SHALAT BERJAMA’AH

Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi

A. Hukumnya
Hukum shalat berjama’ah adalah fardhu ‘ain bagi pria yang telah terkena kewajiban shalat, kecuali ada halangan:

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ بِحَطَبٍ فَيُحْطَبُ، ثُمَّ آمُرَ بِالصَّلاَةِ فَيُؤَذَّنَ لَهَا، ثُمَّ آمُرَ رَجُلاً فَيَؤُمَّ النَّاسَ، ثُمَّ أُخَـالِفَ إِلَى رِجَالٍ فَأُحَرِّقَ عَلَيْهِمْ بُيُوْتَهُمْ. وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَوْ يَعْلَمُ أَحَدُهُمْ أَنَّهُ يَجِدُ عَرْقًا سَمِيْنًا أَوْ مِرْمَـاتَيْنِ حَسَنَتَيْنِ، لَشَهِدَ الْعِشَاءَ.

“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya. Sesungguhnya aku bertekad untuk menyuruh seseorang agar mengumpulkan kayu bakar, lalu aku menyuruh shalat dan diserukan untuknya. Kemudian kusuruh seorang laki-laki mengimami manusia. Setelah itu kudatangi orang-orang yang tidak menghadiri shalat jama’ah dan kubakar rumah-rumah mereka. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya. Andai salah seorang di antara mereka tahu bahwa ia akan memperoleh sepotong daging gemuk dan dua kaki (daging) hewan berkuku belah yang baik, niscaya ia akan mendatangi shalat ‘isya’.”[1]

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam didatangi seorang laki-laki buta. Dia berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku tidak mempunyai seorang pemandu yang menuntunku ke masjid.’ Kemudian dia meminta keringanan untuk shalat di rumahnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memberinya keringanan. Ketika dia berbalik, beliau memanggilnya, lalu berkata, “Apakah engkau mendengar adzan shalat?” Dia berkata, “Ya.” Beliau lantas berkata, “Kalau begitu datanglah (untuk shalat berjama’ah).”[2]

Dari ‘Abdullah Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Barangsiapa yang suka bila kelak menemui Allah dalam keadaan muslim, maka hendaklah ia senantiasa menjaga shalat-shalat (wajib) ini ketika diseru kepadanya. Sesungguhnya Allah telah mensyari’atkan petunjuk kebenaran bagi Nabi kalian. Dan shalat berjama’ah termasuk petunjuk kebenaran. Jika kalian shalat di rumah-rumah kalian sebagaimana orang yang ketinggalan ini shalat di rumahnya, maka kalian telah meninggalkan petunjuk Nabi kalian. Jika kalian meninggalkan petunjuk Nabi kalian, niscaya sesatlah kalian. Tidaklah seorang laki-laki berwudhu’ lalu ia menyempurnakan wudhu’nya lantas ia menuju salah satu masjid, kecuali Allah mencatat setiap langkah yang ia jalani sebagai satu kebaikan. Dengan langkah itu Allah mengangkatnya satu derajat. Dan dengannya pula Allah menghapuskan satu keburukan darinya. Sungguh, telah kuamati keadaan kami (para Sahabat). Dan tidak ada yang ketinggalan dari shalat jama’ah melainkan orang munafiq yang telah dikenal kemunafikannya. Sungguh, dulu pernah ada seorang laki-laki yang diapit (dituntun) oleh dua orang laki-laki hingga didirikan pada shaff.”[3]

Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

مَنْ سَمِعَ النِّدَاءَ فَلَمْ يَأْتِهِ، فَلاَ صَلاَةَ لَهُ، إِلاَّ مِنْ عُذْرٍ.

“Barangsiapa mendengar adzan, kemudian tidak mendatanginya, maka tidak ada shalat baginya (tidak sempurna shalatnya-ed.) kecuali ia memiliki halangan.”[4]

B. Keutamaannya
Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

صَلاَةُ الْجَمَاعَةِ تَفْضُلُ صَلاَةُ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِيْنَ دَرَجَةً.

“Shalat berjama’ah lebih utama dua puluh tujuh derajat daripada shalat sendirian.”[5]

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

صَلاَةُ الرَّجُلِ فِي الْجَمَاعَةِ تُضَعَّفُ عَلَى صَلاَتِهِ فِي بَيْتِهِ وَفِي سُوْقِهِ خَمْسًا وَعِشْرِيْنَ ضَعْفًا، وَذَلِكَ أَنَّهُ إِذَا تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوْءَ، ثُمَّ خَرَجَ إِلَى الْمَسْجِدِ لاَ يُخْرِجُهُ إِلاَّ الصَّلاَةُ، لَمْ يَخْطُ خُطْوَةً إِلاَّ رُفِعَتْ لَهُ بِهَا دَرَجَةٌ، وَحُطَّ عَنْهُ بِهَا خَطِيْئَةٌ، فَإِذَا صَلَّى لَمْ تَزَلِ الْمَلاَئِكَةُ تُصَلِّي عَلَيْهِ مَا دَامَ فِي مُصَلاَّهُ: “اَللّهُمَّ صَلِّ عَلَيْهِ، اَللّهُمَّ ارْحَمْهُ،” وَلاَ يَزَالُ أَحَدُكُمْ فِيْ صَلاَةٍ مَا انْتَظَرَ الصَّلاَةَ.

“Shalat seorang laki-laki dengan berjama’ah lebih utama (dilipatgandakan ganjarannya) dua puluh lima kali lipat dibandingkan shalatnya di rumah dan di pasarnya. Karena jika dia berwudhu’ lalu menyempurnakan wudhu’nya. Kemudian keluar menuju masjid hanya untuk shalat. Maka tidaklah ia melangkah kecuali dengan satu langkah itu derajatnya diangkat. Dan dengan langkah itu satu kesalahannya dihapuskan. Jika dia shalat, maka Malaikat senantiasa mendo’akannya selama dia berada di tempat shalatnya: ‘Ya Allah, selamatkanlah dia. Ya Allah, rahmatilah dia.’ Salah seorang di antara kalian senantiasa (dianggap) dalam shalat selama dia menunggu shalat.”[6]

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salalm, beliau bersabda:

مَنْ غَدَا إِلَى الْمَسْجِدِ وَرَاحَ أَعَدَّ اللهُ لَهُ نَزْلَهُ مِنَ الْجَنَّةِ كُلَّمَا غَدَا أَوْ رَاحَ.

“Barangsiapa pergi ke masjid lalu kembali, maka Allah menyediakan karunia-Nya dari Surga baginya saat pergi dan kembali.”[7]

C. Apakah Wanita Juga Menghadiri Shalat Jama’ah?
Dibolehkan bagi wanita mendatangi masjid dan mengikuti shalat jama’ah. Dengan syarat menghindari hal-hal yang membangkitkan syahwat dan menimbulkan fitnah, seperti perhiasan dan parfum.[8]

Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

لاَ تَمْنَعُوْا نِسَاءَكُمُ الْمَسَاجِدَ، وَبُيُوْتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ.

