AR-RABB, YANG MAHA MENGATUR DAN MENGUASAI ALAM SEMESTA

Oleh
Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni MA

DASAR PENETAPAN
Nama Allâh Azza wa Jalla yang maha indah ini disebutkan dalam beberapa ayat al-Qur’ân. Di antaranya dalam firman Allâh Azza wa Jalla :

قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam” [al-An’âm/6:162]

Dan dalam firman-Nya:

قُلْ أَغَيْرَ اللَّهِ أَبْغِي رَبًّا وَهُوَ رَبُّ كُلِّ شَيْءٍ

Katakanlah:”Apakah aku akan mencari Rabb selain Allah, padahal Dia adalah Rabb bagi segala sesuatu?” [al-An’âm/6:164]

Demikian pula dalam firman-Nya:

رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا الْعَزِيزُ الْغَفَّارُ

Rabb langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya, Yang Maha Perkasa lagi Maha Pengampun [Shâd/38:66]

Juga dalam firman-Nya:

سَلَامٌ قَوْلًا مِنْ رَبٍّ رَحِيمٍ

(Kepada penghuni surga dikatakan): “Salam”, sebagai ucapan selamat dari Rabb Yang Maha Penyayang [Yâsîn/36:58]

MAKNA AR-RABB SECARA BAHASA
Ibnu Fâris rahimahullah berkata, “Kata Rabb menunjukkan beberapa arti pokok, yang pertama: memperbaiki dan mengurus sesuatu. Maka Rabb berarti yang menguasai, menciptakan dan memiliki, juga berarti dzat yang memperbaiki (mengurus) sesuatu[1] .

Sementara Ibnul Atsîr rahimahullah menyatakan, “Kata Rabb secara bahasa diartikan pemilik, penguasa, pengatur, pembina, pengurus dan pemberi nikmat. Kata ini tidak boleh digunakan dengan tanpa digandengkan (dengan kata yang lain) kecuali untuk Allâh Azza wa Jalla (semata), dan kalau digunakan untuk selain-Nya maka (harus) diiringi (dengan kata lain). Misalnya: rabbu kadza (pemilik barang ini)[2] .

Lebih lanjut, Imam Ibnu Jarîr ath-Thabari rahimahullah memaparkan: “(Kata) Rabb dalam bahasa Arab memliki beberapa (pemakaian) arti. Penguasa yang ditaati di kalangan orang-orang Arab disebut rabb …, orang yang memperbaiki sesuatu dinamakan rabb …, (demikian) juga orang yang memiliki sesuatu dinamakan rabb. Terkadang kata ini juga digunakan untuk beberapa arti selain arti di atas, akan tetapi semuanya kembali pada tiga arti tersebut. Maka Rabb kita (Allâh Azza wa Jalla) yang maha agung pujian-Nya adalah penguasa yang tidak ada satu pun yang menyamai dan menandingi kekuasaan-Nya, dan Dialah yang memperbaiki (mengatur semua) urusan makhluk-Nya dengan berbagai nikmat yang dilimpahkan-Nya kepada mereka, serta Dialah pemilik (alam semesta beserta isinya) yang memiliki (kekuasan mutlak dalam) menciptakan dan memerintahkan (mengatur)”[3] .

PENJABARAN MAKNA NAMA ALLAH AR-RABB
Rabb adalah Murabbî (yang maha memelihara dan mengurus) seluruh makhluk-Nya dengan mengatur urusan dan (melimpahkan) berbagai macam nikmat (kepada mereka) [4] . Maka Rabb adalah Yang Maha Pencipta sekaligus Penguasa dan Pengatur alam semesta beserta isinya [5] .

Makna Rabb adalah yang memiliki sifat rubûbiyah terhadap seluruh makhluk-Nya dalam hal menciptakan, menguasai, berbuat sekehendak-Nya dan mengatur mereka.

Nama Allâh Azza wa Jalla yang mulia ini termasuk nama Allâh Subhanahu wa Ta’ala yang mengandung beberapa arti, bukan hanya satu arti. Bahkan nama ini jika disebutkan sendirian tanpa nama Allâh Jalla Jalaluhu lainnya, kandungannya mencakup semua nama Allâh yang maha indah dan sifat-Nya yang maha sempurna [6] .

