AHLUS SUNNAH MELARANG MEMBERONTAK KEPADA PEMERINTAH

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

Ahlus Sunnah wal Jama’ah melarang kaum Muslimin keluar untuk memberontak terhadap pemimpin kaum muslimin apabila mereka melakukan hal-hal yang menyimpang, selama hal tersebut tidak termasuk amalan kufur [1]. Hal ini sesuai dengan perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang wajibnya taat kepada mereka dalam hal-hal yang bukan maksiat dan selama belum tampak pada mereka kekafiran yang nyata.

‘Ubadah bin Shamit Radhiyallahu anhu berkata:

دَعَانَا رَسُوْلُ اللهِ j فَبَايَعْنَاهُ، فَكَانَ فِيْمَا أَخَذَ عَلَيْنَا، أَنْ بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةٍ عَلَيْنَا وَأَنْ لاَ نُنَازِعَ اْلأَمْرَ أَهْلَهُ قَالَ: إِلاَّ أَنْ تَرَوْا كُفْراً بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنَ اللهِ فِيْهِ بُرْهَانٌ.

“Rasulullah memanggil kami, lalu kami membai’at beliau. Di antara yang beliau tekankan kepada kami adalah, agar kami selalu mendengar dan taat (kepada penguasa) dalam keadaan suka maupun tidak suka dalam kesulitan atau pun kemudahan, bahkan dalam keadaan penguasa mengurus kepentingannya mengalahkan kepentingan kami sekalipun (tetap wajib taat). Dan tidak boleh kami mempersoalkan suatu perkara yang berada di tangan ahlinya (penguasa). Selanjutnya beliau bersabda: ‘Kecuali jika kalian melihat kekufuran yang jelas dan kalian memiliki bukti yang nyata dari Allah dalam hal itu.” [2]

Fatwa-fatwa para ulama tentang pemberontakan:
Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan tidak bolehnya keluar dari ulil amri, kecuali dengan beberapa syarat:
1. Kekufuran yang jelas (penguasa melakukan kekufuran yang jelas).
2. Tidak ada kesamaran tentang kekufurannya dan bukan ke-fasikan.
3. Jelas-jelas dia melakukannya dengan terang-terangan bukan ta’wil.
4. Ada bukti dan dalil yang jelas dari Al-Qur-an dan As-Sunnah serta Ijma’ tentang kekufurannya.
5. Ada kemampuan (untuk keluar dari mereka).[3]

Sedangkan Syaikh al-Albani rahimahullah pernah ditanya, apakah boleh keluar dari penguasa yang tidak berhukum dengan hukum yang diturunkan Allah? (Penulis ringkas jawabannya) Kata beliau: “Kami berkesimpulan: ‘Tidak boleh keluar (memberontak) pada zaman sekarang ini, karena mafsadah (kerusakan) yang diakibatkannya lebih besar dengan terbunuh (tumpahnya darah) kaum Muslimin dengan sia-sia dan tidak ada manfaatnya, bahkan kerusakan-kerusakan tersebar di mana-mana dan tampak pengaruh yang jelek pada masyarakat kaum Muslimin.’” [4]

Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baaz (wafat th. 1420 H) rahimahullah menjelaskan pula tentang masalah tersebut:
1. Harus melihat pada maslahat dan mafsadah.
2. Yang menjelaskannya adalah ulama Ahlus Sunnah.
3. Harus memperhatikan kaidah: “Menolak bahaya harus didahulukan daripada mengambil maslahat.”
4. Jika akan menimbulkan kerusakan yang lebih besar sebaiknya harus bersabar. [5]

Ahlus Sunnah wal Jama’ah berbeda dengan Mu’tazilah yang mewajibkan keluar dari kepemimpinan para imam/pemimpin yang melakukan dosa besar walaupun belum termasuk amalan kufur dan mereka memandang hal tersebut sebagai amar ma’ruf nahi munkar. Sedangkan pada kenyataannya, keyakinan Mu’tazilah seperti ini merupakan kemunkaran yang besar karena akan timbul bahaya-bahaya yang sangat besar, baik berupa kericuhan, keributan, perpecahan, pertumpahan darah, kerawanan dari pihak musuh, dan tidak adanya rasa aman bagi kaum Muslimin. [6]

