AL-WADUD, YANG MAHA MENCINTAI HAMBA-HAMBA-NYA YANG SHALEH

Oleh
Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA

DASAR PENETAPAN
Nama Allâh Azza wa Jalla yang maha agung ini disebutkan dalam dua ayat al-Qur`ân:

1. Firman Allâh Azza wa Jalla :

وَاسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ ۚ إِنَّ رَبِّي رَحِيمٌ وَدُودٌ

Dan mohonlah ampun kepada Rabb-mu (Allah) kemudian bertaubatlah kepada-Nya, sesengguhnya Rabb-ku Maha Mencintai hamba-hamba-Nya lagi Maha Pengasih [Hûd/11 : 90]

2. Firman Allâh Azza wa Jalla :

إِنَّهُ هُوَ يُبْدِئُ وَيُعِيدُ﴿١٣﴾وَهُوَ الْغَفُورُ الْوَدُودُ

Sesungguhnya Dia-lah Yang menciptakan (makhluk) dari permulaan dan menghidupkannya (kembali). Dan Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Mencintai hamba-hamba-Nya [al-Burûj/85:13-14].

Berdasarkan ayat-ayat di atas, para Ulama menetapkan al-Wadûd sebagai salah satu dari nama Allâh Azza wa Jalla yang maha indah, seperti Imam Ibnul Atsir rahimahullah[1], Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyah rahimahullah[2] , Imam Ibnul Qayyim rahimahullah [3], Imam al-Qurthubi rahimahullah [4] , Syaikh ‘Abdur Rahmân as-Sa’di rahimahullah [5], Syaikh Muhammad bin Shâleh al-‘Utsaimîn rahimahullah [6], dan lain-lain.

MAKNA NAMA ALLAH SUBHANAHU WA TA’ALA AL-WADUD DAN PENJABARANNYA
Imam Ibnu Fâris rahimahullah dan Ibnul Atsîr rahimahullah menjelaskan bahwa asal kata nama ini secara bahasa berarti al-mahabbah (kecintaan)[7] .

Demikian pula Syaikh ‘Abdur Rahmân as-Sa’di rahimahullah menerangkan bahwa asal kata nama ini berarti al-mahabbah ash-shâfiyah (kecintaan yang murni).

Imam Ibnul Atsîr rahimahullah dan Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan bahwa nama Allâh Azza wa Jalla Al-Wadûd bisa berarti al-maudûd (yang dicintai), sehingga pengertiannya menjadi Allâh Azza wa Jalla itu dicintai dalam hati para kekasih-Nya (hamba-hamba-Nya yang taat kepada-Nya). Juga bisa berarti al-wâdd (yang mencintai), artinya Allâh Azza wa Jalla mencintai hamba-hamba-Nya yang shaleh [8] .

Syaikh ‘Abdur Rahmân as-Sa’di rahimahullah berkata: “Makna al-Wadûd yang termasuk nama-nama Allâh Azza wa Jalla (yang maha indah) adalah bahwa Dia Azza wa Jalla mencintai hamba-hamba-Nya yang beriman dan mereka pun mencintai-Nya [9], sesuai firman-Nya:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا مَنْ يَرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا يَخَافُونَ لَوْمَةَ لَائِمٍ ۚ ذَٰلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ ۚ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari (meninggalkan) agamanya, maka kelak Allâh akan mendatangkan suatu kaum yang Allâh mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah-lembut terhadap orang-orang mu’min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allâh, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allâh, diberikan-Nya kepada siap yang dihendaki-Nya, dan Allâh Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui [al-Mâidah/5:54].

Maka, makna nama Allâh Azza wa Jalla al-Wadûd adalah bahwa Allâh Azza wa Jalla mencintai para nabi dan rasul-Nya, serta orang-orang yang mengikuti (petunjuk) mereka dan mereka pun mencintai-Nya. Mereka mencintai-Nya lebih dari segala sesuatu (yang ada di dunia), sehingga hati mereka dipenuhi dengan kecintaan kepada-Nya, lidah mereka selalu mengucapkan pujian bagi-Nya dan jiwa mereka selalu tertuju kepada-Nya dalam kecintaan, keikhlasan dan kembali kepada-Nya dalam semua keadaan”[10].

