Kalimat-Kalimat Allah Subhanahu Wa Ta’ala

Oleh
Ustadz Nur Kholis Kurdian

Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

قُلْ لَوْ كَانَ الْبَحْرُ مِدَادًا لِكَلِمَاتِ رَبِّي لَنَفِدَ الْبَحْرُ قَبْلَ أَنْ تَنْفَدَ كَلِمَاتُ رَبِّي وَلَوْ جِئْنَا بِمِثْلِهِ مَدَدًا

Katakanlah (wahai Muhammad), “Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Rabbku, sungguh habislah lautan itu sebelum kalimat-kalimat Rabbku habis (ditulis), meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula). [al-Kahfi/18:109]

A. ASBABUN NUZUL (SEBAB DITURUNKANNYA) AYAT
Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu berkata, “orang-orang kafir Quraisy mengatakan kepada orang-orang Yahudi, “Berikanlah kepada kami suatu permasalahan untuk kami tanyakan kepada laki-laki itu (Rasûlullâh)!’ Orang-orang Yahudi menjawab, “Tanyakanlah kepadanya tentang Ruh”, mereka pun menanyakan hal itu, maka sebagai jawabannya turunlah ayat :

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ ۖ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوتِيتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلًا

Dan mereka bertanya kepadamu tentang Ruh maka katakanlah, “Ruh itu urusannya Tuhanku dan tidaklah kalian diberi ilmu kecuali sedikit”. [al-Isrâ’/17:85]

Orang-orang Yahudi mengatakan, “Bagaimana (ilmu kami sedikit) padahal telah diturunkan kepada kami Taurat, dan barang siapa yang telah diturunkan Taurat kepadanya maka sungguh dia telah diberi kebaikan (ilmu) yang banyak. Sebagai bantahan atas perkataan mereka ini maka turunlah ayat diatas [1]

B. PENJELASAN AYAT
1. Ilmu Allâh Subhanahu wa Ta’ala Sangat Luas Melebihi Lautan Yang Tak Bertepi
Ayat diatas jika dilihat dari sebab turunnya merupakan bantahan bagi orang Yahudi dan setiap orang yang mengaku memiliki ilmu yang luas dan paling tinggi ilmunya [2]. Dalam ayat tersebut Allâh Azza wa Jalla menyuruh Rasul-Nya untuk mengatakan kepada mereka, “Andaikata lautan dijadikan tinta dan seluruh pepohonan yang ada di bumi dijadikan pena, maka lautan tinta tersebut akan habis dan pena-pena tersebut akan rusak, sedangkan kalimat Allâh Azza wa Jalla masih banyak yang belum ditulis [3] meskipun didatangkan lagi lautan tinta yang semisalnya dan semisalnya dan semisalnya sampai seterusnya, kalimat Allâh Azza wa Jalla tidak akan habis ditulis, karena tidak ada batasan bagi ayat-ayat dan kalimat-kalimat-Nya.[4] Ketika menafsirkan ayat tersebut, Hasan Bashri rahimahullah mengatakan, “Andaikata pepohonan yang ada di bumi ini dijadikan sebagai pena dan lautan dijadikan sebagai tinta dan Allâh Azza wa Jalla berfirman, “Sesungguhnya termasuk urusanku ini dan itu” maka tinta yang ada di lautan tersebut akan habis dan pena-penanya pun akan rusak (karena terlalu banyak yang ditulis)” [5]. Qatâdah rahimahullah juga mengatakan, “Andaikata pepohonan yang ada di bumi ini sebagai pena beserta tujuh lautan sebagai tinta, maka tidak akan habis keajaiban, hikmah, penciptaan dan ilmu Rabbku.[6]

Ayat diatas semakna dengan ayat yang lain, yaitu :

وَلَوْ أَنَّمَا فِي الْأَرْضِ مِنْ شَجَرَةٍ أَقْلَامٌ وَالْبَحْرُ يَمُدُّهُ مِنْ بَعْدِهِ سَبْعَةُ أَبْحُرٍ مَا نَفِدَتْ كَلِمَاتُ اللَّهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering)nya, niscaya kalimat Allâh tidak akan habis ditulis. [Luqmân/31:27]

Ini merupakan analogi untuk menggambarkan betapa luasnya ilmu Allâh Azza wa Jalla yang tercermin dalam kalimat-kalimat-Nya, sehingga tidak dapat ditulis oleh pena dan tinta meskipun jumlahnya sangat banyak.

