BAB III : EMPAT PINTU MASUK MAKSIAT (Bag II : Al Khothorot / pikiran yang melintas dibenak ).


2- Al Khothorot ( pikiran yang melintas di

benak ).

 

Adapun “Al Khothorot” ( pikiran yang terlintas dibenak ) maka urusannya lebih sulit. Di sinilah tempat dimulainya aktifitas, yang baik ataupun

yang buruk. Dari sinilah lahirnya keinginan ( untuk melakukan sesuatu ) yang akhirnya berubah manjadi tekad yang bulat. Maka barang siapa yang mampu mengendalikan pikiran pikiran yang melintas di benaknya,

niscaya dia akan mampu mengendalikan diri dan menundukkan hawa nafsunya. Dan orang yang tidak bisa mengendalikan pikiran pikirannya, maka hawa nafsunyalah yang berbalik menguasainya.

Dan barang siapa yang menganggap remeh pikiran pikiran yang melintas di benaknya, maka tanpa dia inginkan ia akan terseret pada kebinasaan.

Pikiran pikiran itu akan terus melintas di benak

dan di dalam hati seseorang, sehingga ahirnya dia

akan manjadi angan angan tanpa makna (palsu ).

“Laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang

disangka air oleh orang orang yang dahaga, tetapi

bila ia mendatanginya maka ia tidak

mendapatkannya walau sedikitpun, dan

didapatinya (ketetapan ) Allah di sisiNya, lalu Allah

memberikan kepadanya perhitungan amalnya

dengan cukup, dan Allah adalah sangat cepat

perhitunganNya.” ( QS. An Nur, 39 ).

Orang yang paling jelek cita citanya dan paling

hina adalah orang yang merasa puas dengan

angan angan kosongnya. Dia pegang angan angan

itu untuk dirinya dan dia pun merasa bangga

dengan senang dengannya. Padahal demi Allah,

angan angan itu adalah modal orang orang yang

pailit, dan barang dagangan para pengangguran

serta merupakan makanan pokok bagi jiwa yang

kosong, yang bisa merasa puas dengan gambaran

gambaran dalam hayalan, dan angan angan palsu.

 

Seperti dikatakan oleh seorang penyair :

– Angan angan untuk mendapatkan su’da, dapat

mengholangkan dahaga. Dengan angan angan itu

Su’da telah berhasil memberikan pada kita air

dingin di kala haus.

– Angan angan yang sekiranya dapat menjadi

kenyataan, tentu menjadi kebahagiaan, dan

kalaupun tidak, maka sesungguhnya kita hidup

senang beberapa waktu dengan angan angan itu.

Angan angan adalah sesuatu yang sangat

berbahaya bagi manusia. Dia lahir dari sikap

ketidakmampuan sekaligus kamalasan, dan

melahirkan sikap lalai yang selanjutnya

penderitaan dan penyesalan. Orang yang hanya

mendapatkan realita yang diinginkannya – sebagai

pelampiasannya, maka dia merubah gambaran

realita yang dia inginkan kedalam hatinya ; dia

akan mendekap dan memeluknya erat erat.

Selanjutnya dia akan merasa puas dengan

gambaran gambaran palsu yang dihayalkan oleh

pikirannya.

Padahal itu semua, sedikitpun tidak akan

membawa manfaat, sama seperti orang yang

sedang lapar dan haus, membayangkan gambaran

makanan dan minuman, namun dia tidak dapat

memakan dan meminumnya.

Perasaan tenang dan puas dengan kondisi

semacam ini dan berusaha untuk memperolehnya,

jelas menunjukkan betapa jelek dan hinanya jiwa

seseorang, sebab kemuliaan jiwa seseorang,

kebersihan, kesucian dan ketinggiannya tidak lain

adalah dengan cara membuang jauh jauh setiap

pikiran pikiran yang jauh dari realita, dan dia tidak

rela bila hal hal tersebut sampai melintas di

benaknya, serta dia juga tidak sudi hal itu terjadi

pada dirinya.

 

Kemudian “khothorot” atau ide, pikiran yang

melintas di benak itu mempunyai banyak macam,

namun pada pokoknya ada empat :

1. pikiran yang orientasinya untuk mencari

keuntungan dunia / materi.

2. Pikiran yang orientasinya untuk mencegah

kerugian dunia/ materi.

3. Pikirang yang orientasinya untuk mencari

kemaslahatan akhirat.

