Hukum Safar Bagi Wanita Tanpa Mahram, Syubhat-Syubhat Dan Jawabannya

HUKUM SAFAR BAGI WANITA TANPA MAHRAM

Disusun oleh
Ummu ‘Abdillah As-Salafiyah
Sesungguhnya pembicaraan mengenai wanita dan hal-hal yang berkaitan dengannya sangatlah penting, khususnya pada zaman sekarang ini, dimana wanita muslimah menghadapi fitnah (ujian) yang dapat menyebabkan hilangnya kemuliaan dan kedudukannya yang terhormat dalam dienul Islam.

Agama Islam menjaga kehormatan dan akhlaq kaum muslimin serta menjaga masyarakat agat tidak jatuh kedalam kehinaan. Di antara cara mewujudkan hal tersebut adalah larangan bagi wanita untuk bersafar tanpa mahrom yang menyertainya.

Sebagian ulama’ menukil kesepakatan tentang terlarangnya wanita safar tanpa suami atau mahram yang menyertainya. Berikut pembahasan tentang masalah ini. Wabillah taufiq.

HADITS-HADITS TENTANG LARANGAN WANITA SAFAR TANPA MAHROM
1. Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تُسَافِرِ الْمَرْأَةُ إِلاَّ مَعَ ذِي مَحْرَمٍ وَلاَ يَدْخُلُ عَلَيْهَا رَجُلٌ إِلاَّ وَمَعَهَا مَحْرَمٌ فَقَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أَخْرُجَ فِي جَيْشِ كَذَا وَكَذَا وَامْرَأَتِي تُرِيدُ الْحَجَّ فَقَالَ اخْرُجْ مَعَهَا

“Janganlah wanita safar (bepergian jauh) kecuali bersama dengan mahromnya, dan janganlah seorang (laki-laki) menemuinya melainkan wanita itu disertai mahromnya. Maka seseorang berkata: “Wahai rasulullah n sesungguhnya aku ingin pergi mengikuti perang anu dan anu, sedangkan istriku ingin menunaikan ibadah haji.” Beliau bersabda: “Keluarlah (pergilah berhaji) bersamanya (istrimu)”. [HSR. Imam Bukhari (Fathul Baari IV/172), Muslim (hal. 978) dan Ahmad I/222 dan 246]

2. Dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تُسَافِرِ الْمَرْأَةُ ثَلاَثًا إِلاَّ مَعَ ذِي مَحْرَمٍ

“Janganlah seorang wanita safar sejauh tiga hari (perjalanan) melainkan bersama dengan mahramnya”. [HSR. Imam Bukhari (1087), Muslim (hal. 970) dan Ahmad II/13; 19; 142-143; 182 dan Abu Daud]

3. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu berkata: Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يَحِلُّ لامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ تُسَافِرَ مَسِيرَةَ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ لَيْسَ مَعَهَا حُرْمَةٌ

“Tidak halal (boleh) bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir safar sejauh sehari semalam (perjalanan) dengan tanpa mahram (yang menyertainya)”. [HSR. Imam Bukhari (Fathul Baari II/566), Muslim (hal. 487) dan Ahmad II/437; 445; 493; dan 506]

4. Dari Qaz’ah maula Ziyaad berkata: “Aku mendengar Abu Sa’id (Al-Khudry Radhiyallahu ‘anhu), yang telah mengikuti dua belas peperangan bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, berkata: “Empat perkara yang aku dengar dari rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang membuat aku takjub dan kagum, yaitu: “Janganlah seorang wanita safar sejauh dua hari (perjalanan) tanpa disertai suami atau mahramnya, janganlah berpuasa pada dua hari Idul Fitri dan Idul Adlha, janganlah sholat setelah mengerjakan dua sholat yaitu setelah sholat Ashar sampai tenggelam matahari dan setelah sholat Subuh sampai terbit matahari, dan janganlah bepergian jauh kecuali menuju tiga masjid: masjidil Haram, masjidku (masjid nabawi) dan masjidil Aqsho.” [HSR. Imam Bukhari (Fathul Baari IV/73), Muslim (hal. 976) dan Ahmad III/34 dan 45]

DIFINISI MAHROM
Definisi mahram bagi wanita adalah orang yang haram (selamanya-Red) menikah dengannya, karena nasab, pernikahan atau susuan.

a. Mahram karena nasab seperti: anak laki-lakinya, saudara laki-lakinya, bapaknya, paman dari bapaknya, paman dari ibunya, kakeknya, anak saudara laki-lakinya (keponakannya), anak saudara perempuannya (keponakannya), sama saja baik saudara seayah seibu, saudara seayah, atau seibu.

b. Mahram karena pernikahan seperti: suami putrinya (menantu), suami cucu dari putrinya (terus keturunannya kebawah), putra suaminya (anak tiri), anak-anak dari putra suaminya, anak-anak dari putri suaminya (terus kebawah), baik dari istri sebelum dia, sesudah dia atau bersamanya, ayah atau kakek suami (terus ke atas), baik dari pihak ayah suami atau ibu suami.

c. Mahram karena susuan sama seperti mahram karena nasab berdasarkan sabda rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

يَحْرُمُ مِنَ الرَّضَاعِ مَا يَحْرُمُ مِنَ النَّسَبِ

“Penyusuan itu mengharamkan sebagaimana yang diharamkan karena nasab”. [HSR Imam Bukhari, Muslim, Abu Daud, Nasa’I Ibnu Maajad dan Ahmad]

BOLEHKAH WANITA SAFAR UNTUK MENGERJAKAN HAJI TANPA DISERTAI MAHRAM ?
Ahlul ilmi berbeda pendapat tentang safarnya seorang wanita tanpa disertai mahram untuk melaksanakan ibadah haji. Sebagian Ahlul ilmi berkata: “Tidak wajib bagi wanita tersebut, karena mahram termasuk As-sabiil (perjalanan ke baitullah) berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً

“(Bagi) Orang yang sanggup mengadakan perjalan ke baitullah”. [Ali Imaran 97]

Mereka (ahlul ilmi) berkata: “Apabila tidak ada mahram yang menyertainya berarti wanita tersebut tidak sanggup mengadakan perjalan ke Baitullah”. Itu adalah pendapat Sufyan Ats-Tsauri dan penduduk Kufah.