Oleh sebab itu tidak layak bagi seorang hamba mengaku bahwa ia telah menguasai semua bidang ilmu, dan merasa tidak ada yang sepertinya atau lebih darinya. Karena perasaan ini akan menjadi penghalang baginya untuk menerima kebenaran dari orang lain yang pada hakikatnya kebenaran tersebut datang dari Allâh Azza wa Jalla . Padahal ilmunya tidak seberapa jika dibandingkan dengan Ilmu Allâh Azza wa Jalla , bahkan ilmu semua manusia di muka bumi ini baik generasi awal maupun akhir jika dikumpulkan dan dibandingkan dengan ilmu Allâh Azza wa Jalla , maka perbandingan itu bagaikan setetes air laut yang jatuh dari jarum yang telah dicelupkan kedalam tujuh lautan atau lebih, sebagaimana yang telah dikatakan oleh ar-Rabi’ bin Anas rahimahullah, “Sesungguhnya perumpamaan ilmu semua manusia jika dibandingkan dengan ilmu Allâh Azza wa Jalla itu ibarat setetes air dari banyak lautan, dan hal itu telah dijelaskan oleh Allâh Azza wa Jalla dalam firmanNya…”,[7] kemudian beliau menyebutkan ayat di atas.

2. Kalimat-Kalimat Allâh al-Kauniyyah Dan asy-Syar’iyyah
Jika dilihat dari keumuman lafaz ayat tersebut maka yang dimaksud dengan kalimat-kalimat Allâh Azza wa Jalla adalah firman-Nya, yang mana itu merupakan sifat Allâh Azza wa Jalla dan bukan makhluk-Nya.

Syaikh as-Sa’di mengatakan, “(Pena-pena dan lautan tinta tersebut musnah ketika menulis kalimat-kalimat Allâh) karena pena dan tinta adalah makhluk dan setiap makhluk adalah fana dan terbatas. Adapun Kalimat-kalimat (firman)-Nya merupakan salah satu dari sifat-sifat-Nya, dan sifat-sifat-Nya bukanlah makhluk, tiada batas akhir baginya. Dan setiap keluasan dan kebesaran menurut pandangan hati manusia tentang Allâh Azza wa Jalla , maka Allâh Azza wa Jalla lebih dari itu semua. Demikian pula dengan semua sifat-sifat-Nya.[8]

Kalimat-kalimat Allâh Subhanahu wa Ta’ala yang merupakan salah satu dari Sifat-sifat-Nya tersebut ada dua macam:
a. Kalimat-kalimat Allâh Azza wa Jalla al-Kauniyyah [9] yang dengannya Allâh Azza wa Jalla menciptakan, mengatur, memerintah dan lain sebagainya, dan tidak ada seorang pun yang dapat mengetahuinya, meskipun hal itu jika ditampakkan maka sangat banyak dan luas, dan didalamnya juga tersirat banyak hikmah dan ilmu.

b. Kalimat-kalimat Allâh Azza wa Jalla Syar’iyyah[10] yaitu berupa kitab-kitab-Nya yang telah diturunkan kepada para Rasul-Nya melalui perantara malaikat Jibril Alaihissallam seperti al-Qur’ân, Injîl, Taurat dan Zabur.
Dan yang dimaksud Kalimat-kalimat Allâh Azza wa Jalla pada ayat diatas adalah yang pertama yaitu Kalimat-kalimat Allâh Azza wa Jalla al-Kauniyyah.

