيبَةٌ قَدْ أَصَبْتُمْ مِثْلَيْهَا قُلْتُمْ أَنَّىٰ هَٰذَا ۖ قُلْ هُوَ مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِكُمْ

Dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar), kamu berkata: “Darimana datangnya (kekalahan) ini?” Katakanlah: “Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri”. [Ali Imrân/3:165][2]

Maka untuk mendapatkan kemenangan dalam menghadapi para musuh yang terlihat, para hamba terlebih dahulu harus memerangi dan mengalahkan musuh-musuh yang tidak terlihat berupa nafsu yang selalu mengajak kepada perbuatan buruk dan syaitan. Selama peperangan melawan musuh-musuh yang tidak terlihat ini belum dimenangkan, maka kemenangan dalam melawan musuh yang terlihat itu akan tetap menjadi angan-angan belaka.

Ketika menjelaskan firman Allâh Azza wa Jalla :

وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا ۚ وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ

Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. dan Sesungguhnya Allâh benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik. [al-Ankabût/29:69].

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Allâh Azza wa Jalla mengaitkan hidayah dengan jihad, jadi orang yang paling sempurna hidayahnya adalah orang yang paling keras jihadnya. Jihad yang paling wajib adalah jihad (melawan) nafsu, jihad (melawan) hawa, jihad (melawan) syaitan dan jihad (melawan) dunia. Barangsiapa berjihad (melawan) empat perkara ini karena Allâh Azza wa Jalla , maka Allâh Azza wa Jalla pasti menunjukkan kepadanya jalan-jalan untuk meraih ridha-Nya yang bisa menghantarkannya ke surga-Nya. Dan orang yang meninggalkan jihad, maka dia kehilangan hidayah seukuran jihad yang ditinggalkannya. … dan tidak mungkin berjihad melawan musuh yang zhahir kecuali oleh orang-orang yang sudah berjihad melawan musuh-musuh secara bathin. Orang yang mendapatkan pertolongan dalam menghadapi musuh-musuh (yang bersifat abstrak) ini, maka dia akan mendapatkan pertolongan dalam menghadapi musuhnya. Barangsiapa terkalahkan oleh musuh-musuh (yang empat ini), maka dia akan dikalahkan oleh musuhnya yang zhahir.”[3]

Ibnul Qayyim rahimahullah juga mengatakan, “Jika keimanan (kaum Muslimin) itu lemah, maka para musuh mereka akan mendapatkan peluang seukuran dengan kurangnya iman mereka. Jadi kaum Muslimin membuka celah jalan bagi para musuh mereka dengan sebab perbuatan taat yang mereka tinggalkan. Seorang Mukmin itu perkasa, tinggi, ditolong, tercukupi, dibela dimanapun mereka berada, meskipun semua penduduk dunia menyerangnya, jika dia merealisasikan hakikat dan kewajiban iman, baik secara zhahir dan bathin. Allâh Azza wa Jalla berfirman buat kaum Mukminin :

فَلَا تَهِنُوا وَتَدْعُوا إِلَى السَّلْمِ وَأَنْتُمُ الْأَعْلَوْنَ وَاللَّهُ مَعَكُمْ وَلَنْ يَتِرَكُمْ

Janganlah kamu lemah dan minta damai padahal kamulah yang di atas dan Allâh pun bersamamu dan dia sekali-kali tidak akan mengurangi pahala amal-amalmu. [Muhammad/47:35]

Jaminan dari Allâh Azza wa Jalla hanya akan terwujud dengan sebab keimanan dan amal perbuatan kaum Muslimin yang itu merupakan salah satu dari tentara-tentara Allâh yang dipergunakan untuk melindungi kaum Muslimin.”[4]