Sebagian ahlul ilmi berkata: “Apabila jalan menuju ke Baitullah itu aman, maka wanita-wanita tersebut dapat keluar bersama orang banyak untuk berhaji”. Ini adalah pendapat Malik bin Anas dan Syafi’i. [Lihat Tuhfatul Ahwadzi IV/332]

Al-Qurthuby berkata: “Sebab perbedaan pendapat ini adalah karena zhahir hadits ini bertentangan dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

وَللهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً

“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke Baitullah”. [Ali Imran : 97]

Karena zhahir ayat itu adalah kesanggupan badan, maka wajib bagi setiap orang ynag kuat badannya untuk berhaji, dan wanita yang tidak mendapatkan mahram (yang akan menyertainya untuk berhaji), akan tetapi kuat badannya, maka wajib bagi wanita tersebut untuk berhaji. Ketika penomena ini sering berlawanan, para ulama’ berbeda pendapat dalam menakwilkan hal itu. [Dinukil dari Kasyful Khafa’ ‘an Ahkam safar An-Nisaa’; ta’lif : Muhammad Musa Nashr hal. 8-9]

Itu adalah sebab terjadinya perbedaan pendapat dikalangan ulama’ dalam masalah ini, sebagaimana dikatakan oleh Imam Al-Qurthuby rahimahullah.

DALIL-DALIL ULAMA’ YANG MELARANG WANITA SAFAR TANPA MAHRAM UNTUK BERHAJI
1. Hadits-hadits di awal pembahasan ini yang melarang wanita safar tanpa disertai mahram.
2. Hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu (hadits no. 1 di awal pembahasan).
Ulama’ berkata: “Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan shahabat untuk meninggalkan jihad dan agar dia pergi berhaji bersama istrinya, yang demikian itu menguatkan masalah mahram (bagi wanita) dalam safar, baik berhaji atau selainnya”.
3. Para Ulama’ berkata: “As-Sabil (mengadakan perjalanan) dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً

“(Bagi) Orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke baitullah”. [Ali Imaran 97]

adalah umum dan mahram termasuk didalamnya.
4. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada Abdurrahman bin Abi Bakar Radhiyallahu ‘anhu untuk menemani Aisyah Radhiyallahu ‘anha berumroh dari Tan’im. [lih. Jaami’ Ahkaamin Nisa’ II/hal. 458-459]

DALIL-DALIL ULAMA’ YANG MEMBOLEHKAN WANITA SAFAR TANPA MAHRAM DAN BANTAHANNYA
1. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

وَللهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً

“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke Baitullah”. [Ali Imran : 97]

Mereka berkata: “Telah datang hadits dari nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa as-sabiil (mengadakan perjalanan) dalam ayat tersebut ditafsirkan dengan Az-Zaad (bekal/makanan) dan kendaraan.

2. Umar Radhiyallahu ‘anhu mengidzinkan istri-istri nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan hajinya yang terakhir serta mengutus Utsman bin Affan dan Abdurrahman bin Auf Radhiyallahu ‘anhuma menemani mereka. Hadits tersebut dikeluarkan oleh Imam Bukhari. [Fathul Baari IV/72]

3. Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

لاَ تَمْنَعُوا إِمَاءَ اللَّهِ مَسَاجِدَ اللَّهِ

“Janganlah kalian melarang hamba-hamba wanita Allah menuju ke masjid-masjid Allah”.

Mereka berkata: “Masjidil Haram termasuk di antara masjid-masjid Allah dalam hadits tersebut”.

4. Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Adi bin Hatim Radhiyallahu ‘anhu :

فَإِنْ طَالَتْ بِكَ حَيَاةٌ لَتَرَيَنَّ الظَّعِينَةَ تَرْتَحِلُ مِنَ الْحِيرَةِ حَتَّى تَطُوفَ بِالْكَعْبَةِ لاَ تَخَافُ أَحَدًا إِلاَّ اللَّهَ

“Apabila engkau berumur panjang, maka engkau akan melihat seorang wanita berpindah (safar) dari satu kampung sehingga ia berthawaf di Ka’bah dan dia tidak takut kepada seorangpun kecuali kepada Allah”.

5. Dikiaskan dengan safarnya wanita sendirian dalam rangka hijrah dari negeri kafir dan melarikan diri dari penawanan. Itu adalah safar yang wajib sebagaimana safar untuk menunaikan ibadah haji.

6. Persangkaan bahwa larangan tersebut berlaku hanya untuk bersafar sejauh tiga hari perjalanan atau lebih (hari yang paling banyak dalam hadits-hadits yang melarang). Adapun jika satu hari maka tidak termasuk dalam larangan, karena banyaknya riwayat-riwayat tersebut seolah-oleh riwayat yang paling banyak (yakni tiga hari) menghapuskan hukum riwayat yang sedikit (satu hari).

7. Sebagian ulama’ berpendapat bahwa larangan tersebut khusus untuk gadis, adapun wanita lanjut usia yang tidak menarik lagi maka ia boleh safar tanpa suami atau mahram.

