Berhukum Kepada Selain Hukum Allah

Wajibnya Berhukum Kepada Hukum Allah

Tidak ragu bahwa meminggirkan syariat Allah dan tidak berhukum kepadanya dalam perkara-perkara kehidupan termasuk wujud nyata dan berbahaya dari penyimpangan masyarakat muslim, akibat dari ditinggalkannya hukum Allah di negeri kaum muslimin adalah berbagai bentuk kerusakan, kezhaliman dan kemunduran yang buruk yang menaungi mereka.

Allah Taala mewajibkan manusia agar berhukum kepada syariatNya. Dia menjadikannya sebagai target dari diturunkannya al-Qur`an. Firman Allah swt, “Dan Allah menurunkan bersama mereka kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan.” (Al-Baqarah: 213).

Firman Allah, “Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu.” (An-Nisa`: 105).

Allah Taala menjelaskan bahwa menetapkan hukum adalah monopoli dan kekhususanNya, Dia berfirman, “Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik.” (Al-An’an: 57). Dia berfirman, “Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia.” (Yusuf: 40).

Ibnu Taimiyah juga berkata, “Dimaklumi dengan kesepakatan kaum muslimin bahwa wajib menjadikan Rasulullah saw sebagai hakim dalam segala perkara yang diperselisihkan oleh manusia dalam perkara agama dan dunia mereka, dalam ushul dan furu’ agama. Jika Nabi saw menetapkan sesuatu maka mereka harus menerimanya seratus persen tanpa ada rasa keberatan sedikit pun.”


Berhukum kepada apa yang diturunkan Allah Taala semata adalah mengesakan ketaatan kepada Allah Taala dan ketaatan adalah salah satu bentuk ibadah maka ia tidak diberikan kecuali kepada Allah Allah semata tidak ada sekutu bagiNya firman Allah Taala, “Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus.” (Yusuf: 40).

Ibnu Taimiyah juga berkata, “Barangsiapa menjadikan selain Rasulullah untuk ditaati secara wajib dalam segala perintah dan larangannya meskipun ia menyelisihi perintah Allah dan rasulNya maka dia telah menjadikannya sebagai sekutu… ini termasuk syirik di mana pelakunya termasuk ke dalam firman Allah, “Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah.” (Al-Baqarah: 165).

Allah Taala menamakan hukum dengan selain syariatNya thaghut, firman Allah Taala, “Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan setan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.” (An-Nisa`: 61).

Thaghut bermakna umum, apapun yang disembah selain Allah dan rela baik ia dituhankan atau diikuti atau ditaati dalam selain ketaatan kepada Allah dan rasulNya maka dia thaghut.

Berhukum kepada apa yang diturunkan Allah termasuk Tauhid Rububiyah karena ia adalah pelaksanaan terhadap hukum Allah yang merupakan tuntutan dari rububiyahNya dan pengakuan terhadap kesempurnaan kerajaan dan tindakanNya, oleh karena itu Allah menamakan orang-orang yang diikuti dalam selain yang diturunkan Allah Taala, ‘Arbaba’ (tuhan-tuhan) bagi yang mengikuti.

Firman Allah swt, “Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) al-Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (At-Taubah: 31).

Dalam hadits Adi bin Hatim, hadits yang panjang diriwayatkan oleh Ahmad, at-Tirmidzi dan lain-lain di mana dia datang kepada Nabi saw sementara dia beragama Nasrani, Adi mendengar Nabi saw membaca ayat ini, Adi berkata, aku berkata kepada Nabi saw, “Kami tidak menyembah mereka.” Nabi saw bersabda, “Bukankah mereka mengharamkan apa yang dihalalkan Allah lalu mereka mengharamkannya dan mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allah lalu mereka menghalalkannya?” Adi menjawab, “Benar.” Nabi saw bersabda, “Itulah ibadah mereka.”

Nabi saw menjelaskan bahwa ibadah mereka terletak pada penghalalan yang haram dan pengharaman yang halal, bukan mereka shalat dan berpuasa untuk mereka bukan berdoa kepada mereka. Ini adalah ibadah kepada orang. Dan Allah telah menyebutkan bahwa hal itu adalah syirik.

