AL QONTHOROH – AL QISHOSH – ASY SYAFAA’AH

AL QONTHOROH – AL QISHOSH – ASY SYAFAA’AH

Oleh: Ustadz Achmad Rofi’i, Lc.

بسم الله الرحمن الرحيم

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Muslimin dan muslimat yang dirahmati Allooh سبحانه وتعالى,

Berkenaan dengan bahasan pekan lalu yaitu Ash Shirooth, maka kali ini kita membahas tentangAl QonthorohAl Qishosh dan kemudian adalah Asy Syafaa’ah.

Al Qonthoroh menurut para ‘Ulama Ahlus Sunnah berarti: “Jembatan yang letaknya di penghujung Ash Shirooth”. Setelah Al Qonthoroh dan Al Qishosh, akan ada Asy Syafaa’ah; dan sesudahnya ummat Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم yang dapat melaluinya, akan diberi hak untuk masuk surga pertama kali sebelum ummat-ummat Nabi dan Rosuul lainnya. Mudah-mudahan Alloohسبحانه وتعالى memasukkan kita kedalam golongan orang-orang yang masuk surga tanpa banyak rintangan.

Allooh سبحانه وتعالى memberikan suatu kesempatan bagi 70.000 orang dari kalangan hamba-hamba-Nya yang ingin masuk surga tanpa hisab dan tanpa ‘adzab, dimana untuk menjadi bagian dari komunitas 70.000 orang yang masuk surga tanpa Hisab dan tanpa ‘adzab itu kriterianya bisa dikatakan ringan, bisa pula dikatakan berat. Itu semua tergantung Hidayah dan Taufiq Allooh سبحانه وتعالى. Apabila Allooh سبحانه وتعالى memberikan Hidayah dan Taufiq kepada kita, maka tentulah kita tidak merasa berat untuk memenuhi kriteria tersebut. Tetapi apabila Allooh سبحانه وتعالى menjauhkan kita dari Hidayah dan Taufiq-Nya, maka kita akan sulit untuk menjangkaunya. Oleh karena itu, kita lebih membutuhkan Hidayah dan Taufiq Allooh سبحانه وتعالى dibandingkan sekedar hanya makan dan minum.

Sebagaimana dalam Hadits Riwayat Al Imaam Muslim no: 220 dari Shohabat Ibnu ‘Abbas رضي الله عنه, bahwa Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda, “Allooh سبحانه وتعالى  berfirman:

هَذِهِ أُمَّتُكَ وَمَعَهُمْ سَبْعُونَ أَلْفًا يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ بِغَيْرِ حِسَابٍ وَلاَ عَذَابٍ

Artinya:

Ini adalah ummatmu, dari mereka terdapat 70.000 yang akan masuk kedalam surga tanpa hisab dan tanpa adzab.

Ketika kita kelak menyeberangi (meniti) Al Qonthoroh, kita akan mengalami apa yang disebut dengan Al Qishosh; dimana di saat tersebut kita semestinya memiliki rasa khawatir dan was-was, karena bisa jadi seseorang tertahan dari masuk surga karena adanya Al QishoshAl Qishosh adalah keadilan yang Allooh سبحانه وتعالى tegakkan di hari akhirat, dimana akan terjadi peristiwa balas-membalas. Apabila seseorang mengambil hak atau menyakiti orang lain di dunia, lalu orang yang teraniaya tersebut tidak memaafkannya dan meminta balasan atas perbuatan aniaya tersebut, maka dikala itulah Allooh سبحانه وتعالى memberikan kesempatan bagi orang yang teraniaya untuk meminta kembali apa yang menjadi haknya. Oleh karena itu alangkah mengerikannya apabila seseorang berbuat dzolim atas banyak orang, maka dikala itu ia akan menjadi orang yang merugi. Semua itu akan terjadi ketika kita berada di tempat Al Qishosh.

Tidak ada yang bisa membela kita. Bahkan harta, istri, anak, kerabat yang kita miliki tidaklah bisa membela diri kita di kala itu. Tidak ada suap-menyuap, tidaklah seseorang dapat menghindar dari keadilan yang Allooh سبحانه وتعالى tegakkan di masa tersebut. Hanya saja sayangnya, perkara ini jarang diingat oleh manusia dan kaum Muslimin pada umumnya, sehingga mereka bersikap tenang-tenang saja. Menganggap seolah-olah berbuat dzolim, mengambil hak saudaranya, berkilah dari hukum di dunia itu adalah tidak berkonsekwensi pada kerugian dirinya di hari akhirat kelak.