Nasihat Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah:
Saya nasihatkan kepada para pemuda yang memiliki semangat jihad dan ikhlas karena Allah dalam rangka berjuang, hendaklah mereka (mendahulukan) perbaikan diri (dari dalam) dan meng-akhirkan perbaikan keluar yang tidak ada tipu daya di dalamnya. Dan ini menuntut pekerjaan yang tekun dan waktu yang lama dalam mewujudkan tashfiyah (pemurnian ajaran Islam) dan tar-biyah (pembinaan dan pembelajaran). Karena sesungguhnya pekerjaan ini tidak akan terlaksana melainkan oleh para ulama yang terpilih dan para pendidik yang bertaqwa. Betapa sedikitnya mereka pada zaman ini, khususnya pada kelompok yang memberontak kepada pemerintah.

Terkadang sebagian mereka mengingkari pentingnya tashfiyah ini sebagaimana yang terjadi pada sebagian kelompok Islam. Mereka beranggapan bahwa tashfiyah telah hilang masanya, lalu mereka berpaling ke arah politik dan jihad. Perbuatan mereka yang memalingkan perhatian dari tashfiyah dan tarbiyah seluruhnya adalah salah. Betapa banyak pelanggaran-pelanggaran syari’at yang bersumber dari mereka terjadi disebabkan kelalaian dalam melaksanakan kewajiban tashfiyah. Mereka condong kepada taqlid dan berita dusta, yang dengannya mereka banyak meng-halalkan apa-apa yang diharamkan oleh Allah! Sebagai contoh, memberontak kepada pemerintah meskipun belum timbul kekufuran yang jelas dari mereka (pemerintah).

Sebagai penutup saya katakan, kami tidak mengingkari bahwa ada sebagian pemerintah yang wajib bagi kita untuk memberontak kepada mereka. Seperti (pemerintah) yang mengingkari disyari’at-kannya puasa Ramadhan, menyembelih hewan kurban pada hari ‘Iedul Adh-ha, dan yang semisalnya dari perkara yang telah diketahui secara pasti dalam agama ini. Mereka ini wajib diperangi berdasarkan nash hadits, akan tetapi dengan syarat ada kemampuan sebagaimana yang telah berlalu penjelasannya.

Tetapi, memerangi Yahudi yang menjajah tanah yang suci dan menumpahkan darah kaum Muslimin lebih wajib daripada memerangi pemerintah yang mengingkari perkara yang telah pasti diketahui dalam agama ini dari banyak sisi. Tidak ada tempat untuk menjelaskannya sekarang. Yang lebih penting lagi bahwa tentara pemerintah itu adalah dari saudara-saudara kita kaum Muslimin. Bisa jadi sebagian besar mereka atau kebanyakan mereka tidak ridha terhadap pemerintah itu.

Mengapa para pemuda yang bersemangat itu tidak memerangi Yahudi sebagai ganti penyerangan mereka terhadap sebagian pemerintah kaum Muslimin?! Saya kira jawaban mereka adalah tidak adanya kemampuan sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Jawaban mereka bahwa mereka tidak mampu merupakan jawaban kami, dan kenyataan yang ada menguatkan jawaban kami, dengan dalil bahwa pemberontakan mereka tidak menghasilkan sesuatu kecuali pertumpahan darah belaka. Sebagai contoh adalah yang terjadi di negara Aljazair. Maka, adakah orang yang mau mengambil pelajaran???!” [7]

Memberontak kepada pemerintah adalah ciri khas dari Khawarij dan Teroris.

Menumpahkan darah Muslimin dan memberontak terhadap pemerintah merupakan ciri khas utama sekaligus simbol dan syi’ar paling besar firqah Khawarij. Namun mereka mengklaim bahwa pemberontakan yang mereka lakukan itu sebagai jihad yang me-rupakan amalan tertinggi dalam Islam.