“Janganlah kalian melarang isteri-isteri kalian mendatangi masjid. Sedangkan rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka.” [9]

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَيُّمَا امْرَأَةٍ أَصَابَتْ بُخُوْرًا فَلاَ تَشْهَدْنَ مَعَنَا الْعِشَاءَ اْلآخِرَةَ.

“Wanita mana saja yang memakai wewangian, maka janganlah ia shalat ‘Isya’ di waktu akhir bersama kami.”[10]

Dan darinya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تَمْنَعُوْا إِمَاءَ اللهِ مَسَاجِدَ اللهِ، لكِنْ وَلْيَخْرُجْنَ وَهُنَّ تَفِلاَتٌ.
“Janganlah kalian halangi para hamba wanita Allah menghadiri masjid-masjid Allah. Jika mereka hendak keluar juga, maka hendaknya mereka tidak mengenakan wangi-wangian.” [11]

Rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka.
Sekalipun wanita diperbolehkan mendatangi masjid, hanya saja shalat mereka di dalam rumah-rumah mereka lebih utama.

Dari Ummu Humaid as-Sa’idiyyah Radhiyallahu anha. Dia mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya senang shalat bersamamu.” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Sesungguhnya saya mengetahui bahwa engkau senang shalat bersamaku. Namun, shalatmu di rumahmu lebih baik daripada shalatmu di kamarmu. Dan shalatmu di kamarmu lebih baik daripada shalatmu di tempat tinggalmu. Dan shalatmu di tempat tinggalmu lebih baik daripada shalatmu di masjid kaummu. Dan shalatmu di masjid kaummu lebih baik daripada shalatmu di masjidku.”[12]

D. Adab Berjalan ke Masjid
Dari Abu Qatadah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Ketika kami shalat bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tiba-tiba beliau mendengar suara gaduh orang-orang. Tatkala beliau selesai shalat, beliau bertanya, ‘Ada apa dengan kalian?’ Mereka menjawab, ‘Kami mendatangi shalat dengan tergesa-gesa.’ Beliau bersabda, ‘Janganlah kalian melakukannya lagi. Jika kalian mendatangi shalat, maka bersikap tenanglah. Apa yang kalian dapati, maka shalatlah. Dan apa yang terlewatkan oleh kalian, maka sempurnakanlah.’”[13]

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

إِذَا سَمِعْتُمُ اْلإِقَـامَةَ فَامْشَوْا إِلَى الصَّلاَةِ وَعَلَيْكُمْ بِالسَّكِيْنَةِ وَالْوِقَارِ، وَلاَ تَسْرَعُوْا، فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوْا وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوْا.

“Jika kalian mendengar iqamat, maka datangilah shalat dengan tenang, santai, dan tidak tergesa-gesa. Apa yang kalian dapati, maka shalatlah. Dan apa yang kalian lewatkan, maka sempurnakanlah.” [14]

Dari Ka’ab bin ‘Ujrah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا تَوَضَّأَ أَحَدُكُمْ فَأَحْسَنَ وُضُـوْءَهُ ثُمَّ خَرَجَ عَـامِدًا إِلَى الْمَسْجِدِ فَلاَ يَشْبِكَنَّ بَيْنَ أَصَابِعِهِ فَإِنَّهُ فِيْ صَلاَةٍ.

“Jika salah seorang di antara kalian berwudhu’ lalu menyempurnakan wudhu’nya. Kemudian keluar menuju masjid, maka janganlah ia menyilangkan jari-jemarinya, karena dia sedang dalam shalat.”[15]

1. Do’a keluar rumah
Bacaan yang diucapkan ketika keluar rumah.
Dari Anas Radhiyallahu anhu, ia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ قَالَ -يَعْنِي إِذَا خَرَجَ مِنْ بَيْتِهِ- “بِسْمِ اللهِ، تَوَكَّلْتُ عَلَى اللهِ، وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ”، يُقَالُ لَهُ: هُدِيْتَ وَكُفِيْتَ وَوُقِيْتَ وَتَنَحَّى عَنْهُ الشَّيْطَانُ.

“Barangsiapa yang ketika keluar rumahnya mengucap: ‘Dengan nama Allah, aku berserah diri kepada Allah. Tidak ada daya dan upaya kecuali dari Allah.’ Maka dikatakan padanya, ‘Engkau telah diberikan petunjuk, tercukupi, terlindungi, dan syaitan menjauhimu.”[16]

Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, bahwasanya ia tidur di rumah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia menggambarkan shalat malam beliau. Dia berkata, “Lalu mu-adzin mengumandangkan adzan dan beliau keluar untuk shalat sambil mengucap:

“اَللّهُمَّ اجْعَلْ فِيْ قَلْبِي نُوْرًا، وَفِيْ لِسَانِي نُوْرًا، وَاجْعَلْ فِيْ سَمْعِـي نُوْرًا، وَاجْعَلْ فِيْ بَصَرِي نُوْرًا، وَاجْعَلْ مِنْ خَلْفِي نُوْرًا وَمِنْ أَمَـامِي نُوْرًا، وَاجْعَلْ مِنْ فَوْقِي نُوْرًا وَمِنْ تَحْتِي نُوْرًا، اَللّهُمَّ أَعْطِنِي نُوْرًا.”

“Ya Allah, jadikanlah cahaya dalam hatiku, lisan, pendengaran, dan penglihatanku. Jadikanlah cahaya dari belakangku, depan, atas, dan bawahku. Ya Allah, berilah aku cahaya.” [17]

2. Do’a masuk masjid
Bacaan yang diucapkan ketika memasuki masjid:
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Jika beliau masuk masjid beliau mengucap:

“أَعُوْذُ بِاللهِ الْعَظِيْمِ، وَبِوَجْهِهِ الْكَرِيْمِ، وَسُلْطَانِهِ الْقَدِيْمِ، مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ.”

“Aku berlindung kepada Allah Yang Maha Agung, dengan Wajah-Nya Yang mulia, dan dengan kekuasaan-Nya yang terdahulu dari godaan syaitan yang terkutuk.” [18]

Dari Fathimah binti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata, “Jika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk masjid, beliau mengucap:

بِسْمِ اللهِ، وَالسَّلاَمُ عَلى رَسُوْلِ اللهِ، اَللّهُمَّ اغْفِرْ لِيْ ذُنُوْبِي وَافْتَحْ لِي أَبْوَابَ رَحْمَتِكَ

“Dengan Nama Allah. Semoga kesejahteraan tercurah atas Rasulullah. Ya Allah, ampunilah dosa-dosaku, dan bukakan-lah pintu rahmat-Mu bagiku.”

Dan apabila keluar, beliau mengucap:

“بِسْمِ اللهِ، وَالسَّلاَمُ عَلى رَسُوْلِ اللهِ، اَللّهُمَّ اغْفِرْ لِي ذُنُوْبِي وَافْتَحْ لِي أَبْوَابَ فَضْلِكَ.

