2- Al Khothorot ( pikiran yang melintas di
benak ).
Adapun “Al Khothorot” ( pikiran yang terlintas dibenak ) maka urusannya lebih sulit. Di sinilah tempat dimulainya aktifitas, yang baik ataupun
yang buruk. Dari sinilah lahirnya keinginan ( untuk melakukan sesuatu ) yang akhirnya berubah manjadi tekad yang bulat. Maka barang siapa yang mampu mengendalikan pikiran pikiran yang melintas di benaknya,
niscaya dia akan mampu mengendalikan diri dan menundukkan hawa nafsunya. Dan orang yang tidak bisa mengendalikan pikiran pikirannya, maka hawa nafsunyalah yang berbalik menguasainya.
Dan barang siapa yang menganggap remeh pikiran pikiran yang melintas di benaknya, maka tanpa dia inginkan ia akan terseret pada kebinasaan.
Pikiran pikiran itu akan terus melintas di benak
dan di dalam hati seseorang, sehingga ahirnya dia
akan manjadi angan angan tanpa makna (palsu ).
“Laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang
disangka air oleh orang orang yang dahaga, tetapi
bila ia mendatanginya maka ia tidak
mendapatkannya walau sedikitpun, dan
didapatinya (ketetapan ) Allah di sisiNya, lalu Allah
memberikan kepadanya perhitungan amalnya
dengan cukup, dan Allah adalah sangat cepat
perhitunganNya.” ( QS. An Nur, 39 ).
Orang yang paling jelek cita citanya dan paling
hina adalah orang yang merasa puas dengan
angan angan kosongnya. Dia pegang angan angan
itu untuk dirinya dan dia pun merasa bangga
dengan senang dengannya. Padahal demi Allah,
angan angan itu adalah modal orang orang yang
pailit, dan barang dagangan para pengangguran
serta merupakan makanan pokok bagi jiwa yang
kosong, yang bisa merasa puas dengan gambaran
gambaran dalam hayalan, dan angan angan palsu.
Seperti dikatakan oleh seorang penyair :
– Angan angan untuk mendapatkan su’da, dapat
mengholangkan dahaga. Dengan angan angan itu
Su’da telah berhasil memberikan pada kita air
dingin di kala haus.
– Angan angan yang sekiranya dapat menjadi
kenyataan, tentu menjadi kebahagiaan, dan
kalaupun tidak, maka sesungguhnya kita hidup
senang beberapa waktu dengan angan angan itu.
Angan angan adalah sesuatu yang sangat
berbahaya bagi manusia. Dia lahir dari sikap
ketidakmampuan sekaligus kamalasan, dan
melahirkan sikap lalai yang selanjutnya
penderitaan dan penyesalan. Orang yang hanya
mendapatkan realita yang diinginkannya – sebagai
pelampiasannya, maka dia merubah gambaran
realita yang dia inginkan kedalam hatinya ; dia
akan mendekap dan memeluknya erat erat.
Selanjutnya dia akan merasa puas dengan
gambaran gambaran palsu yang dihayalkan oleh
pikirannya.
Padahal itu semua, sedikitpun tidak akan
membawa manfaat, sama seperti orang yang
sedang lapar dan haus, membayangkan gambaran
makanan dan minuman, namun dia tidak dapat
memakan dan meminumnya.
Perasaan tenang dan puas dengan kondisi
semacam ini dan berusaha untuk memperolehnya,
jelas menunjukkan betapa jelek dan hinanya jiwa
seseorang, sebab kemuliaan jiwa seseorang,
kebersihan, kesucian dan ketinggiannya tidak lain
adalah dengan cara membuang jauh jauh setiap
pikiran pikiran yang jauh dari realita, dan dia tidak
rela bila hal hal tersebut sampai melintas di
benaknya, serta dia juga tidak sudi hal itu terjadi
pada dirinya.
Kemudian “khothorot” atau ide, pikiran yang
melintas di benak itu mempunyai banyak macam,
namun pada pokoknya ada empat :
1. pikiran yang orientasinya untuk mencari
keuntungan dunia / materi.
2. Pikiran yang orientasinya untuk mencegah
kerugian dunia/ materi.
3. Pikirang yang orientasinya untuk mencari
kemaslahatan akhirat.
4. Pikiran yang orientasinya untuk mencegah
kerugian akhirat.