Ketika menafsirkan firman Allâh Azza wa Jalla :

وَهُوَ الْغَفُورُ الْوَدُودُ

Dan Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Mencintai hamba-hamba-Nya [al-Burûj/85:14].

Syaikh ‘Abdur Rahmân as-Sa’di rahimahullah berkata, “Dialah (Allâh Azza wa Jalla) yang dicintai para wali-Nya (hamba-hamba-Nya yang taat kepada-Nya) dengan kecintaan yang tidak serupa (tidak ada bandingannya) dengan apapun (di dunia ini). Sebagaimana Dia Azza wa Jalla tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya dalam sifat-sifat keagungan, keindahan, (kesempurnaan) makna dan perbuatan-perbuatan-Nya, maka kecintaan kepada-Nya di hati hamba-hamba-Nya yang dipilih-Nya sesuai dengan itu semua, (yaitu) tidak sesuatu pun dari bentuk-bentuk kecintaan yang menyamainya. Oleh karena itu, kecintaan kepada-Nya adalah landasan pokok peribadatan (kepada-Nya), dan kecintaan ini mendahalui dan melebihi semua kecintaan (lainnya). Jika kecintaan-kecintaan lain itu tidak mengikuti/mendukung kecintaan kepada-Nya, maka semua itu akan menjadi siksaan (bencana) bagi seorang hamba. Dan Allâh Azza wa Jalla al-Wadûd, (juga) berarti Dia Azza wa Jalla mencintai para wali-Nya”[11] .

PENGARUH POSITIF DAN MANFAAT MENGIMANI NAMA ALLAH AL-WADUD
Orang yang paling sempurna dalam penghambaan diri dan ketakwaan kepada Allâh Azza wa Jalla adalah orang yang paling sempurna pemahamannya terhadap nama-nama Allâh Azza wa Jalla yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna.

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Orang yang paling sempurna dalam penghambaan diri (kepada Allâh Azza wa Jalla ) adalah orang yang menghambakan diri (kepada-Nya) dengan (memahami kandungan) semua nama dan sifat-Nya yang (bisa) diketahui oleh manusia” [12] .

Tidak terkecuali dalam hal ini nama Allâh Azza wa Jalla al-Wadûd, memahami kandungan nama ini dengan benar merupakan sebab utama untuk meraih mahabbatullâh (kecintaan kepada Allâh Azza wa Jalla ) dan menjadikan-Nya lebih dicintai dari segala sesuatu yang ada di dunia ini. Karena, dengan memahami kandungan nama ini, seorang hamba akan mempersaksikan bahwa Allâh Azza wa Jalla sungguh telah memudahkan bagi hamba-hamba-Nya berbagai sebab dan sarana agar mereka bisa mencapai mahabbatullâh (kecintaan kepada Allâh Azza wa Jalla), yang merupakan sumber kebaikan dan kebahagiaan hakiki bagi hati dan jiwa manusia [13] .

Sebab-sebab tersebut di antaranya: dengan Allâh Azza wa Jalla memperkenalkan diri-Nya kepada hamba-hamba-Nya melalui nama-nama-Nya yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna, ini merupakan sebab yang paling besar dan utama. Demikian pula dengan limpahan berbagai macam nikmat, karunia dan kebaikan dari-Nya kepada-hamba-Nya, ini tentu akan menggerakkan hati mereka untuk mencintai-Nya, karena jiwa manusia secara fitrah akan mencintai pihak yang berbuat banyak kebaikan untuk dirinya.

Syaikh ‘Abdur Rahmân as-Sa’di rahimahullah menjelaskan faidah penting ini dengan berkata, ” Al-Wadûd berarti bahwa Allâh Azza wa Jalla mengajak hamba-hamba-Nya untuk mencintai-Nya dengan (memperkenalkan kepada mereka) sifat-sifat-Nya yang maha indah, berbagai karunia-Nya yang sangat luas, kelembutan-Nya yang tersembunyi dan bemacam-macam nikmat-Nya yang tampak maupun tidak. Maka Dialah al-Wadûd yang berarti al-waaddu (yang mencintai) dan (juga) berarti al-mauduud (yang dicintai). Dialah yang mencintai para wali dan hamba yang dipilih-Nya, dan merekapun mencintai-Nya, maka Dialah yang mencintai mereka dan menjadikan dalam hati mereka kecintaan kepada-Nya. Lalu ketika mereka mencintai-Nya Dia pun mencintai (membalas cinta) mereka dengan kecintaan lain (yang lebih sempurna) sebagai balasan (kebaikan) atas kecintaan (tulus) mereka (kepada-Nya).

