Apakah Yang Harus Dilakukan Oleh Orang Yang Tertinggal Shalat Jum’at? Dan HUKUM MANDI UNTUK SHALAT JUM’AT.

APAKAH YANG HARUS DILAKUKAN OLEH ORANG YANG TERTINGGAL SHALAT JUM’AT?

Oleh
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani

Shalat Jum’at merupakan kewajiban yang ditetapkan oleh Allah kepada hamba-Nya, seandainya seseorang tertinggal melakukannya karena alasan yang benar, maka hendaknya ada satu dalil yang menunjukkan bahwa ia wajib menggantikannya dengan shalat Zhuhur. Diriwayatkan di dalam hadits Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu

“Artinya : Maka barangsiapa tertinggal dua raka’at (Jum’at), maka ia harus menggantikannya dengan melakukan empat raka’at” [1]

Hadits ini menunjukkan bahwa orang yang tertinggal dengan tidak melakukan shalat Jum’at, maka ia harus menggantikannya dengan melakukan shalat Zhuhur.

Adapun yang diungkapkan oleh para ulama ahli furu (fiqih) berupa faidah perbedaan di dalam masalah ini, sama sekali tidak ada dasarnya.

APAKAH UKURAN YANG MENUNJUKKAN BAHWA SHALAT JUM’AT TELAH DILAKUKAN
Diriwayatkan oleh An-Nasa’i dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu yang bunyi lafazhnya:

“Artinya : Barangsiapa mendapatkan satu raka’at dalam shalat Jum’at (dengan berjama’ah), maka sesungguhnya ia telah mendapatkan shalat Jum’at.”

Hadits ini memiliki dua belas jalan, al-Hakim menshahihkan tiga jalan di antaranya. Beliau berkata di dalam kitab al-Badrul Muniir, “Tiga jalan ini merupakan jalan yang paling baik bagi hadits tersebut sedangkan yang lainnya lemah.”

Diriwayatkan pula oleh an-Nasa’i, Ibnu Majah, dan ad-Daraqutni dari hadits Ibnu ‘Umar Radhiyallahu ‘anhuma, baginya beberapa jalan. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata di dalam kitabnya Buluughul Maraam, “Sanadnya shahih, namun Abu Hatim [lebih memperkuat] [2] untuk menjadikannya sebagai hadits Mursal. Semua hadits ini layak untuk dijadikan hujjah [3].

HUKUM MANDI UNTUK SHALAT JUM’AT.
Hadits-hadits shahih yang diriwayatkan di dalam ash-Shahiihain dan yang lainnya dari jalan sejumlah Sahabat memastikan bahwa mandi pada hari Jum’at wajib hukumnya, akan tetapi ada pula riwayat yang menunjukkan tidak wajib, sebagaimana diriwayatkan oleh Ash-haabus Sunan, yang masing-masing riwayat di dalamnya saling menguatkan. Maka kewajiban yang diriwayatkan di dalam ash-Shahiihain wajib ditakwil dengan Ta-kiidul Masyru’iyyah, (peribadatan yang sangat dianjurkan untuk dilakukan-pent.) dengan cara penggabungan berbagai hadits, walaupun kata wajib tidak dapat dipalingkan dari makna yang sebenarnya, kecuali jika ada dalil yang memalingkannya sebagaimana yang kami ungkapkan, akan tetapi menggabungkan di antara hadits lebih didahulukan dari pada cara tarjih (mengambil dalil yang paling kuat dan mengamalkannya-pent.), walaupun harus dengan sudut pandang yang jauh [4].

Dan ketahuilah sesungguhnya hadits:

“Artinya : Jika salah satu di antara kalian akan datang untuk melakukan shalat Jum’at, maka mandilah.”

Menunjukkan bahwa mandi tersebut untuk shalat Jum’at, dan barangsiapa melakukannya untuk tujuan lain, maka dia belum mengamalkan sesuatu yang disyari’atkan di dalam hadits ini. Sama saja dia melakukannya di awal hari, pertengahan atau dipeng-hujungnya.

Ungkapan di atas diperkuat oleh sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dan yang lainnya secara Marfu.

“Artinya : Barangsiapa datang untuk melakukan shalat Jum’at dari kalangan pria atau wanita, maka hendaklah ia mandi.”

Di dalam riwayat Ibnu Khuzaimah ada tambahan.