JAWABAN ATAS PERMASALAHAN INI ADALAH SEBAGAI BERIKUT (WABILLAHI TAUFIQ)
1. Penafsiran As-Sabiil dengan Az-zaad (bekal) dan Ar-rahilah (kendaraan), haditsnya dlaif dari seluruh jalan-jalannya, didlaifkan oleh Ahlul ilmi, baik zaman dulu ataupun sekarang. [lih. Sebagian jalannya dalam Tirmidzi dalam Al-Hajj III/168 hadits 813 dan dalam At-Tafsir V/225; Ibnu Maajah 2896, 2807; Hakim dalam Al-Mustadrak I/442; Daru Quthni II/215, 216; Baihaqi IV/327,330; Musnad Asy-Syafi’I hal. 109; dan Al Hilyah V/106; Thabrani III/4, 12; Ibnu Ady dalam Al-Kaamil I/226, 221 dan Al-Uqaily III/332]

2. Tentang idzin Umar terhadap istri-istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berhaji, hal tersebut terjadi setelah kebimbangan Umar Radhiyallahu ‘anhu, dan beliau menjaga ketat terhadap istri-istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana dijelaskan dalam berbagai riwayat hadits tersebut. Dan hal itu terjadi setelah wafatnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga Umar tidak mempunyai wewenang merobah apa yang telah ditetapkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, , terlebih lagi apa yang dilarang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam (Yakni Umar bin Al-Khaththab tidak berhak merobah larangan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi wanita untuk bersafar tanpa mahram-Red). Kemudian Umar tidak membolehkan hal tersebut selain bagi istri-istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

3. Adapun hadits yang artinya:
“Janganlah kalian melarang hamba-hamba wanita Allah menuju ke masjid-masjid Allah”.

Hadits tersebut shahih, akan tetapi maknanya umum dan dikhususkan untuk masjid-masjid yang tidak bersafar untuk menuju ke masjid tersebut.

4. Tentang sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ady bin Hatim, hadits tersebut diperselisihkan karena dalam satu riwayat hadits tersebut diriwayatkan dari Ady bin Hatim dan dalam riwayat yang lain: dari “seseorang yang tidak dikenal” dari Ady bin Hatim. Seandainya hadits ini shahih, pengambilan dalil dengan hadits ini perlu ditinjau lagi. Karena rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mengkhabarkan sesuatu perkara yang akan terjadi menjelang hari kiamat bukanlah berarti beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membolehkan perkara tersebut, maka tidaklah ditetapkan perkara tersebut akan kebolehannya atau keharamannya melainkan dengan nash-nash lain dan qarinah-qarinah yang lain. Misalnya sabda nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

مِنْ أَشْراطِ السَّاعَةِ كثْرَةُ الْهَرجِ

“Di antara tanda-tanda hari kiamat adalah banyaknya pembunuhan”.

Itu bukanlah berarti pembunuhan dibolehkan.

5. Qiyas ini lemah, karena Allah mewajibkan haji berdasarkan kesanggupan (istitha’ah). Maka wanita yang tidak mendapatkan mahram yang dapat menyertainya, berarti ia tidak sanggup menunaikan ibadah haji, berdasarkan larangan nabi n bagi wanita untuk bersafar tanpa mahram, baik untuk perkara wajib ataupun tidak wajib. Telah diketahui oleh para ulama’ bahwa An-Nahyu (larangan) menunjukkan al-fasad (kerusakan/batal), kecuali ada indikasi yang merubah hal itu, sedangkan dalam hal ini tidak ada indikasi tersebut.

Seorang wanita yang hijrah atau melarikan diri dari penawanan, dia melakukannya dengan terpaksa (harus) karena di dalam pelarian dan hijrahnya tersebut terdapat maslahat yang besar. Dan tinggalnya wanita tersebut di bumi kafir dan penawanan merupakan sebab kerusakan agamanya dan kesesatan wanita tersebut. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا جَآءَكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ فَامْتَحِنُوهُنَّ اللهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِهِنَّ فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلاَ تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ

“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir”. [Al-Mumtahanah: 10]

Melakukan sesuatu yang lebih sedikit bahaya dan bencananya diperbolehkan dalam keadaan terpakasa (darurat), seperti makan bangkai ketika dikhawatirkan mati kelaparan, sebagaimana dalam kaidah ilmu ushul.

اَلضَّرُوْرَاتُ تُبِيْحُ الْمَحْظُوْرَاتِ

“Kebutuhan dalam keadaan darurat membolehkan hal-hal yang dilarang”.

Imam Al-Khaththaby berkata [1] “Seandainya sama saja (safar wanita untuk haji dengan safarnya karena hijrah dari bumi kafir) maka pastilah wanita boleh berhaji seorang diri tanpa disertai seorang mahram-pun, atau tanpa disertai seorang wanita tsiqoh. Tetapi karena seorang wanita tidak diperbolehkan pergi haji sendirian kecuali bersama seorang wanita yang tsiqah [2]”. [Ma’alimus Sunan II/145]

6. Sebagian ahlul ilmi berkata: “Sesungguhnya perbedaan lafazh-lafazh ini karena berbedanya orang-orang yang bertanya dan berbedanya tempat. Larangan safar (wanita tanpa mahram) sejauh tiga hari perjalanan bukanlah penjelasan tentang bolehnya safar (wanita tanpa mahram) sejauh sehari semalam perjalanan, dan satu bariid (kurang-lebih 12 mil)”.

