AL-QABIDH DAN AL-BASITH DUA DI ANTAR NAMA ALLAH YANG INDAH

Oleh
Ustadz Ahmas Faiz bin Asifuddin

Di antara nama Allah Azza wa Jalla yang jarang disebut dan diingat orang adalah al-Qâbidh dan al-Bâsith. Kalaupun ada yang menyebutnya, maka hanya dalam bentuk main-main karena disenandungkan dalam suatu nyanyian bermusik. Padahal kedua nama itu termasuk al-Asmâ’ al-Husnâ.

Mestinya nama-nama Allah disebut dengan sungguh-sungguh, khusyu’, tawadhu’ dan penuh penghormatan.

Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ فَادْعُوهُ بِهَا ۖ وَذَرُوا الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِ ۚ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

Hanya milik Allah Asma-ul Husna (nama-nama yang sangat indah), maka berdoalah kepada-Nya dengan menyebut Asma-ul Husna itu dan tinggalakanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan. [al-A’râf/7:180]

Dalil yang membuktikan al-Qâbidh dan al-Bâsith sebagai nama Allah ialah sebuah hadits yang diriwayatkan dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu. Ia berkata:

غَلاَ السِّعْرُ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم، فَقَالُوْا : يَا رَسُوْلَ الله! سَعِّرْ لَنَا! فَقَالَ : إِنَّ اللهَ هُوَ الْمُسَعِّرُ، اَلْقَابِضُ الْبَاسِطُ الرَّازِقُ (عند الترمذي: الرَّزَّاقُ) وَإِنِّى لأَرْجُو أَنْ أَلْقَى اللهَ (عند الترمذي وابن ماجه : أن أَلْقَى رَبِّي) وَلَيْسَ أَحَدٌ مِنْكُمْ يُطَالِبُنِي بِمَظْلَمَةٍ فِى دَمٍ وَلاَ مَالٍ (عند الترمذي: يَطْلُبُنِي). أخرجه أبو داود والترمذي وابن ماجه

Harga barang-barang pernah menjadi mahal pada zaman Rasulullah n , karenanya para sahabat berkata: Ya Rasulallah, tetapkanlah harga untuk kami. Rasulullah n bersabda : “Sesungguhnya Allah-lah yang membuat ketetapan harga, Dia adalah al-Qâbidh (Maha menahan/menyempitkan rizki), al-Bâsith (Maha membentangkan/meluaskan rizki), ar-Râziq (Maha menganugerahkan rizki) –Dalam riwayat Tirmidzi, dengan lafal : ar-Razzâq-. Dan sesungguhnya aku berharap menjumpai Allah dalam keadaan tiada seorangpun yang menuntut kepadaku (di hadapan Allah) karena suatu kezaliman yang aku lakukan, baik berkaitan dengan darah maupun harta. [HSR. Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah][1] .

Banyak ulama memasukkan kedua nama ini dalam himpunan nama-nama Allah Azza wa Jalla yang mereka kumpulkan.[2]

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin juga memasukkannya ke dalam himpunan nama-nama Allah yang beliau kumpulkan dalam kitabnya al-Qawâ’id al-Mutslâ Fî Shifâtillâh wa Asmâ’ihi al-Husnâ.

Menurut Abu ath-Thayyib Muhammad Syamsul Haq al-‘Azhim Abadiy, pensyarah Sunan Abu Dawud, juga Mubarakfûriy- pensyarah Jâmi’ at-Tirmidzi, ma’na Al-Qâbidh dan al-Bâsith ialah : Allah Maha Menyempitkan dan Maha meluaskan rizki serta lainnya bagi siapa yang dikehendaki, menurut cara yang dikehendaki dan kapanpun Dia kehendaki.[3]

Karena al-Qâbidh dan al-Bâsith merupakan nama Allah Azza wa Jalla , maka sepantasnya setiap muslim mengenalnya dan memahami serta menghayati ma’nanya. Yaitu bahwa setiap rizki dan setiap kemudahan dalam hal apa saja, hanya datang dari Allah Azza wa Jalla . Begitu pula ketika seseorang mengalami kesulitan, krisis rizki dan tidak mendapatkan seperti yang diharapkannya, atau tidak mendapatkan kemudahan, semua itu tidak lain hanya Allah-lah yang menetapkannya. Allah Azza wa Jalla berfirman :

اللَّهُ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ وَيَقْدِرُ

Allah meluaskan rizki dan menyempitkannya bagi siapa yang Dia kehendaki. [ar-Ra’d/13:26]

وَاللَّهُ يَقْبِضُ وَيَبْسُطُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ

Dan Allah menyempitkan serta melapangkan (rizki) dan kepada-Nyalah kamu dikembalikan. [al-Baqarah/2:245]

إِنَّ رَبَّكَ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ وَيَقْدِرُ

Sesungguhnya Rabbmu melapangkan rizki kepada siapa yang Dia kehendaki dan menyempitkannya. [al-Isrâ’/17:30]

Dan masih banyak ayat-ayat al-Qur’an lainnya yang menerangkan bahwa Allah-lah yang melapangkan rizki atau menyempitkannya bagi siapa yang Dia kehendaki.

Sepantasnya pula, setiap muslim menjaga, menghormati dan berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan menyebut atau mengingat nama itu sesuai dengan tuntutan ma’nanya, baik doa dalam arti memohon maupun doa dalam arti melakukan peribadatan-peribadatan lain. Sebab doa memiliki dua pengertian, pertama : memohon dan kedua : melakukan peribadatan selain memohon, seperti berdiri atau duduk dalam shalat atau dzikir-dzikir yang tidak bersifat meminta.[4]

Artinya, ketika seseorang memohon agar Allah Azza wa Jalla memberikan kemudahan dan kelapangan hidup yang baik, bersih dan halal serta menjauhkannya dari kesulitan rizki, maka tidak ada salahnya kalau ia menyebut-nyebut nama al-Qâbidh dan al-Bâsith.