“Dengan nama Allah. Semoga kesejahteraan tercurah atas Rasulullah. Ya Allah, ampunilah dosa-dosaku, dan bukakan-lah pintu karunia-Mu bagiku.” [19]

3. Shalat Tahiyyatul Masjid
Jika seseorang masuk masjid, maka dia wajib shalat dua raka’at sebelum duduk.
Dari Abu Qatadah Radhiyallahu anhu, dia mengatakan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمُ الْمَسْجِدَ فَلاَ يَجْلِسْ حَتَّى يُصَلِّيَ رَكْعَتَيْنِ.

“Jika salah seorang di antara kalian masuk masjid, maka janganlah ia duduk terlebih dahulu sampai ia melaksanakan shalat dua raka’at.” [20]

Saya katakan bahwa hal ini wajib, disebabkan zhahir perintah dalam hadits di atas, dimana tidak terdapat indikasi yang memalingkannya dari zhahir tersebut. Kecuali hadits Thalhah bin ‘Ubaidillah, “Seorang Arab Badui menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan rambut acak-acakan. Dia kemudian berkata, ‘Wahai Rasulullah, beritahukanlah kepadaku tentang shalat yang diwajibkan Allah bagiku.’ Beliau menjawab, “Shalat lima waktu, kecuali jika engkau menambah (dengan shalat sunnah)…”

“Menurut saya, menjadikan hadits ini sebagai dalil bagi tidak wajibnya shalat yang baru saja disebutkan masih harus ditinjau kembali, karena apa yang terjadi pada awal pembelajaran tidak bisa dijadikan sebagai pegangan untuk memalingkan (wajibnya) perkara-perkara yang datang sesudahnya. Jika tidak demikian, maka kewajiban-kewajiban syari’at hanya terbatas pada shalat lima waktu yang disebutkan saja. Ini menyelisihi ijma’ dan meniadakan mayoritas ajaran agama. Yang benar adalah mengambil dalil yang terakhir jika memang ada dalil yang shahih. Setelah itu mengamalkan isinya, baik itu wajib, sunnah, atau yang semisalnya. Dalam masalah ini memang terdapat khilaf. Namun, inilah pendapat yang paling kuat dari dua pendapat yang ada.” [21]

Sebagai penguat kewajiban hukumnya adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya sekalipun imam sedang khutbah.

Dari Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Seorang laki-laki masuk (ke masjid) pada saat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang khutbah Jum’at. Lalu beliau bertanya, “Hai Fulan, apakah engkau sudah shalat?” Dia menjawab, “Belum.” Beliau berkata, “Berdiri dan shalatlah.”[22]

Jika memang tahiyyat boleh ditinggalkan pada suatu keadaan tersebut, maka pada saat ini dia boleh ditinggalkan. Karena orang tadi telah duduk, sedangkan shalat tersebut disyari’atkan sebelum duduk. Dan juga karena orang tadi tidak mengetahui hukumnya. Ditambah lagi karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memotong khutbahnya, berbicara dengannya, lalu menyuruhnya shalat tahiyyat. Sekiranya bukan karena perhatian beliau yang sangat besar terhadap tahiyyat pada semua waktu, niscaya beliau tidak akan menaruh perhatian sebesar ini.” [23]

Jika iqamat telah dikumandangkan, maka tidak ada shalat selain shalat wajib
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

إِذَا أُقِيْمَتِ الصَّلاَةُ فَلاَ صَلاَةَ إِلاَّ الْمَكْتُوْبَةُ.

“Jika iqamat telah dikumandangkan, maka tidak ada shalat selain shalat wajib.”[24]

Dari Malik bin Buhainah Radhiyallahu anhu, bahwa ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat seorang laki-laki sedang shalat dua raka’at pada saat iqamat telah dikumandangkan. Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam selesai, orang-orang lalu mengerumuninya. Kepada orang tadi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ‘Apakah shalat Shubuh empat raka’at? Apakah shalat Shubuh empat raka’at?’ [25]

4. Keutamaan mendapati takbir bersama imam
Dari Anas Radhiyallahu anhu, ia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ صَلَّى ِللهِ أَرْبَعِيْنَ يَوْمًا فِيْ جَمَاعَةٍ يُدْرِكُ التَّكْبِيْرَةَ اْلأُوْلَى كُتِبَ لَهُ بَرَاءَتَانِ: بَرَاءَةٌ مِنَ النَّارِ، وَبَرَاءَةٌ مِنَ النِّفَاقِ.

“Barangsiapa shalat jama’ah ikhlas karena Allah selama empat puluh hari dengan mendapati takbir pertama, maka dibebaskan dari dua perkara: dari Neraka dan kemunafikan.” [26]

Barangsiapa datang ke masjid sedangkan imam telah shalat
Dari Sa’id bin al-Musayyib rahimahullah, dia berkata, “Seorang laki-laki dari kalangan Anshar sedang dalam keadaan sakaratul maut, lalu ia berkata, ‘Sesungguhnya aku akan memberitahu kalian sebuah hadits. Aku tidak memberitahu kalian kecuali hanya mengharap pahala dari Allah. Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا تَوَضَّأَ أَحَدُكُمْ فَأَحْسَنَ الْوُضُوْءَ ثُمَّ خَرَجَ إِلَى الصَّلاَةِ، لَمْ يَرْفَعْ قَدَمَهُ الْيُمْنَى إِلاَّ كَتَبَ اللهُ لَهُ حَسَنَةً، وَلَمْ يَضَعْ قَدَمَهُ الْيُسْرَى إِلاَّ حَطَّ اللهُ عَنْهُ سَيِّئَةً، فَلْيَقْتَرِبْ أَحَدُكُمْ أَوْ لِيُبَعِّدْ، فَإِنْ أَتَى الْمَسْجِدَ فَصَلَّى فِيْ جَمَاعَةٍ غُفِرَ لَهُ، فَإِنْ أَتَى الْمَسْجِدَ وَقَدْ صَلَّوْا بَعْضًا وَبَقِيَ بَعْضٌ صَلَّى مَا أَدْرَكَ وَأَتَمَّ مَا بَقِيَ، كَـانَ كَذلِكَ، فَإِنْ أَتَى الْمَسْجِدَ وَقَدْ صَلَّوْا فَأَتَمَّ الصَّلاَةَ كَانَ كَذلِكَ.