Berhukum kepada hukum Allah merealisasikan tauhid ittiba’ kepada Rasulullah saw, Allah berfirman, “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (An-Nisa`: 65).

Ibnu Katsir berkata tentang tafsir ayat ini, “Allah Taala bersumpah dengan diriNya yang mulia lagi suci bahwa seseorang tidak beriman sehingga menjadikan Rasulullah saw sebagai pengadil dalam segala perkara. Apa yang diputuskan oleh Rasulullah saw adalah kebenaran yang wajib ditaati lahir dan batin.”

Berhakim kepada syariat Allah merupakan respon terhadap panggilan Allah Taala dan rasulNya saw, di dalamnya terdapat kehidupan, kebaikan dan kemaslahatan. Firman Allah, “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepadamu.” (Al-Anfal: 24).

Syaikh as-Sa’di berkata, “Apabila dia menyerumu kepada suatu yang memberi kehidupan kepadamu,” ini adalah sifat yang lazim bagi segala sesuatu di mana Allah dan rasulNya menyeru kepadanya, ia adalah penjelasan bagi faidah dan hikmahNya karena kehidupan hati dan roh dengan ubudiyah kepada Allah, senantiasa dan selalu menaatiNya dan rasulNya.” Wallahu a’lam.

 Berhukum Kepada Selain Hukum Allah

Berhukum kepada selain yang diturunkan Allah merupakan kufur kecil apabila hakim atau pengadil menetapkan hukum dengan selain yang diturunkan Allah Taala dalam kasus tertentu dengan tetap meyakini kewajiban berhukum kepada apa yang diturunkan Allah dalam kasus tertentu tersebut, dia menyimpang darinya karena hawa nafsu sebagai sebuah kemaksiatan dengan tetap mengakui bahwa dia berdosa dan berhak dihukum karenanya.

Al-Qurthubi berkata, “Jika dia menetapkan hukum dengan selain yang diturunkan Allah karena hawa nafsu dan kemaksiyatan maka ia merupakan dosa yang dihapus oleh taubat menurut prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah dalam perkara ampunan bagi orang-orang yang berbuat dosa.”

Ibnu Taimiyah berkata, “Adapun orang yang berpegang kepada hukum Allah dan rasulNya lahir dan batin akan tetapi dia durhaka dan mengikuti hawa nafsunya maka dia sama dengan para pelaku dosa sepertinya.”

Ibnul Qayyim berkata, “Jika dia meyakini kewajiban berhukum kepada apa yang diturunkan Allah dalam peristiwa tersebut dan dia menyimpang darinya sebagai kemaksiyatan dengan tetap mengakui bahwa dia berhak dihukum maka ia adalah kufur kecil.”

Syaikh Muhammad bin Ibrahim berkata, “Adapun bagian kedua dari dua bagian hakim yang berhukum kepada selain Allah, yang tidak mengeluarkan dari agama… yaitu dia terdorong oleh keinginan dan hawa nafsunya untuk menetapkan dalam suatu perkara dengan hukum yang tidak diturunkan Allah dengan tetap meyakini bahwa hukum Allah dan rasulNya adalah yang benar dia mengakui dirinya keliru dan menyimpang dari hidayah. Walaupun kekufurannya tidak mengeluarkan dari agama akan tetapi kemaksiyatannya besar lebih besar daripada dosa-dosa besar seperti zina, minum khamar, mencuri, sumpah palsu dan lain-lain, karena kemaksiyatan yang dinamakan Allah kufur adalah lebih berat daripada kemaksiatan yang tidak Dia namakan kufur.”

Asy-Syinqithi berkata, “Barangsiapa tidak berhukum kepada apa yang diturunkan Allah dengan meyakini bahwa dia telah melakukan yang haram, melakukan yang buruk maka kekufurannya, kezhalimannya dan kefasikannya tidak mengeluarkan dari agama.”

Kepada keadaan seperti ini, ucapan yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Atha dan Thawus dan Abu Majlaz dibawa. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas tentang firman Allah, artinya : “Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (Al-Maidah: 44) bahwa dia berkata, “Bukan kekufuran seperti yang mereka katakan.” Dalam riwayat lain dia berkata, “Kufur tidak mengeluarkan dari agama.”

