Tafsir AL-BAQARAH AYAT: 187 (Kapan Dibolehkan dan Dilarang Makan dan Minum di Bulan Ramadhan)

 

Pada ayat ini Allah ta’ala menerangkan tentang hal-hal yang dibolehkan di malam hari bagi orang yang berpuasa pada bulan Ramadhan, yang merupakan keringanan yang diberikan Allah kepada hamba-hambaNya, di mana sebelumnya (di awal-awal perintah berpuasa) kaum muslimin diperintahkan berpuasa dan mereka dilarang makan, minum dan berjima’ di malam-malam hari berpuasa setelah mereka tidur, lalu di antara mereka ada yang merasa kesulitan sehingga Allah Ta’ala menurunkan FirmanNya…

أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسُُ لَّكُمْ وَأَنتُمْ لِبَاسُُ لَّهُنَّ عَلِمَ اللهُ أَنَّكُمْ كُنتُمْ تَخْتَانُونَ أَنفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنكُمْ فَالْئَانَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَاكَتَبَ اللهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ اْلأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ اْلأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى الَّيْلِ وَلاَ تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللهِ فَلاَ تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللهُ ءَايَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ {187}


“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayatNya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.”(Al-Baqarah: 187).

Tafsir Ayat : 187

Pada awal-awal diwajibkannya puasa, kaum muslimin dilarang makan, minum dan berjima’ pada malam hari setelah tidur, lalu sebagian mereka merasa kesulitan dengan hal tersebut, kemudian Allah Ta’ala meringankan hal tersebut dengan membolehkan mereka pada malam hari Ramadhan semua perkara itu dari makan, minum maupun berjima’ baik setelah tidur maupun sebelumnya, karena mereka tidak dapat menahan nafsu mereka dengan cara meninggalkan beberapa hal yang mereka diperintahkan kepadanya, maka Allah Ta’ala { تَابَ } “mengampuni” { عَلَيْكُمْ } “kamu”, yaitu dengan melapangkan perkara itu bagi kalian dan sekiranya bukan karena kelapangan itu, pastilah akan menimbulkan dosa, [ وَعَفَا عَنكُمْ] “dan memberikan maaf kepadamu”, apa yang telah berlalu dari perkara tidak mampu menahan nafsu tersebut, { فَاْلآنَ } “maka sekarang” setelah adanya keringanan dan kelapangan dari Allah ini, { بَاشِرُوهُنَّ }“campurilah mereka” berjima’, mencium, menyentuh dan sebagainya, { وَابْتَغُوا مَاكَتَبَ اللهُ لَكُمْ } “dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu”, maksudnya, berniatlah untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala ketika mencampuri istri-istri kalian, dan maksud yang paling besar dari adanya jima’ tersebut adalah mendapatkan keturunan, menjaga kemaluannya dan kemaluan istrinya, dan juga memperoleh tujuan nikah.

Dan apa yang telah ditentukan oleh Allah atas kalian pada Lailatul Qadar yang bertepatan dengan malam-malam bulan puasa Ramadhan, maka seharusnya kalian tidaklah disibukkan oleh kenikmatan tersebut dari malam yang mulia itu dan tidak menyia-nyiakan malam tersebut, karena kenikmatan itu masih dapat diperoleh sedangkan Lailatul Qadar tidak diperoleh setiap waktu.

{ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ اْلأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ اْلأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ } “Dan makan dan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar” ini adalah batas waktu bagi makan, minum dan berjima’, juga apabila ia makan atau minum dengan perasaan ragu tentang terbitnya fajar, maka tidak apa-apa baginya, ayat ini juga merupakan sebuah dalil dianjurkannya sahur dengan adanya perintah dan dianjurkan untuk diakhirkan dengan dasar yang diambil dari arti keringanan dari Allah dan kemudahan yang diberikan olehNya untuk hamba-hambaNya, ayat ini juga sebagai dalil bolehnya meneruskan puasa ketika fajar telah datang sedang ia masih junub dari berbuat jima’ sedangkan ia belum mandi dan puasanya tetap sah, karena konsekuensi bolehnya berjima’ hingga terbitnya fajar, ia akan mendapati fajar dalam keadaan masih junub, dan konsekuensi kebenaran adalah benar, { ثُمَّ } “kemudian” apabila fajar telah terbit, maka { أَتِمُّوا الصِّيَامَ }“sempurnakanlah puasa itu”, yakni menahan diri dari hal-hal yang membatalkan, { إِلَى الَّيْلِ } “hingga malam” yaitu terbenamnya matahari. Dan ketika bolehnya berjima’ pada malam-malam puasa bukanlah secara umum bagi setiap orang, maka seorang yang beri’tikaf tidaklah halal baginya melakukan hal itu, yang telah dikecualikan dalam firmanNya, [ وَلاَ تباشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ “Janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid”, maksudnya, kalian sedang melakukan hal tersebut.

