Ba’iat Secara Syar’i Dan Kebiasaan Tidaklah Diberikan Kecuali Kepada Amirul Mukminin Dan Khalifah

AL-BAI’AH BAINA AS-SUNNAH WAL AL-BID’AH ‘INDA AL-JAMA’AH AL-ISLAMIYAH
[BAI’AT ANTARA SUNNAH DAN BID’AH]

Oleh
Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid
Bagian Keempat dari Sembilan Tulisan [4/9]

B A I A T
Ketahuilah -semoga Allah merahmatimu- bahwa pembahasan masalah baiat merupakan pembahasan yang luas dan panjang lebar. Dibutuhkan penjelasan tentang pengertian baiat menurut istilah yang biasa dikenal, berapa macam-macamnya, apa arti sebenarnya, apa yang dimaksud dengan baiat tersebut, apa hikmah yang terkandung dengan meletakkannya di atas manhaj ini, dengan apa baiat itu wajib, atas siapa baiat diwajibkan, syarat-syarat sempurnanya baiat, serta dengan apa baiat itu rusak.[1]

Karena pembahasannya besar dan pelik sekali, maka kami akan meringkasnya pada dua permasalahan penting yang menjadikan kebingungan dan perselisihan yang dahsyat atas kaum muslimin, yaitu : “Kepada siapakah baiat itu wajib ? Apakah baiat itu boleh kepada setiap individu?”. Adapun masalah-masalah yang lain bukan di sini tempatnya untuk membahasnya.

Kami mulai pembahasan ini dengan definisi baiat secara etimologi maupun terminologi. Baiat secara bahasa ialah berjabat tangan atas terjadinya jual beli, dan untuk berjanji setia dan taat. Baiat juga mempunyai arti : janji setia dan taat. Dan kalimat “qad tabaa ya’uu ‘ala al-amri” seperti ucapanmu (mereka saling berjanji atas sesuatu perkara). Dan mempunyai arti : “shofaquu ‘alaihi” (membuat perjanjian dengannya). Kata-kata “baaya’tahu” berasal dari kata “al-baiy’u” dan “al-baiy’atu” demikian pula kata “al-tabaaya’u”. Dalam suatu hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

‘Ala tubaa yi’uunii ‘ala al-islami’
“Maukah kalian membaiatku di atas Islam”

Hadits di atas seperti suatu ungkapan dari suatu perjanjian. seakan-akan masing-masing dari keduanya menjual apa yang ada padanya dari saudaranya dengan memberikan ketulusan jiwa, ketaatan dan rahasianya kepada orang tersebut. Dan telah berulang-ulang penyebutan kata baiat di dalam hadits.[2]

Bai’at Secara Istilah (Terminologi).

“Berjanji untuk taat”. Seakan-akan orang yang berbaiat memberikan perjanjian kepada amir (pimpinan)nya untuk menerima pandangan tentang masalah dirinya dan urusan-urusan kaum muslimin, tidak akan menentang sedikitpun dan selalu mentaatinya untuk melaksanakan perintah yang dibebankan atasnya baik dalam keadaan suka atau terpaksa.

Jika membaiat seorang amir dan mengikat tali perjanjian, maka manusia meletakkan tangan-tangan mereka pada tangannya (amir) sebagai penguat perjanjian, sehingga menyerupai perbuatan penjual dan pembeli, maka dinamakanlah baiat yaitu isim masdar dari kata baa ‘a, dan jadilah baiat secara bahasa dan secara ketetapan syari’at.[3]

Dan ba’iat itu secara syar’i maupun kebiasaan tidaklah diberikan kecuali kepada amirul mukminin dan khalifah kaum muslimin. Karena orang yang meneliti dengan cermat kenyataan yang ada baiat masyarakat kepada kepala negaranya, dia akan mendapati bahwa baiat itu terjadi untuk kepala negara[4]. Dan pokok dari pembaiatan hendaknya setelah ada musyawarah dari sebagian besar kaum muslimin dan menurut pemilihan ahlul halli wal ‘aqdi. Sedang baiat selainnya tidak dianggap sah kecuali jika mengikuti baiat mereka [5]

Banyak sekali hadits-hadits yang menerangkan/membicarakan tentang baiat, baik yang berisi aturan untuk berbaiat maupun ancaman bagi yang meninggalkannya.[6] Berupa hadits-hadits yang sulit untuk menghitung maupun menelitinya. Tetapi yang disepakati ialah bahwa baiat yang terdapat di dalam hadits-hadits ialah baiat kolektif dan tidak diberikan kecuali kepada pemimpin muslim yang tinggal di bumi dan menegakkan khilafah (pemerintah) Islam sesuai dengan manhaj kenabian yang penuh dengan berkah [7]

Dibawah ini saya bawakan ayat-ayat dan hadits-hadits tentang baiat secara ringkas.

[a]. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang bejanji setia kepadamu, mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka barangsiapa yang melanggar janjinya, niscaya akibat melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah, maka Allah akan memberi pahala yang besar” [Al-Fath : 10]

[b]. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya)” [Al-Fath : 18]

Di dalam as-Sunnah, diantaranya.

[a] “Artinya : Barangsiapa mati dan dilehernya tidak ada baiat, maka sungguh dia telah melepas ikatan Islam dari lehernya” [Dikeluarkan oleh Muslim dari Ibnu Umar]

[b]. “Artinya : Barangsiapa berjanji setia kepada seorang imam dan menyerahkan tangan dan yang disukai hatinya, maka hendaknya dia menaati imam tersebut menurut kemampuannya. Maka jika datang orang lain untuk menentangnya, maka putuslah ikatan yang lain tersebut” [Dikeluarkan oleh Muslim dan Abu Dawud dari Abdillah bin Amr bin Ash]

[c]. “Artinya : Jika dibaiat dua orang khalifah maka perangilah yang terakhir dari keduanya” [Dikeluarkan oleh Muslim dan Abu Sa’id]

Dan banyak lagi hadits-hadits yang lainnya.

