Penjelasan Tentang Keharusan Menjauhi Ahli Bid’ah

SIKAP AHLUS SUNNAH TERHADAP AHLUL BID’AH

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

B. Penjelasan Tentang Keharusan Menjauhi Ahli Bid’ah
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

هُوَ الَّذِي أَنزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُّحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ ۖ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ ۗ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ ۗ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِّنْ عِندِ رَبِّنَا ۗ وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ

“Dia-lah yang menurunkan al-Kitab (Al-Qur-an) kepada kamu. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamat itulah pokok-pokok isi Al-Qur-an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada ke-sesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: ‘Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Rabb kami.’ Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.” [Ali ‘Imran: 7]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

فَإِذَا رَأَيْتَ الَّذِيْنَ يَتَّبِعُوْنَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ فَأُوْلَئِكَ الَّذِيْنَ سَمَّى اللهُ فَاحْذَرُوْهُمْ.

“Apabila engkau melihat orang-orang yang mengikuti ayat-ayat mutasyaabihaat, mereka itulah yang dimaksud oleh Allah, maka waspadalah terhadap mereka.” [1]

وَإِذَا رَأَيْتَ الَّذِينَ يَخُوضُونَ فِي آيَاتِنَا فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ حَتَّىٰ يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ ۚ وَإِمَّا يُنسِيَنَّكَ الشَّيْطَانُ فَلَا تَقْعُدْ بَعْدَ الذِّكْرَىٰ مَعَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ

“Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika syaithan menjadikan kamu lupa (akan larangan ini), janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zhalim itu sesudah teringat (akan larangan itu).” [Al-An’aam: 68]

Imam asy-Syaukani rahimahullah (wafat th. 1250 H) berkata: “Dalam ayat ini terdapat nasihat yang agung bagi orang yang masih memperbolehkan untuk duduk bersama ahli bid’ah yang mereka itu mengubah Kalam Allah, dan mempermainkan Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan memahami Al-Qur-an dan As-Sunnah sesuai dengan hawa nafsu mereka yang menyesatkan dan sesuai dengan bid’ah-bid’ah mereka yang rusak. Maka sesungguhnya jika seseorang tidak dapat mengingkari mereka dan tidak dapat mengubah keadaan mereka, maka minimalnya ia harus meninggalkan duduk dengan mereka, dan yang demikian itu mudah baginya dan tidak sulit. Bisa jadi para ahli bid’ah itu memanfaatkan hadirnya seseorang di majelis mereka, meskipun ia dapat terhindar dari syubhat yang mereka lontarkan, tetapi mereka dapat mengkaburkan dengan syubhat tersebut kepada orang-orang awam, maka hadirnya seseorang dalam majelis ahli bid’ah merupakan kerusakan yang lebih besar dari sekedar kerusakan berupa mendengarkan kemunkaran. Dan kami telah melihat di majelis-majelis terlaknat ini yang jumlahnya banyak sekali dan kami bangkit untuk membela kebenaran, melawan kebathilan semampu kami, dan mencapai kepada puncak kemampuan kami. Barangsiapa mengetahui syari’at yang suci ini dengan sebenar-benarnya, maka dia akan mengetahui bahwa bermajelis dengan orang yang bermaksiyat kepada Allah dengan melakukan hal-hal yang diharamkan, lebih-lebih lagi bagi orang yang belum mapan ilmunya tentang Al-Qur-an dan As-Sunnah, maka ia mungkin sekali terpengaruh dengan kedustaan-kedustaan mereka berupa kebathilan yang jelas sekali, lalu kebathilan tersebut akan tergores di dalam hatinya sehingga sangat sulit sekali mencari penyembuh dan pengobatannya, meskipun ia telah berusaha sepanjang umurnya. Dan ia akan menemui Allah dengan kebathilan yang ia yakini tersebut sebagai kebenaran, padahal itu merupakan sebesar-besar kebathilan dan sebesar-besar kemunkaran.” [2]

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَقَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ أَنْ إِذَا سَمِعْتُمْ آيَاتِ اللَّهِ يُكْفَرُ بِهَا وَيُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلَا تَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتَّىٰ يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ ۚ إِنَّكُمْ إِذًا مِّثْلُهُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ جَامِعُ الْمُنَافِقِينَ وَالْكَافِرِينَ فِي جَهَنَّمَ جَمِيعًا

“Dan sungguh Allah telah menurunkan kepada kamu di dalam Al-Qur-an bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam Jahannam.” [An-Nisaa’: 140]

Sahabat Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma berkata: “Masuk ke dalam ayat ini (menjauhkan) setiap orang yang mengadakan hal-hal baru dalam agama dan setiap orang yang berbuat bid’ah sampai hari Kiamat.[3]