Al-Imam al-Barbahari berkata dalam Syarhus Sunnah: “Setiap orang yang memberontak kepada imam (pemerintah) kaum Muslimin adalah Khawarij, dan berarti dia telah memecah belah kesatuan kaum Muslimin dan menentang Sunnah, serta matinya seperti mati Jahiliyyah.” [8]

Asy-Syahrastani berkata: “Setiap orang yang memberontak kepada imam yang telah disepakati kaum Muslimin disebut Khawarij. Sama saja, apakah dia memberontak di masa Sahabat kepada Khulafaur Rasyidin, atau setelah mereka di masa Tabi’in dan para imam di setiap zaman.” [9]

Tercatat dalam sejarah, bahwa pemberontakan pertama kali dalam Islam dilakukan oleh Dzul Khuwaishirah -yaitu cikal bakal Khawarij- yang kemudian menurunkan generasi yang berpemikiran sesat seperti dia. Demikian juga tercatat pada perkembangan berikutnya, tidak ada satu pun pemberontakan kecuali pelakunya adalah Khawarij dan Syi’ah Rafidhah, atau orang-orang yang teracuni pemikiran dua aliran sesat tersebut. Mereka terus mengotori barisan ummat Islam ini dengan tampil sebagai teroris di tubuh ummat. Berikut beberapa contoh aksi teror dan pemberontakan yang mereka lakukan sepanjang sejarah Islam:

[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Po Box 7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan Ketiga 1427H/Juni 2006M]
_______
Footnote
[1]. Hal ini berlaku bagi pemimpin muslim yang berbuat zhalim dan aniaya, yang masih menggunakan syari’at Nabi j. Namun apabila pemimpin itu telah kafir, maka boleh memberontak kepadanya dengan syarat-syarat yang ada pada pem-bahasan selanjutnya. Lihat Fat-hul Baari (XIII/124-125), Syarah Muslim (XII/229) dan al-Minhatul Ilaahiyyah fii Tahdziib Syarah ath-Thahaawiyyah (hal. 355).
[2]. HR. Al-Bukhari (no. 7055-7056) dan Muslim (no. 1709 (42)) Kitaabul Imaarah bab Wujuub Thaa’atil Umaraa’ fii Ghairi Ma’shiyatin wa Tahriimiha fil Ma’shiyah. Lihat Fat-hul Baari (XIII/5-8).
[3]. Kaifa Nu’aalij Waaqi’anal ‘Aliim yang dikumpulkan oleh Abu Anas ‘Ali bin Husain Abu Lauz (hal. 77-78).
[4]. Ibid, (hal. 79-80).
[5]. Lihat kitab al-Ma’luum min Waajibil ‘Ilaaqah bainal Haakim wal Mahkuum (hal. 7-10, 14) oleh Abu ‘Abdillah bin Ibrahim al-Bulaithih al-Wa-ili.
[6]. Lihat pembahasan tentang bagaimana bermu’amalah dengan ulil amri (penguasa), kitab Mu’aamalatul Hukkaam fii Dhau-il Kitaab was Sunnah oleh ‘Abdus Salam bin Barjas bin Nashir ‘Abdul Karim t, cet. V, th. 1417 H.
[7]. Dinukil dari Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah, juz VII bagian kedua, hal. 1242-1423, setelah pembahasan hadits no. 3418.
[8]. Lihat kitab Syarhus Sunnah (hal. 76, no. 33) oleh al Imam al Barbahari, tahqiq Syaikh Abu Yasir Khalid ar-Raddadi, cet. II, th. 1418 H.
[9]. Lihat al-Milal wan Nihal (hal 114).

 

Pemberontakan Pertama:

Pemberontakan pertama dalam sejarah Islam dilakukan oleh Dzul Khuwaishirah.[10]

Al-Imam Ibnul Jauzi (wafat th. 597 H) berkata dalam kitabnya Talbiis Ibliis:

أَوَّلُ الْخَوَارِجِ وَأَقْبَحُهُمْ حَالَةً ذُو الْخُوَيْصِرَةِ

“Khawarij yang pertama dan paling jelek adalah Dzul Khuwaishirah.”

Imam al-Bukhari rahimahullah meriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu, bahwa ia berkata: “’Ali pernah mengirim sepotong emas dalam kantong kulit yang telah disamak dari Yaman kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaiahi wa sallam, dan emas itu belum dibersihkan dari kotorannya. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaginya kepada empat orang: ‘Uyainah bin Badr, Aqra’ bin Habis, Zaid al-Khail, dan ‘Alqamah atau ‘Amir bin ath-Thufail. Maka, seseorang dari sahabat mereka mengatakan: “Kami lebih berhak dengan (harta) ini dibanding mereka.” Ucapan itu sampai kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau bersabda:

أَلاَ تَأْمَنُوْنِي وَأَنَا أَمِيْنُ مَنْ فِي السَّمَاءِ، يَأْتِيْنِي خَبَرُ السَّمَاءِ صَبَاحًا وَمَسَاءً.