Demikian pembahasan singkat tentang al-Ghâlib dan an-Nashir, kita memohon kepada Allâh Azza wa Jalla agar memperbaiki keadaan kaum Muslimin; agar melindungi mereka dari kejahatan para musuh mereka; agar menjaga keamanan dan keimanan kaum Muslimin; agar menahan kejahatan orang-orang kafir, sesungguhnya Allâh amat besar kekuatan dan amat keras siksaan(Nya). Kita juga memohon kepada Allâh Azza wa Jalla agar Allâh Azza wa Jalla memenangkan agama-Nya, meninggikan kalimat-Nya, dan agar menolong kaum Muslimin dalam mengahadapi orang-orang kafir. Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla pasti menjaga yang bersandar kepada-Nya, mencukupi orang yang berpergang teguh dengan-Nya dan sesungguhnya Allâh adalah sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong

(Diterjemahkan dari Fiqhul Asma’il Husna, Syaikh Abdurrazaq, hlm. 242-244)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XVI/1433H/2012M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. al-Asna Fi Syarh Asmâ’illah al-Husna, 1/219
[2]. al-Jawâbus Shahîh, 6/450
[3]. al-Fawâ’id, hlm. 109
[4]. Ighâtsatul Lahfân, 2/913-914

 

WAJIB ATAS SETIAP MUSLIM UNTUK MENERAPKAN HUKUM ALLAH DALAM SEGALA ASPEK KEHIDUPANNYA SESUAI DENGAN KEMAMPUANNYA

Oleh
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani

Kewajiban setiap muslim adalah beramal sesuai dengan kemampuannya, Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai kesanggupannya. Menegakkan tauhid dan ibadah yang benar tidak mesti disertai dengan menegakkan daulah Islamiyah di negeri-negeri yang tidak berhukum dengan apa-apa yang Allah turunkan, karena hukum Allah yang pertama kali wajib ditegakkan adalah menegakkan tauhid. Dan tidak diragukan lagi, ada perkara-perkara khusus yang terjadi pada sebagian masa, yaitu uzlah (mengasingkan diri) lebih baik daripada bercampur baur, sehingga seorang muslim mengasingkan diri di suatu lembah atau tempat terpencil, dan dia beribadah kepada Rabbnya, selamat dari kejahatan manusia kepadanya dan dari kejahatan dirinya kepada manusia. Perkara ini terdapat dalam hadits-hadits yang sangat banyak, meskipun hukum asalnya seperti terdapat dalam hadits Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma.

اَلْمُؤْمِنُ الَّذِيْ يُخَالِطُ النَّاسَ ويَصْبِرُ عَلَى أذَاهُمْ خَيْرٌ مِنَ الْمُؤْمِنِ الَّذِيْ لاَ يُخَالِطُ النَّاسَ وَلاَ يَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ

“Orang mukmin yang bergaul dengan manusia dan sabar terhadap kejahatan mereka lebih baik daripada orang mukmin yang tidak bergaul dengan manusia dan tidak sabar terhadap kejahatan mereka”[1]

Maka, daulah Islamiyah -tidak diragukan- sebagai sarana untuk menegakkan hukum Allah di bumi, dan bukan tujuan.

Dan termasuk hal yang mengherankan telah menimpa kepada sebagian da’i yaitu : Mereka memberikan perhatian kepada perkara-perkara yang tidak mampu dilaksanakan dan meninggalkan kewajiban yang mudah bagi mereka untuk melaksanakannya !! Yaitu dengan berjihad melawan hawa nafsu mereka sebagaimana yang dikatakan oleh seorang da’i muslim yang memberi wasiat kepada para pengikutnya dengan ucapannya :

أَقِيْمُوْا دَوْلَةَ اْلإِسْلاَمُ فِيْ نُضُسِكُمْ تَقُمُ لَكُمْ فِيْ أَرْضِكُمْ

“Tegakkan daulah Islam dalam diri-diri kalian, niscaya akan tegak daulah Islam itu di bumi kalian”.