4. Pikiran yang orientasinya untuk mencegah

kerugian akhirat.

Idealnya, seorang hamba hendaklah menjadikan

pikiran pikiran, ide ide dan keinginannya hanya

berkisar pada empat macam di atas. Bila kesemua

bagian itu ada padanya, maka selagi mungkin

dipadukan, hendaklah dia tidak mengabaikannya

untuk yang lain. Kalau ternyata pikiran pikiran

yang datang itu banyak dan bertumpang tindih,

maka hendaklah dia mendahulukan yang lebih

penting, yang dihawatirkan akan kehilangan

kesempatan untuk itu, kemudian mengahirkan

yang tidak terlalu penting dan tidak dihawatirkan

kehilangan kesempatan untuk itu.

 

Yang tersisa sekarang adalah dua bagian lagi,

yaitu :

Pertama : yang penting dan tidak dikhawatirkan

kehilangan kesempatan untuk melakukannya.

 

Kedua : yang tidak penting, namun dihawatirkan

kehilangan kesempatan untuk melakukannya.

Dua bagian terahir ini sama sama mempunyai

alasan untuk didahulukan. Di sinilah lahir sikap

ragu ragu dan bingung untuk memilih. Bila dia

dahulukan yang penting, dia hawatir akan

kehilangan kesempatan yang lain. Dan bila dia

mendahulukan yang lain, dia akan kehilangan

sesuatu yang penting. Begitulah kadang kadang

seseorang dihadapkan pada dua pilihan yang tidak

mungkin dikumpulkan menjadi satu, yang mana

salah satunya tidak dapat dicapai kecuali dengan

mengorbankan yang lain.

Di sinilah akal, nalar dan pengetahuan itu

berperan. Di sini akan diketahui siapa orang yang

tinggi, siapa orang yang sukses, dan siapa orang

yang merugi. Kebanyakan orang yang

mengagungkan akal dan pengetahuannya, akan

anda lihat dia mengorbankan sesuatu yang

penting dan tidak khawatir kehilangan

kesempatan untuk itu, demi melakukan sesuatu

yang tidak penting yang tidak dikhawatirkan

kehilangan kesempatan untuk melakukannya. Dan

anda tidak akan mendapatkan seorangpun yang

selamat ( dan terlepas ) dari hal seperti itu. Hanya

saja ada yang jarang dan ada pula yang sering

menghadapinya.

Dan sebenarnya yang dapat dijadikan sebagai

penentu pilihan dalam masalah ini adalah sebuah

kaidah besar dan mendasar yang merupakan

poros berputarnya aturan aturan syari’at, dan juga

pada kaidah inilah dikembalikan segala urusan.

Kaidah itu adalah mendahulukan kemaslahatan

yang lebih besar dan lebih tinggi dalam dua pilihan

yang ada – walaupun harus mengorbankan

kemaslahatan yang lebih kecil – kemudian kaidah

itu pula yang menyatakan bahwa kita memilih

kemudlaratan yang lebih ringan untuk mencegah

terjadinya mudlarat yang lebih besar.

Jadi, sebuah kemaslahatan akan dikorbankan

dengan tujuan mendapatkan kemaslahatan yang

lebih besar, begitu pula sebuah kemadlaratan

akan dilakukan dengan tujuan mencegah

terjadinya kemudlaratan yang lebih besar.

Pikiran pikiran serta ide ide orang yang berakal itu

tidak akan keluar dari apa yang kita jelaskan di

atas. Dan karena itu datang berbagai syariat atau

aturan. Kemaslahatan dunia dan akhirat selalu

didasarkan pada hal hal tersebut. Dan pikiran

pikiran serta ide ide yang paling tinggi, paling

mulia dan paling bermanfaat ialah orientasinya

untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala dan kebahagiaan

di alam akhirat nanti.

Kemudian pikiran yang orientasinya adalah untuk

Allah ini bermacam macam :

Pertama : memikirkan ayat ayat Allah yang telah

diturunkan dan berusaha untuk memahami

maksud Allah dari ayat ayat tersebut; dan

memang untuk itulah Allah menurunkannya ;

tidak hanya sekedar untuk dibaca saja, namun

membaca itu hanya media saja.

Sebagian ulama salaf mengatakan : “Allah

menurunkan Al Qur’an untuk diamalkan, maka

jadikanlah bacaan Al Qur’an itu sebagai amalan.”

