MANHAJ DAKWAH AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

Dakwah (mengajak manusia ke jalan Allah), yaitu mengajak manusia untuk beriman kepada Allah, mengimani apa yang di-bawa para Rasul-Nya, membenarkan apa yang mereka kabarkan kepada manusia, mengucapkan dua kalimat syahadat, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, puasa di bulan Ramadhan, haji ke Baitullah, mengajak manusia untuk beriman kepada Allah Azza wa Jalla, Malaikat-Malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya, beriman kepada hari Akhir (dibangkitkannya manusia sesudah mati), iman kepada Qadar yang baik dan buruk, dan mengajak manusia untuk beribadah hanya kepada Allah saja seolah-olah ia melihat-Nya. [1]

Jadi, yang dikatakan dakwah adalah mengajak manusia kepada Rukun Islam, Rukun Iman, dan melaksanakan syari’at Islam, taat kepada Allah dan Rasul-Nya, mengajak manusia untuk mentauhidkan Allah, melarang dari berbuat syirik, mengajak umat untuk ittiba’ (meneladani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) dan melarang dari berbuat bid’ah. Mengajak manusia ke jalan yang benar agar selamat di dunia dan di akhirat dengan mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabat Radhiyallahu anhum.

Dakwah di jalan Allah merupakan sebesar-besar ketaatan kepada Allah. Dan perkataan yang paling baik adalah mengajak manusia ke jalan Allah dan beramal shalih.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِّمَّن دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ

“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang shalih dan berkata: ‘Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.’” [Fushshilat: 33]

A. Dakwah yang Haq Harus dengan Bekal Ilmu Syar’i
Sesungguhnya orang yang memperhatikan perjalanan para ulama Ahli Hadits pada masa-masa yang telah lewat, dia akan melihat bahwa mereka mengikuti metode yang sama di dalam berdakwah menuju Allah di atas cahaya dan bashirah (ilmu dan keyakinan).

Allah Azza wa Jalla berfirman:

قُلْ هَٰذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ ۚ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي ۖ وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ

“Katakanlah: ‘Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Mahasuci Allah, dan aku tidak ada termasuk orang-orang yang musyrik.” [Yusuf: 108]

Yaitu metode yang meliputi ilmu, belajar dan mengajar. Karena sesungguhnya apabila dakwah menuju Allah merupakan kedudukan yang paling mulia dan utama bagi seorang hamba, maka hal itu tidak akan terjadi kecuali dengan ilmu. Dengan ilmu seseorang dapat berdakwah, dan kepada ilmu ia berdakwah. Bahkan demi sempurnanya dakwah, haruslah ilmu itu dicapai sampai batas usaha yang maksimal.[2]

Syarat seseorang berdakwah harus berilmu dan faham tentang ilmu syar’i yang dengan itu ia dapat mengajak ummat kepada agama Islam yang benar.

Metode ilmiah ini dibangun di atas tiga dasar: [3]
1. Al-‘Ilmu, yaitu mengetahui al-haq (kebenaran).
2. Dakwah menuju al-haq (mengajak manusia kepada kebenaran).
3. Teguh dan Istiqamah di atas kebenaran. [4]

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَىٰ وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ ۚ وَكَفَىٰ بِاللَّهِ شَهِيدًا

“Dia-lah Yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang haq agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama. Dan cukuplah Allah sebagai saksi.” [Al-Fat-h: 28]

Yang dimaksud dengan الْهُدَى (petunjuk) ialah ilmu yang bermanfaat, dan دِيْنُ الْحَقِّ (agama yang benar) ialah amal shalih. Allah Azza wa Jalla mengutus Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa salalm untuk menjelaskan kebenaran dari kebathilan, menjelaskan tentang Nama-Nama Allah Subhanahu wa Ta’ala, Sifat-Sifat-Nya, perbuatan-perbuatan-Nya, hukum-hukum dan berita yang datang dari-Nya, memerintahkan semua yang bermanfaat untuk hati, ruh dan jasad. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mengikhlaskan ibadah semata-mata karena Allah Subhanahu wa Ta’ala, mencintai-Nya, berakhlak dengan akhlak yang mulia, beramal shalih, beradab dengan adab yang bermanfaat. Beliau melarang perbuatan syirik, perilaku dan akhlak yang buruk yang berbahaya untuk hati dan badan, dunia dan akhirat.[5]

B. Ahlus Sunnah Berdakwah (Mengajak Manusia) ke Jalan Allah dengan Hikmah [6]

Firman Allah al-Hakiim:

ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُم بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

“Serulah (manusia) kepada jalan Rabb-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Rabb-mu Dia-lah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” [An-Nahl: 125]

Ayat yang mulia di atas adalah asas yang mengajarkan jalan menuju Allah Subahanahu wa Ta’ala dan jalan dalam berdakwah kepada para da’i. Karena sesungguhnya Allah telah mensyari’atkan kepada para hamba-Nya -melalui Kitab-Nya yang Dia turunkan dan dengan penjelasan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam- perkara-perkara yang di dalamnya terdapat penerangan untuk akal mereka, kesucian jiwa dan kelurusan perbuatan mereka.