Maka karunia/kebaikan semua kembali kepada-Nya, karena Dialah yang memudahkan segala sebab untuk menjadikan hamba-hamba-Nya cinta kepada-Nya, Dialah yang mengajak dan menarik hati mereka untuk mencintai-Nya. Dialah yang mengajak hamba-hamba-Nya untuk mencintai-Nya dengan menyebutkan (dalam al-Qur`ân) sifat-sifat-Nya yang maha luas, agung dan indah, yang ini semua akan menarik hati-hati yang suci dan jiwa-jiwa yang lurus. Karena sesungguhnya hati dan jiwa yang bersih secara fitrah akan mencintai (sifat-sifat) kesempurnaan.

Dan Allâh Azza wa Jalla memiliki (sifat-sifat) kesempurnaan yang lengkap dan tidak terbatas. Masing-masing sifat tersebut memiliki keistimewaan dalam (menyempurnakan) penghambaan diri (seorang hamba) dan menarik hati (hamba-hamba-Nya) untuk (mencintai)-Nya. Kemudian Dia mengajak hamba-hamba-Nya untuk mencintai-Nya dengan berbagai macam nikmat dan karunia-Nya yang agung, yang dengan itu Allâh menciptakan, menghidupkan, memperbaiki keadaan dan menyempurnakan semua urusan mereka. Bahkan dengan itu Allâh menyempurnakan (pemenuhan) kebutuhan-kebutuhan pokok, memudahkan urusan-urusan, menghilangkan semua kesulitan dan kesusahan, menetapkan hukum-hukum syariat dan memudahkan mereka menjalankannya, serta menunjukkan jalan yang lurus kepada mereka…

Maka semua yang ada di dunia dari hal-hal yang dicintai oleh hati dan jiwa manusia, yang lahir maupun batin, adalah (bersumber) dari kebaikan dan kedermawanan-Nya, untuk mengajak hamba-hamba-Nya agar mencintai-Nya.

Sungguh hati manusia secara fitrah akan mencintai pihak yang (selalu) berbuat baik kepadanya. Maka kebaikan apa yang lebih agung dari kebaikan (yang Allâh Subhanahu wa Ta’ala limpahkan kepada hamba-hamba-Nya)? Kebaikan ini tidak sanggup untuk dihitung jenis dan macamnya, apalagi satuan-satuannya. Padahal setiap nikmat (dari Allâh Azza wa Jalla) mengharuskan bagi hamba untuk hati mereka dipenuhi dengan kecintaan, rasa syukur, pujian dan sanjungan kepada-Nya”[14] .

Demikian pula, termasuk bukti sempurnanya kebaikan dan kedermawanan Allâh Azza wa Jalla yaitu bahwa seorang hamba yang lancang berbuat maksiat dan kurang dalam menunaikan kewajibannya dalam beribadah kepada-Nya, tapi bersamaan dengan itu semua, Dia Azza wa Jalla tetap melimpahkan berbagai macam nikmat kepadanya, mengondisikan berbagai sebab untuk memudahkan hamba tersebut kembali kepada-Nya, bahkan Dia Azza wa Jalla mengampuni dosa-dosa dan kekurangan hamba tersebut, sehingga kembalilah kecintaan-Nya kepada hamba tersebut [15] .

Lebih dari itu, bahkan Allâh Azza wa Jalla sangat bergembira menerima taubat seorang hamba yang bertubat kepada-Nya melebihi kegembiraan terbesar yang pernah dialami manusia [16] dan Dia Azza wa Jalla menyayangi hamba-hamba-Nya melebihi sayangnya seorang ibu kepada anak bayinya[17] .