“Apakah kalian tidak percaya kepadaku, padahal aku adalah kepercayaan Dzat yang ada di langit (yakni Allah), wahyu turun kepadaku dari langit di waktu pagi dan sore.” [11]

Kemudian datanglah seorang laki-laki yang cekung kedua matanya, menonjol bagian atas kedua pipinya, menonjol kedua dahinya, lebat jenggotnya, botak kepalanya dan tergulung sarungnya. Orang itu berkata: “Bertaqwalah kepada Allah, wahai Rasulullah!” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:

وَيْلَكَ، أَوَلَسْتُ أَحَقَّ أَهْلِ اْلأَرْضِ أَنْ يَتَّقِيَ اللهَ؟

“Celakalah engkau! Bukankah aku manusia yang paling takwa kepada Allah di muka bumi?!”

Kemudian orang itu pergi. Maka Khalid bin Walid Radhiyallahu anhu berkata: “Wahai Rasulullah, apakah harus aku penggal lehernya?” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jangan, dia masih shalat (yakni masih Muslim).” Khalid Radhiyallahu anhu berkata: “Berapa banyak orang yang shalat berucap dengan lisannya (syahadat) ternyata bertentangan dengan isi hatinya.” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Aku tidak diperintahkan untuk mengorek isi hati manusia dan membelah dada-dada mereka.” Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat kepada orang itu seraya bersabda:

إِنَّهُ يَخْرُجُ مِنْ ضِئْضِىءِ هذَا قَوْمٌ يَتْلُوْنَ كِتَابَ اللهِ رَبْطًا، لاَ يُجَاوِزُ حَنَاجِرَهُمْ، يَمْرُقُوْنَ مِنَ الدِّيْنِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنَ الرَّمِيَّةِ.

“Sesungguhnya akan keluar dari keturunan orang ini sekelompok kaum yang membaca Kitabullah (Al-Qur-an) secara kontinyu namun tidak melampaui tenggorokan mereka [12]. Mereka melesat (keluar) dari (batas-batas) agama layaknya anak panah yang melesat menuju (sasaran) buruannya.”

Dan saya (perawi) kira beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَئِنْ أَدْرَكْتُهُمْ َلأَقْتُلَنَّهُمْ قَتْلَ ثَمْوْدَ.

“Jika aku menjumpai mereka (lagi), niscaya aku akan bunuh mereka seperti dibunuhnya kaum Tsamud” [13]

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa ketika kami bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau sedang membagi ghanimah, tiba-tiba Dzul Khuwaishirah -seseorang dari bani Tamim- mendatangi beliau seraya berkata: “Wahai Rasulullah, berbuat adillah!!”

Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Celakalah engkau, siapa lagi yang dapat barelaku adil jika aku sudah (dikatakan) tidak adil. Sungguh celaka dan rugi jika aku tidak dapat berbuat adil.” Lalu ‘Umar berkata: “Wahai Rasulullah, izinkan aku memenggal lehernya!” Rasulullah menjawab: “Biarkan dia. Sesungguhnya dia mempunyai pengikut, dimana kalian menganggap remeh shalat kalian jika dibandingkan shalatnya mereka, juga puasa kalian dibandingkan puasanya mereka. Mereka membaca Al-Qur-an tetapi tidak melewati tenggorokan mereka. Mereka melesat (keluar) dari (batas-batas) agama seperti melesatnya anak panah dari (sasaran) buruannya…” [14]

Dalam riwayat lain beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ مِنْ ضِئْضِئِ هذَا، أَوْ فِيْ عَقِبِ هذَا قَوْمٌ يَقْرَأُوْنَ الْقُرْآنَ لاَ يُجَاوِزُ حَنَاجِرَهُمْ، يَمْرُقُوْنَ مِنَ الدِّيْنِ مُرُوْقَ السَّهْمِ مِنَ الرَّمِيَّةِ، يَقْتُلُوْنَ أَهْلَ اْلإِسْلاَمِ وَيَدَعُوْنَ أَهْلَ اْلأَوْثَانِ، لَئِنْ أَنَا أَدْرَكْتُهُمْ َلأَقْتُلَنَّهُمْ قَتَلَ عَادٍ.