Atha berkata, “Kekufuran di bawah kekufuran, kezhaliman di bawah kezhaliman dan kefasikan di bawah kefasikan.” Thawus berkata, “Bukan kekufuran yang mengeluarkan dari agama.”

Beberapa orang dari al-Ibadhiyah datang kepada Abu Majlaz mereka berkata, “Allah berfirman, artinya : ‘Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.’ (Al-Maidah: 44). ‘Maka mereka itu adalah orang-orang yang zhalim.’ (Al-Maidah : 45). ‘Maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.’ (Al-Maidah : 47).” Abu Majlaz menjawab, “Mereka yakni para pemimpin melakukan apa yang mereka lakukan sementara mereka mengetahui bahwa ia dosa.”

Apa yang dikatakan Abu Majlaz kepada al-Ibadhiyah merupakan jawaban dari keinginan mereka yaitu mengkafirkan para pemimpin karena mereka berada di markas sultan dan karena mereka melakukan sebagian yang dilarang Allah.

Ucapan Abu Majlaz termasuk ucapan Ibnu Abbas harus dipahami sesuai dengan zhahirnya sesuai dengan konteksnya tanpa berlebih-lebihan dan meremehkan, kita tidak seperti Khawarij yang menganggap sekedar menyelisihi syariat sebagai kufur akbar, pada saat yang sama kita juga tidak seperti kelompok yang bertentangan dengan mereka yang menganggap penolakan, berpaling dan meminggirkan syariat sebagai kufur ashghar, maksud Ibnu Abbas dan Abu Majlaz bukan orang yang menolak dan tidak mau berpegang kepada syariat Allah Taala dan berhakim kepada undang-undang jahiliyah, di masa-masa tersebut tidak ada yang melakukan itu.

Perkataan salaf shalih tentang kemaksiatan, ‘kufur di bawah kufur’ berkisar seputar kasus tertentu atau kejadian tertentu yang ditetapkan dengan hukum selain yang diturunkan Allah karena hawa nafsu dan ambisi dengan tetap diharamkannya perbuatan tersebut dan bahwa pelakunya berdosa ia tidak menjadi metode umum.

Ini merupakan perkara jelas yang ditegaskan oleh Ibnu Taimiyah dalam ucapannya yang telah dinukil, “Adapun orang yang berpegang kepada hukum Allah dan rasulNya lahir dan batin akan tetapi dia melanggar dan mengikuti hawa nafsunya maka dia sama dengan pelaku dosa sepertinya.” Wallahu a’lam.

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa berhukum kepada Allah adalah kewajiban, lalu bagaimana bila kewajiban ini diabaikan, sebaliknya hukum yang diterapkan bukanlah hukum Allah?

Berhukum kepada selain apa yang diturunkan Allah Taala adalah kekufuran mengeluarkan dari agama, membatalkan iman dalam beberapa bentuk dan keadaan, di antaranya:

1- Meletakkan syariat selain apa yang diturunkan Allah Taala 

Kewajiban mengesakan Allah dalam hukum dan peletakkan syariat telah disebutkan sebelumnya, “Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Mahasuci Allah, Tuhan semesta alam.” (Al-A’raf: 54).

Jika Allah ta’ala adalah satu-satunya pencipta, pemberi rizki, yang menghidupkan, yang mematikan tidak ada sekutu bagiNya dalam sifat-sifat tersebut maka Dia subhanahu wa ta’ala adalah satu-satunya peletak syariat yang menghalalkan dan yang mengharamkan. Agama tidak lain kecuali apa yang Allah syariatkan, tidak seorang pun berhak meletakkan suatu syariat yang tidak hadir dari Allah dan tidak pula dari Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam.

Peletakan syariat adalah hak murni Allah semata tiada sekutu bagiNya barangsiapa merebut sebagian darinya dari Allah maka dia musyrik, firman Allah ta’ala, artinya, “Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (Asy-Syura: 21).