Kedua : memikirkan dan memperhatikan ayat

ayat atau tanda tanda kebesaranNya yang dapat

dilihat langsung ; dan menjadikannya sebagai

bukti akan nama nama Allah, sifat sifat, hikmah,

kebaikan dan kemurahanNya. Dan Allah sendiri

telah mendorong hamba-hambaNya untuk

merenungkan tanda tanda kebesaranNya,

memikirkan dan memahaminya ; Allah menegur

dan mencela orang yang melalaikannya.

Ketiga : memikirkan ni’mat, kebaikan dan

berbagai karunia yang Dia limpahkan kepada

seluruh makhlukNya, dan merenungkan keluasan

rahmat, ampunan dan kasih sayangNya.

Tiga hal di atas akan dapat mendorong lahirnya –

dari hati seorang hamba – ma’rifatullah

(pengetahuan tentang Allah), kecintaan serta

perasaan cemas dan harap kepadaNya. Dan bila

tiga hal tadi dilakukan dengan kontinyu, disertai

dengan dzikir kepada Allah, maka hati seorang

hamba akan tercelup secara sempurna dengan

ma’rifah dan kecintaan kepadaNya.

Keempat : memikirkan aib, cela dan kelemahan

yang ada pada jiwa dan amal perbuatan. Hal ini

akan memberikan manfa’at yang sangat besar,

karena berperang dalam mengalahkan hawa nafsu

yang selalu memerintahkan kejelekan. Bila nafsu

yang jahat itu dapat dikalahkan maka nafsu

muthmainnah (jiwa yang tenang)lah yang akan

hidup, bangkit dan menjadi penentu segala

keputusan. Lalu hatipun menjadi hidup dan

kebijakan yang ada pada kerajaannyapun

didengar, dia perintah para karyawan dan bala

tentaranya untuk melakukan hal yang membawa

kemaslahatanya.

Kelima : memikirkan kewajiban terhadap waktu

sekaligus bagaimana cara menggunakannya, serta

menumpahkan seluruh perhatian terhadap

pemanfaatan waktu. Seorang yang arif, akan

selalu memanfaatkan waktunya, karena dia yakin,

bila waktunya disia siakan begitu saja, berarti dia

telah menyia nyiakan seluruh kemaslahatan (

yang seharusnya dia dapatkan. Pent ) sebab,

seluruh kemaslahatan itu, tidak lain bisa timbul

dan didapatkan melainkan dari adanya waktu. Dan

bila disia siakan ( dan waktu itu sudah lewat. Pent

) maka dia tidak akan bisa mengembalikannya lagi

untuk selamanya.

 

Al Imam Asy Syafi’i berkata : “ aku pernah

berteman dengan orang orang sufi dan aku tidak

mendapatkan manfaat apa apa dari mereka

kecuali dua kalimat saja :

Pertama :

“Waktu itu bagaikan pedang, bila engkau tidak

memotongnya, dialah yang akan menebasmu.”

Kedua :

“Dan nafsumu, bila engkau tidak menyibukkannya

dengan kebenaran, maka dialah yang akan

menyibukkanmu dengan kebathilan.”

Waktu yang dimiliki manusia, itulah umur dia yang

sebenarnya. Waktu itulah yang menjadi modal

untuk kehidupannya yang abadi dalam

kenikmatan abadi (sorga), sekaligus juga modal

untuk kehidupan yang sengsara dalam azab yang

pedih ( neraka ). Waktu berlalu lebih cepat dari

perjalanan gumpalan awan. Maka, barang siapa

yang berhasil menjadikan waktunya untuk Allah

dan bersama Allah, itulah kehidupan dan umurnya

yang hakiki. Dan waktu yang tidak

dipersembahkan untuk Allah tidaklah dihitung

sebagai bagian dari kehidupannya, walaupun dia

hidup tapi kehidupannya laksana kehidupan

binatang ternak. Bila seseorang menghabiskan

waktunya penuh dengan kelalaian, syahwat dan

angan angan kosong atau yang paling banyak

hanya digunakan untuk tidur dan pengangguran,

maka bagi orang semacam ini ‘mati’ itu lebih baik

dari pada dia hidup.

 

Bila seorang hamba – yang sedang melakukan

shalat – tidak akan mendapatkan nilai dari

shalatnya selain pada bagian yang dia fahami dari

shalatnya, maka umurnya yang sesungguhnya

adalah waktu yang dia habiskan untuk Allah dan

bersama Allah.