“Jika salah seorang dari kalian wudhu’ lalu menyempurnakan wudhu’nya. Setelah itu pergi keluar untuk shalat (berjama’ah), maka tidaklah ia mengangkat kaki kanannya melainkan Allah Azza wa Jalla mencatat sebuah kebaikan baginya. Dan tidaklah ia me-letakkan kaki kirinya melainkan Allah Azza wa Jalla menghapuskan sebuah kesalahan darinya. Hendaklah salah seorang di antara kalian (memilih antara) memperpendek atau memperpanjang langkahnya. Jika dia datang ke masjid kemudian shalat berjama’ah, maka diampunilah dosanya. Jika dia mendatangi masjid pada saat orang-orang telah menyelesaikan beberapa raka’at dan masih tersisa beberapa raka’at, lalu dia ikut shalat dan menyempurnakan raka’at yang tersisa, maka dia pun mendapat pahala seperti tadi. Jika dia mendatangi masjid pada saat orang-orang telah menyelesaikan shalat, lantas dia menunaikan shalatnya, maka dia pun mendapat pahala seperti tadi.” [27]

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia mengatakan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ وُضُوْءَهُ ثُمَّ رَاحَ فَوَجَدَ النَّاسَ قَدْ صَلَّوْا، أَعْطَاهُ اللهُ مِثْلَ أَجْرِ مَنْ صَلاَّهَا وَحَضَرَهَا، لاَ يَنْقُصُ ذلِكَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْئًا.

“Barangsiapa wudhu’ lalu membaguskan wudhu’nya. Kemudian menuju masjid tapi dia dapati orang-orang telah selesai shalat, maka Allah Azza wa Jalla memberinya pahala orang yang melaksanakan dan menghadiri shalat jama’ah tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun.” [28]

5. Memasuki shalat dengan mengikuti imam dalam keadaan apa pun
Dari ‘Ali bin Abi Thalib dan Mu’adz bin Jabal, mereka mengatakan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا أَتَى أَحَدُكُمُ الصَّلاَةَ وَاْلإِمَامُ عَلَى حَالٍ فَلْيَصْنَعْ كَمَا يَصْنَعُ اْلإِمَامُ.

“Jika salah seorang di antara kalian mendatangi shalat jama’ah pada saat imam sedang berada pada suatu keadaan, maka hendaklah ia melakukan gerakan sebagaimana yang sedang dilakukan imam.”[29]

Kapankah seseorang dianggap masih mendapatkan satu raka’at?
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia mengatakan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا جِئْتُمْ إِلَى الصَّلاَةِ وَنَحْنُ سُجُوْدٌ فَاسْجُدُوْا، وَلاَ تَعَدُّوْهَا شَيْئًا، وَمَنْ أَدْرَكَ الرَّكْعَةَ فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلاَةَ.

“Jika kalian mendatangi shalat jama’ah pada saat kami sedang sujud, maka sujudlah dan itu jangan dihitung (satu raka’at). Dan barangsiapa mendapati (imam) sedang ruku’, maka dia mendapat satu raka’at shalat.” [30]

Tentang orang yang ruku’ sebelum sampai di shaff
Dari Abu Bakrah Radhiyallahu anhu, ia mendapati Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang ruku’, ia lantas ruku’ sebelum sampai di shaff. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam diberitahu akan hal tersebut. Lalu beliau bersabda, “Semoga Allah menambah semangatmu, namun janganlah engkau mengulanginya lagi.” [31]

Dari ‘Atha’ Radhiyallahu anhu, ia mendengar Ibnu az-Zubair berkhutbah di atas mimbar, “Jika salah seorang di antara kalian memasuki masjid pada saat orang-orang ruku’, maka hendaklah dia ruku’ hingga masuk. Setelah itu, hendaklah dia berjalan sambil tetap ruku’ sampai tiba di shaff. Karena yang seperti itu adalah Sunnah.” [32]

Dari Zaid bin Wahb rahimahullah, ia berkata, “Aku keluar bersama ‘Abdullah -maksudnya, ‘Abdullah bin Mas’ud- dari rumahnya menuju masjid. Ketika kami sampai di pertengahan masjid, imam ruku’. ‘Abdullah lalu bertakbir dan ruku’, lantas aku pun ikut ruku’ bersamanya. Setelah itu kami berjalan hingga sampai di shaff, ketika itu orang-orang tengah mengangkat kepala mereka. Pada waktu imam telah menyelesaikan shalatnya, aku bangkit. Aku mengira belum mendapat satu raka’at. ‘Abdullah langsung menarik tanganku dan mendudukkanku. Kemudian dia berkata, “Sesungguhnya engkau telah mendapat satu raka’at.” [33]

[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA – Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 – September 2007M]
_______
Footnote
[1]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/125 no. 644)], ini adalah lafazhnya, Shahiih Muslim (I/451 no. 651), dengan lafazh yang mirip. Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/251 no. 544), Sunan Ibni Majah (I/259 no. 791), tidak terdapat kalimat terakhir pada riwayat ini, Sunan an-Nasa-i (II/107), dengan lafazh al-Bukhari.
[2]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 320)], Shahiih Muslim (I/452 no. 653), Sunan an-Nasa-i (II/109).
[3]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 631)], Shahiih Muslim (I/453 no. 654 (257)), Sunan an-Nasa-i (II/108), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/254 no. 546), Sunan Ibni Majah (I/255 no. 777).
[4]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 645)], Sunan Ibni Majah (I/260 no. 793), Mustadrak al-Hakim (I/245), al-Baihaqi (III/174).
[5]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/131 no. 645)], Shahiih Muslim (I/450 no. 650), Sunan at-Tirmidzi (I/138 no. 215), Sunan an-Nasa-i (II/103), Sunan Ibni Majah (I/259 no. 789).
[6]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/131 no. 647)], Shahiih Muslim (I/459 no. 649), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/265 no. 555).
[7]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/148 no. 662), Shahiih Muslim (I/463 no. 669).
[8]. Fiqhus Sunnah (I/193).
[9]. Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 530)], Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/274 no. 563), Ahmad (Fat-hur Rabbaani) (V/195 no. 1333).
[10]. Shahih: [Shahiihul Jaami’ush Shaghiir (no. 2702)], Shahiih Muslim (I/328 no. 444), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (XI/231 no. 4157), Sunan an-Nasa-i (VIII/154).
[11]. Hasan shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 529)], Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/273 no. 561), Ahmad (Fat-hur Rabbani) (V/193 no. 1328).
[12]. Hasan: [Ahmad (Fat-hur Rabbani) (V/198 no. 1337)], Shahiih Ibni Khuzaimah (III/95 no. 1689).
[13]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/116 no. 635)], Shahiih Muslim (I/421 no. 603).
[14]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/117 no. 636)], ini adalah lafazh darinya, Shahiih Muslim (I/420 no. 602), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/278 no. 568), Sunan at-Tirmidzi (I/205 no. 326), Sunan an-Nasa-i (II/114), Sunan Ibni Majah (I/255 no. 775).
[15]. Shahih: [Shahiih Sunan at-Tirmidzi (no. 316)], Sunan at-Tirmidzi (I/239 no. 384), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/268 no. 558).
[16]. Shahih: [Shahiihul Jaami’ush Shaghiir (no. 6419)], Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (XIII/437 no. 5073), Sunan at-Tirmidzi (V/154 no. 3486).
[17]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 379)], Shahiih Muslim (I/530 no. 763 (191)), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (IV/230 no. 1340).
[18]. Shahih: [Shahih Sunan Abi Dawud (no. 441)], Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/132 no. 462).
[19]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 625)], Sunan Ibni Majah (I/253 no. 771), Sunan at-Tirmidzi (I/197 no. 313).
[20]. Telah disebutkan takhrijnya.
[21]. Nailuul Authaar (I/364).
[22]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/407 no. 930)], Shahiih Muslim (II/596/875), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (IV/464 no. 1102), Sunan at-Tirmidzi (II/10 no. 508), Sunan Ibni Majah (I/1112 no. 353), Sunan an-Nasa-i (III/107).
[23]. [Shahiih Muslim dengan Syarh an-Nawawi (V/226)].
[24]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 263)], Shahiih Muslim (I/493 no. 710), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (IV/143, 142 no. 1252), Sunan at-Tirmidzi (I/264 no. 419), Sunan Ibni Majah (I/364 no. 1151), Sunan an-Nasa-i (II/116).
[25]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/148 no. 663)], ini adalah lafazh darinya, Shahiih Muslim (I/493 no. 711).
[26]. Hasan: [Shahiih Sunan at-Tirmidzi (no. 200)], Sunan at-Tirmidzi (I/152 no. 241).
[27]. Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 527)], Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/270 no. 559).
[28]. Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 528), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/272 no. 560), Sunan an-Nasa-i (II/111).
[29]. Shahih: [Shahiih Sunan at-Tirmidzi (no. 484)], Shahiihul Jaami’ush Shaghiir (no. 261), Sunan at-Tirmidzi (II/51 no. 588).
[30]. Shahih: [Shahiihul Jaami’ush Shaghiir (no. 468)], Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/145/875).
[31]. Shahih: [Shahiihul Jaami’ush Shaghiir (no. 3565)], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/267 no. 783), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/378 no. 67069), Sunan an-Nasa-i (II/118).
[32]. Sanadnya shahih: [Ash-Shahiihah (no. 229)].
[33]. Shahih: [Ash-Shahiihah (II/52)], al-Baihaqi (II/90).