Ibnu Katsir berkata tentang ayat ini, “Yakni mereka tidak mengikuti agama lurus yang Allah letakkan bagimu, akan tetapi mereka mengikuti syariat setan dari jin dan manusia dengan mengharamkan apa yang diharamkan oleh setan dalam bentuk bahirah (Bahiirah: ialah unta betina yang telah beranak lima kali dan anak kelima itu jantan, lalu unta betina itu dibelah telinganya, dilepaskan, tidak boleh ditunggangi lagi dan tidak boleh diambil air susunya.
-ed), washilah (seekor domba betina melahirkan anak kembar yang terdiri dari jantan dan betina, maka yang jantan ini disebut washiilah, tidak disembelih dan diserahkan kepada berhala.
-ed), sa`ibah (Saaibah: ialah unta betina yang dibiarkan pergi kemana saja lantaran sesuatu nazar. Seperti, jika seorang Arab Jahiliyah akan melakukan sesuatu atau perjalanan yang berat, maka ia biasa bernazar akan menjadikan untanya saaibah bila maksud atau perjalanannya berhasil dengan selamat.
-ed)dan ham(Haam: unta jantan yang tidak boleh diganggu gugat lagi, karena telah dapat membuntingkan unta betina sepuluh kali. Perlakuan terhadap bahiirah, saaibah, washiilah dan haam ini adalah kepercayaan Arab Jahiliyah.
-ed), menghalalkan makan bangkai, darah, judi dan kesesatan serta kebodohan-kebodohan batil yang mereka buat-buat dalam jahiliyah mereka dalam bentuk penghalalan, pengharaman, ibadah-ibadah batil dan harta-harta yang haram.”

2- Mengingkari bahwa hukum Allah dan rasulNya berhak untuk diterapkan 

Sebagaimana dalam riwayat Ibnu Abbas tentang firman Allah ta’ala, artinya : “Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (Al-Maidah: 44), Ibnu Abbas berkata, “Barangsiapa mengingkari apa yang diturunkan Allah maka dia kafir.”

Mengingkari hukum Allah Taala adalah penolakan terhadap syariat Allah Taala dan pendustaan terhadap nash-nash al-Qur’an dan sunnah, para ulama telah berijma’ mengkafirkan orang yang mengingkari hukum yang diketahui secara mendasar dalam agama, ijma’ ini disampaikan oleh para ulama dalam jumlah besar.

Asy-Syinqithi berkata, “Barangsiapa tidak berhakim kepada apa yang diturunkan Allah karena menentang para rasul dan membatalkan hukum-hukum Allah maka kezhalimannya, kefasikannya dan kekufurannya mengeluarkan dari agama.”

Tidak luput dari kita bahwa pengingkaran ini pada dasarnya merupakan kekufuran meskipun tidak diiringi dengan berhukum kepada selain syariat, pengingkaran tetaplah kafir tidak berbeda apakah dia berhukum kepada selain yang diturunkan Allah atau tidak.

3- Mengedepankan hukum thaghut daripada hukum Allah Taala 

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab telah menyebutkan keadaan ini di antara pembatal-pembatal Islam, dia berkata, “Barangsiapa meyakini bahwa petunjuk selain Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih sempurna daripada petunjuknya atau hukum selain Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih baik daripada hukumnya seperti orang yang mengunggulkan hukum para thaghut di atas hukumNya maka dia kafir.”

Syaikh Muhammad bin Ibrahim berkata, “Barangsiapa meyakini bahwa hukum selain rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih baik daripada hukumnya, lebih sempurna, lebih memadahi terhadap hukum yang dibutuhkan oleh manusia pada saat terjadi perselisihan baik secara mutlak atau berdasarkan peristiwa-peristiwa baru yang lahir karena perkembangan zaman dan perubahan keadaan maka tidak diragukan bahwa ia adalah kekufuran karena dia mengunggulkan hukum-hukum makhluk yang sebenarnya hanyalah kotoran akal dan ampas pemikiran di atas hukum Allah yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.”

Musuh-musuh agama telah memakai berbagai cara demi meminggirkan syariat Islam dan mengunggulkan hukum thaghut di atas hukum Allah, anda bisa melihat mereka berkata,” Islam adalah agama rohani tidak memiliki keterkaitan dengan perkara-perkara dunia seperti muamalat, peradilan, politik, hudud dan lain-lain”.