Pikiran pikiran atau ide ide yang tidak termasuk

salah satu bagian yang disebut di atas tadi, dapat

kita katagorikan sebagai was was syaithoniyah

(bisikan syetan), angan angan kosong atau

halusinasi bohong, persis seperti pikiran pikiran

orang yang kurang waras akannya, baik karena

mabuk atau fly dan lain sebagainya. Dimana

ketika segala hakikat kenyataan itu tampak,

kondisi mereka saat itu mengatakan :

– Bila kedudukanku, saat dikumpulkan bersama

kalian, seperti apa yang telah aku temui sendiri

(sekarang ini), maka sungguh aku telah menyia

nyiakan hari hariku.

– Angan angan itu telah menguasai jiwaku dalam

jangka waktu yang lama, dan hari ini, aku

menganggapnya hanya sebagai bunga rampai.

Ketahuilah, sebenarnya pikiran pikiran yang

melintas itu tidaklah membahayakan, namun yang

bahaya bila pikiran pikiran itu sengaja

didatangkan dan terjadi interaksi dengannya.

Pikiran yang melintas itu laksana orang yang

disuatu jalan, bila anda tidak memanggilnya dan

anda biarkan dia, maka dia akan berlalu

meninggalkan anda. Namun bila anda

memanggilnya, anda akan terpesona dengan

percakapan, dusta dan tipuannya. Tindakan ini

akan terasa begitu ringan bagi jiwa yang kosong

penuh kebatilan, dan begitu berat dirasa oleh hati

dan jiwa yang suci dan tenang.

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memasang dua

macam nafsu pada diri menusia ; nafsu ammarah

dan nafsu muthmainnah, yang kedua duanya

saling bertolak belakang. Segala sesuatu yang

terasa ringan oleh yang satu, maka akan terasa

berat oleh yang lain.

Apa yang terasa nikmat oleh yang satu, maka

akan terasa menyiksa oleh yang lain. Tak ada

sesutau yang lebih berat bagi nafsu ammarah

melebihi perbuatan yang dilakukan karena Allah

dan mendahulukan keridhaaNya dari pada hawa

nafsunya, padahal tidak ada amal yang lebih

bermanfaat baginya dari amal tersebut. Begitu

pula, tidak ada sesuatu yang lebih berat bagi

nafsu muthmainnah dari perbuatan yang bukan

untuk Allah dan mengikuti kemauan hawa nafsu.

Padahal tidak ada amal yang lebih berbahaya

baginya dari amal tersebut.

Dalam hal ini, malaikat itu berada disamping

kanan hati manusia, sementara syetan disamping

kirinya. Dan pertarungan antara keduanya tidak

akan pernah berhenti sampai ajal ditentukan (

oleh Allah ) di dunia ini. Seluruh bentuk kebatilan

akan berpihak kepada syetan dan nafsu ammarah,

sementara semua macam kebenaran itu akan

berpihak pada malaikat dan nafsu muthmainnah.

Dalam peperangan itu kalah dan menang datang

silih berganti. Dan kemenangan itu ada bersama

kesabaran.

Maka barang siapa yang benar benar bersabar,

berusaha keras dan bertakwa kepada Allah,

niscaya baginya balasan yang baik, di dunia dan di

akhirat nanti. Dan Allah pun telah menetapkan

sebuah ketetapan yang tidak dapat dirubah

selamanya, bahwa balasan baik itu adalah untuk

ketakwaan, dan pahala itu adalah untuk mereka

yang bertakwa.

Hati itu laksana papan yang kosong, dan pikiran

pikiran itu bagaikan tulisan yang diukir di atasnya.

Maka, bagaimana bisa dikatakan pantas bagi

sesorang yang berakal bila papannya hanya berisi

dusta, tipu daya, angan angan dan fatamorgana

yang tidak ada realitanya ?, hikmah, ilmu dan

petunjuk macam apa yang diharapkan dari tulisan

tulisan itu ?, apabila ingin melukiskan hikmah,

ilmu dan petunjuk di papan hatinya, maka tak

ubahnya seperti penulisan ilmu yang bermanfaat

di sebuah tempat yang sudah penuh dengan

tulisan lain yang tidak ada manfaatnya. Bila hati

tidak kosong dari pikiran pikiran kotor, maka

pikiran pikiran positif yang bermanfaat tidak akan

dapat menetap di dalamnya, karena dia memang

tidak dapat menempati kecuali tempat yang

kosong, seperti yang diungkapkan oleh seorang

penyair :

“Aku telah didatangi oleh hawa nafsu sebelum aku

kenal dengan hawa nafsu itu sendiri, maka ia

temukan hati yang kosong, oleh karena itu ia

dapat menguasaiku.”