3. Kalimat-Kalimat Allâh Azza wa Jalla , Apakah Sifat Dzatiyyah Atau Fi’liyyah ?
Untuk menjawab pertanyaan ini maka perlu dilihat dari dua sisi :
a. Sisi pertama; dari sisi hubungan sifat tersebut dengan Dzat Allâh Azza wa Jalla , maka dari sisi ini sifat tersebut dapat dikatakan sebagai sifat Dzâtiyyah Allâh Azza wa Jalla , karena Dia Muttashifun biha (memiliki sifat tersebut), sebagaimana yang diutarakan oleh Syaikh hâfidz al-Hakami, “Adapun jika dilihat dari sisi hubungan erat sifat tersebut dengan Dzat Allâh Subhanahu wa Ta’ala yang Dia Muttashifun biha (memiliki sifat tersebut), maka sifat itu adalah Sifat Dzatiyyah-Nya seperti halnya sifat ilmu, bahkan sifat tersebut termasuk Ilmu-Nya, dan diturunkan dengan Ilmu-Nya.[11]

b. Sisi kedua; dari sisi hubungan sifat tersebut dengan kehendak Allâh Azza wa Jalla . Jika dilihat dari sisi ini, maka sifat tersebut merupakan Sifat Fi’liyyah Allâh Azza wa Jalla , karena Allâh Azza wa Jalla berfirman atas dasar Kehendak-Nya. Sebagaimana yang telah dikatakan oleh syaikh hâfidz, “Adapun hubungan antara sifat tersebut dengan kehendak dan keinginan Allâh Azza wa Jalla , maka sifat tersebut adalah Sifat Fi’liyyah Allâh Azza wa Jalla..,[12]

Jadi Kalimat-kalimat Allâh adalah sifat dzat dan fi’il. Oleh karena itu para as-salafus shâlih mengatakan, “Sifat tersebut adalah sifat Dzat dan fi’l sekaligus. Allâh Azza wa Jalla sejak dulu dan selama-lamanya memiliki sifat kalam (berfirman), Dia berfirman dengan kehendak dan keinginan-Nya, kapan saja Dia ingin berfirman, dengan cara bagaimana saja yang Ia kehendaki, dan kepada siapa saja yang Ia inginkan, maka hal itu Dia lakukan. Kalam (kalimat-kalimat)-Nya adalah sifat (fi’il)nya yang tidak ada habis-habisnya.”[13]

4. Berlindung Kepada Kalimat-Kalimat Allâh Azza wa Jalla al-Kauniyyah
Tidak boleh meminta perlindungan dari bahaya yang akan menimpa yang makhluk tidak mampu melindunginya dari hal itu kecuali Allâh, maka meminta perlindungan kepada selainNya adalah suatu kesyirikan, karena meminta perlindungan dalam hal ini kepada selain Allâh adalah (ibadah hati); tertujunya hati peminta kepada yang dimintai perlindungan dengan penuh pengharapan dan keyakinan bahwa ia dapat menolak bencana tersebut, jika hal itu ibadah maka tidak diperbolehkan untuk selain Allâh, menyuguhkan ibadah kepada selainNya sama dengan menjadikan makhluk sebagi Tuhan selain Allâh ta’ala.[14]

Dalam hal ini Syari’at memberikan solusi bagi orang yang meminta perlindungan agar meminta perlindungan hanya kepada Allâh Azza wa Jalla saja, sebagaimana firman-Nya :

قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ

Katakanlah (wahai Muhammad), ‘Aku berlindung kepada Rabbnya fajar atau shubuh . [Al-Falaq/113:1]

Dalam ayat ini Allâh Azza wa Jalla menyuruh Nabi-Nya agar ber-isti’adzah (meminta perlindungan) kepada Allâh Azza wa Jalla , Rabbnya fajar.