Ahmad Syakir berkata tentang orang-orang tersebut dan hukum Allah pada mereka, “Al-Qur`an sarat dengan hukum-hukum dan kaidah-kaidah mulia dalam masalah-masalah sipil, perniagaan, hukum-hukum perang, perdamaian, hukum-hukum peperangan, harta rampasan perang, tawanan perang, al-Qur`an juga penuh dengan nash-nash yang jelas tentang hudud dan qishash. Oleh karena itu barangsiapa mengklaim bahwa Islam hanyalah agama ibadah saja maka dia mengingkari semua ini, dia telah berdusta besar atas nama Allah, dia mengira bahwa orang tertentu siapapun dia atau organisasi tertentu apapun ia berhak menggugurkan ketaatan kepada Allah dan mengamalkan hukum-hukumnya sebagaimana yang diwajibkan oleh Allah, hal ini tidak diucapkan dan tidak akan diucapkan oleh seorang muslim, dan barangsiapa mengucapkannya maka dia telah keluar dari Islam seluruhnya dan dia menolak Islam semuanya walaupun dia shalat, puasa dan mengaku muslim.”

Para musuh tersebut mengklaim bahwa berhukum kepada syariat berarti mengakui diktator politik dan teror pemikiran, mereka berpegang kepada kejadian di Eropa ketika orang-orang gereja berkuasa, terkadang mereka meneriakkan kebekuan syariat dan bahwa ia tidak mampu mengatasi kehidupan yang maju dan berkembang dan terkadang pula mereka menuduh hukum-hukum hudud dan qishash brutal tidak sesuai dengan kemanusiaan zaman ini.

4- Mensejajarkan hukum Allah Taala dengan hukum thaghut 

Dan meyakini bahwa kedua hal tersebut setara maka ini adalah kekufuran yang mengeluarkan dari agama karena hal tersebut berarti menyamakan makhluk dengan Khalik di samping menentang dan menantang berdasarkan firman Allah, yang artinya : “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia.” (Asy-Syura: 11).

Menyamakan hukum Ilahi dengan hukum manusiawi adalah pelecehan terhadap Allah, berlebih-lebihan dan melampui batas terhadap hukum manusia, syirik kepada Allah Taala karena menyamakan berarti mengangkat sekutu bagi Allah Taala. Firman Allah ta’ala, artinya : “Maka janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah. Sesungguhnya Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (An-Nahl: 74).

Ibnu Katsir berkata tentang ayat ini, “Yakni janganlah kamu membuat sekutu-sekutu, tandingan-tandingan dan saingan-saingan bagiNya. Sesungguhnya Allah mengetahui sedangkan kalian tidak mengetahui yakni dia mengetahui dan bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang haq selain Allah sementara kalian dengan kebodohan kalian meyekutukan selainNya denganNya.”

Jika memang demikian perkaranya maka tidak ada yang lebih sesat dan lebih buruk keadaannya daripada orang-orang yang menyamakan hukum Allah Taala yang tidak ada penolak bagi hukumNya dengan hukum manusia yang lemah dan terbatas.

Ibnu Taimiyah berkata, “Barangsiapa ingin ditaati bersama Allah maka dia menginginkan orang-orang mengangkat sekutu-sekutu selain Allah, yang mereka cintai seperti menyintai Allah padahal Allah memerintahkan agar hanya Dia yang disembah dan agar agama hanyalah untukNya.”

Allah Taala mengabarkan tentang penghuni neraka bahwa mereka berkata kepada tuhan-tuhan mereka ketika mereka di dalamnya, “Demi Allah, sungguh kita dahulu (di dunia) dalam kesesatan yang nyata, karena kita mempersamakanmu dengan Tuhan semesta alam.” (Asy-Syu’ara`: 97-98). Wallahu a’lam.

5- Membolehkan berhukum kepada apa yang menyelisihi hukum Allah 

Atau meyakini bahwa berhukum kepada apa yang diturunkan Allah Ta’ala bukan wajib, bahwa masalahnya terserah kepadanya, maka ini adalah kufur membatalkan iman karena dia membolehkan sesuatu yang diketahui pengharamannya melalui nash-nash yang shahih lagi jelas, dimana dia tidak meyakini mengesakan Allah dalam hukum, walaupun dia tidak mengingkari hukum Allah namun selama dia tidak meyakini kewajiban berhukum kepada apa yang diturunkan Allah semata dan hal itu karena pembolehannya berhukum kepada selain yang diturunkan Allah Taala, ini adalah kufur mengeluarkan dari agama.