Inilah rahasia mengapa dalam dua ayat di atas Allâh Azza wa Jalla menggandengkan nama-Nya al-Wadûd dengan nama-Nya ar-Rahîm (Maha Pengasih) dan al-Ghafûr (Maha Pengampun).

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Dalam ayat ini terdapat rahasia (hikmah) yang halus, yaitu bahwa Allâh Azza wa Jalla mencintai hamba-hamba-Nya yang bertaubat (kepada-Nya) dan bahwa Dia Azza wa Jalla mencintai hamba-Nya setelah (mendapat) pengampunan-Nya. Maka Allâh Azza wa Jalla mengampuni-Nya kemudian mencintai-Nya, sebagaimana dalam firman-Nya:

إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ

Sesungguhnya Allâh mencintai orang-orang yang bertaubat dan orang-orang yang mensucikan diri (al-Baqarah/2: 222). Maka orang yang bertaubat adalah kekasih Allâh”[18] .

Demikian juga, termasuk pengaruh positif dari keimanan yang benar terhadap nama Allâh Azza wa Jalla yang maha agung ini adalah memudahkan seorang hamba untuk menjadikan segala bentuk kecintaannya, baik yang bersifat agama maupun tabiat, seluruhnya mengikuti kecintaan kepada Allâh Azza wa Jalla .

Adapun dalam kecintaan yang bersifat agama, maka ketika seorang hamba mencintai Allâh Azza wa Jalla , dia pasti akan mencintai orang-orang yang dicintai-Nya, yaitu para nabi, rasul dan orang-orang yang mengikuti petunjuk mereka. Demikian pula mencintai semua amal shaleh yang mendekatkan diri kepada Allâh Azza wa Jalla . Iia akan mencintai semua yang dicintai oleh Allâh Azza wa Jalla , berupa waktu, tempat, pebuatan maupun manusia[19] . Sebagaimana doa yang dipanjatkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “(Ya Allâh) aku memohon kepada-Mu kecintaan kepada-Mu, kecintaan kepada orang-orang yang mencintai-Mu dan mencintai (semua) amal perbuatan yang mendekatkan diriku kepada kecintaan kepada-mu” [20] .

Inilah ciri utama orang yang telah meraih kesempurnaan iman, sebagaimana sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Ada tiga sifat, barangsiapa yang memilikinya maka dia akan merasakan manisnya iman (kesempurnaan iman): menjadikan Allâh dan rasul-Nya lebih dicintai daripada (siapapun) selain keduanya, mencintai orang lain semata-mata karena Allâh, dan merasa benci (enggan) untuk kembali kepada kekafiran setelah diselamatkan oleh Allâh sebagaimana enggan untuk dilemparkan ke dalam api” [21] .

Adapun dalam kecintaan yang bersifat tabiat, maka seorang hamba yang mencintai Allâh Azza wa Jalla , dia akan melakukan hal-hal yang diinginkan oleh nafsunya secara fitrah bawaan manusia, seperti makan, minum, berpakaian dan tidur, semua itu dilakukannya dalam rangka membantunya untuk meraih kecintaan kepada Allâh Azza wa Jalla (untuk menguatkannya melakukan ketaatan kepada-Nya) dan dengan motivasi untuk menunaikan perintah-perintah-Nya yang bersifat mutlak dalam hal-hal yang mubah, seperti dalam firman-Nya:

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا

(Hai manusia), makan dan minumlah… [al-A’râf/7:31].

Maka jadilah sebab yang mendorong hamba tersebut dalam melakukan semua ini adalah untuk menunaikan perintah Allâh Azza wa Jalla dan tujuannya untuk membantunya meraih kecintaan kepada Allâh Azza wa Jalla (untuk menguatkannya melakukan ketaatan kepada-Nya). Sehingga dengan ini semua, hal-hal yang tadinya merupakan kebiasaan tersebut (hukum asalnya mubah dan tidak berpahala jika dilakukan) berubah menjadi ibadah (bernilai ketaatan di sisi-Nya) dan jadilah seluruh waktu mereka diisi dengan hal-hal yang semakin mendekatkan mereka kepada-Nya [22] .