Meskipun bersamaan dengan itu, kami mendapati kebanyakan dari pengikutnya menyelisihi wasiat itu, mereka menjadikan puncak da’wah mereka adalah mengesakan Allah Azza wa Jalla dalam hal hukum, dan mereka mengistilahkan hal itu dengan istilah yang terkenal : “Al-Hakimiyah untuk Allah”. Tidak ragu bahwa hukum adalah milik Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya dalam hal itu atau dalam hal lainnya. Akan tetapi sebagian mereka termasuk orang yang taklid kepada madzhab di antara madzhab-madzhab yang empat pada saat ini, kemudian ketika didatangkan kepadanya As-Sunnah yang jelas dan shahih, dia berkata : “Ini menyalahi madzhabku!”. Maka dimanakah kebenaran berhukum dengan apa-apa yang Allah turunkan dalam hal mengikuti sunnah ?!. Dan di antara mereka didapati termasuk orang-orang yang beribadah kepada Allah mengikuti tarikat-tarikat shufiah!. Maka dimanakah kebenaran berhukum dengan apa-apa yang Allah turunkan dalam hal tauhid ?! Sehingga mereka menuntut dari orang lain apa-apa yang tidak mereka tuntut dari diri mereka sendiri.

Sesungguhnya termasuk hal yang sangat mudah sekali bagi kamu adalah menerapkan hukum dengan apa-apa yang Allah turunkan dalam hal aqidah, ibadah, akhlakmu dalam hal mendidik anak-anakmu di rumah, dalam hal jual belimu, sementara itu termasuk hal yang sangat sulit sekali adalah engkau memaksakan atau menyingkirkan penguasa yang dalam kebanyakan hukum-hukumnya berhukum dengan selain apa-apa yang Allah turunkan. Maka mengapa engkau meninggalkan hal yang mudah dan mengerjakan hal yang sulit ?.

Hal ini menunjukkan kepada salah satu di antara dua kemungkinan, kemungkinan pertama buruknya pendidikan dan bimbingan, kemungkinan kedua disebabkan buruknya aqidah yang mendorong mereka sehingga lebih memperhatikan apa-apa yang mereka tidak sanggup untuk merealisasikannya daripada memperhatikan apa-apa yang masih dalam batas kesanggupan mereka.

Pada saat ini, saya tidak melihat kecuali menyibukkan diri untuk mengadakan tashfiyah dan tarbiyah serta menda’wahi manusia kepada aqidah dan ibadah yang benar. Semuanya itu sesuai dengan batas kemampuannya masing-masing. Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan kesanggupannya. Alhamdulillah Rabbil ‘alamin.

Shalawat dan salam atas Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan keluarganya.

[Disalin dari buku At-Tauhid Awwalan Ya Du’atal Islam, edisi Indonesia TAUHID, Prioritas Pertama dan Utama, oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Penerjemah Fariq Gasim Anuz, Murajaah Zainal Abidin, Penerbit Darul Haq – Jakarta]
_______
Footnote
[1]. Hadits Shahih diriwayatkan oleh At-Tirmidzi (2507), Ibnu Majah (4032), Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad (388), Ahmad (5/365), dari hadits syaikh di antara para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah (939)

 

SIAPA YANG BERHAK BERPOLITIK .? DAN KAPAN ?

Oleh
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani

Menyibukkan diri dengan politik pada saat ini adalah membuang-buang waktu ! Meskipun kami tidak mengingkari adanya politik dalam Islam, hanya saja dalam waktu yang sama kami meyakini adanya tahapan-tahapan syar’i yang logis yang harus dilalui satu per satu.

Kami memulai dengan aqidah, yang kedua ibadah, kemudian akhlak, dengan mengadakan pemurnian dan pendidikan, kemudian akan datang suatu hari dimana kita pasti masuk dalam fase politik secara syar’i, karena berpolitik berarti mengatur urusan-urusan umat. Dan yang mengatur urusan-urusan umat ? Bukanlah Zaid, Bakar, ataupun Umar, yang mendirikan kelompok atau memimpin gerakan atau suatu jama’ah !! Bahkan urusan ini khusus bagi ulil amri yang dibaiat di hadapan kaum muslimin. Dia (ulil amri) lah yang diwajibkan mengetahui politik dan mengaturnya. Apabila kaum muslimin tidak bersatu -seperti keadaan kita saat ini- maka setiap ulil amri hanya berkuasa dan memikirkan sebatas wilayah kekuasaannya saja.

Adapun menyibukkan diri dalam urusan-urusan (politik) maka seandainya pun kita benar-benar mengetahui urusan-urusan tersebut, pengetahuan kita itu tidak memberi manfaat kepada kita, karena kita tidak memiliki keputusan dan wewenang untuk mengatur umat. Satu hal ini pun sudah cukup menjadikan usaha kita sia-sia.