Ayat ini menunjukkan bahwa i’tikaf itu disyariatkan, dan i’tikaf itu adalah berdiam di masjid dalam rangka ketaatan kepada Allah Ta’ala dan memusatkan perhatian hanya kepadaNya, dan bahwasanya i’tikaf itu tidaklah sah kecuali dalam masjid. Dapat dipahami dari arti masjid di sini adalah masjid yang dipahami oleh mereka, yaitu yang didirikan di dalamnya shalat lima waktu, dan juga bahwa berjima’ itu adalah di antara pembatal ibadah i’tikaf.

Hal-hal yang telah disebutkan di atas itu seperti haramnya makan, minum, berjima’ dan semacamnya dari pembatal-pembatal puasa, dan haramnya berbuka karena suatu perkara yang bukan alasan syar’i, haramnya berjima’ bagi orang yang melakukan i’tikaf dan semacamnya di antara hal-hal yang diharamkan, { حُدُودُ اللهِ } “itulah larangan Allah” yang telah Allah tetapkan bagi hamba-hamba-Nya dan Dia larang darinya, kemudian Dia berfirman, [فَلاَ تَقْرَبُوهَا ] “Maka janganlah kamu mendekatinya” lebih kuat daripada perkataan “maka janganlah kamu melakukannya”, karena kata mendekati itu meliputi larangan dari mengerjakan hal yang diharamkan itu sendiri dan larangan dari sarana-sarana yang menyampaikan kepada hal tersebut.
Seorang hamba itu diperintahkan untuk meninggalkan hal-hal yang diharamkan dan menjauh darinya sejauh mungkin yang ia mampu, dan meninggalkan segala sebab yang mengajak kepadanya. Adapun tentang perintah-perintah, Allah berfirman padanya,“itulah ketentuan-ketentuan Allah, maka janganlah kamu melampaui batasnya”, Allah melarang dari bertindak melampaui batas padanya, {كَذلِكَ } “demikianlah” maksudnya, Allah menjelaskan kepada hamba-hambaNya berkenaan dengan hukum-hukum yang telah berlalu itu dengan penjelasan yang paling sempurna dan menerangkannya dengan keterangan yang paling jelas, [ يُبَيِّنُ اللهُ ءَ ايَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ] “Allah menerangkan ayat-ayatNya kepada manusia, supaya mereka bertakwa”, apabila kebenaran telah jelas bagi mereka, niscaya mereka akan mengikutinya, dan apabila kebatilan jelas bagi mereka niscaya mereka akan menjauhinya. Manusia terkadang melakukan hal yang diharamkan karena ketidaktahuannya bahwa hal tersebut adalah haram, namun bila ia mengetahui keharamannya pastilah tidak akan dilakukan, apabila Allah telah menjelaskan ayat-ayatNya kepada manusia, maka tidak ada lagi alasan dan hujjah bagi mereka dengan demikian, hal itu adalah faktor penyebab ketakwaan.

Pelajaran dari Ayat

  • Merupakan rahmat Allah terhadap hambaNya, karena telah menasakh (menghapus) hukum pertama (perintah puasa) kepada yang lebih ringan. Dimana diawal-awal perintah puasa adalah apabila mereka telah tidur, atau shalat isya di malam-malam bulan Ramadhan diharamkan atas mereka wanita (berjima’, menciuminya serta bercumbu dengannya), makan dan minum hingga terbenamnya matahari dihari berikutnya; kemudian Allah memberikan keringanan kepada mereka (dengan menurunkan ayat ini) dengan membolehkan hal-hal tersebut hingga waktu fajar.

  • Bolehnya berbicara dengan ucapan-ucapan yang mengarah kepada (jima’) antara suami istri ketika berpuasa, karena firman Allah ta’ala, “bercampur dengan istri-istri kamu”, yang dimaksud adalah berjima’. Dan hal itu di dukung dengan perbuatan nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan sabda beliau. diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, beliau berkata: “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mencium dan bercumbu ketika beliau tengah berpuasa, hanya saja beliau adalah orang yang paling kuat menahan nafsunya di antara kalian.” (HR. Bukhari, no hadits: 1927 dan Muslim, no hadits: 1106), demikian pula diriwayatkan dari Masruq rahimahullah, ia berkata, Aku bertanya kepada ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, “Apakah yang dihalalkan untuk seorang suami yang sedang berpuasa terhadap istrinya?” beliau menjawab, ‘Segala hal bisa ia lakukan kecuali berjima’. (HR Abdurrazzaq, no hadits: 8439, dengan sanad yang perawinya tsiqat).