Oleh karena itu dengan mengkaji masalah Al Qishosh ini, semoga dapat mengingatkan diri kita dan kaum Muslimin pada umumnya agar janganlah merasa tenang dikala berbuat dzolim atau aniaya atas orang lain, karena sesungguhnya kita tidaklah mengetahui apakah kita akan tergolong dari orang-orang yang dapat selamat dalam melalui Al Qishosh ataukah tidak. Dapatlah dikatakan bahwa jika seseorang itu belum masuk kedalam surga, maka ia belum bisa mengatakan bahwa dirinya memperoleh “kemenangan” atau keberhasilan.

Adakah dirinya sanggup menyeberangi Ash ShiroothAl Qonthoroh dan melalui perkara Al Qishosh? Adakah dirinya termasuk lulus dari Al Qishosh ataukah ia justru tergolong orang-orang yang merugi akibat perbuatannya sendiri ketika ia hidup di dunia? Hendaklah setiap diri kita banyak merenungkan tentang hal ini serta memperbaiki kesalahan yang pernah dilakukan di masa lalu dan mengembalikan hak orang-orang yang pernah merasa teraniaya.

Bahasan Tentang Al QonthorohAl Qishosh dan Asy Syafaa’ah

Dalam mengkaji masalah ini tentulah kita akan membahasnya berdasarkan Wahyu. Karena urusan Iman (‘Aqidah) tidak ada tempat bagi akal kita (manusia) untuk berfikir, kecuali akal itu hanyalah sebagai pendukung saja. Oleh karena itu maka setiap kajian tentang perkara dien selalu diperpadat dengan Nushus Syar’iyyah (diperkaya dengan dalil-dalil) agar kaum Muslimin semakin yakin bahwa perkara ini bukan perkara nalar (akal), melainkan perkara dien adalah berkaitan dengan Wahyu dari Allooh سبحانه وتعالى. Yang ada dalilnya dari Allooh سبحانه وتعالى dan Rosuul-Nya صلى الله عليه وسلم maka akan kita bahas. Adapun perkara yang tidak ada dalilnya, maka kita akan “tutup mulut”, karena hal tersebut bukanlah wewenang diri kita sama sekali.

Dalam Hadits Riwayat Al Imaam Al Bukhoory no: 6535, dari Shohabat Abu Saa’id Al Khudry رضي الله عنه, bahwa Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda:

يَخْلُصُ الْمُؤْمِنُونَ مِنَ النَّارِ فَيُحْبَسُونَ عَلَى قَنْطَرَةٍ بَيْنَ الْجَنَّةِ وَالنَّارِ فَيُقَصُّ لِبَعْضِهِمْ مِنْ بَعْضٍ مَظَالِمُ كَانَتْ بَيْنَهُمْ فِي الدُّنْيَا حَتَّى إِذَا هُذِّبُوا وَنُقُّوا أُذِنَ لَهُمْ فِي دُخُولِ الْجَنَّةِ فَوَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لأَحَدُهُمْ أَهْدَى بِمَنْزِلِهِ فِي الْجَنَّةِ مِنْهُ بِمَنْزِلِهِ كَانَ فِي الدُّنْيَا

Artinya:

Orang-orang yang beriman akan terhindar dari api neraka, mereka akan dipisahkan dari jembatan antara surga dan neraka, lalu satu sama lain di-qishos tentang penganiayaan diantara mereka di dunia sehingga apabila telah terbebas dan bersih maka mereka diizinkan untuk masuk surga. Maka demi Yang jiwa Muhammad di tangan-Nya, seorang dari mereka menghadiahkan rumahnya di surga dengan rumahnya di dunia.”

Sebagaimana dikatakan oleh Al Haafidz Ibnu Hajar Al ‘Asqolaany رحمه الله dalam Kitab “Fat-hul Baari”, beliau menjelaskan bahwa Para ‘Ulama Ahlus Sunnah berbeda pendapat tentang Jembatan (Al Qonthoroh).

Pendapat pertama mengatakan bahwa Al Qonthoroh itu merupakan jembatan ujung penyempurna dari Ash Shirooth, dan setelah itu adalah langsung Surga.

