AHLUS SUNNAH MEMBOLEHKAN MELAKUKAN RUQYAH SYAR’IYYAH DAN MELARANG RUQYAH YANG ADA KESYIRIKAN DAN BID’AH [1]

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

Ar-ruqa’ (اَلرُّقَى) adalah bentuk jamak dari kata ruqyah (رُقْيَةٌ). Artinya adalah do’a perlindungan yang biasa dipakai sebagai jampi bagi orang sakit. Do’a itu bisa berasal dari Al-Qur-an atau As-Sunnah atau selain dari keduanya yang dikenal mujarab dan dibolehkan secara syar’i. Ruqyah dibolehkan dalam syari’at Islam berdasarkan hadits ‘Auf bin Malik Radhiyallahu anhu dalam Shahiih Muslim, ia berkata: “Di masa Jahiliyyah kami biasa melakukan ruqyah, lalu kami bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : ‘Bagaimana menurutmu, wahai Rasulullah?’ Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:

اِعْرِضُوْا عَلَيَّ رُقَاكُمْ، لاَ بَأْسَ بِالرُّقَى مَا لَمْ يَكُنْ فِيْهِ شِرْكٌ.

‘Tunjukkanlah kepadaku ruqyah kalian. Tidaklah mengapa ruqyah yang di dalamnya tidak mengandung syirik.’” [1]

Al-Khaththabi (wafat th. 388 H) rahimahullah berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memerintahkan melakukan ruqyah dan membolehkannya.”

Ada beberapa syarat yang harus terpenuhi dalam ruqyah yang dibolehkan:
1. Hendaklah ruqyah dilakukan dengan Kalamullaah (Al-Qur-an) atau Nama-Nya atau Sifat-Nya atau do’a-do’a shahih yang diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada penyakit tersebut.
2. Harus dilakukan dengan bahasa Arab.
3. Hendaklah diucapkan dengan makna yang jelas dan dapat difahami.
4. Tidak boleh ada sesuatu yang haram dalam kandungan ruqyah itu. Misalnya, memohon pertolongan kepada selain Allah, berdo’a kepada selain Allah, menggunakan nama jin atau raja-raja jin dan semacamnya.
5. Tidak bergantung kepada ruqyah dan tidak menganggapnya sebagai penyembuh.
6. Kita harus yakin bahwa ruqyah tidak berpengaruh dengan kekuatan sendiri, tetapi hanya dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala.[3]

Jika salah satu syarat tersebut tidak terpenuhi, maka ruqyah itu menjadi haram. Jika seseorang meyakini bahwa ruqyah itu sebagai subjek atau faktor yang berpengaruh mutlak, maka ia menjadi musyrik dengan tingkat syirik besar. Dan jika ia percaya bahwa ruqyah tersebut hanya merupakan faktor yang menyertai kesembuhan, maka ia akan menjadi musyrik dengan tingkat syi-rik kecil.

Atas dasar itu, maka ruqyah dapat dibagi menjadi dua bagian. Pertama: Ruqyah Syar’iyyah, yaitu ruqyah yang telah memenuhi syarat-syarat tersebut. Kedua: Ruqyah Bid’ah, yaitu ruqyah yang kehilangan salah satu syarat tersebut, yakni:

1. Tidak menggunakan bahasa Arab.[4]
2. Maknanya tidak jelas dan tidak bisa dipahami.
3. Mengandung unsur syirik, menggunakan nama jin atau raja jin, atau kata yang tidak bermakna, atau berupa huruf-huruf terpotong-potong dan semacamnya.
4. Jika ia percaya bahwa ruqyah itu mempengaruhi dengan kekuatannya sendiri, sekalipun ia telah memenuhi syarat-syarat tersebut. [5]

Ruqyah yang terbaik adalah dengan menggunakan ayat-ayat Al-Qur-an. Hal ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ ۙ وَلَا يَزِيدُ الظَّالِمِينَ إِلَّا خَسَارًا

“Dan Kami turunkan dari Al-Qur-an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al-Qur-an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zhalim selain kerugian.” [Al-Israa’: 82]

Kemudian menggunakan do’a-do’a dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih.

[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Po Box 7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan Ketiga 1427H/Juni 2006M]
_______
Footnote
[1]. Pembahasan ini dapat dilihat dalam kitab ar-Ruqaa ‘alaa Dhau-il ‘Aqiidah Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah oleh Dr. ‘Ali bin Nufayyi’ al-Ulyani, al-Madkhal li Diraa-satil ‘Aqiidah al-Islaamiyyah (hal. 151-152) dan Fat-hul Majiid Syarah Kitaabit Tauhiid.
[2]. HR. Muslim (no. 2200), dari Sahabat ‘Auf bin Malik al-Asyja’iy Radhiyallahu anhu.
[3]. Al-Madkhal li Diraasatil ‘Aqiidah al-Islamiyyah ‘alaa Madzhab Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (hal. 152), Fataawaa ‘Ulamaa’ fii ‘Ilaajis Sihri wal Massi wal ‘Ain wal Jaan (hal. 310) dikumpulkan oleh Nabil bin Muhammad Mahmud, cet. II-Daarul Qasim, th. 1421 H, dan lihat sebagian syarat ini di dalam Fat-hul Baari (X/195).
[4]. Penulis kitab al-Madkhal li Diraasatil ‘Aqiidah al-Islaamiyyah berpendapat bahwa ruqyah yang tidak menggunakan bahasa Arab adalah bid’ah, karena ruqyah adalah ibadah yang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah contohkan. Sebagian ulama berpendapat bolehnya ruqyah dengan bahasa lain apabila ia tidak bisa berbahasa Arab. Wallaahu a’lam.
[5]. Lihat al-Madkhal li Diraasatil ‘Aqiidatil Islaamiyyah ‘alaa Madzhab Ahlis Sunnah wal Jama’ah (hal 151-152). Tentang ruqyah syar’iyyah dapat dilihat pada buku saya, “Do’a dan Wirid, Mengobati Guna-Guna dan Sihir Menurut al-Qur-an dan as-Sunnah.”

Tinggalkan komentar