Hal seperti ini banyak terjadi terhadap orang

orang tasawuf, mereka membangun kepribadian

mereka dengan cara menjaga pikiran pikiran yang

melintas di dalam benak, mereka tidak

memberikan kesempatan pada pikiran pikiran

tersebut untuk masuk ke dalam hati, sehingga

hati itu dalam keadaan kosong dan dapat

melakukan kasyaf (menyingkap rahasia) dan

menerima hakikat hakikat yang bermakna tinggi di

dalamnya.

Mereka itu menjaga diri mereka dari satu hal,

tetapi mereka lalai dan kehilangan banyak hal

yang lain, sebab mereka kosongkan hati mereka

dari lintasan lintasan pikiran sehingga menjadi

kosong, tidak ada apa apa di dalamnya, tiba tiba

syetan mendapatkannya dalam keadaan kosong,

kemudian syetan menanamkan di dalamnya

kebatilan dan menggambarkannya sebagai

sesuatu yang paling tinggi dan paling mulia,

syetan meletakkan hal itu sebagai ganti dari jenis

pikiran pikiran yang merupakan bahan dasar dari

ilmu pengetahuan dan petunjuk.

Apabila hati itu sudah kosong dari berbagai

macam pikiran, maka syetan akan datang dengan

menemukan tempat yang kosong untuknya.

Syetan akan berusaha untuk mengisinya dengan

hal hal sesuai dengan kondisi pemilik hati

tersebut. Bila tidak berhasil mengisinya dengan

keingininan melepaskan diri dari keinginan

keinginan – yang sebenarnya – tidak ada kebaikan

dan kesuksesan bagi seorang hamba kecuali bila

keinginan keinginan tersebut berhasil menguasai

hatinya, yaitu mengosongkannya dari keinginan

untuk mengikuti perintah perintah tersebut secara

rinci untuk kemudian melaksanakannya

dimasyarakat, lalu berusaha menyampaikannya

pada orang orang dengan harapan mereka juga

mau melaksanakannya. Dalam hal ini, syetan akan

berusaha menyesatkan orang yang mempunyai

keinginan demikian dengan mengajak untuk

meninggalkan keinginan baik tersebut dan

melepaskannya, tidak usah memikirkan dunia dan

masyarakat di dalamnya.

Syetan akan membisikkan kepada mereka bahwa

kesempurnaan itu dapat mereka capai dengan

cara melepaskan diri dan mengosongkan hati dari

hal itu semua. Sungguh amat jauh ungkapan

tersebut dari kebenenaran, karena kesempurnaan

itu hanya dapat diperoleh bila hati itu penuh terisi

dengan keinginan dan pikiran yang baik, serta

usaha untuk merealisasikannya. Maka, manusia

yang paling sempurna adalah mereka yang paling

banyak memiliki pikiran dan keinginan untuk

tunduk kepada perintah Allah, mencari

keridloanNya. Sebagaimana manusia yang paling

hina adalah mereka yang paling banyak memiliki

keinginan dan pikiran untuk memenuhi hawa

nafsunya dimana saja dia berada. Wallahul

musta’an ( dan Allah lah tempat mohon

pertolongan ).

 

Lihatlah Umar bin Khothob Radhiyallahu ‘anhu,

pikirannya penuh dengan keinginan dalam

mencari keridloan Allah, barangkali dia dalam

keadaan shalat, namun saat itu dia juga sedang

mempersiapkan tentaranya ( untuk jihad ),

dengan demikian dia telah berhasil mengumpulkan

antara jihad dan shalat, sehingga beberapa ibadah

masuk berkumpul dalam satu ibadah.

Ini adalah salah satu hal yang mulia dan agung,

tidak akan tahu tentang hal ini kecuali mereka

yang mempunyai keinginan yang benar benar

kuat, dan pandai mencari, luas ilmunya serta

tinggi cita citanya, dimana dia masuk dalam satu

ibadah namun dia juga mendapatkan ibadah

ibadah yang lain, itulah karunia Allah yang

diberikan pada siapa yang dikehendakinya.

 

 

Sumber : Jangan Dekati Zina karya Al Imam Ibnul Qoyyim Al Jauziyah, penerjemah tim Darul HaqJakarta

Tinggalkan komentar