Salah seorang imam yang agung, Ahmad bin Hanbal, imam Ahlu Sunnah wal-Jama’ah ditanya tentang riwayat dari hadits kedua yang tersebut di atas. Di dalamnya terdapat kata imam. Beliau menjawab :”Tahukah kamu, apakah imam itu ? Yaitu kaum muslimin berkumpul atasnya, dan semuanya mengatakan : “Inilah imam”, maka inilah makna imam”[8]

Al-Imam Al-Qurthubi berkata [9] :”Adapun menegakkan dua atau tiga imam dalam satu masa dan dalam satu negeri, maka tidak diperbolehkan menurut ijma”

Kemudian setelah hilangnya kekhalifahan, terjadilah perbedaan yang sangat tajam tentang ayat-ayat dan hadits-hadits tersebut. Doktor Abdul Muta’al Muhammad Abdul Wahid mengatakan : “Ketiadaannya imam adalah menjadi sebab munculnya kelompok-kelompok yang mengklaim bahwa dirinyalah yang berhak dibaiat dan menjadi imam. Kelompok-kelompok ini bisa diklasifikasikan menjadi tiga kelompok yang mendasar, yaitu :

[1]. Kelompok Pertama
Mengatakan : “Sesungguhnya orang yang meninggalkan baiat adalah kafir”. Lalu mereka menetapkan kepemimpinan bagi dirinya. Sedang orang yang tidak membaiatnya adalah kafir menurut pandangan mereka. Ucapan ini tidak benar, sebab Ali bin Abi Thalib -salah seorang yang diberi kabar akan masuk surga- beliau tiadak membaiat Abu Bakar selama kurang lebih setengah tahun[10], dan tidak seorang sahabatpun yang mengatakan tentang kekafirannya selama beliau meninggalkan baiat.

[2]. Kelompok Kedua
Mengatakan :”Sesunguhnya baiat adalah wajib, barangsiapa yang meniggalkannya berarti dosa”. Dari sinilah mereka menetapkan seorang amir bagi diri-diri mereka, sehingga gugurlah dosa-dosa tadi dari mereka ketika membaiatnya. Padahal yang benar adalah bahwa dosa meninggalkan baiat tidak menjadi gugur dengan cara membaiat amir tersebut. Karena baiat yang wajib dan berdosa orang yang meninggalkannya ialah baiat terhadap imam (pemimpin) muslim yang menetap di bumi dan menegakkan khhilafah Islamiyyah dengan syarat-syarat yang benar [11]

[3]. Kelompok Ketiga adalah mereka (kaum muslimin) yang tidak membaiat seorangpun.
Mereka mengatakan : “Sesungguhnya meninggalkan baiat adalah berdosa, tetapi baiat adalah hak seorang pemimpin muslim yang tinggal di bumi (walau) kenyataannya tidak ada di masa sekarang”. Menurut keyakinanku, kelompok ketiga inilah yang berada di atas kebenaran” [12]

Dan diantara hal yang menguatkan kebatilan baiat-baiat istitsnaiyyah (pengecualian) yang merupakan perkara baru tentang baiat kepada Amirul Mukminin -walaupun di kala tidak ada Amirul Mukminin- terdapat dalam keterangan para ulama rahimahullah, yaitu disyariatkan dalam baiat berkumpulnya Ahlul Halli wal Aqdi, lalu mereka membentuk keimanan bagi seorang yang memenuhi syarat-syaratnya [13]

[Disalin dari kitab Al-Bai’ah baina as-Sunnah wa al-bid’ah ‘inda al-Jama’ah al-Islamiyah, edisi Indonesia Bai’at antara Sunnah dan Bid’ah oleh Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid, terbitan Yayasan Al-Madinah, penerjemah Arif Mufid MF.]
_________
Foote Note.
[1]. Bahjah an-Nufus Syarh Mukhtashar al-Bukhari (I/28), Ibnu Abi Jamrah
[2]. Lisanul Arab al-Muhith (I/299) dan an-Nihayah (I/174)
[3]. Muqaddimah Ibnu Khaldun, hal.299
[4]. Al-Ushul Fikriyyah li al-Tsaqafah al-Islamiyah (2/73) dan Qawaid Nizham al-Hukmi (262), keduanya tulisan al-Kahlidi
[5]. Al-Khilafah … hal.13. Rasyid Ridha
[6]. Lihat Hayah as-Shahabah (I/28-239) dan Miftah Kunuz al-Sunnah, hal. 80-86, dan lain-lain
[7]. Al-Furqan baina al-Kufri wa al-Iman, hal.63, Abdul Muta’al Muhammad Abdul Wahid
[8]. Masa’il al-Imam Ahmad (2/185) riwayat Ibnu Hani’
[9]. Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an (I/273). Dan lihat syarh an-Nawawi atas shahih al-Bukhari (12/231)
[10]. Dan ini tidak benar secara mutlak, lihat perinciannya dalam kitab Tahdzir Al-Abqari min Muhadharat al-Khudhari (I/198) karya Al-Syaikh Muhammad al-Arabi al-Tibyani
[11]. Walaupun dia (khilafah) berlaku zhalim. Dan ini adalah madzhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Sebagaimana dalam kitab Syarh ‘Aqidah al-Thahawiyyah, hal.379
[12]. Al-Furqan Baina al-Kufri wa al-Iman, hal.64, Abdul Muta’al Muhammad Abdul Wahid
[13]. Maatsirul Anafah fi Ma’alim al-Khilafah (I/39) al-Qalqasynadi

Tinggalkan komentar