Imam An-Naway rahimahullah berkata menukil perkataan Al-Baihaqy: “Seolah-olah beliau ditanya tentang seorang wanita yang safar tanpa disertai mahram sejauh tiga hari tiga malam perjalanan, maka beliau bersabda: “Tidak boleh”. Juga beliau ditanya tentang seorang wanita yang safar tanpa disertai mahram sejauh dua hari dua malam perjalanan, maka beliau bersabda: “Tidak boleh”. Dan beliau ditanya tentang safarnya tanpa disertai mahram sejauh satu hari satu malam perjalanan, maka beliau bersabda: “Tidak boleh”. Demikian juga dengan satu bariid . Kemudian setiap mereka menyampaikan apa yang mereka dengar, Adapun lafazh yang berbeda-beda yang datang dari satu perawi, maka kemungkinan perawi tersebut mendengarnya dari beberapa tempat lalu dia meriwayatkan sesekali yang ini dan lain kali yang itu. Ini semuanya shahih, dan semuanya itu bukan batasan minimal tentang apa yang dinamakan safar, dan (dengan hal itu) beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menghendaki batasan minimal safar.” [Syarhu Muslim IX/103]

Syaikh Muhammad Musa Nashr berkata: “Riwayat-riwayat tersebut menunjukkan batasan-batasan maksimal safar adalah tiga hari (perjalanan), dan batasan minimalnya adalah satu bariid. Satu bariid menurut para ulama’adalah 4 farsakh, satu farsakh adalah tiga mil dan satu mil adalah seribu hasta. Tidak tersembunyi lagi tentang dha’ifnya riwayat satu bariid.” [Kasyful Khafa’ ‘An Ahkaam Safarin Nisa’, hal. 15]

Imam Nawawy berkata menukil ucapan Imam Baihaqi: “Kesimpulannya setiap yang dinamakan safar, maka seorang wanita dilarang mengerjakannya tanpa disertai suami atau mahram, sama saja baik sejauh tiga hari, dua hari, satu hari, satu bariid atau selainnya, berdasarkan riwayat Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu secara mutlak dan merupakan riwayat terakhir dari Imam Muslim:

لاَ تُسَافِرِ الْمَرْأَةُ إِلاَّ مَعَ ذِي مَحْرَمٍ

“Janganlah seorang wanita safar melainkan disertai oleh mahramnya”.

Ini mencakup seluruh apa yang dinamakan safar”. [Syarhu Muslim IX/102]

7. Pendapat tersebut dinukil oleh Al-Qadli Iyaadl rahimahullah dari Al-Baihaqy (dinukil dari Syarh Muslim IX/104).
Pembedaan ini tidak ada dalilnya, bahkan tertolak. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengecualikan gadis dari wanita yang lanjut usia dalam hadits tersebut.

Karena lafazh إِمْرَأَةٌ (wanita) dalam hadits tersebut umum, mencakup seluruh wanita, baik muda maupun tua, cantik atau jelek. Kemudian, sesungguhnya tabi’at dan syahwat pada diri manusia satu sama lain berbeda-beda, karena tiap-tiap yang buruk itu pasti ada yang mencarinya/menyukainya. Seandainya perkara tersebut seperti apa yang mereka katakan, maka pastilah nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan dan mengajarkan kepada istri-istri beliau, dan istri-istri sahabat, serta wanita-wanita kaum muslimin setelah mereka.

وَمَاكَانَ رَبُّكَ نَسِيَّا

“Tidaklah Rabbmu lupa”. [Maryam : 64]

Imam Nawawi rahimahullah berkata: “Apa yang dikatakan oleh Al-Baaji ini tidak dapat diterima, karena wanita adalah sesuatu yang sangat diinginkan, dan tempat syahwat, walaupun ia sudah tua. Per-bahasa mengatakan:

لِكُلِّ سَا قِطَةٍ لاَقِطَةٍ

Tiap-tiap yang buruk itu pasti ada yang mencarinya/menyukainya.

Di dalam safar akan ditemui orang-orang yang bodoh dan rendah (akhlaqnya), yakni orang-orang yang tidak menghentikan perbuatan keji (walaupun) terhadap wanita lanjut usia atau selainnya karena syahwat yang menguasainya, sedikit diennya, keperwiraannya, penghianatannya, dan semisalnya. Wallahu a’lam”.

Telah diketahui oleh para ulama ushul bahwa: “Tidak boleh mengakhirkan penjelasan pada saat dibutuhkan”, seandainya seperti itu maka pastilah sudah diketahui oleh para salaf kita Radhiyallahu ‘anhum [lih. Kasyful Khafa’ an Ahkaami Safarin Nisa’ oleh Syeikh Muhammad Musa Nashr. Hal. 12-13]

Di antara ulama ada juga yang memperbolehkan wanita safar untuk haji bersama dengan wanita lain yang tsiqoh (terpercaya), tanpa mahram laki-laki. Yang berpendapat demikian adalah Imam Syafi’i rahimahullah, akan tetapi pendapat ini tertolak dan menyelisihi sunnah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Imam Al-Khaththaby berkata: “Seorang wanita merdeka lagi muslimah dan tsiqoh yang disifatkan oleh Imam Syafi’i rahimahullah, bukanlah seorang laki-laki yang termasuk mahram bagi wanita (yang bersafar) tersebut. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang wanita bersafar kecuali dengan laki-laki dari mahramnya. Maka pembolehan beliau (Imam Asy-Syafi’i) bagi wanita safar untuk berhaji dengan tidak adanya syarat (yakni adanya mahram laki-laki-pent) yang telah ditetapkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, adalah menyelisihi sunnah. Apabila keluarnya wanita tersebut tanpa disertai mahram (laki-laki) adalah suatu perbuatan maksiat, maka tidak boleh mewajibkan wanita tersebut untuk berhaji (tanpa maharam), karena hal itu merupakan ketaatan terhadap suatu perintah yang akan mengantarkan pada perbuatan maksiat.” [Ma’alimus Sunan II/144]

Wallahu A’lam Bish-Shawwab.