 

E. Perintah Meringankan Shalat Bagi Imam
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا صَلَّـى أَحَدُكُمْ لِلنَّـاسِ فَلْيُخَفِّفْ، فَإِنَّ فِيْهِمُ الضَّعِيْفَ وَالسَّقِيْمَ وَالْكَبِيْرَ، فَإِذَا صَلَّى لِنَفْسِهِ فَلْيُطَوِّلْ مَا شَاءَ.

“Jika salah seorang di antara kalian mengimami orang-orang, maka hendaklah ia meringankannya. Karena di antara mereka ada yang lemah, sakit, dan orang tua. Namun, jika dia shalat sendirian, maka dia boleh memperpanjang sesuka hatinya. [1]

1. Imam memperpanjang raka’at pertama
Dari Abu Sa’id Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Pada waktu itu shalat Zhuhur telah ditegakkan. Lalu ada seorang yang pergi ke Baqi’ untuk buang hajat. Kemudian ia berwudhu’ lalu mendatangi shalat jama’ah sedangkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih berada pada raka’at pertama karena terlalu panjangnya.” [2]

2. Wajib mengikuti imam dan dilarang mendahuluinya
Dari Anas Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّمَـا جُعِلَ اْلإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ، فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوْا، وَإِذَا سَجَدَ فَاسْجُدُوْا، وَإِذَا رَفَعَ فَارْفَعُوْا…

“Sesungguhnya, imam itu diangkat untuk diikuti. Jika dia bertakbir, maka bertakbirlah. Jika dia sujud, maka sujudlah. Dan jika dia bangkit, maka bangkitlah…” [3]

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

أَ مَا يَخْشَى أَحَدُكُمْ إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ قَبْلَ اْلإِمَامِ أَنْ يَجْعَلَ اللهُ رَأْسَهُ رَأْسَ حِمَارٍ، أَوْ يَجْعَلَ اللهُ صُوْرَتَهُ صُوْرَةَ حِمَارٍ.

“Tidakkah salah seorang di antara kalian takut jika Allah menjadikan kepalanya seperti kepala keledai bila dia mengangkat kepalanya sebelum imam melaksanakannya. Atau menjadikan rupanya seperti rupa keledai.” [4]

3. Siapakah yang berhak menjadi imam?
Dari Ibnu Mas’ud al-Anshari Radhiyallahu angu, ia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يَؤُمُّ الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللهِ، فَإِنْ كَانُوْا فِي الْقِرَاءَةِ سَوَاءً فَأَعْلَمُهُمْ بِالسُّنَّةِ، فَإِنْ كَانُوْا فِي السُّنَّةِ سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ هِجْرَةً، فَإِنْ كَانُوْا فِي الْقِرَاءَةِ سَوَاءً، فَأَقْدَمُهُمْ سِلْمًا، وَلاَ يَؤُمَّنَّ الرَّجُلُ
الرَّجُلَ فِيْ سُلْطَانِهِ، وَلاَ يَقْعُدْ فِيْ بَيْتِهِ عَلَى تَكْرِمَتِهِ إِلاَّ بِإِذْنِهِ.

“Yang berhak mengimami suatu kaum adalah yang paling banyak hafal al-Qur-an di antara mereka. Jika dalam bacaan sama, maka yang paling tahu tentang Sunnah. Jika dalam Sunnah sama, maka yang paling dahulu berhijrah. Jika dalam hijrah sama, maka yang paling dahulu masuk Islam. Janganlah seseorang mengimami orang lain dalam kekuasaannya. Dan janganlah menduduki tempat duduk yang khusus di rumah orang itu kecuali dengan izinnya.”[5]

Dalam hadits ini dijelaskan bahwa pemilik rumah, imam tetap, atau yang semisal mereka lebih berhak menjadi imam daripada yang selain mereka kecuali setelah diizinkan. Dasarnya adalah sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

وَلاَ يَؤُمَّنَّ الرَّجُلُ الرَّجُلَ فِيْ سُلْطَانِهِ.

“Janganlah seseorang mengimami orang lain dalam daerah kekuasaannya…”

4. Imam anak-anak
Dari ‘Amr bin Salamah Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Ketika terjadi penaklukan kota Makkah, setiap kaum berbondong-bondong masuk Islam. Ayahku paling dulu masuk Islam di antara kaumnya. Tatkala dia tiba, dia berkata, “Demi Allah, aku membawakan kalian sebuah kebenaran yang datang dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kerjakanlah shalat ini pada waktu ini, dan kerjakanlah shalat itu pada waktu itu. Jika waktu shalat telah tiba, maka hendaklah salah seorang di antara kalian adzan. Dan hendaklah yang paling banyak bacaannya di antara kalian mengimami kalian. Lantas mereka mencari-cari, namun tidak seorang pun yang lebih banyak hafalan al-Qur-an dibandingkan aku. Karena aku pernah belajar langsung dari para kafilah. Mereka lantas menyuruhku maju ke hadapan mereka (untuk menjadi imam). Saat itu umurku enam atau tujuh tahun.” [6]