Kami akan memberikan suatu contoh : Peperangan yang terjadi melawan kaum muslimin pada kebanyakan negeri-negeri Islam. Apakah bermanfaat jika kita menyulut semangat kaum muslimin untuk menghadapi orang kafir padahal kita tidak memiliki “jihad wajib” yang diatur oleh imam yang bertanggung jawab yang telah dibaiat ?! Tidak ada gunanya perbuatan tersebut. Kami tidak berkata bahwa menolong orang-orang yang tertindas itu tidak wajib, akan tetapi kami mengatakan bahwa menyibukkan diri dengan politik bukan sekarang waktunya. Oleh karena itu, wajib atas kita untuk mengajak kaum muslimin kepada dakwah, untuk memahamkan mereka kepada Islam yang benar dan mendidik mereka dengan tarbiyah yang benar.

Adapun menyibukkan mereka dengan urusan-urusan emosional yang menyentil semangat, maka hal itu termasuk dalam hal-hal yang dapat memalingkan mereka dari kemantapan dalam memahami da’wah yang wajib ditegakkan oleh setiap muslim mukallaf, seperti memperbaiki aqidah, ibadah, dan akhlak. Dan hal itu termasuk fardhu ‘ain yang tidak bisa dimaklumi orang yang melalaikannya. Sedangkan urusan-urusan lain yang dinamakan pada saat ini dengan “fiqhul waqi” dan sibuk dengan urusan politik yang merupakan tanggung jawab ahlul halli wal aqdi, yang dengan kekuasaan mereka, mereka bisa mengambil manfaat dari hal yang demikian secara praktek. Adapun sebagian orang yang tidak memiliki kekuasaan, maka mengetahui politik dan menyibukkan mayoritas manusia dengan sesuatu yang penting daripada sesuatu yang lebih penting adalah termasuk sebagai hal-hal yang memalingkan mereka dari pengetahuan yang benar!.

Dan inilah yang kami rasakan sesungguhnya pada kebanyakan dari manhaj kelompok-kelompok dan jama’ah-jama’ah Islam pada saat ini. Dimana kami mengetahui bahwa sebagian mereka berpaling dari mengajari pemuda-pemuda muslim yang berkumpul disekitar da’i itu untuk belajar memahami aqidah, ibadah dan akhlak yang benar. Karena sebagian para da’i itu sibuk dengan urusan politik dan masuk ke parlemen-parlemen yang berhukum dengan selain apa-apa yang Allah turunkan!! Sehingga hal itu memalingkan mereka dari hal yang lebih penting dan mereka sibuk dengan hal-hal yang tidak penting dalam kondisi seperti sekarang ini.

Adapun tentang apa-apa yang termuat dalam pertanyaan yaitu tentang bagaimana seorang muslim berlepas diri dari dosa (tanggung jawab) atau bagaimana seorang muslim berperan serta dalam mengubah kenyataan yang pahit ini, maka kami katakan : Setiap muslim berkewajiban berbuat sesuai dengan kemampuannya masing-masing, seorang ulama mempunyai kewajiban yang berbeda dengan yang bukan ulama. Dan sebagaimana yang saya sebutkan dalam kesempatan seperti ini bahwa sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah menyempurnakan nikmat-Nya dengan kitab-Nya, dan dia menjadikan Al-Qur’an sebagai undang-undang bagi kaum mukminin. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

“Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahuinya”. [al-Anbiya/21 : 7]