  • Bolehnya seorang laki-laki bersenang-senang dengan istrinya dari sejak ia telah melakukan aqad nikah, sebagaimana ayat, “bercampur dengan istri-istri kamu”selama tidak menyelisihi syarat antara suami dan istri; karena sebagian orang mengira bahwa tidak boleh seseorang bersenang-senang dengan istrinya hingga aqad nikahnya diumumkan –hal ini adalah tidak benar-,

  • Bahwa seorang istri adalah penutup bagi suaminya demikian pula suami adalah penutup bagi istrinya, dan antara keduanya ada kedekatan yang erat, sebagaimana baju atau pakaian dengan pemakainya; dan dan juga menjaga kemaluan dan kehormatannya, sebagaimana ayat, “mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka”.

  • Penetapan bahwa Allah Ta’ala mengetahui apa-apa yang ada di dalam hati-hati manusia

  • Bahwa manusia sebagaimana ia dapat menghianati orang lain ia juga dapat menghianati dirinya sendiri, yang demikian itu bahwa apabila seseorang terjerumus dalam kemaksiatan kepada Allah maka hal tersebut adalah termasuk berhianat, dengan demikian hati adalah amanat baginya.

  • Penetapan sifat menerima taubat, dan memberi maaf bagi Allah Ta’ala

  • Penetapan adanya ‘Nash’ (penghapusan hukum) dalam islam, sebagai bantahan terhadap mereka yang mengingkari adanya nash ini. Dalam ayat ini sangat jelas disebutkan tentang nash, dalam firmanNya, ‘Maka sekarang campurilah mereka’, yang mana sebelum sekarang adalah tidak dihalalkan (untuk bercampur (jima’) dengan mereka).

  • Bolehnya bercumbu dengan istri secara muthlaq tanpa adanya taqyid (pengikat); yang dikecualikan darinya ‘menyetubuhi diduburnya, menyetubuhi ketika haid atau nifas’.

  • Hendaknya seseorang jika bersetubuh dengan pasangannya dengan niatan untuk memperoleh anak, walaupun demikian tidak ada larangan jika ia melakukannya hanya karena untuk memenuhi syahwatnya saja, hal tersebut tidaklah dilarang bahkan hal itu berpahala, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Dan di dalam kemaluan (bersetubuh) salah seorang diantara kalian (kepada istrinya) adalah sodaqah, mereka bertanya wahai rasulullah, apakah salah seorang diantara kami mendatangi istrinya (menunaikan syahwatnya) baginya pahala? Baliau menjawab ‘ya’; bukankah kalau seseorang menunaikan syahwatnya di tempat yang di haramkan atasnya dosa?, mereka menjawab, ya, beliau bersabda, maka demikian pula apabila ia menunaikannya di tempat yang halal, maka baginya pahala.” (HR. muslim).

  • Bolehnya makan, minum, dan berjima’ di malam hari bulan Ramadhan hingga telah jelas waktu fajar; sebagaimana, ayat: “Dan makan dan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar” . sebagian ulama berdalil dengan ayat tersebut dianjurkannya makan sahur, dan mengakhirkannya. Sebagaimana pula disebutkan dalam hadits rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,“Makan sahurlah kalian karena di dalam sahur itu terdapat barakah”, (HR. Bukhari, no 1923, dan Muslim, no 2549). Mengandung barakah dari 5 sisi, yaitu: karena mambantu ketaatan kepada Allah, bentuk pelaksanaan terhadap perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, mencontoh terhadap apa yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan karena dengan sahur telah mencukupinya dari berbagai makanan dan minuman di siang hari, serta karena makan sahur adalah pembeda antara puasanya kaum muslimin dan puasa kaum ahli kitab.

  • Bahwa seseorang jika telah nampak kepadanya waktu fajar sedang ia dalam keadaan melakukan jima’ kemudian ia mencabutnya ketika itu juga maka tidak ada kewajiban atasnya menqadha’ puasa, tidak pula membayar kafarat; karena ia memulai jima’nya di waktu yang dibolehkan. Akan tetapi jika ia tetap melanjutkan padahal telah jelas waktu fajar maka hukumnya haram, dan ia berkewajiban menqadha’ puasanya dan membayar kafarat, kecuali kalau ia tidak mengetahuinya (bahwa fajar telah terbit).

  • Bolehnya seorang yang berpuasa ketika telah masuk waktu subuh dalam keadaan junub, karena Allah Ta’ala membolehkan berjima’ hingga waktu fajar telah jelas, maka hal itu berkonsekwensi bahwa apabila seseorang melakukan jima’ mendekati waktu subuh (di akhir waktu di bolehkannya sahur) ia belum mandi janabah hingga setelah terbitnya fajar. Dan telah shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau memasuki waktu subuh sedang beliau dalam keadaan junub dari berjima’ dengan istrinya, kemudian beliau berpuasa. (Hr Bukhari, no. 1931, dan Muslim, no. 2589).