Imam Muhammad bin Jarir ath-Thabari (wafat th. 310 H) rahimahullah dalam kitab Tafsirnya mengatakan: “Ayat ini merupakan dalil yang sangat jelas tentang larangan untuk ikut di dalam majelis ahli bid’ah dari setiap macam pelaku kebid’ahan dan orang-orang fasik yang mereka berbicara tentang kebathilan.” [4]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا مِنْ نَبِيٍّ بَعَثَهُ اللهُ فِي أُمَّةٍ قَبْلِي إِلاَّ كَانَ لَهُ مِنْ أُمَّتِهِ حَوَارِيُّوْنَ وَأَصْحَابٌ، يَأْخُذُوْنَ بِسُنَّتِهِ وَيَقْتَدُوْنَ بِأَمْرِهِ، ثُمَّ إِنَّهَا تَخْلُفُ مِنْ بَعْدِهِمْ خُلُوْفٌ يَقُوْلُوْنَ مَا لاَ يَفْعَلُوْنَ، وَيَفْعَلُوْنَ مَا لاَ يُؤْمَرُوْنَ، فَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِيَدِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِلِسَانِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِقَلْبِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلَيْسَ وَرَاءَ ذَلِكَ مِنَ اْلإِيْمَانِ حَبَّةُ خَرْدَلٍ.

“Tidak ada seorang Nabi pun yang diutus sebelumku kepada suatu ummat melainkan ia memiliki Hawaariyyun (pengikut-pengikutnya yang setia) dan juga Sahabat-Sahabatnya dari ummatnya yang senantiasa mengikuti Sunnahnya dan men-taati apa yang menjadi perintahnya. Kemudian sesudah me-reka akan muncul orang-orang yang selalu mengatakan apa-apa yang tidak mereka lakukan dan mengerjakan apa-apa yang tidak diperintahkan kepada mereka. Maka barangsiapa yang memerangi mereka dengan tangannya, maka ia adalah seorang Mukmin dan barangsiapa yang memerangi mereka dengan lisannya, maka ia adalah seorang Mukmin dan barang-siapa yang memerangi mereka dengan hatinya, maka ia adalah seorang Mukmin. Dan setelah itu tidak ada lagi iman meski hanya sebesar biji sawi.”[5]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

سَيَكُوْنُ فِي آخِرِ أُمَّتِيْ أُنَاسٌ يُحَدِّثُوْنَكُمْ مَا لَمْ تَسْمَعُوْا أَنْتُمْ وَلاَ آبَاؤُكُمْ، فَإِياَّكُمْ وَإِيَّاهُمْ.

“Akan datang di akhir umatku orang-orang yang berbicara kepada kalian apa-apa yang belum pernah kalian dengar, begitu pula bapak-bapak kalian belum pernah mendengarnya pula, maka hati-hatilah kalian terhadap mereka.”[6]

Juga atsar dari Sahabat ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu, ia berkata:

سَيَأْتِي أُنَاسٌ يُجَادِلُوْنَكُمْ بِشُبُهَاتِ الْقُرْآنِ فَخُذُوْهُمْ بِالسُّنَنِ، فَإِنَّ أَصْحَابَ السُّنَنِ أَعْلَمُ بِكِتَابِ اللهِ.

“Akan datang suatu kaum yang mendebat kalian dengan syubhat-syubhat dari Al-Qur-an maka bantahlah mereka dengan Sunnah, karena orang yang berpegang kepada Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih tahu tentang Kitab Allah.”[7]

Yang dimaksud dengan syubhat dalam atsar tersebut adalah ayat-ayat yang mutasyabihat karena di dalam Al-Qur-an tidak ada syubhat. [8]

Oleh karena itu, Ahlus Sunnah memposisikan setiap pelaku bid’ah berbeda antara yang satu dengan yang lainnya, merasa kasihan kepada orang-orang awam yang mengerjakan bid’ah dan yang mengikutinya, mendo’akan mereka agar mendapatkan hidayah dan mengharapkan mereka agar dapat mengikuti Sunnah dan petunjuk, serta senantiasa menjelaskan kepada mereka tentang hal demikian itu sampai mereka bertaubat dari kebid’ahannya, menghukumi mereka secara zhahirnya dan menyerahkan hal-hal yang rahasia (selain yang zhahir) kepada Allah, apabila perbuatan bid’ahnya bukan bid’ah yang menyebabkan pelakunya jatuh kepada kekafiran. [9]

Sesungguhnya ulama ahli hadits dan ahli fiqih telah membuat banyak bab dalam kitab-kitab mereka tentang menjauhi ahlul bid’ah, di antaranya:

1. Di dalam Sunan Abi Dawud (IV/198) karya Imam Abu Dawud as-Sijistani (wafat th. 275 H) rahimahullah, dicantumkan bab Mujaa-nabah Ahlil Ahwaa’ wa Bughdhihim (bab Menjauhi dan Membenci Pengikut Hawa Nafsu).