“… Akan keluar dari keturunan orang ini suatu kaum yang mereka itu ahli membaca Al-Qur-an, namun bacaan tersebut tidak melewati tenggorokan mereka. Mereka melesat (keluar) dari (batas-batas) agama seperti melesatnya anak panah dari (sasaran) buruannya. Mereka membunuh ahlul Islam dan membiarkan hidup ahlul Autsan (orang kafir). Jika aku sempat mendapati mereka, akan kubunuh mereka dengan cara pembunuhan terhadap kaum ‘Aad.” [15]

Imam Ibnul Jauzi rahimahullah kemudian berkata: “Orang itu dikenal dengan nama Dzul Khuwaishirah at-Tamimi. Dia adalah Khawarij pertama dalam Islam. Penyebab kebinasaannya disebabkan dia merasa puas dengan pendapatnya sendiri. Seandainya dia berilmu, tentu dia akan mengetahui bahwa tidak ada pendapat yang lebih tinggi dari pendapat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

اَلْخَوَارِجُ هُمْ كِلاَبُ النَّارِ.

“Khawarij adalah anjing-anjing (penghuni) Neraka.” [16]

Pemberontakan Kedua:
Pemberontakan kedua terjadi pada masa Abu Bakar ash-Shiddiq Radhiyallahu anhu. Pada masa beliau muncul gerakan separatis yang dimotori oleh beberapa kalangan kabilah Arab. Mereka menyatakan murtad dari Islam. Mereka berkata: “Masa kenabian berakhir dengan wafatnya Muhammad. Maka kita tidak mentaati siapa pun selama-lamanya setelah wafatnya Muhammad!!” Dan lainnya lagi menyatakan menolak untuk membayar zakat.

Pemberontakan dan gerakan murtad ini merupakan ancaman langsung terhadap eksistensi Islam, sehingga membuat Islam benar-benar dalam kondisi genting. Kemudian Allah selamatkan agama ini dengan mengokohkan dan memantapkan hati Abu Bakar ash-Shiddiq untuk tampil memerangi dan menumpaskan gerakan separatis dan aksi murtad tersebut. Tindakan Abu Bakar ini didukung oleh seluruh Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam [17]. Imam ‘Ali Ibnul Madini berkata: “Sesungguhnya Allah menjaga agama ini dengan Abu Bakar Radhiyallahu anhu pada saat terjadi riddah dan dengan Imam Ahmad rahimahullah pada hari mihnah.”[18]

Pemberontakan Ketiga:
Pemberontakan ketiga terjadi pada masa pemerintahan Khalifah ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu. Yaitu gerakan teroris yang merupakan konspirasi Yahudi dan Persia untuk melakukan pembunuhan yang dilakukan oleh Abu Lu’lu’ah al-Majusi terhadap Amirul Mukminin al-Faruq ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu. Beliau wafat tahun 23 H (643 M) Radhiyallahu anhu.[19]

Pemberontakan Keempat:
Kemudian di zaman pemerintahan khalifah ‘Utsman bin ‘Affan Radhiyallahu anhu muncul pula gerakan teror dan pemberontakan yang memprovokasi massa untuk anti terhadap khalifah yang sah, Amirul Mukminin ‘Utsman bin ‘Affan Radhiyallahu anhu. Gembong dari gerakan ini adalah ‘Abdullah bin Saba’ al-Yahudi. Dia menampilkan diri sebagai seorang Muslim, namun kedengkian dan kekufuran terhadap Islam tersimpan di dadanya.

