Oleh
Wahid bin Abdissalam Baali
[1]. Al-Hafizh rahimahullah mengungkapkan: Firman Allah Ta’ala.
“Artinya : Sesungguhnya kami hanyalah cobaan (bagimu), karena itu janganlah kamu kufur.” [Al-Baqarah: 102]
Di dalam firman-Nya ini terdapat isyarat yang menunjukkan bahwa mempelajari sihir adalah kufur.” [1]
[2]. Ibnu Qudamah ra mengatakan: “Belajar dan mengajarkan sihir adalah haram. Dalam hal itu kami tidak melihat adanya perbedaan pendapat diantara para ulama. Para sahabat kami [2] mengatakan, ‘Dikafirkan bagi tukang sihir untuk mempelajari dan mengerjakannya, baik dia yakin keharamannya atau kebolehannya”[3]
[3]. Abu ‘Abdillah ar-Razi mengatakan: “Mengetahui sihir itu bukan suatu hal yang buruk dan tidak juga dilarang. Para muhaqqiq telah bersepakat dalam masalah tersebut, karena pengetahuan itu sendiri pada hakikatnya adalah mulia. Dan karena adanya keumuman firman Allah Ta’ala:
“Artinya : Katakanlah hai Muahammad, ‘Apakah sama orang-orang yang mengetahui dan orang-orang yang tidak mengetahui?’” [Az-Zumar: 9]
Dan karena sihir, jika tidak diketahui, maka tidak mungkin dibedakan dari mukjizat. Sedangkan pengetahuan tentang pemberi mukjizat (Allah) adalah suatu hal yang wajib, apabila suatu kewajiban bergantung kepada sesuatu, maka sesuatu itu adalah wajib. Sesuatu yang berhukum wajib, bagaimana akan bisa dikatakan haram dan buruk?”[4]
[4]. Al-Hafizh Ibnu Katsir mengatakan: “Apa yang disampaikan ar-Razi masih perlu ditinjau dari beberapa sisi, yaitu:
Pertama: Ucapannya, bahwa mengetahui sihir bukan suatu hal yang buruk, jika yang dimaksudkan tidak buruk itu menurut akal, maka penentangnya dari kaum mu’tazilah telah menyanggah hal tersebut. Jika yang dimaksudkan (dengan) tidak buruk itu menurut syari’at, maka terkandung di dalam ayat yang mulia ini:
“Artinya : Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman…” [Al-Baqarah :102]
Di mana ayat tersebut memuat kecaman bagi upaya mempelajari sihir. Dalam hadits shahih juga disebutkan.
“Barang siapa mendatangi peramal atau dukun, maka dia telah kufur terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad.”[5]
Dan dalam beberapa kitab Sunan disebutkan
“Artinya : Barangsiapa mengikat suatu ikatan dan barangsiapa yang meniupnya, berarti dia telah melakukan sihir”
Kedua: Demikian juga dengan ucapannya: “…dan tidak juga dilarang. Para muhaqqiq telah bersepakat dalam masalah tersebut.” bagaimana tidak dilarang, padahal telah terdapat ayat dan hadits sebagaimana kami sebutkan di atas. Dan kesepakatan para muhaqqiq menuntut ditetapkannya hal tersebut oleh para ulama atau mayoritas dari mereka. Lalu manakah nash mereka mengenai hal tersebut? Selanjutnya, memasukkan sihir ke dalam keumuman firman Allah Ta’ala.
“Artinya : Katakanlah (hai Muhammad) , ‘Apakah sama orang-orang yang mengetahui dan orang-orang yang tidak mengetahui’” [Az-Zumar : 9], masih terdapat catatan, karena ayat ini sebenarnya menunjukkan pujian terhadap orang-orang yang berilmu dengan ilmu syari’at.
Mengapa anda tidak mengatakan bahwa sihir itu termasuk darinya, lalu anda menaikkannya menjadi wajib dalam mempelajarinya, dengan alasan bahwa pengetahuan mengenai mukjizat iitu tidak mungkin diperoleh kecuali dengan mengetahui ilmu sihir. Yang demikian itu merupakan alasan, yang lemah, bahkan menyimpang, karena mukjizat terbesar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah al-Qur’an yang agung, yang tidak mungkin diserang oleh kebathilan, baik dari arah depan maupun belakang, itulah kitab yang diturunkan dari Rabb yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji. Kemudian untuk mengetahui bahwa Dia adalah Pemberi mukjizat, pada dasarnya tidak lain harus bergantung pada pengetahuan terhadap ilmu sihir.
Selanjutnya, perlu diketahui pula bahwa para sahabat dan tabi’in, serta para imam dan orang-orang awam dari kalangan kaum muslimin telah mengetahui mukjizat dan bisa membedakan antara mukjizat dan yang lainnya. Dan mereka tidak mengetahui sihir serta tidak juga mempelajari dan mengajarkannya. Wallaahu a’lam.[6]
Di dalam kitab al-Bahrul Muhiith, Abu Hayan mengatakan: “Adapun hukum belajar sihir, jika diantara sihir itu dimaksudkan untuk mengagungkan selain Allah, seperti bintang-bintang dan syaitan, juga menambahkan apa yang telah diberitahukan oleh Allah, maka menurut kesepakatan ijma’ adalah kufur, tidak boleh mempelajarinya dan tidak juga mengamalkannya. Demikian juga jika mempelajarinya dimaksudkan untuk menumpahkan darah serta memisahkan pasangan suami-istri atau persahabatan. Adapun jika tidak diketahui mengandung beberapa hal di atas, tetapi ada kemungkinannya, maka yang jelas hal tersebut tidak dibolehkan untuk mempelajari dan mengamalkannya. Sedangkan yang termasuk jenis pengelabuan, hipnotis dan sulap, maka tidak perlu mengetahuinya, karena ia merupakan bagian dari kebathilan. Dan jika dimaksudkan hanya untuk permainan dan hiburan orang-orang melalui kecepatan tangannya, maka hal itu dimakruhkan.”[7]
Dapat saya katakan: “Perkataan itu merupakan ungkapan yang sangat baik, dan hal itu pula yang seharusnya menjadi sandaran dalam masalah tersebut.”
[Disalin dari kitab Ash-Shaarimul Battaar Fit Tashaddi Lis Saharatil Asyraar edisi Indonesia Sihir & Guna-Guna Serta Tata Cara Mengobatinya Menurut Al-Qur’an Dan Sunnah, Penulis Wahid bin Abdissalam Baali, Terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi’i]
__________
Foote Note
[1]. Faat-hul Baari (X/225).
[2]. Yakni, para penganut madzhab Hambali.
[3]. Al-Mughni (X/106).
[4]. Dinukil dari Tafsiir Ibnu Katsir (I/145).
[5]. Diriwayatkan oleh perawi yang empat (Abu Dawud, at-Tirmidzi,an-Nasa’i, dan Ibnu majah) dan al Bazzar dengan sanad-sanad yang hasan dengan lafazh: “Lalu dia membenarkannya.” Dan juga diriwayatkan oleh Imam Muslim dengan menggunakan lafazh: “ Lalu dia membenarkannya, maka shalatnya tidak akan di terima selama empat puluh hari.”
[6]. Dinukil dari Tafsiir Ibnu Katsir (I/145).
[7]. Dinukil dari Rawaa-i’ul Bayaan (I/85).
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.