PENUTUP
Syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa’di rahimahullah berkata, “Semua dampak positif yang agung dan mulia ini adalah termasuk buah dari kecintaan kepada Allâh Azza wa Jalla yang dilimpahkan-Nya kepada hamba-hamba-Nya. Semua ini akan semakin kuat pengaruhnya sesuai dengan (kuatnya) kecintaan (kepada-Nya) yang ada dalam hati manusia, kecintaan ini adalah ruh keimanan, hakikat tauhid, inti penghambaan diri dan landasan pendekatan diri (kepada-Nya).

Maka, sebagaimana Allâh Azza wa Jalla tidak ada yang serupa dengan-Nya dalam zat dan sifat-sifat-Nya, demikian pula kecintaan kepada-Nya dalam hati para wali-Nya (hamba-hamba-Nya yang taat kepada-Nya) tidak ada bandingannya dalam sebab (yang mendorongnya) dan tujuannya, dalam kadar dan dampaknya, dalam kenikmatan dan kelezatannya, dalam ketetapan dan kesinambungannya, serta dalam kesuciannya dari segala noda dan kotoran dari semua sisi”[23] .

Tidak lupa kami tegaskan di sini, bahwa termasuk sebab terbesar untuk meraih kecintaan Allâh Azza wa Jalla adalah mencintai Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sunnah-sunnah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta bersungguh-sungguh dalam mengikutinya[24] , sebagaimana firman-Nya:

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allâh, maka ikutilah (sunnah/petunjuk)ku, niscaya Allâh mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu, Allâh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang [Ali ‘Imran/3:31].

Demikianlah, dan kami akhiri tulisan ini dengan memohon kepada Allâh Azza wa Jalla dengan nama-nama-Nya yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna, agar Dia Azza wa Jalla senantiasa memudahkan bagi kita untuk meraih kecintaan kepada-Nya. Sesungguhnya Dia Azza wa Jalla Maha mendengar dan Maha Mengabulkan doa.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XV/1433H/2012. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. An-Nihâyah fî Gharîbil Hadîtsi wal Atsar 5/363
[2]. Majmû’ul Fatâwâ 13/296
[3]. Madârijus Sâlikîn 3/28
[4]. Al-Jâmi’ li Ahkâmil Qur`ân 9/78
[5]. Tafsîru Asmâillâhil Husnâ hlm. 87
[6]. Al-Qawâ’idul Mutslâ hlm. 41
[7]. Mu’jamu Maqâyîsil Lughah 6/55 dan an-Nihâyah fî Gharîbil Hadîtsi wal Atsar 5/363
[8]. Lihat An-Nihâyah fî Gharîbil Hadîtsi wal Atsar 5/363 dan Madârijus Sâlikîn 3/28
[9]. Taisîrul Karîmir Rahmân hlm. 388
[10]. Keterangan Syaikh ‘Abdur Rahmân as- Sa’di dalam Tafsîru Asmâillahil Husnâ hlm. 87
[11]. Taisîrul Karîmir Rahmân hlm. 919
[12]. Madârijus Sâlikîn 1/420
[13]. Lihat keterangan Imam Ibnul Qayyim dalam Ighâtsatul Lahfân 1/6
[14]. Fathur Rahîmil Malikil ‘Allâm hlm. 55-56
[15]. Lihat Fiqhul Asmâil Husnâ hlm. 223
[16]. Berdasarkan hadits riwayat al-Bukhâri no. 5950 dan Muslim no. 2747
[17]. Berdasarkan hadits riwayat al-Bukhâri no. 5653 dan Muslim no. 2754
[18]. Raudhatul Muhibbîn hlm. 47
[19]. Lihat Fathur Rahîmil Malikil ‘Allâm hlm. 57
[20]. HR. at-Tirmidzi no. 3235, dinyatakan shahih oleh Imam al-Bukhâri, at-Tirmidzi dan al-Albâni
[21]. HR. al-Bukhâri no. 16 dan 21 dan Muslim no. 43
[22]. Lihat Fathur Rahîmil Malikil ‘Allâm hlm. 57
[23]. Ibid
[24]. Lihat Fiqhul Asmâil Husnâ hlm. 225

 

Tinggalkan komentar