Al-Qurthubi berkata, “Jika dia berhukum kepada apa yang dimilikinya dengan anggapan bahwa ia dari sisi Allah maka ia adalah penggantian terhadapnya yang menyebabkan kekufuran.”

Membolehkan berhukum dengan apa yang menyelisihi hukum Allah Ta’ala berarti menerima hukum-hukum dan pembebanan-pembebanan dari selain Allah Ta’ala meskipun hanya sebagian atau sedikit darinya… dan ini bertentangan dengan hakikat Islam kepada Allah semata, barangsiapa berserah diri kepada Allah dan selain Allah maka dia musyrik. Berserah diri kepada Allah berarti beribadah kepadaNya semata dia menaatiNya semata.

6- Menolak dan berpaling dari hukum Allah 

Di kalangan salaf shalih iman adalah ucapan dan perbuatan, pembenaran dan ketundukan, sebagaimana manusia wajib membenarkan para rasul dalam apa yang mereka beritakan maka mereka juga wajib menaati para rasul dalam apa yang mereka perintahkan, jadi iman tidak terwujud dengan penolakan dan pembangkangan.

Firman Allah, artinya,“Dan Kami tidak mengutus seseorang Rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah.” (An-Nisa`: 64). Iman bukan sekedar membenarkan, akan tetapi ia adalah membenarkan yang menuntun kepada ketundukan dan ketaatan.

Sebagaimana kekufuran adalah tidak adanya iman dengan kesepakatan kaum muslimin, ia bukan sekedar mendustakan semata akan tetapi ia bisa dalam bentuk penolakan terhadap ittiba’ rasul walaupun dia mengetahui kebenarannya, bisa jadi kekufuran tersebut dalam bentuk penolakan atau keraguan, dari sini maka barangsiapa meninggalkan berhukum kepada apa yang diturunkan Allah karena penolakan dan keengganan berarti dia kafir murtad meskipun dia mengakui hukum tersebut karena iman menuntut kepasrahan, ketaatan dan ketundukan kepada hukum Allah Ta’ala.

Di samping itu siapa yang menolak dan enggan menerima hukum Allah Ta’ala maka dia kafir berdasarkan konsensus para ulama walaupun dia mengakui hukum tersebut. Ishaq bin Rawaih berkata, “Para ulama telah bersepakat’ bahwa siapa yang menolak sesuatu yang diturunkan Allah meskipun dia mengakui apa yang diturunkan Allah maka dia adalah kafir.”

Ibnu Taimiyah menetapkan ijma’ ulama atas kewajiban memerangi kelompok yang menolak syariat Islam yang mutawatir lagi jelas walaupun ia megakui syariat tersebut, Ibnu Taimiyah berkata, “Setiap kelompok yang menolak berpegang kepada syariat Islam yang jelas lagi mutawatir wajib diperangi sehingga mereka berpegang kepadanya walaupun mereka berucap dua kalimat syahadat dan menjalankan sebagian syariat sebagaimana Abu Bakar ash-Shiddiq dan para sahabat memerangi para penolak pembayar zakat … para sahabat telah bersatu kata memerangi atas dasar hak-hak Islam sebagai pengamalan terhadap al-Qur`an dan sunnah.”

Termasuk yang mungkin diindukkan kepada keengganan dan penolakan adalah berpaling dan menghalang-halangi hukum Allah. Ibnul Qayyim berkata, “Allah menganggap berpaling dari apa yang dibawa oleh rasul dan menoleh kepada selainnya sebagai hakikat nifak sebagaimana hakikat iman adalah menjadikannya sebagai hakim dan lenyapnya kesempitan dari dada terhadap hukumnya serta berserah diri kepada apa yang diputuskan oleh rasul dengan penuh kerelaan sukarela dan kecintaan. Ini adalah hakikat iman dan berpaling tersebut adalah hakikat nifak.”

Lalu bagaimana dengan orang yang menjadi obyek hukum bagi undang-undang thaghut tersebut?