Atau ketika menjalani kehidupan, baik dalam keadaan sempit maupun dalam keadaan lapang, ia selalu tetap konsisten beribadah kepada Allah, sebab ia selalu ingat bahwa di antara nama Allah l adalah nama al-Qâbidh dan al-Bâsith. Di saat lapang ia ingat bahwa kelapangan yang diperolehnya semata karena Allah yang bernama al-Bâsith. Sehingga ia semakin bersemangat dalam beribadah, semakin bersyukur atas segala karuniaNya dan semakin bersemangat memohon kelapangan rizki yang halal. Pada saat yang sama iapun menyadari dan siap jika suatu ketika Allah menyempitkan rizki baginya karena Allah adalah al-Qâbidh, sehingga ia tidak kaget.

Maka di saat ia benar-benar dalam keadaan sempit, ia bersabar, bertawakkal dan banyak memohon pertolongan kepada Allah. Ia tetap yakin bahwa Allah yang bernama al-Qâbidh dan al-Bâsith, suatu ketika akan melepaskannya dari kesempitan yang menimpanya dan dengan itu ia juga mengharapkan pahala dari Allah.

Dan apabila selalu demikian keadaannya, berarti ia telah merealisasikan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala yang terdapat dalam firmanNya:

وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ فَادْعُوهُ بِهَا

Hanya milik Allah Asma-ul Husna (nama-nama yang sangat indah), maka berdoalah kepada-Nya dengan menyebut Asma-ul Husna itu. [al-A’râf/7:180]

Berarti ia telah berdoa, dalam arti seluas-luasnya kepada Allah, meliputi doa permohonan dan doa peribadatan lain, dengan menyebut atau mengingat nama-nama Allah sesuai dengan tuntutan ma’nanya. Wallahu A’lam.

Yang tidak kalah pentingnya, tidak mendendangkan Asmâ’ul Husnâ dalam lagu-lagu dan main-main, apalagi dalam suasana ikhtilâth (campur) antara laki-laki dan perempuan. Tetapi dengan sungguh-sungguh, khusyu’ dan tawadhu’. Dan tidak harus pula menyebutkan Asmâ’ul husnâ itu secara keseluruhan sebanyak sembilan puluh sembilan nama secara berurutan. Sebab tidak ada nash yang shahih yang menyebutkan sembilan puluh sembilan nama itu secara berurut. Syaikh Muhammad bin Shâlih al-Utsaimin rahimahullah mengatakan: “Tidak benar adanya penentuan urut-urutan nama-nama Allah ini dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hadits yang diriwayatkan dari Nabi n tentang penentuan urut-urutan ini lemah”.[5]

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XI/1429H/2008M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Lihat Shahîh Sunan Abi Dawud, Maktabah al-Ma’arif – Riyâdh, II/361, no. 3451, Kitab al-Buyû’, Bab fi at-Tas’îr; Shahîh Sunan at-Tirmidzi, Maktabah al-Ma’arif – Riyâdh, II/60, no. 1314, Kitab al-Buyû’, Bab Mâ Jâ’a fi at-Tas’îr, dan Shahîh Sunan Ibnu Majah, Maktabah al-Ma’ârif – Riyâdh, II/222, no. 1801 – (2230), Kitab at-Tijârât, Bab Man Kariha an Yusa’ir.
[2]. Seperti yang dinyatakan oleh SyaikhMuhammad bin Khalifah at-Tamîmi dalam Mu’taqad Ahlis Sunnah wal Jamâ’ah fî Asmâ’i Allah al-Husnâ. Penerbit: Adhwâ’ as-Salaf – Riyâdh, Cet. I – 1419 H/1999 M. hal. 143 dan 160.
[3]. Lihat ‘Aun al-Ma’bûd Syarh Sunan Abi Dawud, ma’a Ta’lîqât al-Hâfizh Ibnu al-Qayyim. Takhrîj al-Ahâdîts: ‘Isham ash-Shabâbithiy. Dâr al-Hadîts, Kairo, VI/308, no. 3448, Kitab al-Buyû’, bab Fi at-Tas’îr, dan Tuhfah al-Ahwadziy Bi Syarh Jâmi’ at-Tirmidziy, wa ma’ahu Syifâ’ul Ghalal fî Syarh Kitab al-‘Ilal, Daar al-Fikr – Beirut, Libanon – 1424 H/2003 M, IV/448-449, no. 1314, Kitab al-Buyû’, Bab Mâ Jâ’a fi at-Tas’îr.
[4]. Lihat pengertian ini dalam kitab al-Qawâ’id al-Mutslâ Fî Shifâtillah wa Asmâ’ihi al-Husnâ, karya Syaikh Muhammad bn Shâlih al-Utsaimîn rahimahullah, Tahqîq wa Takhrîj Ahâditsihi: Asyraf bin Abdul Maqshud bin Abdur Rahîm, Maktabah as-Sunnah – Kairo, cet. I- 1411 H/1990 M, hal. 7 – Muqaddimah al-Mu’allif.
[5]. Lihat keterangan Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah dalam kitab al-Qawâ’id al-Mutslâ Fî Shifâtillah wa Asmâ’ihi al-Husnâ, karya , Tahqîq wa Takhrîj Ahâditsihi: Asyraf bin Abdul Maqshud bin Abdur Rahîm, Maktabah as-Sunnah – Kairo, cet. I- 1411 H/1990 M, hal. 17 – 18 – Wallahu al-Musta’aan

Tinggalkan komentar