Selama 40 hari khalifah ‘Utsman bin ‘Affan Radhiyallahu anhu dikepung di rumah beliau sendiri. Para pemberontak (Khawarij/teroris) pun bahkan berani menerobos masuk rumah khalifah ‘Utsman dengan menaiki dinding rumah beliau. Kemudian dengan kejinya mereka membunuh Amirul Mukminin ‘Utsman bin ‘Affan yang ketika itu sedang membaca Al-Qur-an. Muncratlah darah suci seorang Sahabat mulia Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tetesan pertama darah beliau mengenai mushaf yang berada di pangkuannya, tepat mengenai ayat Allah:

فَسَيَكْفِيكَهُمُ اللَّهُ ۚ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

“Maka Allah akan mencukupi (membalas)mu dari mereka dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” [Al-Baqarah: 137] [20]

Beliau Radhiyallahu anhu wafat pada tahun 35 H (656 M).

Pemberontakan Kelima:
Kemudian barisan para teroris pembunuh Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan tersebut menghilangkan jejak dan menyusup di barisan Amirul Mukminin ‘Ali bin Abi Thalib. Mereka menampilkan diri sebagai pendukung khalifah ‘Ali. Barisan para teroris tersebut menyulut bara fitnah. Hingga akhirnya, mereka menyatakan diri keluar dari barisan khalifah ‘Ali, dengan alasan bahwa ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu telah kafir karena telah berhukum dengan selain hukum Allah. Mereka menyempal dari barisan khalifah ‘Ali dan menyingkir dari suatu tempat yang bernama Harura’, jumlah mereka sekitar 12000 orang, yang kemudian mereka berdiam di situ. Itulah awal pertumbuhan mereka secara terang-terangan memisahkan diri dan keluar dari barisan para Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka memproklamirkan bahwa komandan perang mereka adalah ‘Abdullah bin Wahhab ar-Rasibi dan imam mereka adalah ‘Abdullah bin al-Kawwa al-Yasykuri.[21]

Orang-orang Khawarij sangat kuat dalam beribadah, tetapi mereka meyakini bahwa mereka lebih berilmu dari para Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ini merupakan penyakit yang sangat berbahaya. Di tengah-tengah mereka tidak ada seorang pun ahlul ilmu dari kalangan Sahabat, padahal para Sahabat masih hidup.

Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma menuturkan: “Ketika kaum Khawarij me-misahkan diri, mereka masuk ke suatu daerah. Ketika itu jumlah mereka 6000 orang. Mereka semua sepakat untuk memberontak kepada Amirul Mukminin ‘Ali bin Abi Thalib. Banyak yang datang kepada ‘Ali untuk mengingatkan beliau: ‘Wahai Amirul Mukminin sesungguhnya kaum ini (Khawarij) hendak memberontak kepadamu!” Namun ‘Ali menyatakan: “Biarkan mereka, karena aku tidak akan memerangi mereka hingga mereka dulu yang memerangiku dan mereka akan mengetahui nantinya.”

Kemudian terjadi perdebatan antara Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma dengan para Khawarij tersebut, semua hujjah dan argumentasi mereka dalam mengkafirkan dan memberontak dari barisan ‘Ali -bahkan dari barisan para Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam- dibantah habis oleh Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma dengan hujjah dan argumentasi yang kokoh dan tidak dapat dibantah lagi, dan mereka tidak mampu membantah hujjah-hujjah tersebut. Sehingga tersingkap dan terjawab segala kerancuan berpikir yang selama ini menutupi akal dan hati mereka yang picik tersebut. Ibnu ‘Abbas berkata: “Maka bertaubatlah 4000 orang dari mereka, dan sisanya tetap memberontak. Maka akhirnya mereka -para pemberontak- ditumpas habis.”[22]

Demikianlah Ibnu ‘Abbas menasihati mereka dengan meletakkan prinsip dasar dalam memahami agama Islam yang benar, yaitu dengan merujuk apa yang telah difahami dan diamalkan oleh para Sahabat Radhiyallahu anhum. Tidak boleh seseorang memahami dan menafsirkan nash-nash Al-Qur-an dan As-Sunnah dengan pemahaman dan penafsiran sendiri yang keluar dan berbeda dari apa yang dipahami dan diamalkan oleh para Sahabat.

Kemudian barisan Khawarij yang melarikan diri membuat fitnah dimana-mana dan berusaha membangun kekuatan kembali untuk memberontak dan memporak-porandakan jama’ah kaum Muslimin dan mereka terus mendendam kepada khalifah kaum Muslimin. Ada tiga orang Khawarij yang berencana membunuh khalifah ‘Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan ‘Amr bin al-‘Ash Radhiyallahu anhum.