Idealnya, seorang hamba hendaklah menjadikan
pikiran pikiran, ide ide dan keinginannya hanya
berkisar pada empat macam di atas. Bila kesemua
bagian itu ada padanya, maka selagi mungkin
dipadukan, hendaklah dia tidak mengabaikannya
untuk yang lain. Kalau ternyata pikiran pikiran
yang datang itu banyak dan bertumpang tindih,
maka hendaklah dia mendahulukan yang lebih
penting, yang dihawatirkan akan kehilangan
kesempatan untuk itu, kemudian mengahirkan
yang tidak terlalu penting dan tidak dihawatirkan
kehilangan kesempatan untuk itu.
Yang tersisa sekarang adalah dua bagian lagi,
yaitu :
Pertama : yang penting dan tidak dikhawatirkan
kehilangan kesempatan untuk melakukannya.
Kedua : yang tidak penting, namun dihawatirkan
kehilangan kesempatan untuk melakukannya.
Dua bagian terahir ini sama sama mempunyai
alasan untuk didahulukan. Di sinilah lahir sikap
ragu ragu dan bingung untuk memilih. Bila dia
dahulukan yang penting, dia hawatir akan
kehilangan kesempatan yang lain. Dan bila dia
mendahulukan yang lain, dia akan kehilangan
sesuatu yang penting. Begitulah kadang kadang
seseorang dihadapkan pada dua pilihan yang tidak
mungkin dikumpulkan menjadi satu, yang mana
salah satunya tidak dapat dicapai kecuali dengan
mengorbankan yang lain.
Di sinilah akal, nalar dan pengetahuan itu
berperan. Di sini akan diketahui siapa orang yang
tinggi, siapa orang yang sukses, dan siapa orang
yang merugi. Kebanyakan orang yang
mengagungkan akal dan pengetahuannya, akan
anda lihat dia mengorbankan sesuatu yang
penting dan tidak khawatir kehilangan
kesempatan untuk itu, demi melakukan sesuatu
yang tidak penting yang tidak dikhawatirkan
kehilangan kesempatan untuk melakukannya. Dan
anda tidak akan mendapatkan seorangpun yang
selamat ( dan terlepas ) dari hal seperti itu. Hanya
saja ada yang jarang dan ada pula yang sering
menghadapinya.
Dan sebenarnya yang dapat dijadikan sebagai
penentu pilihan dalam masalah ini adalah sebuah
kaidah besar dan mendasar yang merupakan
poros berputarnya aturan aturan syari’at, dan juga
pada kaidah inilah dikembalikan segala urusan.
Kaidah itu adalah mendahulukan kemaslahatan
yang lebih besar dan lebih tinggi dalam dua pilihan
yang ada – walaupun harus mengorbankan
kemaslahatan yang lebih kecil – kemudian kaidah
itu pula yang menyatakan bahwa kita memilih
kemudlaratan yang lebih ringan untuk mencegah
terjadinya mudlarat yang lebih besar.
Jadi, sebuah kemaslahatan akan dikorbankan
dengan tujuan mendapatkan kemaslahatan yang
lebih besar, begitu pula sebuah kemadlaratan
akan dilakukan dengan tujuan mencegah
terjadinya kemudlaratan yang lebih besar.
Pikiran pikiran serta ide ide orang yang berakal itu
tidak akan keluar dari apa yang kita jelaskan di
atas. Dan karena itu datang berbagai syariat atau
aturan. Kemaslahatan dunia dan akhirat selalu
didasarkan pada hal hal tersebut. Dan pikiran
pikiran serta ide ide yang paling tinggi, paling
mulia dan paling bermanfaat ialah orientasinya
untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala dan kebahagiaan
di alam akhirat nanti.
Kemudian pikiran yang orientasinya adalah untuk
Allah ini bermacam macam :
Pertama : memikirkan ayat ayat Allah yang telah
diturunkan dan berusaha untuk memahami
maksud Allah dari ayat ayat tersebut; dan
memang untuk itulah Allah menurunkannya ;
tidak hanya sekedar untuk dibaca saja, namun
membaca itu hanya media saja.
Sebagian ulama salaf mengatakan : “Allah
menurunkan Al Qur’an untuk diamalkan, maka
jadikanlah bacaan Al Qur’an itu sebagai amalan.”
