Bab V. Rukun-rukun wudhu


Rukun-rukun yang disepakati ada empat yaitu :

1. Mencuci wajah

2. Mencuci tangan

3. Mengusap kepala

4. Mencuci kedua kaki

 

Rukun-rukun yang diperselisihkan, antara lain

 

1.Tertib

Menurut Hanafiyah dan Malikiyah tertib dalam wudhu hanyalah sunnah muakkadah dan tidak fardlu. Sebab dalam ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala menggunakan huruf wawu bukan fa atau ُtsuma yang menunjukan tertib. Sedangkan و hanyalah untuk mutlaqul jam’i.

Sedangkan menurut Hanabilah dan Syafi’iyah tertib dalam wudhu adalah fardlu (al-fiqh al-islami 1/231). Dalilnya :

Demikianlah perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam yang datang dalam hadits-hadits yang shohih

Sesuai dengan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam “Ibda’ bima bdaa Allah bihi” (Mulailah dengan apa yang dimulai oleh Allah, hadits riwayat Muslim no 1218). Walaupun hadits ini tentang masalah haji, yaitu berkaitan dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (inna shofa wal marwa) , namun ‘ibroh adalah dengan keumuman lafalnya bukan dengan kekhususan sebab.

Allah Subhanahu wa Ta’ala memasukkan yang diusap diantara hal-hal yang dicuci. Dan hal ini telah keluar dari qoidah balagoh. Dan tidak ada faedah yang bisa diperoleh dari hal ini (keluar dari qoidah balagoh) kecuali tertib (Syarhul Mumti’ 1/153)

Oleh karena barang siapa yang berwudhu dengan tidak tertib maka wudhu tidak sah Adapun tertib antar selain empat anggota yang disebutkan dalam ayat maka hukumnya sunnah berdasarkan ijma’. Misalnya antara berkumur-kumurdan beristinsyaq dengan wajah, antara kaki kanan dengan kaki kiri, tangan kanan dengan tangan kiri, dan antara kepala dan telinga. Sebab

pada hakikatnya ini contoh-contoh ini merupakan satu anggota tubuh.Yaitu parar ulama menganggap kaki kanan dan kaki kiri sebagai satu anggota tubuh.(Taudlihul Ahkam 1/189, al-fiqh alislami 1/233)

Oleh karena itu jika seorang berwudhu tanpa tertib (walaupun karena lupa), maka wudhunya tidak sah karena wudhu adalah satu kesatuan sebagaimana sholat. Jika seseorang sujud sebelum ruku kemudian baru ruku maka sholatnya tidak sah walaupun dia dalam keadaan lupa. (Syarhul Mumti’ 1/154)

 

2.Muwalah

Yang dimaksud dengan muwalah adalah bersambungan. Yaitu wudhu harus dilakukan bersambungan jangan terpisah hingga anggota tubuh yang sebelumnya kering. Menurut Hanafiyah dan Syafi’iah muwalah hukumnya

sunnah tidak wajib. Namun menurut Malikiyah dan

Hanabilah hukumnya adalah fardlu sebab. Adanya hadits Kholid bin Mi’dan (telah lalu). Kalau seandainya muwalah tidak rukun tentu Nabi tidak memerintahkan laki-laki tersebut untuk mengulangi wudhunya, tetapi cukup

disempurnakan saja. (al-fiqh al-islami 1/234-235) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam senantiasa melakukannya.

 Qiyas dengan sholat, karena sholat itu harus muwalah. Kalau sholat terpisah dengan pembicaraan maka batal

 

 

MAROJI’ :

1. Nailul Author, Asy-Syaukani

2. Roudlotun Nadliah, Syaikh Sidiq Hasan Khan

3. Syarhus Sunnah, Imam Al-Bagowi

4. Irwa’ul Ghalil, Syaikh Al-Albani

5. Tamamul Minnah, Syaikh Al-Albani

6. Sifat Wudhu Nabi , Fahd bin Abdirrohman Ad-

Dausi

7. Taudlihul Ahkam, Syaikh Ali Bassam

8. Al-Fiqh al- Islami, DR. Wahb Az-Zuhaili

9. Thuhurul Muslim, Syaikh Al-Qohtoni

10. Syarhul Mumti,’ Syaikh Utsaimin

 

Disalin dari : KEMUDAHAN DI DALAM SIFAT WUDHU’ NABI,  disusun oleh :

Al-Ustadz Abu ‘Abdil Muhsin as-Soronji, Lc, Ebook, Maktabah Ummu Salma.

 

Tinggalkan komentar