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjadikan masyarakat Islam menjadi dua bagian yaitu orang yang berilmu dan yang bukan berilmu (awam). Dan Allah mewajibkan kepada masing-masing di antara keduanya apa-apa yang tidak Allah wajibkan kepada yang lainnya. Maka kewajiban atas orang-orang yang bukan ulama adalah hendaknya mereka bertanya kepada ahli ilmu. Dan kewajiban atas para ulama adalah hendaknya menjawab apa-apa yang ditanyakan kepada mereka. Maka kewajiban-kewajiban berdasarkan pijakan ini adalah berbeda-beda sesuai dengan perbedaan individu itu sendiri. Seorang yang berilmu pada saat ini kewajibannya adalah berda’wah mengajak kepada da’wah yang hak sesuai dengan batas kemampuannya. Dan orang yang bukan berilmu kewajibannya adalah bertanya tentang apa-apa yang penting bagi dirinya atau bagi orang-orang yang berada dibawah kepemimpinannya seperti istri, anak atau semisalnya. Sehingga apabila seorang muslim dari masing-masing bagian ini menegakkan kewajibannya sesuai dengan kemampuannya, maka dia telah selamat, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”. [Al-Baqarah/2 : 286].

Kami -dengan sangat prihatin- hidup ditengah-tengah penderitaan dan kejadian-kejadian tragis yang menimpa kaum muslimin yang tidak ada bandingannya dalam sejarah, yaitu berkumpul dan bersatunya orang-orang kafir memusuhi kaum muslimin, sebagaimana yang dikhabarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti dalam hadits beliau yang dikenal dan shahih.

تَدَاعَى عَلَيْكُمْ اْلأُمَمُ كَمَا تَدَاعَى الْأَكَلَةُ إِلَى قَصْعَتِهَا قَالُوْا : أَمَنْ قِلَّةٍ نَحْنُ يَوْمَئِذٍ يَا رَسُوْلَ اللَّهِ؟ قَالَ : لاَ، أَنْتُمْ يَوْمَئِذٍ كَثِيرٌ وَلَكِنَّكُمْ غُثَاءٌ كَغُثَاءِ السَّيْلِ، وَلَيُننَزِّ عَنَّ اللَّهُ الرَّهْبَةَ مِنْ صُدُورِ عَدُوِّكُمْ لَكُمْ، وَلَيُقْذِ فَنَّ فِي قُلُوبِكُمْ الْوَهْنَ، قَالُوْا : وَمَا الْوَهْنُ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ حُبُّ الدُّنْيَا وَكَرَاهِيَةُ الْمَوْتِ

“Telah berkumpul umat-umat untuk menghadapi kalian, sebagaimana orang-orang yang makan berkumpul menghadapi piringnya’. Mereka berkata : Apakah pada saat itu kami sedikit wahai Rasulullah ? Beliau menjawab : ‘Tidak, pada saat itu kalian banyak, tetapi kalian seperti buih di lautan, dan Allah akan menghilangkan rasa takut dari dada-dada musuh kalian kepada kalian, dan Allah akan menimpakan pada hati kalian penyakit Al-Wahn’. Mereka berkata : Apakah penyakit Al-Wahn itu wahai Rasulullah?. Beliau menjawab :’Cinta dunia dan takut akan mati”.[1]

Kalau begitu, maka wajib atas para ulama untuk berjihad dengan melakukan tashfiyah dan tarbiyah dengan cara mengajari kaum muslimin tauhid yang benar dan keyakinan-keyakinan yang benar serta ibadah-ubadah dana akhlak. Semuanya itu sesuai dengan kemampuannya masing-masaing di negeri-negeri yang dia diami, karena mereka tidak mampu menegakkan jihad menghadapi Yahudi dalam satu shaf (barisan) selama mereka keadaannya seperti keadaan kita pada saat ini, saling berpecah-belah, tidak berkumpul/bersatu dalam satu negeri maupun satu shaf (barisan), sehingga mereka tidak mampu menegakkan jihad dalam arti perang fisik untuk menghadapi musuh-musuh yang berkumpul/bersatu memusuhi mereka. Akan tetapi kewajiban mereka adalah hendaknya mereka memanfaatkan semua sarana syar’i yang memungkinkan untuk dilakukan, karena kita tidak memiliki kemampuan materi, dan seandainya kita mampu pun, kita tidak mampu bergerak, karena terdapat pemerintahan, pemimpin dan penguasa-penguasa dalam kebanyakan negeri-negeri kaum muslimin menjalankan politik yang tidak sesuai dengan politik syar’i, sangat disesalkan sekali. Akan tetapi kita mampu merealisasikan -dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala- dua perkara agung yang saya sebutkan tadi, yaitu tasfiyah (pemurnian) dan tarbiyah (pendidikan). Dan ketika para da’i muslim menegakkan kewajiban yang sangat penting ini di negeri yang menjalankan politiknya tidak sesuai dengan politik syar’i, dan mereka bersatu di atas asas ini (tasfiyah dan tarbiyah), maka saya yakin pada suatu hari akan terjadi apa yang Allah katakan :