Semoga Allah Azza wa Jalla memberikan shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarganya, para sahabatnya dan orang-orang yang mengikuti dengan baik sampai hari kiamat.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun V/1422/2001M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-7574821]
________
Footnote
[1]. Rangkaian perkataan beliau sebelumnya dalam rangka membantah hujjah para ulama yang bermadzhab Syafi’i, yang berpendapat bahwa wanita boleh safar berhajji dengan disertai wanita muslimah lain, yang terpercaya, walaupun tanpa mahram. Mereka mengqiyaskan dengan wanita muslimah yang boleh safar sedirian, tanpa mahram, karena melarikan diri dari negeri kafir. Tetapi mereka tidak membolehkan wanita safar berhajji seorang diri.-Red
[2]. Menurut pendapat para ulama yang bermadzhab Syafi’i, yang beliau bantah-Red, itu menunjukkan bedanya kedua hal tersebut sehingga tidak boleh diqiaskan-Red

SYUBHAT-SYUBHAT DAN JAWABANNYA
1. Ada orang mengatakan bahwa larangan wanita safar tanpa mahram adalah apabila menggunakan angkutan zaman dulu, seperti onta, kuda, atau lainnya, yang wanita akan mengalami kesukaran, kesusahan dan menghabiskan waktu yang lama Adapun wanita yang bersafar menggunakan angkutan zaman sekarang, baik angkutan udara, darat atau laut, maka tidak termasuk keumuman hadits yang melarang wanita safar tanpa mahram.

Kami katakan untuk menjawab terhadap syubhat ini, yaitu: bahwa syariat dan agama kita sesuai untuk setiap zaman dan tempat- Alhamdulillah-. Maka sebagaimana syariat dan agama kita sesuai untuk zaman onta dan pedang, sesuai pula untuk zaman pesawat terbang, roket dan atom. Seandainya agama ini hanya sesuai pada satu zaman saja, seperti agama-agama terdahulu, pastilah Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengutus seorang nabi lagi setelah nabiNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam padahal pastilah Rabb kita tidak akan melakukanhal tersebut, karena Dia telah berfirman:

مَّاكَانَ مُحَمَّدٌ أَبَآ أَحَدٍ مِّن رِّجَالِكُمْ وَلَكِن رَّسُولَ اللهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ

“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi”. [Al-Ahzab: 40]

Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَأَنَا خَاتَمُ النَّبِيِّينَ لاَ نَبِيَّ بَعْدِي

“Aku adalah penutup para nabi dan tidak ada nabi setelahku”. (HR. Muslim 1920, Abu Dawud 4252, Tirmidzi 2203]

Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menunjuki umatnya kepada setiap kebaikan dan melarang mereka dari setiap keburukan serta mengabarkan kepada mereka berbagai cobaan dan bencana-bencana yang akan terjadi sampai hari kiamat. Seandainya syari’at, perintah dan larangan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berlaku hanya berlaku untuk satu zaman, maka pastilah beliau sudah menjelaskannya.

وَمَاكَانَ رَبُّكَ نَسِيَّا

“Tidaklah Rabbmu lupa”. [Maryam: 64]

Kemudian sesungguhnya orang-orang yang menyelidiki kejadian-kejadian pelanggaran kehormatan di pesawat terbang, mobil dan angkutan lainnya di zaman sekarang ini, dia akan mendapatkan keyakinan bahwa dahsyatnya bahaya tersebut tetap ada, dan sebab (alasan) yang karenanya nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang wanita safar sendirian tetap berlaku dari zaman dulu sampai sekarang.

Sering kita dengar tentang pembajakan pesawat terbang, sedangkan wanita dapat menimbulkan syahwat, dia lemah dan merupakan incaran para lelaki. Wanita sering dipamerkan untuk kerakusan orang-orang fasiq, padahal mereka seperti serigala yang siap menerkam, mereka menanti kesempatan yang datang untuk dapat menyendiri dengan wanita tersebut dan menyerbunya untuk memproleh kehormatan dan kesuciannya. Kejadian perampasan dan pemerkosaan sudah tidak terhitung jumlahnya, banyak terjadi di negeri kafir dan negeri muslim. Di antara sebab yang paling banyak adalah: bercampur baurnya (ikhtilath) antara laki dan perempuan, laki-laki menyendiri dengan wanita, dan safarnya wanita sendirian tanpa disertai mahram. Maka wanita yang meremehkan masalah ini akan dapat kehilangan kehormatan dan kesuciannya dimana keduanya merupakan perhiasan wanita di setiap zaman dan tempat. Karena keselamatan dien wanita tergantung juga dengan keselamatan kehormatan, kemuliaan dan akhlaqnya. Dan agama tidak akan menjaga wanita kecuali jika dia mengikuti apa yang diperintahkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan rasulNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta menjauhi apa yang dilarang oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan rasulNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kepada bapak-bapak, suami dan penguasa yang menjadi penanggung jawab masalah (Auliya’ul umur) ini, janganlah meremehkan masalah yang berbahaya ini. Padahal dengan mentaati agama dalam masalah ini dan masalah lainnya akan dapat menjaga kehormatan kaum muslimin di setiap waktu dan tempat. Kalau tidak, maka kemurkaan Allah Subhanahu wa Ta’ala akan dirasakan oleh umat ini dan adzabNya akan terjadi tanpa kecuali. Allah berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka”. [At-Tahrim : 6]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

كُلُّكُمْ رَاعٍ وَ كُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

“”Setiap kalian adalah pemimpin dan masing-masing kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. [HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi dan Ahmad] [Lih. Kasyful Khafa’ an Ahkaami Safarin Nisa’ oleh Syeikh Muhammad Musa Nashr. Hal. 22-25]

2. Sebagian orang mengatakan: “Mengapa wanita dilarang safar kecuali bersama dengan mahramnya?”.

Hakekat syubhat ini menurut mereka adalah “mengapa seorang wanita tidak diberikan kepercayaan yang sempurna pada dirinya? Mengapa harus ada ketakutan yang berlebihan? Hendaklah berbaik sangka kepada wanita dan jangan mengkhawatirkan dirinya”.