  • Bolehnya makan dan minum serta berjima’ sedang ia dalam keadaan ragu telah masuk waktu fajar atau belum; sebagaiman ayat, ‘hingga terang bagimu’. Maka jika ternyata setelah itu bahwa makan, minum atau jima’nya adalah terjadi setelah waktu fajar maka tidak mengapa (puasanya tetap sah) karena ketidaktahuannya.

  • Penjelasan tentang kesalahan sebagian para muadzin yang jahil, yang mana mereka melakukan adzan atau menyerukan ‘imsak’ sebelum waktu fajar (subuh) sebagai kehati-hatian (sebagaimana anggapan mereka); karena Allah Ta’ala membolehkan makan, minum dan jima’ hingga telah jelas masuk waktu fajar; demikian pula Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Bilal adzan di waktu malam (sebelum fajar) maka makan dan minumlah hingga kalian mendengar adzannya Ibnu Ummi Maktum; karena ia tidaklah adzan kecuali telah terbit fajar.”(Bukhari, no. 617, dan Muslim, no. 2536). Wallahu a’lam,
    • Apabila seseorang makan dan ia mengira bahwa fajar belum terbit, kemudian ternyata fajar telah terbit maka puasanya sah; karena telah diizinkan baginya untuk makan hingga jelas terbitnya fajar (waktu subuh), dan selama hal itu dalam waktu yang di bolehkan maka tidak ada konsekwensi dosa baginya, tidak pula ia berkewajiban mengganti atau sesuatu yang lainnya. Hal ini didukung oleh keumuman ayat, “Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami bersalah..”, (al-Baqarah : 286), dan firmanNya, “dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu.Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(al-Ahzab: 5). Dan pula masalah ini juga terdapat dalil khusus yaitu; perbuatan Ady bin Hatim radhiallahu a’nhu dimana ia meletakkan dua benang (tali) di bawah bantalnya, salah satunya berwarna putih dan yang lainnya berwarna hitam; lalu ia makan dan sahur hingga tampak jelas perbedaan benang putih dari benang hitamnya kemudian ia menahan (berpuasa); lalu ia mengabarkan hal itu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, kemudian rasulullah pun menjelaskan kepadanya apa yang di maksud dalam ayat itu, dan tidak memerintahkan kepada Ady bin Hatim untuk mengqadha puasanya. (Bukhari, no. 1916 dan Musli, no. 2533).

    • Terdapat isyarat adanya larangan melakukan puasa wishol, sesuai dengan ayat,“dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar”. Dan puasa wishol maksudnya adalah seseorang berpuasa dengan menyambung dua hari atau lebih secara keseluruhan tidak berbuka (makan atau minum) di antara keduanya; dahulu pernah puasa wishol ini diperbolehkan akan tetapi kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasalam melarangnya, beliau bersabda, “Siapa di antara kalian yang ingin menyambung (puasanya) maka sambunglah puasanya hingga waktu sahur” (Bukhari, no. 1963); di samping itu rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga sangat menganjurkan agar menyegerakan berbuka, beliau bersabda, “Senantiasa manusia dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka” (Bukhari, no. 1957, dan Muslim, no. 2554); dan hal ini dari sisi bahwa: ‘terkadang terdapat sesuatu yang dalam syariat diizinkan (diperbolehkan) akan tetapi hal itu tidaklah disyariatkan’; dan puasa wishol (menyambung puasanya) hingga waktu sahur adalah diperbolehkan akan tetapi tidak disyariatkan. Contoh yang lain mengenai hal itu, bersedekah atas nama mayit (yang meninggal) hal ini adalah perkara yang diperbolehkan akan tetapi tidak disyariatkan.

    • Bahwasanya fajar yang di anggap sebagai fajar shadiq adalah fajar yang muncul berbentuk seperti benang (putih) yang membentang di ufuk; dan para ahli ilmu menyebutkan bahwa antara fajar shadiq dan fajar kadzib terdapat tiga perbedaan, di antaranya:

      • Perbedaan pertama; Bahwa fajar shadiq adalah fajar yang cahayanya menyebar dan melintang dari selatan ke utara; adapun fajar kadzib adalah fajar yang cahayanya meninggi dan memanjang dari timur ke barat.

      • Perbedaan kedua; Bahwa fajar shadiq cahayanya bersambung dengan ufuk, adapun fajar kadzib adalah antara cahayanya dengan ufuk terpisah dengan kegelapan.

      • Perbedaan ketiga; bahwa fajar shadiq cahayanya membentang dan semakin bertambah; adapun fajar kadzib cahayanya semakin menghilang dan gelap.

    • Bahwa terangnya siang dan gelapnya malam adalah bergantian dan tidak berkumpul (dalam satu waktu).

    • Bahwa yang afdhal adalah bersegera untuk berbuka, sesuai ayat, “Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam”. Dan didukung pula dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana telah disebutkan di atas.

    • Bahwa puasa yang sesuai dengan syariat adalah dimulai dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari, sebagaiamana ayat, “Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam…”.