Kekufuran yang bersangkutan dengan penerimaannya terhadap syariat selain syariat Allah dan kerelaannya kepadanya, di samping itu penerimaan orang yang menjadi obyek hukum dan pengikutannya terhadap selain syariat melalui sikapnya yang berhukum kepada selain yang diturunkan Allah Taala tidak terlepas dari penolakannya untuk menerima hukum Allah semata atau pembolehannya terhadap hukum thaghut padahal mereka telah diperintahkan untuk kafir kepadanya atau lebih mementingkan hukum thaghut di atas hukum Allah Taala atau mensejajarkan keduanya.

Firman Allah Taala, artinya, “Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu.” (An-Nisa`: 60).

Ayat di atas menunjukkan bahwa keinginan berhukum kepada thaghut merupakan iman kepada thaghut, secara otomatis ia merupakan kekufuran kepada Allah Taala karena Allah telah mewajibkan hamba-hambaNya agar kufur kepada thaghut dan beriman kepadaNya Taala.

Allah berfirman,artinya, “Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) al-Masih putra Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (At-Taubah: 31).

Ibnu Taimiyah berkata tentang makna ayat ini, “Orang-orang yang mengangkat ulama-ulama dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah di mana mereka menaati para ulama dan rahib-rahib tersebut dalam menghalalkan apa yang Allah haramkan dan mengharamkan apa yang Allah halalkan terbagi menjadi dua golongan:

Pertama: Mereka mengetahui bahwa para ulama dan para rahib tersebut telah mengganti agama Allah, maka orang-orang itu mengikuti para ulama dan para rahib di atas penggantian tersebut, mereka meyakini penghalalan apa yang Allah haramkan dan pengharaman apa yang Allah halalkan demi mengikuti pemimpin-pemimpin mereka padahal mereka mengetahui bahwa para pemimpin itu menyelisihi agama para rasul. Ini kekufuran, Allah dan rasulNya menganggapnya syirik walaupun mereka tidak shalat dan tidak sujud kepada para pemimpin tersebut.

Kedua: Keyakinan dan iman mereka terhadap pengharaman yang halal dan penghalalan yang haram tetap ada hanya saja mereka menaati para ulama dan para rahib mereka dalam bermaksiat kepada Allah sebagaimana seorang muslim melakukan kemaksiyatan dengan tetap meyakini bahwa ia adalah kemaksiyatan. Mereka itu sama hukumnya dengan para pelaku dosa sebagaimana diriwayatkan secara shahih di ash-Shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Ketaatan hanya dalam perkara yang ma’ruf.”

Satu perkara lagi yaitu jika obyek hukum dari undang-undang tersebut rela kepadanya maka dia kafir karena orang yang rela kepada kekufuran sama dengan pelakunya hal ini ditunjukkan oleh firman Allah,yang artinya, “Dan sungguh Allah telah menurunkan kekuatan kepadamu di dalam al-Qur`an bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam Jahannam.” (An-Nisa`: 140). Wallahu a’lam.

Berhukum kepada selain yang diturunkan Allah merupakan kufur kecil apabila hakim atau pengadil menetapkan hukum dengan selain yang diturunkan Allah Taala dalam kasus tertentu dengan tetap meyakini kewajiban berhukum kepada apa yang diturunkan Allah dalam kasus tertentu tersebut, dia menyimpang darinya karena hawa nafsu sebagai sebuah kemaksiatan dengan tetap mengakui bahwa dia berdosa dan berhak dihukum karenanya.

Al-Qurthubi berkata, “Jika dia menetapkan hukum dengan selain yang diturunkan Allah karena hawa nafsu dan kemaksiyatan maka ia merupakan dosa yang dihapus oleh taubat menurut prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah dalam perkara ampunan bagi orang-orang yang berbuat dosa.”

Ibnu Taimiyah berkata, “Adapun orang yang berpegang kepada hukum Allah dan rasulNya lahir dan batin akan tetapi dia durhaka dan mengikuti hawa nafsunya maka dia sama dengan para pelaku dosa sepertinya.”

Ibnul Qayyim berkata, “Jika dia meyakini kewajiban berhukum kepada apa yang diturunkan Allah dalam peristiwa tersebut dan dia menyimpang darinya sebagai kemaksiyatan dengan tetap mengakui bahwa dia berhak dihukum maka ia adalah kufur kecil.”