Pendapat kedua  menyatakan bahwa Al Qonthoroh merupakan dua jalan yang berbeda dariAsh Shirooth. Dan yang berpendapat seperti ini adalah Al Imaam Al Qurthubرحمه الله.

Tetapi terlepas dari perbedaan pendapat tersebut, sebagaimana dikatakan oleh Al Hasan Al Basri رحمه الله (seorang Taabi’iin) dalam Hadits Mursal bahwa Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda: Penghuni surga akan dikumpulkan terlebih dahulu setelah mereka menyeberangi Ash Shirooth, hingga satu sama lain mereka saling membalas (Qishosh) terhadap apa yang pernah mereka lakukan ketika di dunia, sampai antara mereka benar-benar bersih hatinya, tidak ada yang menggerutu, barulah mereka masuk Surga”

Hal ini adalah persis sebagaimana pula yang difirmankan Allooh سبحانه وتعالى dalam Al Qur’an Surat Al Hijr (15) ayat 47 sebagai berikut:

وَنَزَعْنَا مَا فِي صُدُورِهِم مِّنْ غِلٍّ إِخْوَاناً عَلَى سُرُرٍ مُّتَقَابِلِينَ

Artinya:

Dan Kami lenyapkan segala rasa dendam yang berada dalam hati mereka, sedang mereka merasa bersaudara duduk berhadap-hadapan di atas dipan-dipan.

Yang dimaksud dengan “Ghillin” (غِلٍّ) atau “dendam” menurut Al Imaam Al Baghowy رحمه الله adalah bermakna 4 macam yaitu:  kebencianpermusuhandengki dan iri. Semuanya itu akan hilang, sirna, dan diantara mereka tidak ada lagi perasaan seperti itu. Mereka semua akan merasa bersaudara, saling berhadap-hadapan serta tidak ada lagi yang saling membelakangi.

Al Qishosh

Al Qishosh pasti akan kita alami, karena Allooh سبحانه وتعالى tidak akan menyembunyikan (menganiaya) sekecil apapun kedzoliman, kalau itu merupakan kebajikan maka Allooh akan lipat-gandakan, dan akan diberikan sesuatu yang terbaik dari sisi-Nya.

Sebagaimana Allooh سبحانه وتعالى berfirman dalam QS. Aali ‘Imroon (3) ayat 25 sebagai berikut:

فَكَيْفَ إِذَا جَمَعْنَاهُمْ لِيَوْمٍ لَا رَيْبَ فِيهِ وَوُفِّيَتْ كُلُّ نَفْسٍ مَا كَسَبَتْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ

Artinya:

Bagaimanakah nanti apabila mereka Kami kumpulkan di hari (kiamat) yang tidak ada keraguan tentang adanya. Dan disempurnakan kepada tiap-tiap diri balasan apa yang diusahakannya sedang mereka tidak dianiaya (dirugikan).”

Juga firman-Nya dalam QS. Al Baqoroh (2) ayat 281 berikut ini:

وَاتَّقُوا يَوْمًا تُرْجَعُونَ فِيهِ إِلَى اللَّهِۖ ثُمَّ تُوَفَّىٰ كُلُّ نَفْسٍ مَا كَسَبَتْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ

Artinya:

Dan peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allooh. Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan).

Kemudian dalam ayat yang lain Allooh سبحانه وتعالى berfirman bahwa Pada hari ini (Kiamat) adalah hari di mana setiap jiwa dibalas oleh Allooh سبحانه وتعالى dengan apa yang telah mereka perbuat. Tidak ada kedzoliman pada hari tersebut. Dan Allooh سبحانه وتعالى memutuskan dengan seadil-adilnya dan sebenar-benarnya

Hal itu adalah sebagaimana firman-Nya dalam QS. Al Mu’min (40) ayat 17 berikut ini:

الْيَوْمَ تُجْزَىٰ كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ ۚ لَا ظُلْمَ الْيَوْمَ ۚ إِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ

Artinya:

Pada hari ini tiap-tiap jiwa diberi balasan dengan apa yang diusahakannya. Tidak ada yang dirugikan pada hari ini. Sesungguhnya Allooh amat cepat hisabnya.”

Perkara Al Qishosh ini pun diriwayatkan pula dalam berbagai Hadits Shohiih antara lain adalah:

Sebagaimana dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Al Imaam Al Bukhoory no:6845  dan Al Imaam Muslim no: 1678, bahwa Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda :

أَوَّلُ مَا يُقْضَى بَيْنَ النَّاسِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِى الدِّمَاءِ

Artinya:

Pertama kali yang akan diputuskan oleh Allooh سبحانه وتعالى antara sesama manusia adalah urusan ‘Addima (darah, pembunuhan) .”

