Bukti Kenabian Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam

Oleh
Ustadz Abu Humaid Arif Syarifuddin Lc

تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ﴿١﴾مَا أَغْنَىٰ عَنْهُ مَالُهُ وَمَا كَسَبَ﴿٢﴾سَيَصْلَىٰ نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ﴿٣﴾وَامْرَأَتُهُ حَمَّالَةَ الْحَطَبِ﴿٤﴾فِي جِيدِهَا حَبْلٌ مِنْ مَسَدٍ

Binasalah (celakalah) kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa (celaka). Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan. Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak. Dan (begitu pula) isterinya pembawa kayu bakar. Yang di lehernya ada tali dari sabut. [Al-Lahab /111 : 1-5]

MUKADIMAH
Surat ini terdiri dari lima ayat, dan tergolong ke dalam surat-surat Makkiyyah tanpa ada perselisihan,[1] karena diturunkan di Mekkah sebelum Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hijrah ke Madinah. Disebut al Lahab, karena diambil dari kalimat lahab, sebagaimana terdapat dalam ayat ketiga surat ini, yang berarti gejolak (api). Surat ini disebut juga al Masad, yang diambil dari kalimat masad, sebagaimana terdapat di ayat terakhir surat ini, yang berarti sabut.

Abu Lahab, yang disebutkan dalam surat ini merupakan salah satu paman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia bernama Abdul ‘Uzza bin Abdul Muthtalib (bin Hasyim). Kunyah-nya yang sebenarnya adalah Abu ‘Utaibah. Namun dia dikenal dengan sebutan Abu Lahab, karena wajahnya yang menyala (bersinar) bagai api yang bergejolak.[2] Dia banyak menyakiti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , amat membenci lagi banyak mencaci dan mencela (menghina) beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan agama beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.[3]

Salah satu kebencian dan permusuhannya terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan terhadap dakwah Islam, yaitu sebagaimana disebutkan dalam riwayat Imam Ahmad, dari Rabi’ah bin Abbad ad Diili Radhiyallahu anhu, dia menuturkan (kisah ketika ia masih kafir sebelum masuk Islam) :

Aku melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada masa jahiliyyah. Waktu itu, di pasar Dzul Majaz (beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) menyeru (orang-orang): “Wahai manusia, ucapkanlah ‘Laa ilaaha illallah’, niscaya kalian beruntung.”

Orang-orang pun berkumpul mengerumuni beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sementara di belakang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ada seorang laki-laki yang wajahnya bersinar (menyala), bermata juling dan memiliki dua jalinan di rambutnya yang berkata : “Sesungguhnya dia adalah shabi’un[4] lagi pendusta.”

Dia (Abu Lahab) mengikuti ke manapun beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pergi (berdakwah). Maka aku bertanya tentangnya, dan orang-orang mengatakan: “Dia adalah pamannya, Abu Lahab”.[5]

Adapun isteri Abu Lahab, yaitu Ummu Jamil; dan namanya adalah Arwa. Ada pula yang menyebutnya al ‘Aura[6] binti Harb bin Umayyah. Dia merupakan saudara perempuan dari Abu Sufyan. Dia menjadi penolong suaminya (Abu Lahab) yang berada di atas kekufuran, pengingkaran dan pembangkangannya (terhadap Islam).[7]

ASBABUN-NUZUL SURAT AL LAHAB
Ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berdakwah secara terang-terangan, maka beliau pun memulainya secara bertahap dengan mengajak dari kalangan karib kerabat terdekat. Ini beliau lakukan setelah turun firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

وَأَنْذِرْ عَشِيرَتَكَ الْأَقْرَبِينَ

(Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat. –(asy Syu’ara/26 ayat 214), maka Rasulullah pun bergegas melaksanakan perintah Rabb Azza wa Jalla .

Pertama kali beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengundang Bani Hasyim dan mereka pun hadir. Bersama mereka ada beberapa orang dari Bani al Muththalib bin Abdu Manaf. Jumlah keseluruhan yang hadir pada saat itu adalah 45 orang. Namun belum lagi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan misi dakwahnya, Abu Lahab telah mendahului pembicaraan dalam pertemuan tersebut, dan menggagalkan rencana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang pada saat itu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam diam dan tidak berbicara apapun.

Kemudian untuk kedua kalinya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengundang mereka dan langsung menyampaikan dakwahnya. Abu Thalib yang hadir pada pertemuan tersebut menyatakan kesiapannya untuk membantu dan membela yang didakwahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , meskipun dia tetap memegang agama nenek moyangnya (yang mengandung kesyirikan), dan tidak mau melepaskan agama pendahulunya.