F. Orang yang Shalat Fardhu Bermakmum Kepada Orang yang Shalat Sunnah dan Sebaliknya
Dari Jabir: “Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu anhu pernah bermakmum kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas pulang dan mengimami kaumnya.”[7]

Dari Yazid bin al-Aswad Radhiyallahu anhu : “Ketika masih muda, dia pernah bermakmum kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tatkala selesai shalat, ternyata ada dua orang pria yang belum shalat sedang berada di sudut masjid. Lalu beliau memanggil mereka. Mereka kemudian datang dengan gemetaran. Beliau bertanya, ‘Apa yang menghalangi kalian untuk shalat berjama’ah dengan kami?’ Mereka menjawab, ‘Kami sudah shalat di tempat tinggal kami.’ Beliau berkata, ‘Janganlah kalian berbuat seperti itu, jika salah seorang di antara kalian telah menunaikan shalat di tempat tinggalnya, kemudian menjumpai imam yang belum shalat, maka shalatlah bersamanya. Karena shalat yang (kedua) itu adalah sunnah baginya.’” [8]

G. Orang yang Mukim Bermakmum Kepada Orang yang Musafir dan Sebaliknya
Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “‘Umar Radhiyallahu anhu mengimami penduduk Makkah shalat Zhuhur. Lalu dia salam pada raka’at kedua dan berkata, ‘Wahai penduduk Makkah, sempurnakanlah shalat kalian. Karena sesungguhnya kami sedang dalam perjalanan (musafir).’” [9]

H. Jika Seorang Musafir Bermakmum Kepada Orang yang Mukim, Maka Dia Harus Menyempurnakan Shalatnya (Tidak Mengqashar-ed.)
Dari Musa bin Salamah al-Hudzali Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Aku bertanya pada Ibnu ‘Abbas, ‘Bagaimana aku shalat jika berada di Makkah dan tidak berjama’ah dengan imam?’ Dia menjawab, ‘Dua raka’at. Itulah Sunnah Abul Qasim Shallallahu ‘alaihi wa sallam.’” [10]

Dari Abu Mijlaz, ia berkata, “Aku berkata pada Ibnu ‘Umar, ‘Seorang musafir mendapatkan dua raka’at (terakhir dari) shalat suatu kaum -maksudnya, orang-orang yang mukim-. Apakah cukup dua raka’at itu ataukah dia shalat sesuai shalat mereka?’ Dia tertawa lalu berkata, ‘Dia harus mengikuti shalat mereka (tidak mengqashar).’” [11]

I. Jika Orang yang Mampu Berdiri Bermakmum Kepada Orang yang Duduk, Maka Dia Harus Duduk Sepertinya
Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat di rumah beliau dalam keadaan sakit. Maka beliau shalat sambil duduk. Kemudian orang-orang shalat sambil berdiri di belakang beliau. Lalu beliau memberi isyarat pada mereka agar duduk. Ketika selesai, beliau bersabda:

إِنَّمَـا جُعِلَ اْلإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ، فَإِذَا رَكَعَ فَارْكَعُوْا، وَإِذَا رَفَعَ فَارْفَعُوْا، وَإِذَا صَلَّى جَالِسًا فَصَلُّوْا جُلُوْسًا.

“Sesungguhnya, imam itu diangkat untuk diikuti. Jika ia ruku’, maka ruku’lah. Jika dia bangkit, maka bangkitlah. Dan jika ia shalat sambil duduk, maka shalatlah kalian sambil duduk.” [12]

Dari Anas Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah jatuh dari kudanya. Kulit tubuh sebelah kanan beliau terkelupas. Kami menjenguk beliau. Lalu datanglah waktu shalat. Beliau lantas mengimami kami sambil duduk. Kami pun shalat di belakang beliau sambil duduk. Tatkala selesai mengerjakan shalat, beliau bersabda:

إِنَّمَا جُعِلَ اْلإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ، فَإِذَا كَـبَّرَ فَكَبِّرُوْا، وَإِذَا سَجَدَ فَاسْجُدُوْا، وَإِذَا رَفَعَ فَارْفَعُوْا، وَإِذَا قَالَ سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ، فَقُوْلُوْا: رَبَّنَـا وَلَكَ الْحَمْدُ، وَإِذَا صَلَّى قَاعِدًا فَصَلُّوْا قُعُوْدًا أَجْمَعُوْنَ.

“Sesungguhnya, imam itu diangkat untuk diikuti. Jika dia bertakbir, maka bertakbirlah. Jika dia sujud, maka sujudlah. Dan jika dia bangkit, maka bangkitlah. Jika dia mengucap, ‘سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ’, maka ucapkanlah, ‘رَبَّنَـا وَلَكَ الْحَمْدُ’. Dan jika dia shalat sambil duduk, maka shalatlah kalian semua sambil duduk.”

J. Makmum yang Sendirian Berdiri di Sebelah Kanan Sejajar dengan Imam
Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, dia berkata, “Aku pernah menginap di rumah bibiku, Maimunah Radhiyallahu anha. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat ‘Isya’ empat raka’at, lalu tidur. Kemudian beliau shalat lagi. Lalu aku berdiri di samping kiri beliau, lantas beliau menjadikan aku berada di sisi kanannya.” [13]

K. Dua Orang Makmum atau Lebih Berdiri di Belakang Imam
Dari Jabir Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak shalat. Aku datang dan berdiri di samping kiri beliau. Lalu beliau memegang tanganku dan memutarku hingga mendirikanku di samping kanannya. Setelah itu Jabbar bin Shakhr Radhiyallahu anhu datang dan berdiri di samping kiri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lantas beliau memegang tangan kami berdua dan mendorong kami hingga beliau mendirikan kami di belakang beliau.” [14]

L. Makmum Wanita Berdiri di Belakang Imam
Dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengimaminya, ibu, dan bibinya.” Anas melanjutkan, “Beliau mendirikanku di samping kanannya dan wanita di belakang kami.” [15]

M. Wajib Meluruskan Shaff
Wajib bagi imam untuk tidak memulai shalat kecuali setelah shaff lurus. Dia harus menyuruh makmum meluruskannya. Hendaknya dia sendiri yang meluruskan shaff atau menyuruh orang lain agar meluruskannya.

Dari Anas Radhiyallahu anhu, dia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

سَوُّوْا صُفُوْفَكُمْ فَإِنَّ تَسْوِيَةَ الصُّفُوْفِ مِنْ تَمَامِ الصَّلاَةِ.

“Luruskanlah shaff-shaff kalian. Karena lurusnya shaff termasuk kesempurnaan shalat.”[16]

Dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Ketika hendak shalat, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyentuh pundak-pundak kami sambil berkata:

اِسْتَوُوْا وَلاَ تَخْتَلِفُوْا فَتَخْتَلِفُ قُلُوْبُكُمْ…

“Luruskan dan janganlah kalian berselisih sehingga hati kalian turut berselisih…[17]

Dari an-Nu’man bin Basyir Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meluruskan shaff-shaff kami seakan-akan meluruskan anak panah, hingga kami benar-benar paham. Pada suatu hari beliau keluar untuk shalat. Ketika hampir takbir, beliau melihat seseorang yang membusungkan dadanya keluar dari shaff. Beliau lantas bersabda:

عِبَادَ اللهِ، لَتُسَوُّنَّ صُفُوْفَكُمْ أَوْ لَيُخَالِفَنَّ اللهُ بَيْنَ وُجُوْهِكُمْ.