Kedua : memikirkan dan memperhatikan ayat
ayat atau tanda tanda kebesaranNya yang dapat
dilihat langsung ; dan menjadikannya sebagai
bukti akan nama nama Allah, sifat sifat, hikmah,
kebaikan dan kemurahanNya. Dan Allah sendiri
telah mendorong hamba-hambaNya untuk
merenungkan tanda tanda kebesaranNya,
memikirkan dan memahaminya ; Allah menegur
dan mencela orang yang melalaikannya.
Ketiga : memikirkan ni’mat, kebaikan dan
berbagai karunia yang Dia limpahkan kepada
seluruh makhlukNya, dan merenungkan keluasan
rahmat, ampunan dan kasih sayangNya.
Tiga hal di atas akan dapat mendorong lahirnya –
dari hati seorang hamba – ma’rifatullah
(pengetahuan tentang Allah), kecintaan serta
perasaan cemas dan harap kepadaNya. Dan bila
tiga hal tadi dilakukan dengan kontinyu, disertai
dengan dzikir kepada Allah, maka hati seorang
hamba akan tercelup secara sempurna dengan
ma’rifah dan kecintaan kepadaNya.
Keempat : memikirkan aib, cela dan kelemahan
yang ada pada jiwa dan amal perbuatan. Hal ini
akan memberikan manfa’at yang sangat besar,
karena berperang dalam mengalahkan hawa nafsu
yang selalu memerintahkan kejelekan. Bila nafsu
yang jahat itu dapat dikalahkan maka nafsu
muthmainnah (jiwa yang tenang)lah yang akan
hidup, bangkit dan menjadi penentu segala
keputusan. Lalu hatipun menjadi hidup dan
kebijakan yang ada pada kerajaannyapun
didengar, dia perintah para karyawan dan bala
tentaranya untuk melakukan hal yang membawa
kemaslahatanya.
Kelima : memikirkan kewajiban terhadap waktu
sekaligus bagaimana cara menggunakannya, serta
menumpahkan seluruh perhatian terhadap
pemanfaatan waktu. Seorang yang arif, akan
selalu memanfaatkan waktunya, karena dia yakin,
bila waktunya disia siakan begitu saja, berarti dia
telah menyia nyiakan seluruh kemaslahatan (
yang seharusnya dia dapatkan. Pent ) sebab,
seluruh kemaslahatan itu, tidak lain bisa timbul
dan didapatkan melainkan dari adanya waktu. Dan
bila disia siakan ( dan waktu itu sudah lewat. Pent
) maka dia tidak akan bisa mengembalikannya lagi
untuk selamanya.
Al Imam Asy Syafi’i berkata : “ aku pernah
berteman dengan orang orang sufi dan aku tidak
mendapatkan manfaat apa apa dari mereka
kecuali dua kalimat saja :
Pertama :
“Waktu itu bagaikan pedang, bila engkau tidak
memotongnya, dialah yang akan menebasmu.”
Kedua :
“Dan nafsumu, bila engkau tidak menyibukkannya
dengan kebenaran, maka dialah yang akan
menyibukkanmu dengan kebathilan.”
Waktu yang dimiliki manusia, itulah umur dia yang
sebenarnya. Waktu itulah yang menjadi modal
untuk kehidupannya yang abadi dalam
kenikmatan abadi (sorga), sekaligus juga modal
untuk kehidupan yang sengsara dalam azab yang
pedih ( neraka ). Waktu berlalu lebih cepat dari
perjalanan gumpalan awan. Maka, barang siapa
yang berhasil menjadikan waktunya untuk Allah
dan bersama Allah, itulah kehidupan dan umurnya
yang hakiki. Dan waktu yang tidak
dipersembahkan untuk Allah tidaklah dihitung
sebagai bagian dari kehidupannya, walaupun dia
hidup tapi kehidupannya laksana kehidupan
binatang ternak. Bila seseorang menghabiskan
waktunya penuh dengan kelalaian, syahwat dan
angan angan kosong atau yang paling banyak
hanya digunakan untuk tidur dan pengangguran,
maka bagi orang semacam ini ‘mati’ itu lebih baik
dari pada dia hidup.
Bila seorang hamba – yang sedang melakukan
shalat – tidak akan mendapatkan nilai dari
shalatnya selain pada bagian yang dia fahami dari
shalatnya, maka umurnya yang sesungguhnya
adalah waktu yang dia habiskan untuk Allah dan
bersama Allah.