Mendengar pembelaan dari Abu Thalib, maka Abu Lahab yang waktu itu juga hadir menyahut sembari berkata: “Demi Allah, ini adalah keburukan. Hendaklah kalian mencegahnya, sebelum dia (Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) mengambil orang-orang selain kalian”.

Namun Abu Thalib menimpalinya,”Demi Allah, sungguh kami akan membelanya selama kami masih hidup”[8].

Setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memastikan janji Abu Thalib untuk memberikan perlindungan, maka pada suatu hari beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam naik dan berdiri di atas bukit Shafa, seraya berseru:

“Wahai Bani Fihir! Wahai Bani ‘Adi!”. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil suku-suku dari kaum Quraisy sehingga mereka berkumpul. Sampai ada seseorang yang tidak bisa hadir mengutus seorang utusan untuk (hadir), agar mengetahui mengapa (mereka dipanggil)?

Maka hadirlah Abu Lahab dan orang-orang Quraisy yang lain. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata (kepada mereka): “Bagaimana pendapat kalian, kalau aku kabarkan kepada kalian bahwa ada pasukan berkuda di lembah (di balik bukit ini) yang akan menyerang kalian? Apakah kalian mempercayaiku?”

Mereka menjawab,”Ya (kami percaya). Kami tidak mendapatimu kecuali (berkata) jujur,” maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkata kepada mereka: “Sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan kepada kalian terhadap siksa (Allah) yang keras.”

(Mendengar seruan itu), Abu Lahab berkata: “Celakalah (binasalah) engkau pada hari ini. Untuk inikah engkau mengumpulkan kami?”

Maka turunlah ayat

تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ

Celakalah (binasalah) kedua tangan Abu Lahab dan (sungguh) dia akan celaka (binasa)…,[9] (hingga akhir surat al Lahab, Pen.).

Demikianlah, sebab diturunkannya surat ini adalah untuk mencela Abu Lahab yang telah mencaci Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Begitu pula dengan isterinya yang telah membantu suaminya dalam menentang dakwah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Al ‘Aura isteri Abu Lahab, ketika mendengar turunnya surat ini yang memberitakan tentang suaminya dan dirinya, dia pergi mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Pada waktu itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang duduk di masjid dekat Ka’bah bersama Abu Bakar Radhiyallahu anhu. Dia mendatangi dengan membawa sebuah batu. Namun ketika ia berdiri di hadapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menghilangkan pandangannya dari beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sehingga isteri Abu Lahab ini tidak melihat, selain Abu Bakar Radhiyallahu anhu saja. Lalu dia berkata,”Hai, Abu Bakar. Sesungguhnya telah sampai kepadaku bahwa temanmu (maksudnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) mencelaku. Demi Allah, kalau aku mendapatinya, akan aku pukul mulutnya dengan batu ini. Demi Allah, sesungguhnya aku bersyair: ‘Orang yang tercela (maksudnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) kami tentang, … perintahnya kami tolak, … dan agamanya (ajarannya) kami benci,’ kemudian dia pun pergi.

Abu Bakar berkata kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Wahai, Rasulullah! Tidakkah engkau tahu bahwa dia melihatmu?”

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,”Dia tidak melihatku, karena Allah telah menghilangkan penglihatannya dariku.”[10]

PENJELASAN AYAT

تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ

[Binasalah (celakalah) kedua tangan Abu Lahab]. Yakni, Abu Lahab akan merugi dan amal usahanya dalam kesesatan,[11] serta dia akan sengsara.[12]
Dikhususkan penyebutan “kedua tangan” dalam kecelakaan (kebinasaan) ini, karena kebanyakan amal usaha dikerjakan dengannya. Ada pula yang berpendapat, yang dimaksud “kedua tangan” adalah dirinya (yakni diri Abu Lahab), dan ungkapan seperti ini ditemui dalam bahasa Arab.[13]

وَتَبَّ

[dan sungguh dia akan binasa (celaka)]. Yakni, kerugian dan kebinasaannya adalah pasti.[14] Maka ia tidak akan beruntung.[15]

Ibnu Katsir menerangkan, ungkapan pertama (dari ayat di atas) merupakan do’a keburukan (kebinasan atau kecelakaan) atas diri Abu Lahab, sedangkan yang kedua adalah kalimat berita tentang (kebinasaan atau kecelakaan)nya,[16] karena tersirat padanya kata (قَدْ) yang berarti, adanya kesungguhan dan kepastian yang menguatkan, bahwa ungkapan ini adalah kalimat berita.[17]

مَا أَغْنَىٰ عَنْهُ مَالُهُ وَمَا كَسَبَ

(Tidaklah berfaidah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan). Yakni, tiada berguna harta yang ada padanya. Dan apa yang ia usahakan, sedikitpun tidak dapat menghindarkan dirinya dari adzab (siksa) Allah jika telah datang waktunya.[18]

Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma dan lainnya berkata, makna (وَمَا كَسَبَ – “apa yang ia usahakan”), yakni anaknya. Penafsiran seperti itu juga diriwayatkan dari Aisyah Radhiyallahu anhuma, Mujahid, Atha, al Hasan dan Ibnu Sirin. Disebutkan pula riwayat dari Ibnu Mas’ud, tatkala Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyeru kaumnya untuk beriman, Abu Lahab mengatakan: “Jika apa yang diucapkan oleh kemenakanku benar, maka aku akan menebus diriku dari siksa pada hari kiamat dengan harta dan anakku,” sehingga turunlah ayat tersebut.[19] Pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Jarir ath Thabari.[20] Dan pendapat tersebut dikuatkan juga oleh hadits Aisyah Radhiyallahu anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

إِنَّ أَطْيَبَ مَا أَكَلَ الرَّجُلُ مِنْ كَسْبِهِ، وَإِنَّ وَلَدَهُ مِنْ كَسْبِهِ

Sesungguhnya sebaik-baik apa yang dimakan oleh seseorang adalah dari hasil usahanya sendiri, dan sesungguhnya anaknya adalah termasuk hasil usahanya.[21]

Adapula yang berpendapat bahwa makna “apa yang ia usahakan” adalah kedudukan.[22]

سَيَصْلَىٰ نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ

(Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak). Yakni, (api) yang memiliki nyala, memiliki gejolak dan daya bakar yang dahsyat.[23] Maknanya, Abu Lahab akan masuk dengan sendirinya ke dalam api neraka,[24] yaitu Neraka Jahannam. Api neraka tersebut akan mengelilinginya dari segala penjuru.[25] Wa na’udzu billahi min dzalik.

وَامْرَأَتُهُ حَمَّالَةَ الْحَطَبِ

(Dan begitu pula isterinya, pembawa kayu bakar). Yakni, isterinya tersebut juga akan masuk ke dalam api nereka bersama Abu Lahab, karena dia telah membantu suaminya di atas kekufuran, melakukan penentangan dan pembangkangan terhadap dakwah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Pada hari kiamat ia juga akan membantu Abu Lahab menambah adzabnya di dalam Neraka Jahannam. Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فِي جِيدِهَا حَبْلٌ مِنْ مَسَدٍ

(Pembawa kayu bakar, yang di lehernya ada tali dari sabut). Yakni dia membawa kayu bakar untuk dilemparkan kepada suaminya agar menambah (siksa api neraka) yang membakarnya. Jadi dia telah disediakan dan disiapkan untuk (menambah siksa) suaminya.

Al Qurthubi menukil perkataan Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma, Mujahid, Qatadah dan as Suddi, bahwa makna “pembawa kayu bakar” adalah, berjalan sambil melakukan namimah (menebarkan fitnah di antara manusia).[26] Begitulah keadaan isteri Abu Lahab yang bernama al ‘Aura binti Harb bin Umayyah. Dia adalah wanita yang suka menebarkan fitnah di tengah-tengah manusia, terutama fitnah terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Syaikh as Sa’di rahimahullah menerangkan, makna “pembawa kayu bakar”, bahwa dia (isteri Abu Lahab ini) mengumpulkan dosa-dosa di atas punggungnya. Yakni diumpamakan seperti orang yang mengumpulkan kayu bakar dan telah menyiapkan tali dari sabut di lehernya. Atau, dia membawa kayu bakar ke dalam api neraka untuk suaminya (Abu Lahab), sambil mengalungkan tali dari sabut di lehernya.

PELAJARAN DARI AYAT
1. Surat ini berisi celaan terhadap Abu Lahab dan isterinya, karena keduanya memusuhi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menentang dakwahnya.

2. Berlimpahnya harta dan banyaknya anak, tidak dapat memberi faidah dan tidak akan dapat mencegah (seseorang) dari api neraka bagi orang yang kufur kepada Allah.

3. Dalam surat ini terdapat salah satu tanda kebesaran Allah yang nyata, karena (pada saat) Allah menurunkan surat ini Abu Lahab dan isterinya tidak binasa (seketika). Namun Allah mengabarkan, keduanya akan mendapat adzab dalam api neraka dan itu pasti. Itu berarti, keduanya tidak mungkin akan masuk Islam, sejak turunnya surat ini sampai mereka berdua mati. Hal itu terjadi, dan sesuai dengan yang diberitakan Allah Subhanahu wa Ta’ala .[27]