    • Demikian pula bahwa puasa yang sesuai dengan syariat adalah berhenti (habis waktunya) ketika telah datang malam (terbenamnya matahari), sebagaimana ayat tersebut juga, dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah menafsirkan ayat tersebut dengan sabdanya, “Apabila malam telah datang dari sini dan siang telah pergi dari sini dan matahari telah terbenam maka orang yang berpuasa telah berbuka”.(Bukhari, no. 1954, dan Muslim, no. 2558).

    • Terdapat isyarat akan di syariatkannya I’tikaf; karena Allah Ta’ala menetapkannya dan memberikan kepadanya ketetapan hukum. Dan firmanNya, “sedang kamu beri’tikaf dalam masjid.” Merupakan penjelasan tentang tempat (beri’tikaf), karena I’tikaf yang disyariatkan tidaklah akan terwujud kecuali di masjid-masjid.

    • Dan bahwa I’tikaf disyariatkan di setiap masjid; sebagaimana keumuman ayat tersebut, “sedang kamu beri’tikaf dalam masjid”. Tidak khusus pada tiga masjid saja seperti yang dikatakan (oleh sebagian orang); adapun hadits Hudzaifah, “Tidak ada I’tikaf kecuali di tiga masjid” (HR. Abdur Razzaq secara mauquf,dan Ath-Thahawi secara marfu’. Dan Syu’aib al-Arna’ut berkata dalam Tahqiq Misykalil Atsar riwayat yang memauqufkan sampai ke Hudzaifah adalah lebih shahih, lebih kuat dan lebih tetap), maksudnya adalah Masjidil Haram, Masjid an-Nabawi, dan Masjidil Aqsha. Maka jika haditsnya shahih maka yang dimaksud adalah I’tikaf yang sempurna. Jadi maksudnya (Tidak ada I’tikaf yang sempurna kecuali di tiga masjid), demikian.

    • Bahwa dzahirnya ayat menunjukkan bahwa I’tikaf sah di lakukan di setiap masjid –walaupun masjid tersebut tidak digunakan untuk shalat berjamaah- ; hal ini tidaklah benar ditinjau dari dua sisi:

      • Pertama; bahwa (AL) dalam kalimat (Al-Masajid) adalah lil ‘ahdi adz-dzihni (yaitu AL yang menunjukkan bahwa kalimat itu adalah sesuatu yang sudah dapat difahami maksudnya oleh orang yang mendengarnya) yang mana bahwa masjid yang dimaksud dalam ayat adalah masjid yang biasa didirikan di dalamnya shalat berjamaah (lima waktu).

      • Kedua; bahwa kalaupun boleh beri’tikaf di masjid yang tidak biasa didirikan didalamnya shalat berjamaah (lima waktu), maka hal itu mengharuskan salah satu dari dua hal, yaitu pertama, meninggalkan shalat berjama’ah (padahal hukumnya wajib) atau kedua, seringnya keluar masjid untuk mendapatkan shalat berjamaah di masjid lain, maka hal ini akan meniadakan makna I’tikaf itu sendiri atau manafikan kesempurnaannya.

    • Larangan bercumbu dan berjima’ dengan istrinya ketika I’tikaf.

    • Bahwa jima’ adalah membatalkan I’tikaf; dan sisi pendalilan bahwa bersetubuh adalah sebagai pembatal I’tikaf adalah karena perbuatan tersebut dilarang dengan mengkhususkannya; dan sesuatu apabila pelarangannya khusus terhadapnya dalam ibadah maka hal itu menjadi pembatalnya.

    • Sebagian ahli ilmu menyimpulkan bahwa i’tikaf adalah dilakukan di bulan Ramadhan yaitu di akhir-akhir bulan; karena Allah Ta’ala menyebutkan hukum I’tikaf di akhir-akhir ayat tentang puasa; dan hal itu pulalah yang di jelaskan dalam sunnah. Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak beri’tikaf kecuali di sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan ketika di katakan kepada beliau bahwa, “Sesungguhnya malam lailatul qadar itu berada di sepuluh malam terakhir”. Dan pernah beliau beri’tikaf di sepuluh hari pertama dan sepuluh hari yang pertengahan mencari malam lailatul qadar, dan ketika dikatakan kepada beliau bahwa malam itu berada di sepuluh hari terakhir maka beliau meninggalkan I’tikaf di sepuluh pertama dan pertengahan. (Bukhari, no. 2016, dan Muslim, no. 2771).

    • Bahwa perintah-perintah Allah adalah merupakan batasan-batasan bagiNya.

    • Bahwa merupakan keharusan untuk menjauhi hal-hal yang diharamkan.

    • Bahwa Allah Ta’ala menjelaskan kepada manusia ayat-ayat kauniyah (yang berupa ciptaan) dan ayat-ayat syar’iyyah (yaitu berupa wahyu-wahyu yang diturunkan kepada para RasulNya).