Pikiran pikiran atau ide ide yang tidak termasuk
salah satu bagian yang disebut di atas tadi, dapat
kita katagorikan sebagai was was syaithoniyah
(bisikan syetan), angan angan kosong atau
halusinasi bohong, persis seperti pikiran pikiran
orang yang kurang waras akannya, baik karena
mabuk atau fly dan lain sebagainya. Dimana
ketika segala hakikat kenyataan itu tampak,
kondisi mereka saat itu mengatakan :
– Bila kedudukanku, saat dikumpulkan bersama
kalian, seperti apa yang telah aku temui sendiri
(sekarang ini), maka sungguh aku telah menyia
nyiakan hari hariku.
– Angan angan itu telah menguasai jiwaku dalam
jangka waktu yang lama, dan hari ini, aku
menganggapnya hanya sebagai bunga rampai.
Ketahuilah, sebenarnya pikiran pikiran yang
melintas itu tidaklah membahayakan, namun yang
bahaya bila pikiran pikiran itu sengaja
didatangkan dan terjadi interaksi dengannya.
Pikiran yang melintas itu laksana orang yang
disuatu jalan, bila anda tidak memanggilnya dan
anda biarkan dia, maka dia akan berlalu
meninggalkan anda. Namun bila anda
memanggilnya, anda akan terpesona dengan
percakapan, dusta dan tipuannya. Tindakan ini
akan terasa begitu ringan bagi jiwa yang kosong
penuh kebatilan, dan begitu berat dirasa oleh hati
dan jiwa yang suci dan tenang.
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memasang dua
macam nafsu pada diri menusia ; nafsu ammarah
dan nafsu muthmainnah, yang kedua duanya
saling bertolak belakang. Segala sesuatu yang
terasa ringan oleh yang satu, maka akan terasa
berat oleh yang lain.
Apa yang terasa nikmat oleh yang satu, maka
akan terasa menyiksa oleh yang lain. Tak ada
sesutau yang lebih berat bagi nafsu ammarah
melebihi perbuatan yang dilakukan karena Allah
dan mendahulukan keridhaaNya dari pada hawa
nafsunya, padahal tidak ada amal yang lebih
bermanfaat baginya dari amal tersebut. Begitu
pula, tidak ada sesuatu yang lebih berat bagi
nafsu muthmainnah dari perbuatan yang bukan
untuk Allah dan mengikuti kemauan hawa nafsu.
Padahal tidak ada amal yang lebih berbahaya
baginya dari amal tersebut.
Dalam hal ini, malaikat itu berada disamping
kanan hati manusia, sementara syetan disamping
kirinya. Dan pertarungan antara keduanya tidak
akan pernah berhenti sampai ajal ditentukan (
oleh Allah ) di dunia ini. Seluruh bentuk kebatilan
akan berpihak kepada syetan dan nafsu ammarah,
sementara semua macam kebenaran itu akan
berpihak pada malaikat dan nafsu muthmainnah.
Dalam peperangan itu kalah dan menang datang
silih berganti. Dan kemenangan itu ada bersama
kesabaran.
Maka barang siapa yang benar benar bersabar,
berusaha keras dan bertakwa kepada Allah,
niscaya baginya balasan yang baik, di dunia dan di
akhirat nanti. Dan Allah pun telah menetapkan
sebuah ketetapan yang tidak dapat dirubah
selamanya, bahwa balasan baik itu adalah untuk
ketakwaan, dan pahala itu adalah untuk mereka
yang bertakwa.
Hati itu laksana papan yang kosong, dan pikiran
pikiran itu bagaikan tulisan yang diukir di atasnya.
Maka, bagaimana bisa dikatakan pantas bagi
sesorang yang berakal bila papannya hanya berisi
dusta, tipu daya, angan angan dan fatamorgana
yang tidak ada realitanya ?, hikmah, ilmu dan
petunjuk macam apa yang diharapkan dari tulisan
tulisan itu ?, apabila ingin melukiskan hikmah,
ilmu dan petunjuk di papan hatinya, maka tak
ubahnya seperti penulisan ilmu yang bermanfaat
di sebuah tempat yang sudah penuh dengan
tulisan lain yang tidak ada manfaatnya. Bila hati
tidak kosong dari pikiran pikiran kotor, maka
pikiran pikiran positif yang bermanfaat tidak akan
dapat menetap di dalamnya, karena dia memang
tidak dapat menempati kecuali tempat yang
kosong, seperti yang diungkapkan oleh seorang
penyair :
“Aku telah didatangi oleh hawa nafsu sebelum aku
kenal dengan hawa nafsu itu sendiri, maka ia
temukan hati yang kosong, oleh karena itu ia
dapat menguasaiku.”