Dalam hal ini, Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berkata: “Sesungguhnya pengertian -Rabb adalah (dzat) yang maha kuasa, yang mengadakan, pencipta, pembentuk rupa, yang maha hidup lagi berdiri sendiri dan menegakkan urusan makhluk-Nya, maha mengetahui, mendengar, melihat, luas kebaikan-Nya, pemberi nikmat, pemurah, maha memberi dan menghalangi, yang memberi manfaat dan celaka, yang mendahulukan dan mengakhirkan, yang memberi petunjuk dan menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya (sesuai dengan hikmah-Nya yang agung), yang menganugerahkan kebahagiaan dan menyengsarakan siapa yang dikehendaki-Nya, yang memuliakan dan menghinakan siapa yang dikehendaki-Nya, dan semua makna rububiyah lainnya yang berhak dimiliki-Nya dari (kandungan) nama-nama-Nya yang maha indah”[7] .

Sifat rubûbiyah Allâh Azza wa Jalla ini meliputi seluruh alam semesta beserta isinya, karena Dialah yang memelihara dan mengatur semua makhluk dengan berbagai macam nikmat yang dilimpahkan-Nya kepada mereka, Dialah yang menciptakan mereka dengan kehendak dan kekuasaan-Nya, Dialah yang menyediakan semua kebutuhan makhluk-Nya, dan Dialah yang memberikan kepada semua makhluk penciptaan yang sesuai dengan keadaan mereka kemuadian memberi petunjuk kepada mereka untuk kebaikan dalam hidup mereka [8] .

PEMBAGIAN SIFAT RUBUBIYAH ALLAH SUBHANAHU WA TA’ALA
Sifat rubûbiyah Allâh Subhanahu wa Ta’ala ada dua macam:
1. Rubûbiyah umum yang mencakup semua makhluk, baik yang taat maupun yang selalu berbuat maksiat, yang beriman maupun kafir, yang berbahagia maupun celaka, yang mendapat petunjuk maupun yang sesat. Rubûbiyah ini berarti menciptakan, memberi rezki, mengatur, melimpahkan berbagai macam nikmat, memberi dan menghalangi, meninggikan dan merendahkan, menghidupkan dan mematikan, mamberi kekuasaan dan menghilangkannya, melapangkan dan menyempitkan, melapangkan semua penderitaan, menolong orang yang kesusahan dan memenuhi permohonan orang yang ditimpa kesulitan. Ini semua berlaku umum untuk selauruh makhluk-Nya. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

يَسْأَلُهُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۚ كُلَّ يَوْمٍ هُوَ فِي شَأْنٍ

Semua yang ada di langit di bumi selalu meminta kepada-Nya, setiap hari Dia (memenuhi) semua kebutuhan (makhluk-Nya) [ar-Rahmân/55:29]

2. Rubûbiyah yang khusus bagi para kekasih dan orang-orang yang dicintai-Nya, yaitu dengan menjaga dan memberi taufik kepada mereka untuk beriman dan melaksanakan ketaatan kepada-Nya, serta melimpahkan kepada mereka ilmu ma’rifatullâh (mengenal Allâh dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya) dan (memberi taufik) kepada mereka untuk selalu kembali/bertobat kepada-Nya, mengeluarkan mereka dari berbagai macam kegelapan (kesesatan) menuju cahaya (petunjuk-Nya), dan memudahkan mereka untuk melakukan semua kebaikan serta menjaga mereka dari semua keburukan [9] .

Syaikh ‘Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah berkata: “(Rubûubiyah) yang bersifat lebih khusus dari itu bermakna penjagaan-Nya terhadap hamba-hamba-Nya yang shaleh dengan memperbaiki hati, jiwa dan akhlak mereka [10]”

Inilah rahasia mengapa mayoritas doa yang diucapkan hamba-hamba Allâh Subhanahu wa Ta’ala yang shaleh, yang disebutkan dalam al-Qur’ân selalu diawali dengan nama Rabb (misalnya: Wahai Rabb kami, atau wahai Rabbku). Karena mereka sangat mengharapkan makna yang khusus dari sifat rubûbiyah ini, sehingga isi doa mereka pun tidak lepas dari makna yang dijelaskan di atas [11] .

PENGARUH POSITIF DAN MANFAAT MENGIMANI NAMA RABB
Mengimani rubûbiyah Allâh Azza wa Jalla akan menumbuhkan dalam diri seorang Muslim keikhlasan dalam beribadah kepada-Nya dan ketundukan yang seutuhnya di hadapan-Nya. Hal ini disebabkan keimanan terhadap rubûbiyah Allâh Jalla Jalaluhu mengandung konsekuensi penetapan ulûhiyah (penghambaan diri dengan ikhlas dalam ibadah) bagi Allâh Azza wa Jalla.

Inilah yang ditunjukkan dalam firman Allah Azza wa Jalla:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Wahai manusia, beribadahlah kepada Rabb-mu (semata-mata), Yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa [al-Baqarah/2:21].