    • Dari ayat tersebut dapat di ambil pelajaran pula bahwa ilmu adalah merupakan penyebab ketaqwaan, sesuai ayat, “supaya mereka bertakwa.” Setelah Allah berfirman, “Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayatNya kepada manusia”. Maka semakin banyak seseorang ilmunya tentang ayat-ayat Allah maka semakin bertambah pula ketaqwaannya, sehingga dikatakan, “Barangsiapa lebih mengetahui tentang Allah maka ia akan semakin lebih takut kepadaNya.”

    • Tingginya kedudukan taqwa, yang mana ayat-ayat tersebut menjelaskan bagi manusia untuk tujuan agar mereka sampai kepada derajat taqwa. Demikian wallahu a’lam.

    Dikumpulkan oleh: Abu Thalhah Andri Abdul Halim
    Sumber Rujukan : 
    1. Aisar Tafasir oleh Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Maktabah al-Ulum wa al-Hikmah
    2. Tafsir al-Quran al-Karim oleh Syaikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin, Dar Ibnul Jauzi.
    3. Taisir al-Karim ar-Rahman (tafsir as-Sa’di)

2 thoughts on “Tafsir AL-BAQARAH AYAT: 187 (Kapan Dibolehkan dan Dilarang Makan dan Minum di Bulan Ramadhan)

  1. apakah ada tafsir lain tentang fajar shadiq dan fajar kadzib?hal ini berkaitan dengan waktu puasa di daerah yang waktu terang dan gelapnya tidak teratur misal daerah kutub. yang pernah saya baca adalah ijtihad ulama yang menyamakan waktu puasa dengan negara terdekat atau dengan Mekkah dan madinah.apa ada penjelasan hadits Rasullullah S.A.W tentang masalah ini?

    • Untuk Waktu sholat di daerah kutubm hal ini sudah pernah diranyakan sahabat kepada Eosulullah ,

      قلنا: يا رسول الله، وما لُبْثُه في الأرض؟أي الدجال- قال: ” أربعون يومًا، يومٌ كسنةٍ، ويومٌ كشهرٍ، ويومٌ كجمعةٍ..:. إلى أن قال: قلنا: يا رسول الله، هذا اليوم كسنة أتكفينا فيه صلاة يوم وليلة؟ قال: “لا، اقْدُرُوا له قَدْرَه). أخرجه مسلم وأبو داود

      “Wahai Rasul, bagaimana dengan daerah yang satu harinya (sehari-semalam) sama dengan satu tahun, apakah cukup dengan sekali shalat saja”. Rasul menjawab “tidak… tapi perkirakanlah sebagaimana kadarnya (pada hari-hari biasa)”. [HR. Muslim]

      Adapun penjelasan lengkapnya sebagai berikut :

      Adapun mengenai penentuan waktu shalat didaerah yang secara geografis adalah daerah abnormal/kutub, ada beberapa pendapat mengenai tata cara penentuan waktu shalat di daerah tersebut:
      1. Pendapat yang mengatakan untuk daerah yang sama sekali tidak diketahui waktu fajar dan maghribnya, seperti daerah kutub (utara dan selatan), penentuan waktu shalat dengan cara mengira-kira waktu sesuai dengan keadaan normal, karena pergantian malam dan siang terjadi enam bulan sekali, maka waktu sahur dan berbuka juga menyesuaikan dengan daerah lain seperti diatas. Jika di Mekkah terbit fajar pada jam 04.30 dan maghrib pada jam 18.00, maka mereka juga harus memperhatikan waktu itu dalam memulai puasa atau ibadah wajib lainnya.[2]

      وذلك قياسًا على التقدير الوارد في حديث الدجال الذي جاء فيه: قلنا: يا رسول الله، وما لُبْثُه في الأرض؟أي الدجال- قال: ” أربعون يومًا، يومٌ كسنةٍ، ويومٌ كشهرٍ، ويومٌ كجمعةٍ..:. إلى أن قال: قلنا: يا رسول الله، هذا اليوم كسنة أتكفينا فيه صلاة يوم وليلة؟ قال: “لا، اقْدُرُوا له قَدْرَه). أخرجه مسلم وأبو داود