Hal seperti ini banyak terjadi terhadap orang
orang tasawuf, mereka membangun kepribadian
mereka dengan cara menjaga pikiran pikiran yang
melintas di dalam benak, mereka tidak
memberikan kesempatan pada pikiran pikiran
tersebut untuk masuk ke dalam hati, sehingga
hati itu dalam keadaan kosong dan dapat
melakukan kasyaf (menyingkap rahasia) dan
menerima hakikat hakikat yang bermakna tinggi di
dalamnya.
Mereka itu menjaga diri mereka dari satu hal,
tetapi mereka lalai dan kehilangan banyak hal
yang lain, sebab mereka kosongkan hati mereka
dari lintasan lintasan pikiran sehingga menjadi
kosong, tidak ada apa apa di dalamnya, tiba tiba
syetan mendapatkannya dalam keadaan kosong,
kemudian syetan menanamkan di dalamnya
kebatilan dan menggambarkannya sebagai
sesuatu yang paling tinggi dan paling mulia,
syetan meletakkan hal itu sebagai ganti dari jenis
pikiran pikiran yang merupakan bahan dasar dari
ilmu pengetahuan dan petunjuk.
Apabila hati itu sudah kosong dari berbagai
macam pikiran, maka syetan akan datang dengan
menemukan tempat yang kosong untuknya.
Syetan akan berusaha untuk mengisinya dengan
hal hal sesuai dengan kondisi pemilik hati
tersebut. Bila tidak berhasil mengisinya dengan
keingininan melepaskan diri dari keinginan
keinginan – yang sebenarnya – tidak ada kebaikan
dan kesuksesan bagi seorang hamba kecuali bila
keinginan keinginan tersebut berhasil menguasai
hatinya, yaitu mengosongkannya dari keinginan
untuk mengikuti perintah perintah tersebut secara
rinci untuk kemudian melaksanakannya
dimasyarakat, lalu berusaha menyampaikannya
pada orang orang dengan harapan mereka juga
mau melaksanakannya. Dalam hal ini, syetan akan
berusaha menyesatkan orang yang mempunyai
keinginan demikian dengan mengajak untuk
meninggalkan keinginan baik tersebut dan
melepaskannya, tidak usah memikirkan dunia dan
masyarakat di dalamnya.
Syetan akan membisikkan kepada mereka bahwa
kesempurnaan itu dapat mereka capai dengan
cara melepaskan diri dan mengosongkan hati dari
hal itu semua. Sungguh amat jauh ungkapan
tersebut dari kebenenaran, karena kesempurnaan
itu hanya dapat diperoleh bila hati itu penuh terisi
dengan keinginan dan pikiran yang baik, serta
usaha untuk merealisasikannya. Maka, manusia
yang paling sempurna adalah mereka yang paling
banyak memiliki pikiran dan keinginan untuk
tunduk kepada perintah Allah, mencari
keridloanNya. Sebagaimana manusia yang paling
hina adalah mereka yang paling banyak memiliki
keinginan dan pikiran untuk memenuhi hawa
nafsunya dimana saja dia berada. Wallahul
musta’an ( dan Allah lah tempat mohon
pertolongan ).
Lihatlah Umar bin Khothob Radhiyallahu ‘anhu,
pikirannya penuh dengan keinginan dalam
mencari keridloan Allah, barangkali dia dalam
keadaan shalat, namun saat itu dia juga sedang
mempersiapkan tentaranya ( untuk jihad ),
dengan demikian dia telah berhasil mengumpulkan
antara jihad dan shalat, sehingga beberapa ibadah
masuk berkumpul dalam satu ibadah.
Ini adalah salah satu hal yang mulia dan agung,
tidak akan tahu tentang hal ini kecuali mereka
yang mempunyai keinginan yang benar benar
kuat, dan pandai mencari, luas ilmunya serta
tinggi cita citanya, dimana dia masuk dalam satu
ibadah namun dia juga mendapatkan ibadah
ibadah yang lain, itulah karunia Allah yang
diberikan pada siapa yang dikehendakinya.
Sumber : Jangan Dekati Zina karya Al Imam Ibnul Qoyyim Al Jauziyah, penerjemah tim Darul HaqJakarta