وَيَوْمَئِذٍ يَفْرَحُ الْمُؤْمِنُونَ ﴿٤﴾ بِنَصْرِ اللَّهِ

“Dan di hari itu bergembiralah orang-orang yang beriman, karena pertolongan Allah”. [ar-Ruum/30: 4-5]

[Disalin dari buku At-Tauhid Awwalan Ya Du’atal Islam, edisi Indonesia TAUHID, Prioritas Pertama dan Utama, oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Penerjemah Fariq Gasim Anuz, Murajaah Zainal Abidin, Penerbit Darul Haq – Jakarta]
_______
Footnote
[1]. Hadits Shahih, diriwayatkan oleh Abu Daud (4297), Ahmad (5/287), dari hadits Tsaubah Radhiyallahu anhu, dan dishahihkan oelh Al-Albani dengan dua jalannya tersebut dalam As-Shahihah (958).

 

ASAS PERUBAHAN KEPADA PERBAIKAN ADALAH MANHAJ TASHFIYAH DAN TARBIYAH

ASAS PERUBAHAN KEPADA PERBAIKAN ADALAH MANHAJ TASHFIYAH DAN TARBIYAH
Oleh
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani

Oleh karena itu, kami selalu mendengungkan setiap saat dan selalu memfokuskan pada seputar dua point mendasar yang merupakan kaidah perubahan yang benar. Keduanya adalah Tashfiyah (pemurnian) dan Tarbiyah (pendidikan), kedua hal ini mesti berjalan bersama-sama sekaligus, yaitu tashfiyah dan tarbiyah.

Jika dalam suatu negeri terdapat suatu jenis dari tashfiyah, yaitu tashfiyah dalam hal aqidah, maka hal ini termasuk peristiwa yang sangat besar yang terjadi dalam masyarakat Islam yang merupakan bagian bangsa di antara bangsa-bangsa lain.

Adapun dalam hal ibadah, maka perlu membebaskan ibadah itu dari fanatik madzhab yang sempit dan berusaha kembali kepada sunnah yang shahih. Kadang-kadang terdapat ulama besar yang memahami Islam dengan pemahaman yang shahih dari segala sisi, tetapi saya tidak yakin bahwa ada satu, dua, tiga, sepuluh atau dua puluh orang saja mampu menegakkan kewajiban mengadakan tashfiyah (pemurnian) Islam dari setiap apa yang masuk ke dalamnya, baik dalam hal aqidah, ibadah atau akhlak. Sesungguhnya orang yang sedikit tidak akan mampu menunaikan kewajiban ini, yaitu kewajiban mengadakan tashfiyah (pemurnian) dari apa-apa yang melekat dengan Islam berupa hal-hal yang masuk ke dalam Islam (padahal sebenarnya bukan dari Islam) serta kita harus mendidik orang-orang di sekitar kita dengan tarbiyah (pendidikan) yang benar dan lurus, akan tetapi tashfiyah dan tarbiyah sekarang ini telah hilang.

Oleh karena itu, gerakan politik di masyarakat Islam manapun yang tidak berhukum dengan syari’at (Islam) akan menghasilkan dampak yang buruk sebelum kita merealisasikan dua masalah penting ini.

Adapun nasehat itu dapat menggantikan posisi gerakan politik di negeri manapun yang berhukum dengan syari’at, dengan cara musyawarah atau menyampaikan nasehat dengan cara yang lebih baik sesuai dengan batasan-batasan syar’i yang jauh dari bahasa pemaksaan atau pendiskriminatifan. Menyampaikan nasehat itu akan menegakkan hujjah dan membebaskan kita dari dosa.