      Fatwa ini didasarkan pada Hadis Nabi SAW menanggapi pertanyaan Sahabat tentang kewajiban shalat di daerah yang satu harinya menyamai seminggu atau sebulan atau bahkan setahun. “Wahai Rasul, bagaimana dengan daerah yang satu harinya (sehari-semalam) sama dengan satu tahun, apakah cukup dengan sekali shalat saja”. Rasul menjawab “tidak… tapi perkirakanlah sebagaimana kadarnya (pada hari-hari biasa)”. [HR. Muslim]
      Dan demikianlah halnya kewajbaan -kewajiban yang lain seperti puasa, zakat dan haji.
      2. Pendapat yang mengatakan bahwa penentuan waktu shalat di daerah abnormal (kutub) mengikuti daerah normal terdekat.
      Jika siklus pergantian siang dan malam sudah lebih dari 24 jam, misalnya waktu malam berlangsung hingga tiga hari seminggu atau sebulan demikian juga siangnya seperti yang terjadi di daerah dekat kutub. Maka ketika itu kita dibolehkan mengkuti daerah terdekat yang siklus pergantian siang dan malamnya bekisar 24 jam.[3]
      Hal ini diperkuat oleh pendapat Wahbah Zuhaily dalam kitabnya Al-fiqhul Islami wa adillatuhu yang menyatakan bahwa dimana daerah yang mengalami perubahan waktu malam terus atau waktu siang terus maka waktu shalatnya adalah mengikuti daerah terdekat. [4]

      وأجمع المسلمون على أن الصلوات الخمس مؤقتة بمواقيت معلومة محدودة، ثبتت في أحاديث صحاح جياد، وتجب الصلاة بأول الوقت وجوباً موسعاً إلى أن يبقى من الوقت ما يسعها فيضيق الوقت حينئذ. وفي المناطق القطبية ونحوها يقدرون الأوقات بحسب أقرب البلاد إليهم، أو بميقات مكة المكرمة

      3. Dalam buku Fiqh As-Sunnah, Sheikh Sayyed Sabiq mengatakan:

      التقدير في البلاد التي يطول نهارها ويقصر ليلها : اختلف الفقهاء في التقدير ، في البلاد التي يطول نهارها ، ويقصر ليلها ، والبلاد التي يقصر نهارها ، ويطول ليلها ، على أي البلاد يكون ؟ فقيل : يكون التقدير على البلاد المعتدلة التي وقع فيها التشريع ، كمكة والمدينة ، وقيل : على أقرب بلاد معتدلة إليهم[5]
      Para Ulama berbeda pendapat tentang penentuan waktu yang berada di daerah di mana hari sangat panjang dan malam sangat pendek. Waktu mana yang harus mereka ikuti? Ada yang mengatakan mereka harus mengikuti norma-norma dari daerah di mana hukum Islam itu disyariatkan (yaitu Mekah atau Madinah). Sedangkan yang lain mengatakan bahwa mereka harus mengikuti timing dari daerah yang normal terdekat dengan mereka dalam hal hari dan malam.

      4. Dari penggalan paragraf di atas disimpulkan bahwa sebagian ulama berpendapat agar mengikuti waktu Makkah atau Madinah, dan sebagian berpendapat mengikuti daerah yang normal terdekat (aqrabul balad).
      Lebih spesifik lagi, dalam sidang yang diadakan oleh رابطة العالم الإسلامي yaitu melalui keputusan مجلس المجمع الفقهي الإسلامي dalam sidang yang dilaksanakan di Makkah pada tanggal 6 Rajab 1406 H, berkaitan dengan pembahasan mengenai waku shalat dan puasa bagi daerah yang abnormal (times for prayers and fasting at extreme latitudes) ditetapkan hal-hal sebagai berikut:

      [6]. تقسم المناطق ذات الدرجات العالية إلى ثلاثة أقسام
      المنطقة الأولى: وهي التي تقع ما بين خطي العرض (45ْ) درجة و(48ْ) درجة شمالاً وجنوباً، وتتميز فيه العلامات الظاهرة للأوقات في أربع وعشرين ساعة طالت الأوقات أو قصرت.
      المنطقة الثانية: وتقع ما بين خطي عرض (48ْ) درجة و(66ْ) درجة شمالاً وجنوباً، وتنعدم فيها بعض العلامات الفلكية للأوقات في عدد من أيام السنة، كأن لا يغيب الشفق الذي به يبتدئ العشاء وتمتد نهاية وقت المغرب حتى يتداخل مع الفجر.
      المنطقة الثالثة: وتقع فوق خط عرض (66ْ) درجة شمالاً وجنوباً إلى القطبين، وتنعدم فيها العلامات الظاهرة للأوقات في فترة طويلة من السنة نهاراً أو ليلاً.
      Kawasan yang abnormal / ekstrim di bagi menjadi tiga yaitu:
      1. Kawasan I yang terletak antara 45-48 derajat LU-LS, dimana fenomena astronomi (rotasi) yang dibutuhkan adalah tidak lebih dari 24 jam.
      2. Kawasan II yang terletak antara 48-66 derajat LU-LS, dimana fenomena astronomi tidak muncul selama beberapa hari dalam setahun seperti tidak hilangnya mega (senja) ketika masuknya waktu isya, dan tidak hilangnya batas waktu maghrib sampai masuknya waktu fajar.
      3. Kawasan I yang terletak antara 66-up derajat LU-LS, dimana tidak muncul tanda-tanda rotasi matahari dan memanjangnya waktu siang atau waktu malam sampai berbulan-bulan.