Allah telah menamakan (syari’at itu) dengan sabil (jalan), supaya mereka tetap konsisten dalam seluruh fase perjalanan di kehidupan ini, agar dapat menghantarkan kepada puncak yang dituju, yaitu kebahagiaan abadi di akhirat. Dan Dia merangkai-kan sabil (jalan) itu dengan Diri-Nya (sehingga disebut sabilillaah, di jalan Allah) supaya para hamba tahu bahwa Dia-lah yang telah membuatnya, dan bahwa tidak ada sesuatu pun yang dapat meng-hantarkan menuju ridha-Nya selain jalan Allah.

Ayat di atas pada asalnya merupakan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang ditujukan kepada Nabi pilihan-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam ayat tersebut Allah memerintahkan Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berdakwah menuju jalan Rabb-nya. Dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah al-Amiin (yang dapat dipercaya) dan al-Ma’shum (yang terjaga dari dosa), sehingga tidaklah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan sesuatu di antara jalan Rabb-nya kecuali beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mendakwahkannya. Dengan demikian kita tahu bahwa apa saja yang tidak diserukan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka hal itu bukan termasuk jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sehingga dengan ini (dan banyak lagi yang semisalnya) kita mendapatkan petunjuk tentang perbedaan antara al-haq dengan al-bathil, petunjuk dengan kesesatan serta antara da’i-da’i Allah dengan da’i-da’i syaitan.

Maka, barangsiapa yang menyeru kepada apa yang diserukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, berarti ia termasuk da’i-da’i Allah, yang menyeru kepada al-Haq dan hidayah [7]. Dan barangsiapa yang menyeru kepada apa yang tidak diserukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ia termasuk da’i-da’i syaithan, yang menyeru kepada kebathilan dan kesesatan. Oleh karena itu, seorang Muslim yang mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan mengerahkan segenap kemampuannya untuk mendakwahkan setiap yang dia ketahui dari jalan Rabb-nya. Dan jika setiap individu dari kalangan kaum Muslimin menjalankan dakwah ini sesuai dengan kemampuannya, maka akan teranglah jalan Allah bagi orang-orang yang menempuhnya, ilmu akan tersebar di kalangan Muslimin dan jalan-jalan kebathilan akan sepi dari da’i-da’i syaithan.” [8]

Kewajiban terbesar yang wajib ditempuh oleh para da’i, ustadz dan ulama adalah meniti manhaj para Nabi dalam berdakwah menuju Allah Azza wa Jalla. Berdasarkan tinjauan dari sudut agama dan akal tidak boleh seorang da’i menyimpang dari manhaj dakwah Anbiyaa’, lalu memilih manhaj dakwah yang lain, karena:

1. Manhaj Anbiyaa’ (para Nabi) adalah jalan paling lurus, yang ditetapkan Allah kepada seluruh Nabi, dari pertama sampai terakhir.

2. Sesungguhnya para Nabi benar-benar telah berpegang teguh dan mempraktekkan manhaj tersebut. Hal itu jelas menunjuk-kan kepada kita bahwa masalah manhaj bukan termasuk masalah ijtihad (bukan berasal dari pemikiran).

3. Allah telah mewajibkan kepada Rasul-Nya yang mulia j untuk meneladani dan menempuh manhaj para Nabi itu dan kita wajib mengikuti beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

4. Karena kesempurnaan konsep dakwah para Nabi tergambar dalam dakwah Nabi Ibrahim Alaihissallam, maka Allah memerintahkan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengikuti manhaj Nabi Ibrahim Alaihissallam. Allah Azza wa Jalla juga memerintahkan umat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengikuti agama Nabi Ibrahim Alaihissallam yang hanif. [9]

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

“Hai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu, kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur-an) dan Rasul-Nya (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” [An-Nisaa’: 59]

Jika kita kembali kepada Al-Qur-an, sesungguhnya Allah telah memberitahukan kepada kita bahwa ‘aqidah seluruh Rasul adalah tauhid dan dakwah mereka dimulai dengan Tauhidullaah dan tauhid merupakan perkara terpenting dan terbesar yang mereka bawa.

5. Allah telah menciptakan alam ini, menyusunnya dengan aturan yang rapi dan Allah telah menjadikan ketetapan-ketetapan bagi alam ini. Seandainya ketetapan-ketetapan alam itu berbeda-beda niscaya rusaklah alam ini. Begitu juga dalam hal syari’at, ia tidaklah tegak kecuali di atas ‘aqidah yang haq. Jika syari’at telah lepas dari ‘aqidah rusaklah syari’at tersebut dan tidak lagi sebagai syari’at yang benar.