Dan diperbolehkan bagi seorang muslim untuk berlindung kepada kalimat-kalimat Allâh Azza wa Jalla al-kauniyyah, sebagaimana sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ;

مَنْ نَزَلَ مَنْزِلاً ثُمَّ قَالَ أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ. لَمْ يَضُرُّهُ شَىْءٌ حَتَّى يَرْتَحِلَ مِنْ مَنْزِلِهِ ذَلِكَ

Barang siapa yang singgah di suatu tempat kemudian dia mengucapkan, “Aku berlindung kepada kalimat-kalimat Allâh yang sempurna dari kejahatan makhluk yang Ia ciptakan,” maka tidak ada yang dapat membahayakannya sampai ia pergi dari tempat itu.[15]

Hadis Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini menjelaskan tentang keutamaan berlindung kepada Kalimat-kalimat Allâh Azza wa Jalla , dengan menjadikan makhluk yang jahat sebagai al-musta’âdz minhu (yang seseorang berlindung dari kejahatannya), dan Kalimat-kalimat Allâh sebagai al-musta’adz bihi (yang seseorang memohon berlindungan kepada-Nya).

Syaikh Shâlih Alu Syaikh mengatakan, “Dan yang dimaksud dengan Kalimat-kalimat Allâh Azza wa Jalla pada hadits ini adalah Kalimat-kalimat-Nya al-Kauniyyah yang orang-orang shaleh maupun orang-orang thâleh (jahat) tidak mampu untuk melampauinya. Dan Kalimat-kalimat itu seperti yang dimaksud dalam firman Allâh Azza wa Jalla.., kemudian beliau menyebutkan ayat diatas.[16]

Beliau juga mengatakan, “Para Ulama Ahlussunnah ketika membantah perkataan Mu’tazilah tentang khalqil Qur’an, mereka membawakan hadits ini, dengan mengatakan bahwa Kalimat-kalimat Allâh Azza wa Jalla bukanlah makhluk, karena jika ia makhluk maka tidak boleh dijadikan sebagai perlindungan dari kejahatan makhluk, dan menjadikan makhluk sebagai perlindungan adalah suatu kesyirikan, sebagaimana perkataan Imam Ahmad dan para imam ahlussunnah. Dan dari hadits diatas dapat diambil kesimpulan bahwa Ahlussunnah telah ber-ijma’ (sepakat) menjadikan hadits tersebut sebagai dalil atas larangan meminta perlindungan kepada selain Allâh Azza wa Jalla , dan bahwa hal itu adalah suatu kesyirikan, dan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menganjurkan ber-isti’âdzah (memohon perlindungan) dengan Kalimat-kalimat Allâh Azza wa Jalla kecuali karena Kalimat-kalimat Allâh Azza wa Jalla bukanlah makhluk.[17]

C. PELAJARAN DARI AYAT
Dari uraian diatas dapat dipetik suatu kesimpulan:
1. Kalimat-kalimat Allâh Azza wa Jalla ada dua macam; Kauniyyah dan Syar’iyyah.

2. Ilmu Allâh Azza wa Jalla sangat luas, Kalimat-kalimat Allâh yang Kauniyyah jumlahnya tak terbatas dan itu termasuk ilmu Allâh Azza wa Jalla .

3. Bagi orang yang telah diberi ilmu oleh Allâh Azza wa Jalla hendaknya ia tawaddu’ (merendahkan diri) tidak sombong yaitu menolak kebenaran dan meremehkan manusia, karena pada hakikatnya ilmu yang telah diberikan oleh Allâh Azza wa Jalla kepadanya tersebut adalah sedikit, dan ingatlah bahwa, “diatas langit masih ada langit”.

4. Kalimat-kalimat Allâh Azza wa Jalla adalah sifat Dzatiyyah dan Fi’liyyah.

5. Wajib bagi kaum muslimin ber-isti’âdzah kepada Allâh Azza wa Jalla dan meninggalkan ber-Isti’adzah kepada makhlukNya.

6. Kalimat-kalimat Allâh Azza wa Jalla adalah sifat dari Sifat-sifatNya bukan makhluqNya, oleh karena itu disyariatkan untuk ber-Isti’adzah kepadanya.