Dan termasuk sebagai nasehat adalah kita menyibukkan manusia dengan apa-apa yang bermanfaat bagi mereka, dengan memperbaiki aqidah, ibadah, akhlak dan muamalah.

Sebagian mereka menduga bahwa kami ingin merealisasikan tarbiyah dan tashfiyah pada masyarakat Islam seluruhnya. Hal ini tidak pernah kami pikirkan dan impikan dalam tidur, karena merealisasikan hal itu adalah mustahil, dan karena Allah Azza wa Jalla berfirman dalam Al-Qur’an Karim.

وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً وَاحِدَةً ۖ وَلَا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ

“Jikalau Rabbmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat” [Hud/11: 118].

Firman Allah ini tidak akan terealisasi pada mereka kecuali apabila mereka memahami Islam dengan pemahaman yang benar dan mendidik diri mereka serta keluarga mereka dengan dan orang-orang disekitar mereka, di atas Islam yang benar ini.

[Disalin dari buku At-Tauhid Awwalan Ya Du’atal Islam, edisi Indonesia TAUHID, Prioritas Pertama dan Utama, oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Penerjemah Fariq Gasim Anuz, Murajaah Zainal Abidin, Penerbit Darul Haq – Jakarta]

 

DA’WAH MENGAJAK KEPADA AQIDAH YANG SHAHIH MEMBUTUHKAN USAHA YANG SUNGGUH-SUNGGUH DAN BERKELANJUTAN

Oleh
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani

Da’wah mengajak kepada tauhid dan menetapkan tauhid di dalam hati manusia mengharuskan kita tidak membiarkan melewati ayat-ayat tanpa perincian sebagai mana pada masa-masa awal. Demikian itu karena, yang pertama mereka memahami ungkapan-ungkapan bahasa Arab dengan mudah, dan yang kedua karena ketika itu tidak ada penyimpangan dalam hal aqidah yang muncul dari ilmu filsafat dan ilmu kalam yang bertentangan dengan aqidah yang lurus. Kondisi kita pada saat ini berbeda dengan kondisi kaum muslimin pada masa-masa awal. Maka tidak boleh kita menganggap bahwa da’wah mengajak kepada aqidah yang benar pada masa ini adalah mudah seperti keadaan masa-masa awal. Dan saya ingin mendekatkan hal ini dengan satu contoh yang dalam contoh ini dua orang tidak saling berselisih, Insya Allah, yaitu :

Diantara kemudahan yang dikenal ketika itu adalah bahwa para sahabat mendengar hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam secara langsung, kemudian para tabi’in mendengar hadits dari para sahabat secara langsung … demikianlah kami mendapati pada tiga generasi yang dipersaksikan memiliki kebaikan. Dan kami bertanya : Apakah ketika itu di sana terdapat suatu ilmu yang disebut dengan ilmu hadits ? Jawabannya “tidak”. Dan apakah ketika itu disana terdapat ilmu yang disebut ilmu Jarh wa ta’dil ? Jawabannya “tidak”. Adapun sekarang, seseorang penuntut ilmu mesti memiliki kedua ilmu ini, kedua ilmu ini termasuk fardhu kifayah. Hal itu agar seorang ‘alim pada saat ini mampu mengetahui suatu hadits apakah shahih atau dhaif. Maka urusannya tidaklah dianggap mudah sebagaimana urusan ini mudah bagi para sahabat, karena para sahabat mengambil hadits dari sahabat lainnya yang mereka itu telah dijamin dengan persaksian Allah Azza wa Jalla atas mereka … hingga masa akhir. Maka apa-apa yang ketika itu mudah, tidaklah mudah pada masa saat ini dari sisi kejernihan ilmu dan kepercayaan sumber pengambilan ilmu. Oleh karena itu, harus ada perhatian yang serius terhadap masalah ini sebagaimana mestinya berupa apa-apa yang sesuai dengan problem-problem yang mengitari kita sebagai kaum muslimin sekarang ini dimana problem ini tidak dimiliki oleh kaum muslimin generasi awal dari sisi kekotoran aqidah yang menyebabkan (terjadinya) problema-problema dan menimbulkan syubhat-syubhat dari ahli-hali bid’ah yang menyimpang dari aqidah yang shahih dan manhaj yang benar dengan nama yang bermacam-macam, diantaranya adalah seruan untuk mengikuti Al-Qur’an dan As-Sunnah menurut pemikiran mereka, sebagaimana diakui oleh orang-orang yang menisbahkan (diri) kepada ilmu kalam.