Jelaslah, bahwa hubungan ‘aqidah tauhid terhadap seluruh syari’at para Nabi (termasuk Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam) adalah bagaikan pondasi sebuah bangunan (dan bagaikan ruh bagi badan). Jasad tidak akan berdiri dan hidup kecuali dengan adanya ruh.

Saya tambahkan tiga contoh yang dengannya kita bertambah faham terhadap Sunnatullah yang disyari’atkan-Nya. Begitu juga tentang pengaturan dan ketertiban dalam syari’at-Nya adalah perkara yang dijadikan tujuan sehingga wajib untuk diikuti dan tidak boleh menyimpang dari hal-hal berikut:

1. Shalat
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengajarkan shalat kepada kita dengan praktek yang nyata. Andaikan ada sekelompok orang yang mengubah tata cara shalat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka apakah shalatnya itu benar dan Islami?!

2. Haji
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengerjakan haji dan mengajarkan manusia tentang manasik haji. Maka jika ada jama’ah yang menghendaki adanya perubahan terkait dengan manasik haji, maka apakah hajinya itu adalah haji yang dibenarkan dalam Islam atau justru merusak ibadah haji?

3. Dakwah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (ini yang terpenting)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam memulai dakwahnya dengan tauhid dan demikian pula seluruh Rasul.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ ۖ فَمِنْهُم مَّنْ هَدَى اللَّهُ وَمِنْهُم مَّنْ حَقَّتْ عَلَيْهِ الضَّلَالَةُ ۚ فَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَانظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap ummat (untuk menyerukan): ‘Beribadahlah kepada Allah (saja), dan jauhilah thaghut itu, maka di antara ummat itu ada yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (Rasul-rasul).” [An-Nahl: 36] [10]

Di antara contohnya adalah sabda Nabi Shallallahu ‘aalihi wa sallam kepada Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu anhum ketika diutus ke Yaman.

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّكَ سَتَأْتِي قَوْمًا أَهْلَ كِتَابٍ، فَإِذَا جِئْتَهُمْ فَادْعُهُمْ إِلَى أَنْ يَشْهَدُوْا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ، وَأَنَّ مُحَمَّداً رَسُوْلُ اللهِ (وَفِي طَرِيْقٍ: فَلْيَكُنْ أَوَّلَ مَا تَدْعُوْهُمْ إِلَيْهِ عِبَادَةُ اللهِ)، (وَفِي أُخْرَى: أَنْ يُوَحِّدُوا اللهَ) فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوْكَ لِذَلِكَ (وَفِي رِوَايَةٍ: فَإِذَا عَرَفُوْا اللهَ)، فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللهَ قَدْ فَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ، فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوْا لَكَ بِذَلِكَ فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللهَ قَدْ فَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ، فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوْا لَكَ لِذَلِكَ فَإِياَّكَ وَكَرَائِمَ أَمْوَالِهِمْ وَاتَّقِ دَعْوَةَ الْمَظْلُوْمِ فَإِنَّهُ لَيْسَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللهِ حِجَابٌ.

“Sesungguhnya engkau akan mendatangi suatu kaum dari Ahli Kitab, maka ajaklah mereka agar bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah, dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah. (Pada lafazh lainnya: ‘Maka yang pertama kali engkau dakwahkan kepada mereka adalah beribadah kepada Allah semata) (juga lafazh lainnya adalah: ‘Supaya mereka menjadikan Allah sebagai satu-satunya yang berhak diibadahi) apabila mereka mentaati-mu karena yang demikian itu (dalam suatu riwayat: Apabila mereka telah mentauhidkan Allah), maka beritahukanlah kepada mereka bahwa sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepada mereka shalat lima waktu sehari semalam. Jika mereka mentaatimu karena yang demikian itu, maka beritahukan-lah kepada mereka bahwa sesungguhnya Allah telah mewajibkan atas mereka shadaqah yang diambil dari orang-orang yang kaya di antara mereka lalu dibagikan kepada orang-orang yang miskin di antara mereka. Jika mereka mentaatimu karena yang demikian itu, maka jauhilah olehmu harta-harta mereka yang baik dan takutlah kamu terhadap do’a orang yang dizhalimi, karena tidak ada hijab antara do’a orang yang dizhalimi dengan Allah.”’ [11]

Kita faham bahwasanya mengikuti ketetapan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang berkaitan dengan syari’at dan aturannya yang detail dalam peribadatan serta perinciannya adalah wajib, tetapi kenapa kita tidak memahami ketetapan Allah Azza wa Jalla dan aturan-Nya yang detail dalam masalah dakwah? Padahal para Nabi semuanya meniti jalan yang satu. Kita tidak boleh berpaling dari manhaj dakwah yang di-contohkan oleh para Nabi dan tidak boleh menyelisihinya. Sebab, apabila menyalahi menhaj dakwah para Nabi Alahissallam, akibatnya sangat fatal. Para da’i wajib menggunakan kembali akal mereka dan mengubah sikap mereka.