Padahal sebenarnya keharusan adanya mahram bersama wanita tersebut merupakan penghormatan bagi wanita. Karena mahram ini pada hakekatnya dianggap sebagai khadim (pembantu) yang mengerjakan kebutuhan-kebutuhannya, dan memberikankan ketenangan yang sempurna baginya. Sebagaimana juga mahram dianggap sebagai penjaga kehormatan dan kemuliaannya dari (gangguan) orang-orang rendah dan jelek akhlaqnya.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أنْ تُسَافِرُ إِلاَّ وَمَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ

“Tidaklah halal (tidak boleh) seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir bersafar kecuali bersama dengan mahramnya”.

Dan perintah beliau kepada seorang laki-laki yang sudah tercatat untuk mengikuti peperangan agar dia pergi berhaji bersama istrinya. Semua itu adalah untuk kemaslahatan wanita itu sendiri. Hal ini tidak menghilangkan kepercayaan dirinya sendiri, bahkan akan menenangkan jiwanya dan menjamin keselamatannya. Sesungguhnya melepaskan tali kendali bagi wanita untuk bersafar kapan saja dia mau, tanpa disertai mahram akan mengantarkan dirinya dan masyarakat seluruhnya pada malapetaka yang berbahaya. Dan hal tersebut merupakan bahaya yang mengancam keselamatan wanita. Karena orang yang ingin berbuat jahat terhadapnya dan menanti dirinya pastilah akan dapat melakukannya, sehingga merusak kehidupan dan kehormatannya.

Di antara tabi’at wanita adalah lemah badan dan pribadi (jiwa)nya, maka sering dikalahkan oleh laki-laki. Disebabkan kelemahannya, laki-laki sering mempengaruhi wanita dan mencoba agar wanita tersebut bersedia menyerahkan diri dan kehormatannya. Dari sini (diketahui bahwa) mahram bagi wanita dalam bersafar adalah perkara yang wajib. Sebagaimana adanya mahram yang menghalangi wanita khalwat (menyendiri dengan laki-laki yang bukan mahram) adalah suatu perkara yang wajib.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang laki-laki berkhalwat dengan wanita asing (bukan mahram), karena hal tersebut mengakibatkan terjadinya bencana, dimana syaithan akan menjadi pihak ketiga dalam khalwat ini, sedangkan syaithan adalah musuh besar yang nyata bagi manusia. Semua ini adalah untuk menjaga akhlaq wanita, sampai rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang laki-laki berkhalwat dengan wanita yang masih kerabat bagi laki-laki ini, apabila tidak ada mahram bersamanya, seperti saudara laki-laki, paman dari ayah atau paman dari ibu suami. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِيَّاكُمْ وَالدُّخُولَ عَلَى النِّسَاءِ فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْأَنْصَارِ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَرَأَيْتَ الْحَمْوَ قَالَ الْحَمْوُ الْمَوْتُ

“Janganlah kalian menemui wanita (yang bukan mahram). Seorang lelaki dari kalangan Anshar bertanya: “Apa pendapat anda tentang saudara ipar?”. Beliau bersabda: “Ipar adalah maut”.

Ipar adalah kerabat suami yang bukan mahram.

Seandainya tidak ada kehati-hatian pastilah syaithan akan mempengaruhi bani Adam, dan pastilah wanita yang akan menjadi korban. Dan jika itu terjadi, para penyeru kebebasan tidak akan dapat membebaskan dari bencana itu.

Kalu demikian, maka apakah mahram -yang menjaga akhlaq wanita, agamanya dan keselamatan hidupnya- itu dianggap mempersempit kebebasan (urusan) nya serta merampas kepercayaan dirinya? Yang benar adalah bahwa hal itu merupakan bagian yang penting dari hak-hak kebebasannya (hak-hak untuk mendapatkan perlindungan-Red) yang hal ini tidak diketahui kecuali oleh orang-orang yang Allah terangi hatinya dengan cahaya iman. [Syubhaatun fi Thariqatil Mar’atil Muslimah, hal: 48-49, karya syeikh Abdullah Al-Jilaaly , sebagaimana dinukil dalam kutaib “Min Mukhalafatin Nisa’, hal: 45-47, jama’a Abdul Aziz bin Muhammad bin Abdullah As-Sudhaan]

3. Sebagian orang membolehkan seorang wanita diantarkan oleh mahramnya sampai naik pesawat terbang, kemudian mahramnya yang lain akan menjemputnya di negara tujuan. Menurut pendapat mereka pesawat terbang itu aman, karena didalamnya banyak penumpang laki-laki dan perempaun.