      Dengan melihat fenomena alam di atas, maka مجلس المجمع الفقهي الإسلامي memfatwakan :
      والحكم في المنطقة الأولى: أن يلتزم أهلها في الصلاة بأوقاتها الشرعية، وفي الصوم بوقته الشرعي من تبيّن الفجر الصادق إلى غروب الشمس عملاً بالنصوص الشرعية في أوقات الصلاة والصوم، ومن عجز عن صيام يوم أو إتمامه لطول الوقت أفطر وقضى في الأيام المناسبة.
      والحكم في المنطقة الثانية أن يعيّن وقت صلاة العشاء والفجر بالقياس النسبي على نظيريهما في ليل أقرب مكان تتميّز فيه علامات وقتي العشاء والفجر، ويقترح مجلس المجمع خط (45ْ) باعتباره أقرب الأماكن التي تتيسر فيها العبادة أو التمييز، فإذا كان العشاء يبدأ مثلاً بعد ثلث الليل في خط عرض (45ْ) درجة يبدأ كذلك بالنسبة إلى ليل خط عرض المكان المراد تعيين الوقت فيه، ومثل هذا يقال في الفجر.
      والحكم في المنطقة الثالثة أن تقدر جميع الأوقات بالقياس الزمني على نظائرها في خط عرض (45ْ) درجة، وذلك بأن تقسم الأربع والعشرين ساعة في المنطقة من (66ْ) درجة إلى القطبين، كما تقسم الأوقات في خط عرض (45ْ) درجة[7]

      1.Hukum kawasan I : dalam menentukan waktu shalat hendaknya penduduk di daerah menyesuaikan dengan waktu-waktu yang disyariatkan (mengikuti peredaran matahari), begitu pula dengan waktu berpuasa dimulai dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari. Dan barang siapa yang tidak mampu menyelesaikan ibadah puasanya karena terlalu panjang waktu siangnya, maka boleh berbuka dan menggantinya pada waktu yang lain.
      2. Hukum kawasan II: waktu shalat isya dan fajar adalah dianalogikan dengan waktu terdekat, dan مجلس المجمع mengusulkan agar disamakan dengan waktu pada daerah 45 derajat. Misalnya jika waktu isya dimulai setelah 1/3 malam pada daerah 45 derajat, maka waktu isya dalam kawasan kedua ini juga dimulai setelah 1/3 malam. Begitu juga dalam menentukan waktu fajar.
      3. Hukum kawasan III : penentuan waktu shalat dikira-kirakan dengan waktu pada kawasan I (45 derajat). Oleh karena itu, dalam penentuan waktu shalat pada kawasan ini, harus dikira-kirakan kapan waktu fajar, shubuh, asar, dzuhur, maghrib, dan isya’ dengan kondisi pada kawasan I. artinya tidak mengikuti pergerakan matahari, tetapi mengikuti pergerakan jam.

      D. Kesimpulan
      Bagi dearah yang abnormal dan ekstrim (seperti di kutub dimana siang dan malam masing-masing terjadi selama 6 bulan) maka dalam melaksanakan kewajiban shalat 5 waktu dan juga puasa dapat diperincikan sebagai berikut:
      1. Hukum kawasan I (45-48 derajat LU-LS) Dalam menentukan waktu shalat hendaknya penduduk di daerah menyesuaikan dengan waktu-waktu yang disyariatkan (mengikuti peredaran matahari), begitu pula dengan waktu berpuasa dimulai dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari. Dan barang siapa yang tidak mampu menyelesaikan ibadah puasanya karena terlalu panjang waktu siangnya, maka boleh berbuka dan menggantinya pada waktu yang lain.
      2. Hukum kawasan II (48-66 derajat LU-LS ) Waktu shalat isya dan fajar adalah dianalogikan dengan waktu terdekat, dan مجلس المجمع mengusulkan agar disamakan dengan waktu pada daerah 45 derajat. Misalnya jika waktu isya dimulai setelah 1/3 malam pada daerah 45 derajat, maka waktu isya dalam kawasan kedua ini juga dimulai setelah 1/3 malam. Begitu juga dalam menentukan waktu fajar.
      3. Hukum kawasan III (66-up derajat LU-LS) Penentuan waktu shalat dikira-kirakan dengan waktu pada kawasan I (45 derajat). Sederhananya bisa dikira-kira berapa jam jarak antara Shubuh – Dhuhur – Ashar – Maghrib – Isya’.
      Sedangkan pendapat lainnya penentuan waktu shalat didasarkan pada daerah terdekat atau disesuaikan dengan Makkah dan Madinah (Fiqh Sunnah, Sayyid Sabiq)
      Wallahu A’lam bi shawab

Tinggalkan komentar