“Artinya : Dan barangsiapa yang tidak menghadirinya, maka ia tidak berkewajiban untuk mandi.”

Berkata penulis (al-Albani), “Hadits di atas dengan tambahan “wanita” adalah ganjil, tidak shahih sama sekali. Justeru riwayat yang shahih adalah tanpa penyebutan “pria dan wanita”. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim dan selain mereka telah saya teliti yang demikian itu dalam kitab adh-Dha’iifah (no. 3958).”

[Disain dari kitab al-Aj-wibah an-Naafi’ah li Lajnati Masjidil Jaami’ah, Penulis Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Edisi Indonesia “Apakah Adzan 1x atau Adzan 2x pada Shalat Jum’at?”, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
_______
Footnote
[1]. Komentar saya: “Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam kitab al-Mushannaf (I/126/1), ath-Thabrani di dalam kitab al-Kabiir (III/38/2) dengan lafazh miliknya dari beberapa jalan dari Abu al-Ahwash dari Ibnu Mas’ud, sebagian jalannya shahih dan dihasankan oleh al-Haitsami di dalam kitab al-Majma’ (II/192), saya kira alasan penulis menjadikan hadits ini sebagai dalil padahal hadits ini mauquf adalah karena ia sama sekali tidak mengetahui adanya Sahabat yang menyelisihinya, hadits ini diperkuat oleh hadits Abu Hurairah yang akan diungkapkan, diperkuat pula oleh satu hadits yang diungkapkan di dalam kitab al-Mushannaf (I/206/1) dengan sanad yang shahih dari ‘Abdurrahman bin Abu Dzuaib, beliau berkata:

“Aku keluar menuju masjid bersama az-Zubair dengan terlambat pada hari Jum’at, lalu beliau melakukan shalat Dzuhur sebanyak empat raka’at.”

‘Abdurrahman yang ada di dalam sanad atsar ini adalah Ibnu ‘Abdillah bin Abi Dzuaib, Ibnu Hibban menyebutkannya dalam kitab ats-Tsiqaat (VI/122), beliau berkata: “Ia adalah seorang yatim yang diasuh oleh az-Zubair bin al-‘Awwam.

Hadits Ibnu Mas’ud memberikan isyarat bahwa hukum asal-nya adalah shalat Zhuhur, dan itulah yang wajib dilaksanakan bagi orang yang tertinggal shalat Jum’at. Pendapat ini diperkuat dengan beberapa alasan:

Pertama, sebagaimana dimaklumi bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan para Sahabatnya melakukan shalat Zhuhur pada hari Jum’at ketika beliau berada dalam safar (perjalanan), akan tetapi mereka melakukannya secara qashar, seandainya shalat yang dilakukan pada hari Jum’at asalnya adalah shalat Jum’at, niscaya beliau akan melakukannya walaupun ada di dalam sebuah safar (perjalanan).

Kedua, ‘Abdullah bin Ma’dan meriwayatkan dari neneknya, dia berkata bahwa ‘Abdullah bin Mas’ud berkata kepada kami:

“Jika kalian melakukan shalat Jum’at beserta imam, maka laku-anlah seperti shalatnya, dan jika kalian melakukannya di rumah kalian, maka lakukanlah dengan empat raka’at.”

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (I/207/2), dan sanadnya shahih kepada nenek Ibnu Ma’dan, adapun dia, aku tidak mengenalnya. Yang jelas dia adalah seorang Tabi’in dan bukan Sahabat. Akan tetapi hadits ini diperkuat oleh riwayat dari al-Hasan tentang seorang wanita yang hadir di dalam masjid pada hari Jum’at bahwa ia cukup dengan melakukan shalat seperti shalatnya imam. Di dalam riwayat lain, beliau berkata:

“Para wanita pada zaman Nabi keluar bersama Nabi j, dan dikatakan kepada mereka, “Janganlah kalian keluar kecuali tafalaat, yakni tidak memakai wewangian sama sekali.”

Sanad hadits ini shahih.

Sedangkan di dalam riwayat lain dari jalan Asy’ats dari al-Hasan, beliau berkata:

“Dahulu para wanita Muhajirin melakukan shalat Jum’at bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian mereka meninggalkan shalat Zhuhur, karena merasa cukup dengan shalat Jum’at.”