إِنَّ هَٰذِهِ أُمَّتُكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَأَنَا رَبُّكُمْ فَاعْبُدُونِ

Sesungguhnya (agama tauhid) ini adalah agama kamu semua; agama yang satu dan Aku adalah Rabb-mu, maka beribadahlah kepada-Ku (semata-mata) [al-Anbiyâ/21:92]

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah memaparkan hal penting ini dalam ucapannya: “… Inilah tanda (adanya) tauhid ulûhiyah (penghambaan kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala yang sempurna) dalam hati seorang hamba, dan pintu masuk (yang membawa) hamba ini (mencapai kedudukan ini) adalah tauhid rubûbiyah. Artinya: pintu masuk (untuk mencapai) tauhid ulûhiyah adalah tauhid rubûbiyah.

Sesungguhnya yang pertama kali tertanam dalam hati (manusia) adalah (mengimani) keesaan Allâh Subhanahu wa Ta’ala dalam rubûbiyah-Nya, kemudian (kedudukannya) meningkat kepada keimanan terhadap keesaan Allâh Subhanahu wa Ta’ala dalam ulûhiyah-Nya. Sebagaimana hal inilah yang diserukan oleh Allâh Subhanahu wa Ta’ala dalam al-Qur’ân, (yaitu) dengan (pengakuan) manusia terhadap tauhid rubûbiyah yang (mengandung konsekuensi) mengakui tauhid ulûuhiyah. Allah menegakkan argumentasi kepada mereka dengan pengakuan mereka ini, kemudian Dia menyampaikan bahwa mereka sendiri yang menentang pengakuan mereka itu dengan menyekutukan-Nya dalam ulûhiyah.

Maka dalam keadaan ini terwujudlah pada diri seorang hamba tingkatan:

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan [al-Fâtihah/1:5]

Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَهُمْ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ ۖ فَأَنَّىٰ يُؤْفَكُونَ

Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan mereka? niscaya mereka menjawab:”Allâh”, maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allâh)?” [az-Zukhruf/43 :87]

Maksud ayat di atas, bagaimanakah mereka dapat dipalingkan dari mempersaksikan (kalimat) lâ ilâha illallâh (tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allâh) dan dari penghambaan diri kepadanya semata, padahal mereka telah mempersaksikan bahwa tidak ada Rabb (penguasa dan pengatur alam semesta) dan tidak ada pencipta selain Allâh Azza wa Jalla ?…” [12] .

Demikian pula beriman kepada rubûbiyah-Nya dengan benar akan membawa seorang hamba menuju tingkatan ridha kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala sebagai Rabb, yang berarti ridha kepada segala perintah dan larangan-Nya, kepada ketentuan dan pilihan-Nya, serta kepada apa yang diberikan dan yang tidak diberikan-Nya. Inilah syarat untuk mencapai tingkatan ridha kepada-Nya sebagai Rabb secara utuh dan sepenuhnya. Dan ini merupakan ciri utama orang yang telah merasakan kemanisan dan kesempurnaan iman, sebagaimana dikatakan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Akan merasakan kelezatan/kemanisan iman, orang yang ridha dengan Allâh Subhanahu wa Ta’ala sebagai Rabb-nya, Islam sebagai agamanya dan (Nabi) Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai rasulnya”[13] .

PENUTUP
Kami akhiri tulisan ini dengan memohon kepada Allâh Rabb semesta alam, agar senantiasa menganugerahkan kepada kita semua penjagaan dan taufik dari-Nya, serta semua makna rubûbiyah-Nya yang khusus, sebagaimana telah dilimpahkan-Nya kepada hamba-hamba-Nya yang shaleh. Sesungguhnya Allâh Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan doa.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XIV/1431H/2010M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Mu’jamu Maqâyîsil Lughah 2/313
[2]. An-Nihâyah fî Gharîbil Hadîts wal Atsar 2/450
[3]. Tafsir ath-Thabari 1/89
[4]. Ucapan Syaikh ‘Abdurrahmân as-Sa’di dalam Tafsiirul asma-illahil husna hlm. 47
[5]. Lihat keterangan syaikh al-‘Utsaimin dalam kitab “Syarhul arba’iin an-Nawaawiyyah” (hal.43).
[6]. Fiqhul Asma-il Husna hlm. 79
[7]. Bada-i’ul fawa-id 2/473
[8]. Fiqhul Asma-il Husna hlm. 80
[9]. Lihat kitab “Fiqhul asma-il husna” (hal. 80-81).
[10]. Kitab “Tafsiirul asma-illahil husna” (hal. 47).
[11]. Lihat kitab “Tafsiirul asma-illahil husna” (hal. 47) dan “Fiqhul asma-il husna” (hal. 81).
[12]. Kitab “Madaarijus saalikiin” (1/411).
[13]. HSR Muslim (no. 34).

Tinggalkan komentar