DAFTAR PUSTAKA

1. A’lâmus Sunnah al-Mansyûrah li’ Tiqâdit Thâ’ifatil Manshûrah. Hafidz bin Ahmad al-Hakami. KSA: Wizaratusy Syu’un al-Islamiyyah wal-Auqaf wad Da’wah wal Irsyad, tanpa cetakan, th. 1422 H.
2. Aisarut Tafâsîr, Abu Bakr Jabir al-Jazâiri. Madinah: Maktabatul ‘Ulum wal-Hikam, Cetakan kelima th.1424 H/2003M.
3. Asbâbun Nuzûl. al-Wahidi, Ali bin Ahmad. Dammam: Darul Ishlah, cet. Kedua, th.1992 M.
4. al-Jâmi’ li Ahkâmil Qur’ân. Al-Qurthubi, Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr bin Farah Al-Anshari. Riyadl–KSA: Darul Kutub al-Mishriyyah cet. Kedua, th. 1964 M.
5. Lubabun Nuqûl fi Asbâbin Nuzûl. As-Suyuthi, Jalaluddin. Beirut: Darul Kitab al-Araby, tanpa cetakan, 2006 M.
6. al-Qur’an dan terjemahnya.
7. Shahih Muslim. Muslim bin al-Hajjaj An-Naisaburi. Beirut: Darul Jiel dan Darul Afaq al-Jadidah, tanpa cetakan, tanpa tahun.
8. Tafsîr al-Qur’ânil ‘Azhîm. Ibn Katsir, Abul fida’ Isma’il bin Umar Al-Qurasyi. Riyadl-KSA: Darut-Taibah, Cetakan kedua, th.1417 H/ th.1997 M.
9. Taisîrul Karîmir Rahmân fi Tafsîri Kalâmil Mannân,. al-Sa’di, ‘Abdurrahman bin Nashir. Beirut: Muassasat al-Risalah, tanpa cetakan, 1999 M.
10. Tamhid Syarh Kitabut Tauhid. Shaleh bin Abdul ‘Aziz Alu Syaikh. Riyadh: Darut Tauhid, cet. Pertama, th. 2002 M.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun XV/1432H/2011M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Lubabun Nuqûl fi Asbâbin Nuzûl, Jalâluddin As-Suyuthi, hlm. 155; Lihat Asbâbun Nuzûl, Ali bin Ahmad al-Wahidi, hlm. 298; Lihat al-Jâmi’ li Ahkâmil Qur’ân, Muhammad bin Ahmad, 11/68; Lihat Tafsîr al-Qur’ânil ‘Azhîm, Ismâ’îl bin ‘Umar bin Katsîr, 5/114.
[2]. Aisarut Tafâsîr, Abu Bakr Jabir al-Jazâiri, 2/402. Bittasharruf yasir.
[3]. Tafsîr al-Qur’ânil ‘Azhîm, 5/205.
[4]. Ibid, 6/348.
[5]. Ibid.
[6]. Ibid.
[7]. Tafsîr al-Qur’ânil ‘Azhîm , 5/204.
[8]. Taisîrul Karîmir Rahmân fi Tafsîri Kalâmil Mannân, ‘Abdurrahman bin Nashir al-Sa’di (Beirut: Muassasat al-Risalah, tanpa cetakan, 1999), hlm. 488.
[9]. at-Tamhîd Syarh Kitâbut Tauhîd, Shaleh bin Abdul ‘Aziz Alu Syaikh (Riyadh: Darut Tauhid, cet. Pertama, 2002), 173. Bittasharruf.
[10]. Ibid, Bittasyarruf.
[11]. A’lâmus Sunnah al-Mansyûrah li’ Tiqâdit Thâ’ifatil Manshûrah, Hafidz bin Ahmad al-Hakami, hlm. 108.
[12]. Ibid.
[13]. Ibid.
[14]. at-Tamhîd, hlm. 170. Bittasharruf.
[15]. Shahih Muslim, Muslim bin al-Hajjaj An-Naisaburi, no. 7053, 8/76.
[16]. at-Tamhîd, hlm. 173.

Tinggalkan komentar