Komentar saya: Barangsiapa berpendapat bahwa hukum asal shalat pada hari Jum’at adalah shalat Jum’at dan orang yang ketinggalan melakukannya atau orang yang tidak wajib atasnya shalat Jum’at -seperti orang yang sedang dalam perjalanan dan wanita-, maka wajib baginya hanya melakukan dua raka’at shalat Jum’at, sungguh orang yang berpendapat demikian telah menyalahi nash tanpa alasan. Kemudian saya melihat ash-Shan’ani menuturkan (II/74) seperti itu dan sesungguhnya orang yang ketinggalan dan tidak melakukan shalat Jum’at, maka ia harus melakukan shalat Zhuhur menurut kesepakatan para ulama, karena ia adalah penggantinya, dan inilah pendapat yang disepakati (ijma’). Demikianlah yang beliau ucapkan, dan kami telah mentahqiqnya di dalam risalah tersendiri.
[2]. Pada naskah asli (dan menetapkannya), ini adalah sebuah kesalahan yang telah saya perbaiki dari kitab Buluughul Maraam.
[3]. Maksud ungkapan penulis tersebut adalah sebagai bantahan bagi para ulama -mereka adalah al-Hadawiyah- yang menyatakan bahwa mengikuti khutbah merupakan syarat, yang tanpanya shalat Jum’at menjadi tidak sah. Hadits ini merupakan hujjah yang mematahkan pendapat mereka sebagaimana diungkapkan oleh ash-Shan’ani dalam kitabnya, Subulus Salaam. Adapun yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (I/126/1) dari Yahya bin Abi Katsir, beliau berkata, “Diriwayatkan kepadaku dari ‘Umar bin al-Khaththab, sesungguhnya ia berkata:

“Sesungguhnya khutbah itu sebanding dengan dua raka’at, maka barangsiapa tidak mendapati khutbah, hendaknya ia melakukan shalat sebanyak empat raka’at.”
Riwayat ini tidak shahih, karena terputusnya jalan antara Yahya bin Abi Katsir dengan ‘Umar.
[4]. Komentar saya: Tidak diragukan bahwa penggabungan dalil lebih didahulukan daripada tarjih, akan tetapi menyatukan dalil dengan sudut pandang yang jauh, seperti yang dilakukan oleh penulis (Syaikh Shidiq Hasan Khan rahimahullah) adalah sesuatu yang kurang memuaskan, saya memandang semoga ada yang lebih dekat, sebelumnya saya sudah membaca ungkapan sebagian Imam yang bisa memuaskan, maka saya menukil ungkapan beliau agar dapat Anda renungkan, yang pada akhirnya bisa lebih memuaskan dan dapat diikuti. Ibnu Hazm rahimahullah berkata di dalam kitabnya al-Muhalla (II/ 14) setelah beliau mengungkapkan hadits:

“Barangsiapa berwudhu’ pada hari Jum’at, maka alangkah baiknya, dan barangsiapa mandi, maka mandi itu lebih utama.”

Dan hadits-hadits yang semakna dengannya yang diisyaratkan oleh penulis di atas, beliau katakan, “Seandainya hadits-hadits tersebut shahih, maka di dalamnya sama sekali tidak ada nash atau sesuatu yang menunjukkan bahwa mandi untuk shalat Jum’at adalah tidak wajib, yang ada hanyalah penjelasan bahwa wudhu’ adalah merupakan sebaik-baik amalan, akan tetapi mandi lebih utama darinya, dan ini adalah sesuatu yang tidak diragukan. Selanjutnya Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Seandainya Ahlul Kitab ini beriman, tentu lebih baik bagi mereka,” Maka apakah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala ini menunjukkan bahwa iman dan takwa bukan merupakan kewajiban?! Tidak, tentu saja tidak. Kemudian seandainya di dalam semua hadits tersebut ada nash yang menunjukkan bahwa mandi pada hari Jum’at bukan merupakan kewajiban, niscaya hal itu tidak bisa dijadikan sebagai hujjah, karena kenyataan tersebut hanya sesuai dengan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebelum ungkapan:
.
“Mandi pada hari Jum’at merupakan kewajiban bagi setiap orang yang sudah baligh.”

“Dan kepada setiap muslim.”

Semua sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini jelas merupakan tambahan yang menghapus keadaan pertama, karena itu tidak mungkin mengambil sesuatu dengan hukum yang dihapusnya.

Tinggalkan komentar