2. Di dalam al-Ibaanah (II/429) karya Ibnu Baththah al-Ukbari (wafat th. 387 H) rahimahullah, dicantumkan bab at-Tahdziir min Shuhbati Qaumin Yumridhuunal Quluuba wa Yufsiduunal Iimaan (Peringatan Tidak Bolehnya Bergaul dengan Kaum yang Dapat Membuat Hati Menjadi Sakit dan Merusak Iman).

3. Di dalam Kitaabul I’tiqaad (hal. 135) karya Imam al-Baihaqi (wafat th. 458 H) rahimahullah, dicantumkan bab an-Nahyu ‘an Mujaa-lasati Ahlil Bida’ (bab Larangan Berteman dan Bergaul dengan Ahlul Bid’ah).

4. Di dalam Syarhus Sunnah (I/219) karya Imam al-Baghawi (wafat th. 516 H) rahimahullah, dicantumkan bab Mujaanabah Ahlil Ahwa’ (bab Menjauhi Pengikut Hawa Nafsu).

5. Di dalam at-Targhiib wat Tarhiib (III/378) karya Imam al-Mundziri (wafat th 656 H) rahimahullah, dicantumkan bab at-Tarhiib min Hubbil Asyraar wa Ahlil Bida’ (Ancaman Mencintai Orang-Orang yang Melakukan Kejelekan dan Bid’ah). Lihat Shahiihut Targhiib wat Tarhiib (III/158).

6. Di dalam kitab al-Adzkaar [10] karya Imam an-Nawawi (wafat th. 676 H) rahimahullah dicantumkan bab at-Tabarri min Ahlil Bida’ wal Ma’ashi (bab Berlepas Diri dari Ahlul Bida’ dan Pelaku Maksiyat). [11]

Bahkan sebagian ulama menjadikannya sebagai salah satu landasan dasar dalam mencari ilmu dengan judul: Bab Larangan Menerima (Menimba/Belajar) Ilmu dari Ahlul Bid’ah. [12]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ أَنْ يُلْتَمَسَ الْعِلْمُ عِنْدَ اْلأَصَاغِرِ.

“Sesungguhnya di antara tanda-tanda hari Kiamat adalah seseorang menimba ilmu dari al-Ashaaghir.” [13]

‘Abdullah Ibnul Mubarak rahimahullah menafsirkan bahwa kata al-Ashaaghir dalam hadits tersebut adalah Ahlul Bid’ah. [14]

[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Po Box 7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan Ketiga 1427H/Juni 2006M]
_______
Footnote
[1]. HR. Al-Bukhari (no. 4547), Muslim (no. 2665) dan Abu Dawud (no. 4598) dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma.
[2]. Fat-hul Qadiir (II/128-129, cet. Daarul Fikr, th. 1393 H).
[3]. Tafsiirul Baghawi (I/392, cet. I-Daarul Kutub Ilmiyyah, th. 1414 H).
[4]. Tafsiiruth Thabari (IV/328, cet. Daarul Kutub al-‘Ilmiyah, th. 1412 H).
[5]. HR. Muslim (no. 50) dan Ahmad (I/458), dari Sahabat Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu.
[6]. HR. Muslim (no. 6), dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[7]. Diriwayatkan oleh ad-Darimi (I/49), al-Ajurri dalam asy-Syari’ah (no. 93, 102), lihat juga al-Ibaanah li Ibni Baththah al-‘Ukbari (I/250-251 no. 83-84) dan Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (I/139 no. 202).
[8]. Catatan kaki Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (I/139).
[9]. Lihat al-Wajiiz fii ‘Aqiidatis Salafish Shaalih (hal. 184).
[10]. Pada halaman 441, tahqiq Syaikh ‘Abdul Qadir al-Arnauth.
[11]. Lihat Shahiih Kitaabil Adzkaar wa Dha’iifuhu, tahqiq Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali (II/759).
[12]. Hilyatu Thaalibil ‘Ilmi (hal. 39-45) oleh Syaikh Bakar Abu Zaid, lihat ‘Ilmu Ushuulil Bida’ (hal. 297).
[13]. HR. Ibnul Mubarak dalam az-Zuhd (no. 61), al-Lalika-i (no. 102) dan yang lain-nya. Lihat Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 695).
[14]. Lihat Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (I/95 no. 102).

Tinggalkan komentar