“Wahai sekalian hamba Allah, hendaklah kalian luruskan shaff-shaff kalian atau Allah benar-benar akan memperselisihkan antara wajah-wajah kalian.”[18]

Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَقِيْمُوا الصُّفُوْفَ، وَحَـاذُوْا بَيْنَ الْمَنَاكِبِ، وَسُدُّوا الْخَلَلَ، وَلِيْنُوا بِأَيْدِي إِخْوَانِكُمْ، وَلاَ تَذَرُوْا فُرُجَاتٍ لِلشَّيْطَانِ، وَمَنْ وَصَلَ صَفًّا وَصَلَهُ اللهُ، وَمَنْ قَطَعَ صَفًّا قَطَعَهُ اللهُ.

“Lurukan shaff, sejajarkan pundak, dan tutupilah celah-celah. Berlaku lembutlah terhadap tangan saudara-saudara kalian, dan jangan biarkan celah-celah untuk dimasuki syaitan. Barangsiapa menyambung shaff, maka Allah akan menyambungnya. Dan barangsiapa memutuskan shaff, maka Allah akan memutusnya.” [19]

Dari Anas Radhiyallahu anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

رَصُّوْا صُفُوْفَكُمْ، وَقَارِبُوْا بَيْنَهَا، وَحَاذُوْا بِاْلأَعْنَاقِ، فَوَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ، إِنِّـيْ َلأَرَى الشَّيْطَانَ يَدْخُلُ مِنْ خَلَلِ الصَّفِّ كَأَنَّهَا الْحَذَفُ.

“Lurus dan rapatkanlah shaff, serta sejajarkanlah dengan leher. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya aku melihat syaitan memasuki celah-celah shaff seperti anak kambing hitam.”[20]

Bagaimana meluruskan shaff?
Dari Anas Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

أَقِيُمُوْا صُفُوْفَكُمْ، فَإِنِّيْ أَرَاكُمْ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِيْ.

“Luruskanlah shaff-shaff kalian. Karena aku melihat kalian dari belakang punggungku.”

Seseorang di antara kami lantas menempelkan pundaknya dengan pundak temannya dan menempelkan kakinya dengan kaki temannya.[21]

An-Nu’man bin Basyir Radhiyallahu anhu berkata, “Aku melihat seseorang di antara kami menempelkan mata kakinya dengan mata kaki temannya.”[22]

N. Shaff Laki-Laki dan Wanita
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

خَيْرُ صُفُوْفِ الرِّجَالِ أَوَّلُهَا، وَشَرُّهَا آخِرُهَا، وَخَيْرُ صُفُوْفِ النِّسَاءِ آخِرُهَا وَشَرُّهَا أَوُّلَهَا.

“Sebaik-baik shaff laki-laki adalah yang paling depan, sedangkan yang paling buruk adalah yang paling belakang. Dan sebaik-baik shaff wanita adalah yang paling belakang, sedangkan yang paling buruk adalah yang paling depan.” [23]

O. Keutamaan Shaff Pertama dan Shaff Sebelah Kanan
Dari al-Barra’ bin ‘Azib Radhiyallahu anhu, dia mengatakan bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى الصُّفُوْفِ اْلأَوَّلِ.

“Sesungguhnya Allah dan para Malaikat-Nya mendo’akan rahmat bagi orang-orang yang berada di shaff pertama.” [24]

Masih dari al-Barra’, dia berkata, “Jika kami shalat di belakang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kami senang jika berada di sebelah kanan beliau. Beliau hadapkan wajahnya pada kami.” Kemudian aku mendengar beliau mengucapkan:

رَبِّ قِنِيْ عَذَابَكَ يَوْمَ تَبْعَثُ عِبَادَكَ.

“Ya Rabb-ku, lindungilah aku dari ‘adzab-Mu, di hari Engkau bangkitkan seluruh hamba-Mu.” [25]

P. Siapakah yang Berdiri Di Belakang Imam?
Dari Ibnu Mas’ud al-Anshari Radhiyallahu anhu, dia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

لِيَلِيَنِيْ مِنْكُمْ أُوْلُوا اْلأَحْلاَمِ وَالنُّهَى، ثُمَّ الَّذِيْـنَ يَلُوْنَهُمْ، ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ.

“Hendaklah orang-orang yang pintar lagi berilmu di antara kalian berada di belakangku. Setelah itu orang-orang yang derajatnya di bawah mereka. Setelah itu orang-orang yang derajatnya di bawah mereka lagi.” [26]

Q. Dimakruhkannya Berbaris di Antara Tiang-Tiang
Dari Mu’awiyah bin Qurah Radhiyallahu anhu, dari ayahnya, dia berkata, “Dulu, pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kami dilarang berbaris di antara tiang-tiang (masjid). Kami benar-benar dikeluarkan dari tempat itu.” [27]

Ini hanya dalam shalat jama’ah. Adapun jika sendirian, maka tidak masalah shalat di antara dua tiang dengan tujuan menjadikannya pembatas.

Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Usamah bin Zaid, ‘Utsman bin Thalhah, dan Bilal memasuki Baitullah. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lama di sana kemudian keluar. Aku adalah orang pertama yang mengikutinya. Lalu aku bertanya pada Bilal, “Di manakah beliau shalat?” Dia menjawab, “Di antara dua tiang terdepan.”[28]

R. ‘Udzur Untuk Meninggalkan Shalat Jama’ah
1, 2. Dingin dan hujan
Dari Nafi’, “Pada suatu malam yang dingin dan berhembus kencang, Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma mengumandangkan adzan shalat. Dia mengucapkan, “Hai manusia, shalatlah kalian dalam rumah-rumah kalian!” Setelah itu dia berkata, “Sesungguhnya jika malam dingin dan hujan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh mu’adzin mengucapkan, “Hai manusia, shalatlah kalian dalam di rumah-rumah kalian!”[29]

3. Saat makanan dihidangkan
Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, dia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا وُضِعَ عَشَاءُ أَحَدِكُمْ وَأُقِيْمَتِ الصَّلاَةُ فَابْدَؤُوْ بِالْعَشَاءِ، وَلاَ يَعْجَلْ حَتَّى يَفْرُغَ مِنْهُ.

“Jika makan malam salah seorang di antara kalian dihidangkan sedangkan iqamat telah dikumandangkan, maka dahulukanlah makan malam. Janganlah tergesa-gesa hingga dia menyelesaikan makannya.”

Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma pernah disuguhi makanan ketika iqamat telah dikumandangkan. Dia tidak mendatangi shalat hingga dia menyelesaikan makannya. Padahal dia benar-benar mendengar bacaan imam. [30]

4. Menahan dua hadats
Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, dia berkata, aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ صَلاَةَ بِحَضْرَةِ الطَّعَـامِ، وَلاَ وَهُوَ يُدَافِعُ اْلأَخْبَثَيْنِ.

“Tidak sempurna shalat ketika makanan telah dihidangkan. Tidak sempurna pula shalat orang yang menahan dua hadats.” [31]

[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA – Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 – September 2007M]
_______
Footnote
[1]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/199 no. 703)], ini adalah lafazh darinya, Shahiih Muslim (I/341 no. 467), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/11 no. 780), Sunan at-Tirmidzi (I/150 no. 236), Sunan an-Nasa-i (II/94).
[2]. Shahih: [Shahiih Sunan an-Nasa-i (no. 930)], Shahiih Muslim (I/335 no. 454), Sunan an-Nasa-i (II/164).
[3]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih Muslim (I/308 no. 411)], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/173 no. 689), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/310 no. 587), Sunan at-Tirmidzi (I/225 no. 358), Sunan an-Nasa-i (III/98), Sunan Ibni Majah (I/392 no. 1238).
[4]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/182 no. 691)], Shahiih Muslim (I/320 no. 427), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/330 no. 609), Sunan at-Tirmidzi (II/48 no. 579), Sunan an-Nasa-i (II/96), Sunan Ibni Majah (I/308 no. 961).
[5]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 316)], Shahiih Muslim (I/465 no. 673), Sunan at-Tirmidzi (I/149 no. 235), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/ 289 no. 578), Sunan an-Nasa-i (II/76) dan Sunan Ibni Majah (I/313 no. 980). Dalam riwayat mereka disebutkan:
فَإِنْ كَانُوْا فِي الْهِجْرَةِ سَوَاءً فَأَكْثَرُهُمْ سِنًّا
“Jika dalam hijrah sama, maka yang paling tua dalam usia.” Ini adalah riwayat Muslim.
[6]. Shahih: [Shahiih Sunan an-Nasa-i (no. 761)], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (VIII/22 no. 4302), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/293 no. 581), Sunan an-Nasa-i (II/80).
[7]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih al-Bukhari (no. 387)], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/192 no. 700), Shahiih Muslim (I/339 no. 465), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/4 no. 776), Sunan an-Nasa-i (II/102).
[8]. Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 538)], Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/283 no. 571), Sunan at-Tirmidzi (I/140 no. 219), Sunan an-Nasa-i (II/112).
[9]. Shahih: [Tahqiq al-Arna-uth dalam Jaami’ul Ushul (V/708)], Mushannaf ‘Abdur-razzaq (no. 4369).
[10]. Shahih: [Irwaa’ul Ghaliil (no. 571)], Shahiih Muslim (I/479 no. 688), Sunan an-Nasa-i (III/119).
[11]. Sanadnya shahih: [Irwaa’ul Ghaliil (no. 22)], al-Baihaqi (III/157).
[12]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/173 no. 688)], Shahiih Muslim (II/309 no. 412), dan Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/315 no. 591).
[13]. Shahih: [Irwaa’ul Ghaliil (no. 540)], Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 792), Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/190 no. 697), ini adalah lafazhnya, Shahiih Muslim (I/525 no. 763), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/318 no. 596), Sunan at-Tirmidzi (I/147 no. 232), Sunan an-Nasa-i (II/104), dan Sunan Ibnu Majah (I/312 no. 973).
[14]. Shahih: [Irwaa’ul Ghaliil (no. 540)], Shahiih Muslim (I/458 no. 660 (269)), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/318 no. 595), dan Sunan Ibnu Majah (I/312 no. 975).
[15]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/192 no. 700)], Shahiih Muslim (I/339 no. 465), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/4 no. 776), dan Sunan an-Nasa-i (II/102).
[16]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih Muslim (I/324 no. 433)], ini adalah lafazh darinya, Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/209 no. 723), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/367 no. 654), dan Sunan Ibni Majah (I/317 no. 993).
[17]. Shahih: [Shahiihul Jaami’ush Shaghiir (no. 961)] dan Shahiih Muslim (I/323 no. 432).
[18]. Shahih: [Shahiihul Jaami’ush Shaghiir (no. 3972)], Shahiih Muslim (I/324 no. 436 (128)), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/363 no. 649), Sunan at-Tirmidzi (I/143 no. 227), Sunan an-Nasa-i (II/89), dan Sunan Ibni Majah (I/ 318 no. 994). Maksudnya adalah, beliau bersungguh-sungguh dalam melurus-kan shaff hingga seolah-olah menjajarkan anak panah saking lurus dan ratanya (Shahiih Muslim dengan Syarh an-Nawawi (IV/207), cet. Qurthubah).
[19]. Shahih: [Shahih Sunan Abi Dawud (no. 620)] dan Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/365 no. 652).
[20]. Shahih: [Shahih Sunan Abi Dawud (no. 621)], Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/366 no. 653), dan Sunan an-Nasa-i (II/92).
[21]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih al-Bukhari (no. 393)] dan Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/211 no. 725).
[22]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih al-Bukhari (no. 124), hal. 184], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/211) secara mu’allaq.
[23]. Shahih: [Shahiihul Jaami’ush Shaghiir (no. 331)], Shahiih Muslim (I/326 no. 440), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/374 no. 664), Sunan at-Tirmidzi (I/143 no. 224), Sunan an-Nasa-i (II/93), dan Sunan Ibnu Majah (I/319 no. 1000).
[24]. Shahih: [Shahih Sunan Abu Dawud (no. 618)], Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/364 no. 650), dan Sunan an-Nasa-i (II/90), dengan lafazh: الصُفُوْفِ الْمُتَقَدِّمَةِ (shaff-shaff yang terdepan).
[25]. Shahih: [At-Targhiib (no. 500)] dan Shahiih Muslim (I/493, 492 no. 709).
[26]. Shahih: [Shahih Sunan Abi Dawud (no. 626)], Shahiih Muslim (I/323 no. 432), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (I/371 no. 660), Sunan Ibni Majah (I/312 no. 976), dan Sunan an-Nasa-i (II/90).
[27]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 821)], Sunan Ibni Majah (I/320 no. 1002), Mustadrak al-Hakim (I/218), dan al-Baihaqi (III/104).
[28]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih al-Bukhari, hal. 139] dan Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (I/578 no. 504).
[29]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/156 no. 666)], Shahiih Muslim (I/484 no. 697), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/391 no. 1050), dan Sunan an-Nasa-i (II/15).
[30]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/159 no. 673)], Shahiih Muslim (I/392 no. 459), tanpa kalimat terakhir, dan Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (X/229 no. 3739).
[31]. Shahih: [Shahiihul Jaami’ush Shaghiir (no. 7509)], Shahiih Muslim (I/393 no. 560), dan Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (I/190 no. 89).

Tinggalkan komentar