Dan ada baiknya di sini kami menyebutkan sebagian apa-apa yang terdapat dalam hadits shahih tentang hal ini, diantaranya adalah bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau menyebutkan tentang ghuraba’ (orang-orang yang asing) pada sebagian hadist-hadits tersebut, beliau bersabda :

لَلْوَاحِدِ مِنْهُمْ خَمْسُوْنَ مِنَ اْلآَجْرِ قَالُوْا : مِنَّا يَا رَسُوْلَ اللَّهُ أَوْ مِنْهُمْ؟ قَالَ : مِنكُمْ

Bagi satu orang di antara mereka lima puluh pahala’ Mereka (para sahabat) berkata (50 pahala) dari kami atau dari mereka ya, Rasulullah ? Beliau menjawab : ‘Dari kalian’ “. [1]

Dan ini termasuk dari hasil keterasingan yang sangat bagi Islam pada saat ini dimana keterasingan seperti itu tidak terjadi pada masa-masa generasi awal. Tidak diragukan lagi, bahwa keterasingan pada masa generasi awal adalah keterasingan antara kesyirikan yang jelas dan tauhid yang bersih dari segala noda, antara kekufuran yang nyata dari iman yang benar. Adapun sekarang ni problem yang terjadi adalah di antara kaum muslimin itu sendiri, kebanyakan dari mereka tauhidnya dipenuhi dengan noda syirik, dia memperuntukkan ibadah-ibadah kepada selain Allah dan dia mengaku beriman.

Permasalahan ini harus mendapat perhatian yang pertama. Dan yang kedua, tidak sepatutnya sebagian orang berkata : “Sesungguhnya kita harus berpindah kepada tahap yang lain selain tahap tauhid, yaitu kepada politik !!” Karena da’wah pertama dalam Islam adalah da’wah yang hak (yaitu da’wah mengajak kepada kebenaran) maka tidak sepatutnya kita berkata : “Kami adalah orang Arab dan Al-Qur’an turun dengan bahasa kami” Padahal perlu diingat bahwa orang Arab pada saat ini berbeda dengan orang arab ‘ajam yang memahami bahasa mereka sendiri. Hal ini menyebabkan jauhnya mereka dari kitab Rabb mereka dan sunnah Nabi mereka. Taruhlah bahwa kita ini orang Arab dan telah memahami Islam dengan pemahaman yang benar, tetapi tidak mengharuskan kita untuk berpolitik dan menggerakkan manusia dengan gerakan-gerakan politik serta menyibukkan mereka dengan politik, tetapi kewajiban mereka sekarang ini adalah memahami Islam dalam hal aqidah, ibadah, muamalah, dan akhlak !! Saya tidak yakin bahwa sekarang ini terdapat suatu bangsa yang terdiri dari jutaan orang telah memahami Islam dengan pemahaman Islam yang benar dalam hal aqidah, ibadah, dan akhlak, dan mereka telah terdidik atas hal tersebut.

[Disalin dari buku At-Tauhid Awwalan Ya Du’atal Islam, edisi Indonesia TAUHID, Prioritas Pertama dan Utama, oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Penerjemah Fariq Gasim Anuz, Murajaah Zainal Abidin, Penerbit Darul Haq – Jakarta]
_______
Footnote
[1]. Hadits Shahih : Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dalam Mu’jam Al-Kabir (10/225) No. 10394, dari hadits Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu. Dan hadits ini memiliki syahid dari hadits ‘Uqbah bin Ghazwan salah seorang sahabat Radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Al-Bazzar sebagaimana dalam Al-Zaqaid (7.282). Dan hadits ini pun memiliki syahid yang lain dari hadits Abu Tsa’labah Al-Khusyani Radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Abu Daud (4341). Dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah (494)