Kami katakan kepada mereka: “Ketahuilah bahwa pesawat terbang bahayanya lebih besar daripada kendaraan lain, karena penumpang bercampur baur didalamnya. Kemungkinan wanita tersebut akan duduk di samping laki-laki (yang bukan mahramnya), dan kemungkinan juga pesawat menghadapi sesuatu (cuaca buruk misalnya) yang dapat merubahnya menuju ke bandara yang lain (bukan tujuan). Kalau itu terjadi, maka wanita tersebut tidak akan menemukan mahram yang akan menjemputnya, sehingga ia menghadapi bahaya. Apa yang terjadi pada wanita tersebut di negara yang tidak dia kenal, dan tidak ada mahram baginya di negara tersebut?”. [Tanbihaat ‘alaa Ahkaamin Takhtashshu Bil Mukminat, oleh Syeikh Fauzan Al-Fauzan]

Syeikh Al-Albany rahimahullah menyebutkan kisah sebagai berikut:
“Ada mahram seorang wanita mengantarkannya ke bandara, karena wanita tersebut mempunyai janji dengan suaminya di bandara yang akan ia tuju. Setelah pesawat lepas landas, seorang pramugari yang keji memperhatikan wanita yang sendirian ini, yang ia adalah seorang yang cantik. Lalu pramugari yang keji ini memberitahu pilot pesawat, tentang kecantikan wanita itu dan bahwa dia sendirian. Lalu pilot pesawat merubah arah pesawat dari rutenya yang pertama menuju bandara lain, dengan alasan bahwa ada kerusakan pada pesawat. Setelah pesawat mendarat di bandara itu, pramugari tadi menemani wanita itu menuju keperistirahatan penumpang, dengan keyakinan wanita tersebuat bahwa pramugari ini ingin menemaninya karena dia sendirian. Setelah pramugari tadi menyiapkan tempat yang cocok, kemudian dia memberi tahu pilot, bahwa segala sesuatunya seperti yang dia inginkan. Lalu pilot tersebut segera menuju ke tempat itu, kemudian menemui wanita tadi. Dan di sini terjadilah perbuatan yang keji. Setelah itu para penumpang menaiki pesawat dan melanjutkan perjalanan mereka sehingga sampai ke bandara tujuan. Di sana mahram wanita tersebut menunggu, lalu wanita tersebut memberitahukan padanya apa yang telah terjadi pada dirinya. Akan tetapi (wahai para wanita) dapat membayangkan bagaimana perasaan mahram wanita tersebut.” [Dinukil dari Min Mukhaalafaatin Nisaa’, hal. 47-48].

FATWA ULAMA TENTANG HUKUM SAFAR WANITA TANPA SUAMI ATAU MAHRAM
1. Fatwa Samaahah As-Syaikh Al-‘Alamah ‘Abdul ‘Aziz bin Baaz rahimahullah:
Soal: “Apakah seorang wanita dianggap sebagai mahram bagi wanita asing (bukan mahram) dalam safar, bermajlis dan semisalnya atau tidak dianggap mahram?”

Jawab: Seorang wanita bukan mahram bagi wanita lainnya, mahram itu hanyalah laki-laki yang haram menikah dengannya karena nasab, seperti: ayahnya, saudara laki-lakinya, atau dengan sebab mubah seperti suami, ayah suami (mertua), anak suami, dan seperti ayah susuan, saudara laki-laki dari susuan dan semisalnya.

Tidak boleh laki-laki berkhalwat (menyendiri) dengan wanita asing (bukan mahram) dan tidak boleh bersafar dengannya berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam

لاَ تُسَافِرِ الْمَرْأَةُ إِلاَّ مَعَ ذِي مَحْرَمٍ

“Wanita tidak boleh safar kecuali bersama dengan mahramnya”.

Hadits tersebut disepakati keshahihannya. Dan berdasarkan sabdanya Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

لاَ يَخْلُوَنَّ أَحَدُكُمْ بِامْرَأَةٍ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ ثَالِثُهُمَا

“Janganlah seorang laki-laki berkhalwat (menyendiri) dengan wanita karena setan menjadi pihak yang ketiga dari keduanya”. [HR. Ahmad]. [Al-Fataawaa / Samahah Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baaz (190) dicetak oleh Muassasah Ad-Da’wah Al-Islamiyah].

2. Fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah
Soal: “Ada seorang wanita dari Saba’ terkenal sebagi wanita shalihah, dia berumur setengah baya atau mendekati lanjut usia dan dia ingin menunaikan haji, akan tetapi tidak mempunyai mahram (yang dapat menyertainya). Ada laki-laki diantara penduduk negeri itu yang ingin pergi haji, dia terkenal sebagi laki-laki shalih dan dia bersama wanita-wanita dari kalangan mahramnya. Apakah boleh wanita tersebut berhaji bersama laki-laki yang baik ini dan wanita-wanitanya, dan dia berada bersama para wanita sedangkan laki-laki itu mengawasinya, ataukah kewajiban haji gugur darinya karena tidak adanya mahram, sedangakan dia mampu dari sisi harta?. Berilah fatwa kepada kami semoga Allah memberkahimu, karena kami berbeda pendapat dengan beberapa ikhwan.

Al-Lajnah telah menjawab sebagai berikut:
Seorang wanita yang tidak mempunyai mahram tidak wajib haji atasnya, karena mahram termasuk as-Sabiil, dan kesanggupan as-Sabiil adalah syarat dalam wajibnya haji. Allah ta’ala berfirman:

وَللهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ اللهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ

“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah”. [Ali-Imran: 97].

Wanita tidak boleh melakukan bersafar untuk haji atau untuk selainnya, kecuali bersama dengan suami atau mahramnya, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يَحِلُّ لامْرَأَةٍ أَنْ تُسَافِرَ مَسِيرَةَ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ إلاَّ مَعَ ذي مَحْرَمٍ

“Tidak halal bagi wanita melakukan safar sehari semalam kecuali bersama dengan mahramnya”.

Dan berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim juga dari ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhu beliau mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (artinya): “Janganlah seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang wanita kecuali bersama dengan mahram wanita tersebut, janganlah seorang wanita safar kecuali bersama dengan mahramnya”. Lalu seorang berdiri dan berkata: “Wahaia Rasulullah sesungguhnya isteriku keluar untuk berhaji, sedangkan aku tercatat untuk mengikuti perang ini dan ini.” Beliau bersabda: “Pergilah dan berhajilah bersama isterimu.”