Syaikh Muhammad bin Ibrahim berkata, “Adapun bagian kedua dari dua bagian hakim yang berhukum kepada selain Allah, yang tidak mengeluarkan dari agama… yaitu dia terdorong oleh keinginan dan hawa nafsunya untuk menetapkan dalam suatu perkara dengan hukum yang tidak diturunkan Allah dengan tetap meyakini bahwa hukum Allah dan rasulNya adalah yang benar dia mengakui dirinya keliru dan menyimpang dari hidayah. Walaupun kekufurannya tidak mengeluarkan dari agama akan tetapi kemaksiyatannya besar lebih besar daripada dosa-dosa besar seperti zina, minum khamar, mencuri, sumpah palsu dan lain-lain, karena kemaksiyatan yang dinamakan Allah kufur adalah lebih berat daripada kemaksiatan yang tidak Dia namakan kufur.”

Asy-Syinqithi berkata, “Barangsiapa tidak berhukum kepada apa yang diturunkan Allah dengan meyakini bahwa dia telah melakukan yang haram, melakukan yang buruk maka kekufurannya, kezhalimannya dan kefasikannya tidak mengeluarkan dari agama.”

Kepada keadaan seperti ini, ucapan yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Atha dan Thawus dan Abu Majlaz dibawa. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas tentang firman Allah, artinya : “Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (Al-Maidah: 44) bahwa dia berkata, “Bukan kekufuran seperti yang mereka katakan.” Dalam riwayat lain dia berkata, “Kufur tidak mengeluarkan dari agama.”

Atha berkata, “Kekufuran di bawah kekufuran, kezhaliman di bawah kezhaliman dan kefasikan di bawah kefasikan.” Thawus berkata, “Bukan kekufuran yang mengeluarkan dari agama.”

Beberapa orang dari al-Ibadhiyah datang kepada Abu Majlaz mereka berkata, “Allah berfirman, artinya : ‘Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.’ (Al-Maidah: 44). ‘Maka mereka itu adalah orang-orang yang zhalim.’ (Al-Maidah : 45). ‘Maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.’ (Al-Maidah : 47).” Abu Majlaz menjawab, “Mereka yakni para pemimpin melakukan apa yang mereka lakukan sementara mereka mengetahui bahwa ia dosa.”

Apa yang dikatakan Abu Majlaz kepada al-Ibadhiyah merupakan jawaban dari keinginan mereka yaitu mengkafirkan para pemimpin karena mereka berada di markas sultan dan karena mereka melakukan sebagian yang dilarang Allah.

Ucapan Abu Majlaz termasuk ucapan Ibnu Abbas harus dipahami sesuai dengan zhahirnya sesuai dengan konteksnya tanpa berlebih-lebihan dan meremehkan, kita tidak seperti Khawarij yang menganggap sekedar menyelisihi syariat sebagai kufur akbar, pada saat yang sama kita juga tidak seperti kelompok yang bertentangan dengan mereka yang menganggap penolakan, berpaling dan meminggirkan syariat sebagai kufur ashghar, maksud Ibnu Abbas dan Abu Majlaz bukan orang yang menolak dan tidak mau berpegang kepada syariat Allah Taala dan berhakim kepada undang-undang jahiliyah, di masa-masa tersebut tidak ada yang melakukan itu.

Perkataan salaf shalih tentang kemaksiatan, ‘kufur di bawah kufur’ berkisar seputar kasus tertentu atau kejadian tertentu yang ditetapkan dengan hukum selain yang diturunkan Allah karena hawa nafsu dan ambisi dengan tetap diharamkannya perbuatan tersebut dan bahwa pelakunya berdosa ia tidak menjadi metode umum.

Ini merupakan perkara jelas yang ditegaskan oleh Ibnu Taimiyah dalam ucapannya yang telah dinukil, “Adapun orang yang berpegang kepada hukum Allah dan rasulNya lahir dan batin akan tetapi dia melanggar dan mengikuti hawa nafsunya maka dia sama dengan pelaku dosa sepertinya.” Wallahu a’lam.

Tinggalkan komentar