Kemudian ‘Abdurrahman bin ‘Amr yang terkenal dengan ‘Abdurrahman bin Muljam al-Himyari al-Kindi (seseorang dari kaum Khawarij) membunuh ‘Ali bin Abi Thalib ketika shalat Shubuh. Amirul Mukminin ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu wafat di bulan Ramadhan tahun 40 H (661 M).[23]

Setiap pemberontakan melawan pemerintah, membuat kerusakan, mengganggu stabilitas keamanan, menakut-nakuti dan mengadakan teror bagi kaum Muslimin, maka umumnya pelakunya orang kafir, atau munafik atau Khawarij. Karena sesungguhnya Islam tidak pernah mengajarkan untuk membuat kerusakan, sebaliknya Islam mengajak kepada kedamaian dan keamanan.

Bahkan Nabi Ibrahim Alaihissallam setelah membangun Ka’bah beliau memohon kepada Allah agar negeri Mekkah diberikan rasa aman.

رَبِّ اجْعَلْ هَٰذَا بَلَدًا آمِنًا

“Ya Rabb-ku, jadikanlah negeri (Makkah) ini, negeri yang aman sentausa….” [Al-Baqarah: 126]

[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Po Box 7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan Ketiga 1427H/Juni 2006M]
_______
Footnote
[10]. Talbiis Ibliis (hal. 110) oleh Imam Ibnul Jauzi, cet. Darul Kutub al-‘Ilmiyyah, lihat juga al-Muntaqa an-Nafiis min Talbiis Ibliis (hal. 89) oleh Syaikh ‘Ali bin Hasan ‘Ali ‘Abdul Hamid al-Halabi, cet. Daar Ibnul Jauzi.
[11]. HR. Al-Bukhari (no. 4351), Muslim (no. 1064) dari Sahabat Abu Sa’id al-Khudri.
[12]. Yakni bacaan tersebut tidak sampai masuk ke dalam hatinya yang dengan itu dia dapat memahami apa yang dibacanya.
[13]. HR. Al-Bukhari (no. 4351, 7432), Muslim (no. 1064 (144)), Abu Dawud (no. 4764), an-Nasa-i (V/87-88), al-Baihaqi (VII/18) dan Ahmad (III/68, 72, 73) dari Sahabat Abu Sa’id al-Khudri z.
[14]. HR.Bukhari 3344, 3610, 6163, 6933 dan Muslim 1064, 1065.
[15]. HR. Al-Bukhari (no. 3344), Muslim (no. 1064 (143)) dan Abu Dawud (no. 4764).
[16]. HR. Ahmad (IV/355), ‘Abdullah bin Ahmad dalam as-Sunnah (II/635, no. 1513), Ibnu Majah (no. 173), Ibnu Abi ‘Ashim dalam as-Sunnah (no. 904), Ibnu Abi Syaibah, al-Lalika-i dalam Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (no. 2311), dari Sahabat Ibnu Abi Aufa. Hadits ini shahih dan ada syawahid (penguat) dari Abu Umamah.
[17]. Lihat al-Bidaayah wan Nihaayah (VI/315-335) oleh al-Hafizh Ibnu Katsir.
[18]. Siyar A’lamin Nubalaa’ (XI/196).
[19]. Lihat al-Bidaayah wan Nihaayah (VII/141-142).
[20]. Lihat al-Bidaayah wan Nihaayah (VII/192-198) dan Siyar A’laamin Nubalaa’ Siratul Khulafaa-ur Raasyidiin (hal. 206-207) oleh Imam adz-Dzahabi.
[21]. Demikianlah mereka menampilakan tokoh-tokoh baru, karena memang di tengah-tengah mereka tidak ada seorang pun dari kalangan para Sahabat Nabi j, tidak ada seorang ulama pun. Rata-rata mereka adalah kaum muda yang tidak memahami Al-Qur-an dan As-Sunnah sebagaimana yang dipahami para Sahabat Rasulullah j. Dengan kesempitan dan kedangkalan ilmu tersebut me-reka berani menentang ulama dari kalangan para Sahabat g.
[22]. Lihat al-Bidaayah wan Nihaayah (VII/289-300).
[23]. Lihat al-Bidaayah wan Nihaayah (VII/338-340).

Tinggalkan komentar