Sebagian ulama mengatakan, dalam surat ini terdapat mu’jizat yang nyata dan dalil yang jelas perihal kenabian (Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ). Karena, sejak turunnya firman Allah Subhanahu wa Ta’ala -yang artinya “Kelak dia (Abu Lahab) akan masuk ke dalam api neraka yang bergejolak, dan begitu juga isterinya pembawa kayu bakar. Di lehernya ada tali dari sabut’ yang memberitakan bahwa keduanya sengsara dan tidak beriman- (ternyata) keduanya benar-benar tidak beriman. Satu pun tidak. Keduanya tidak beriman, baik secara lahir maupun batin. Mereka juga tidak beriman, meskipun secara sembunyi-sembunyi, apalagi terang-terangan. Fakta ini merupakan bukti terkuat yang bersifat batin mengenai kenabian (Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam) yang nyata.”[28]. Wallahu a’lam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun X/1427H/2006. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Fathul Qadir, karya asy Syaukani (5/606).
[2]. Ibid.
[3]. Tafsir Ibnu Katsir (4/568).
[4]. Orang yang keluar dari agamanya. Maksud Abu Lahab adalah, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah keluar dari agama nenek moyangnya, yaitu menyembah patung dan berhala. Wallahu a’lam.
[5]. Musnad Ahmad (3/492). Lihat Tafsir Ibnu Katsir (4/568) dan Shahih as Sirah an Nabawiyyah (hlm. 143).
[6]. Lihat Tafsir Ibnu Katsir (4/569) dan Tafsir al Qurthubi (20/163).
[7]. Tafsir Ibnu Katsir (4/569).
[8]. Lihat ar Rahiqul Makhtum, hlm. 89-90. Dinukil dari Fiqhus Sirah, karya Ibnu al Atsir, hlm. 77-78.
[9]. Dari ar Rahiqul Makhtum, hlm. 90. Kisah tersebut, dengan lafazh di atas diriwayatkan oleh al Bukhari dalam Shahih-nya di kitab “Tafsir al Qur`an”, bab “Wa Andzir ‘Asyiiratakal Aqrabiin …”, hadits no. 4770 dari Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma . Senada dengan lafazh ini, yaitu yang diriwayatkan oleh al Bukhari pula dalam kitab “Tafsir al Qur`an”, bab “Tabaab Khusraan, Tatbiib Tadmiir”, hadits no. 4971 dan Muslim dalam Shahih-nya dalam kitab “al Iman”, bab “Fi Qaulihi Ta’ala wa Andzir ‘Asyiiratakal Aqrabiin’”, hadits no. 208, keduanya juga dari Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma.
[10]. Tafsir al Qurthubi (20/160) dan Tafsir Ibnu Katsir (4/569). Lihat juga Shahih as Sirah an Nabawiyyah, Syaikh al Albani, hlm. 137.
[11]. Tafsir Ibnu Katsir (4/568).
[12]. Tafsir as Sa’di, Muassasah ar Risalah, Beirut, Cet. III, Th. 1417 H/1997 M, hlm. 866.
[13]. Lihat Tafsir al Qurthubi (20/161).
[14]. Tafsir Ibnu Katsir (4/568).
[15]. Tafsir as Sa’di, hlm. 866.
[16]. Tafsir Ibnu Katsir (4/568). Demikian pula yang disebutkan oleh ath Thabari dalam tafsirnya (12/336) menukil perkataan sebagian ahli bahasa Arab. Sedangkan al Qurthubi (20/161) menukil hal ini dari al Farra.
[17]. Lihat Tafsir Ibnu Katsir (4/568). Dan ath Thabari (12/366) menukil adanya qira’ah dari ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu yang membaca: (تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَقَدْ تَبَّ). Sedangkan al Qurthubi (20/160) menukil qira’ah seperti ini dari al A’masy.
[18]. Tafsir as Sa’di, hlm. 866.
[19]. Tafsir Ibnu Katsir (4/569) dan Tafsir al Qurthubi (20/162).
[20]. Lihat Tafsir ath Thabari (12/337).
[21]. HR Abu Dawud (no. 3528), an Nasaa-i (no. 4375 dan 4376) dan Ibnu Majah (no. 2137). Lihat pula Tafsir al Qurthubi (20/162).
[22]. Lihat Tafsir al Qurthubi (20/162) dan Fathul Qadir (5/606).
[23]. Tafsir Ibnu Katsir (4/569).
[24]. Fathul Qadir (5/607).
[25]. Tafsir as Sa’di, hlm. 866.
[26]. Tafsir al Qurthubi (20/163). Lihat pula Tafsir ath Thabari (12/339) dan Fathul Qadir (5/607).
[27]. Tafsir as Sa’di, hlm. 866. Juga lihat Muqarrar at Tafsir li ash Shaffi al Awwal al Mutawassith (bi al Jami’ah al Islamiyyah bi al Madinah al Munawwarah), oleh Syaikh ‘Abdulah al Khayyath.
[28]. Tafsir Ibnu Katsir (4/570).

Tinggalkan komentar