Al-Hasan an-Nakha’i, Ahmad, Ishaq, Ibnul Mundzir dan Ashabur Ra’yi telah berpendapat dengan perkataan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini. Dan itulah yang shahih karena sesuai dengan keumuman hadits-hadits yang melarang wanita safar tanpa disertai suami atau mahramnya. Sedangkan Malik, Asy-Syafi’i dan al-Auza’iy menyelisihi dalam hal itu, dan masing-masing mereka memberikan syarat yang tidak ada hujjahnya sama sekali.

Semoga Allah memberikan shalawat kepada Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. [Majalah ad-Da’wah 7688 – al-Lajnah ad-Da’imah].

3. Fatwa Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah.
Beliau rahimahullah berkata: “Seorang wanita tidak boleh bersafar untuk haji atau untuk selainnya kecuali bersama mahramnya, sama saja baik safarnya tersebut lama atau sebentar, bersama para wanita atau tidak, pemudi ataupun lanjut usia, berdasarkan keumuman sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

لاَ تُسَافِرِ الْمَرْأَةُ إِلاَّ مَعَ ذِي مَحْرَمٍ

“Janganlah seorang wanita bersafar kecuali bersama dengan mahramnya”.

Hikmah dilarangnya wanita safar tanpa mahram adalah kurangnya akal wanita, kurangnya (kekuatannya untuk) membela dirinya, dan dia adalah incaran para laki-laki. Terkadang dia ditipu, dipaksa atau lemah agamanya lalu keluar disertai syahwatnya, sedangkan pada dirinya terdapat sesuatu yang diinginkan oleh orang-orang yang rakus. Maka mahram-lah yang akan melindunginya, menjaga kehormatannya dan membelanya. Oleh karena itu mahram disyaratkan harus laki-laki yang baligh dan berakal, sehingga tidaklah mencukupi anak kecil yang belum baligh dan tidak pula orang yang tidak berakal.

Mahram adalah suami wanita tersebut dan setiap orang yang haram menikahinya selamanya baik karena sanak saudara (keluarga), susuan atau (keluarga) karena perkawinan. [Al-Manhaj Li Muriidil ‘Umrati Wal Hajji, Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin hal: 7].

4. Fatwa Syaikh Muhammad Ibrahim Syaqrah Hafidhulullah
Beliau Hafidhulullah berkata: “(Bagi) wanita ditambah syarat yang keenam yaitu adanya suami, atau mahram yang akan bersafar bersamanya untuk haji. Karena tidak halal baginya bersafar untuk berhaji atau selainnya kecuali bersama suami atau mahramnya, seperti: ayah, saudara laki-laki atau anak laki-laki. Sama saja baik didapati teman wanita yang amanah ataupun tidak, baik haji yang wajib ataupun sunnah, baik lanjut usia ataupun gadis.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يَحِلُّ لامْرَأَةٍ أَنْ تُسَافِرَ مَسِيرَةَ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ إلاَّ وَمَعَهَا ذي مَحْرَمٍ

“Tidak halal bagi wanita safar sejauh sehari semalam (perjalanan) kecuali bersama dengan mahramnya”.

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan seorang laki-laki yang telah menyiapkan (keperluan) untuk berperang sedangkan isterinya ingin menunaikan haji, agar dia berhaji bersama isterinya dan meninggalkan jihad.

Seaandainya para ulama -yang berpendapat bolehnya wanita safar dengan seorang wanita yang amanah- melihat atau mendengar apa yang terjadi pada zaman kita sekarang ini –padahal perantara-perantara safar telah menjadi mudah, dengan adanya pesawat terbang, mobil atau lainnya, yaitu kejadian yang berupa perampasan pesawat-pesawat terbang, perubahan arah tujuan dan seringnya pendaratan darurat selain pada bandara yang dinginkan, pastilah mereka melihat kembali pada apa yang telah mereka katakan.

Tidaklah aku merasa heran kecuali terhadap sekelompok ahlu ilmi pada zaman sekarang ini, mereka menjadikan mudahnya perantar-perantara (angkutan-angkutan), singkatnya waktu dan semakin singkatnya jarak perjalanan yang jauh sebagai sebab dibolehkannya wanita safar sendirian tanpa mahram atau suami, sedangkan mereka melihat bencana yang terjadi pada manusia secara langsung!

Kepada Allahlah tempat mengadu, aku ingatkan mereka dengan firmanNya Azza wa Jalla :

وَمَاكَانَ رَبُّكَ نَسِيَّا

“Dan tidaklah Rabbmu lupa”.

[Irsyaadu As-Saary Ilaa ‘Ibaadati al-Baary, hal: 19, 20]

Pada kitab yang sama hal: 41, beliau berkata: (Di bawah judul: masalah-masalah yang khusus tentang haji wanita):

Pertama: Apabila syarat-syarat wajib haji bagi wanita telah terealisasikan kecuali (adanya) suami atau mahram yang menemaninya dalam safarnya, maka telah gugur kewajiban haji darinya.

Kedua: Apabila wanita safar untuk berhaji tanpa ditemani suami atau mahram, maka dia telah berbuat maksiat dengan safarnya ini. Sama saja, baik bersama teman wanita yang amanah ataupun teman wanita yang tidak amanah. Akan tetapi apabila dia telah menunaikan manasik hajji maka hajinya telah sempurna dan gugur kewajiban haji darinya.

Wallahu A’lam Bish-Shawwab.

Semoga Allah k memberikan shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarganya, para sahabatnya dan orang-orang yang mengikuti dengan baik sampai hari kiamat.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun V/1422/2001M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-7574821]

Tinggalkan komentar