Kemudian apakah ummat Islam (khususnya para da’i) mengambil manfaat dari manhaj yang agung ini dalam memberikan perhatian tentang masalah-masalah tauhid dan menjadikannya sebagai titik tolak dakwah mereka?! Jawabannya, sesungguhnya sebagian besar da’i dan ustadz telah menyimpang jauh dari manhaj para Nabi dalam berdakwah, sehingga umat Islam mengalami kondisi yang menyedihkan dan pahit akibat dari dakwah yang salah yang mereka lakukan.

Sesungguhnya banyak di antara ummat Islam (termasuk da’i, kyai dan pemikirnya-pent.) telah jahil terhadap manhaj ini dan sebagian lagi pura-pura bodoh. Mereka dihalang-halangi oleh syaithan dari manhaj yang haq ini, kemudian mereka membuat manhaj-manhaj yang menyelisihi manhaj dakwah para Nabi. Hal ini menjerumuskan mereka dan menyebabkan mereka tertimpa bencana di dalam agama dan dunianya. [12]

[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Po Box 7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan Ketiga 1427H/Juni 2006M]
_______
Footnote
[1]. Majmuu’ Fataawaa (XV/157-158) oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
[2]. Miftaah Daaris Sa’aadah (I/476) ta’liq dan takhrij Syaikh ‘Ali Hasan ‘Ali ‘Abdul Hamid, dar Ibni ‘Affan, th. 1416 H.
[3]. At-Tashfiyah wat Tarbiyah wa Aatsaaruhuma fii Isti’naafil Hayaatil Islaamiyyah (hal. 12) oleh Syaikh ‘Ali bin Hasan bin ‘Ali bin ‘Abdul Hamid al-Halabi.
[4]. Termasuk di dalam hal ini, membantah orang-orang yang menyelisihi al-haq, sebagaimana hal itu telah jelas.
[5]. Lihat Tafsiir Taisiirul Kariimir Rahmaan fii Tafsiir Kalaamil Mannaan oleh Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di t (wafat th. 1376 H) hal. 295, cet. Mu-assasah ar-Risalah, th. 1423 H, dan hal. 339, cet. Maktabah al-Ma’arif.
[6]. Makna hikmah banyak sekali, begitu pula definisinya. Apabila kata hikmah disebutkan sesudah al-Qur-an, artinya adalah “as-Sunnah”. Adapun definisi hikmah yang mencakup adalah: “اْلإِصَابَةُ فِي اْلأَقْوَالِ وَاْلأَفْعَالِ، وَوَضْعِ كُلِّ شَيْءٍ فِي مَوْضِعِهِ (Benar dalam berkata dan berbuat, dan meletakkan segala sesuatu pada tem-patnya).” Lihat al-Hikmah fid Da’wah ilallaahi Ta’aala karya Dr. Sa’id bin ‘Ali bin Wahf al-Qahthani, cet. III-th. 1417 H.
[7]. Ini yang dikatakan “hikmah” dalam dakwah, yaitu berdakwah mengikuti contoh Rasulullah j dalam mengajak manusia ke jalan Allah berdasarkan Al-Qur-an dan As-Sunnah.
[8]. Ad-Durar al-Ghaaliyah fii Aadabid Da’wah wad Daa’iyah (hal. 25-27) oleh al-‘Allamah Syaikh ‘Abdul Hamid Baadais (wafat th. 1359 H), ta’liq oleh Syaikh ‘Ali Hasan ‘Ali ‘Abdil Hamid, cet. Daarul Manaar.
[9]. QS. Al-Baqarah: 130; Ali ‘Imran: 68, 95; an-Nisaa’: 125; an-Nahl: 123.
[10]. Lihat juga QS. Al-Anbiyaa’: 25.
[11]. HR. Al-Bukhari (no. 1395, 1458, 1496, 4347, 7372) dan Muslim (no. 19 (29)).
[12]. Disadur secara ringkas dari Manhajul Anbiyaa’ fid Da’wah ilallaah fiihil Hikmah wal ‘Aql (hal. 123-132) oleh Dr. Rabi’ bin Hadi al-Madkhaliy dan at-Tashfiyah wat Tarbiyah wa Aatsaaruhuma fii Isti’naafil Hayaatil Islaamiyyah (hal. 71-80) oleh Syaikh ‘Ali bin Hasan al-Halabi al-Atsari.

Tinggalkan komentar