‘Addima (الدماء) berasal dari kata “Dam” (دم) yang artinya adalah: “Darah”, maksudnya adalah: “Pembunuhan”. Siapapun yang pernah membunuh sesama manusia dengan cara yang tidak benar, maka hendaknya ia mengingat akan adanya Al Qishosh. Demikian pula dengan perkara yang lebih dahsyat daripada pembunuhan yaitu Al Fitnatu (Fitnah), dimana seseorang dipermalukan oleh saudaranya sehingga orang itu dicaci, dimaki, diolok-olok oleh masyarakat padahal ia tidaklah bersalah; maka hendaklah orang yang menebarkan fitnah atas orang yang tidak bersalah tersebut takut akan adanya Al Qishosh. Kedzoliman yang terjadi diantara sesama manusia ketika hidup di dunia, antara lain adalah pembunuhan, merupakan perkara yang pertama kali akan dihisab oleh Allooh سبحانه وتعالى dan menjadi bahan pertimbangan apakah seseorang diputuskan masuk kedalam surga ataukah kedalam neraka.

Dalam Hadits yang lain, diriwayatkan oleh Al Imaam Al Bukhoory no : 6534, dari Shohabat Abu Hurairoh رضي الله عنه, bahwa Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda:

مَنْ كَانَتْ عِنْدَهُ مَظْلَمَةٌ لأَخِيهِ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهَا ، فَإِنَّهُ لَيْسَ ثَمَّ دِينَارٌ ، وَلاَ دِرْهَمٌ مِنْ قَبْلِ أَنْ يُؤْخَذَ لأَخِيهِ مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ أَخِيهِ فَطُرِحَتْ عَلَيْه

Artinya:

Barangsiapa ada diantara kalian yang memiliki kedzoliman terhadap saudaranya, segeralah minta dihalalkan hari ini juga, karena tidak akan ada dinar dan dirham yang akan dibayarkan untuk saudara (– yang didzoliminya itu – pent) dari kebaikannya.

Sebagai contoh si A adalah seorang yang memiliki banyak kebajikan, tetapi disisi lain si A ini juga pernah mendzolimi si B. Sementara si B adalah orang yang tidak banyak kebajikannya (dibandingkan dengan si A). Karena si A mendzolimi si B, maka si B kelak tatkala Al Qishoshditegakkan, maka ia akan meminta bayaran (ganti rugi) karena pernah diperlakukan dzolim oleh si A. Sehingga kedzoliman itu pun akan dijadikan sebagai tagihan untuk saudaranya (si A), dimana kebajikan yang dimiliki oleh si A akan diberikan kepada si B. Dengan demikian si B pun menjadi naik dan baik kedudukannya disisi Allooh سبحانه وتعالى dan si A yang menjadi buruk kedudukannya. Demikianlah yang dimaksud dengan Al Qishosh.

Dalam Hadits “Muflis” Riwayat Imaam Muslim no: 2581 dari Shohabat Abu Hurairoh رضي الله عنه, bahwa Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bertanya:

أَتَدْرُونَ مَا الْمُفْلِسُ ». قَالُوا الْمُفْلِسُ فِينَا مَنْ لاَ دِرْهَمَ لَهُ وَلاَ مَتَاعَ. فَقَالَ « إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِى يَأْتِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلاَةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ وَيَأْتِى قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِى النَّارِ

Artinya:

Tahukah kalian siapa orang bangkrut?”.

Shohabat menjawab : “Orang yang bangkrut ialah orang yang tidak punya dirham tidak punya kekayaan di dunia”.

Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda : “Orang yang bangkrut ialah orang dari ummatku yang datang pada Hari Kiamat membawa pahala sholat, shoum, zakat padahal ia telah mencaci maki si Fulan, menuduh si Fulan, memakan harta si Fulan, membunuh si Fulan, dan menganiaya si Fulan. Maka kebaikannya akan diberikan pada si Fulan dan si Fulan sehingga apabila telah habis kebaikannya, sedangkan belum dapat membalas pada mereka, maka akan diambillah kesalahan si Fulan dan si Fulan kemudian akan ditimpakan padanya, lalu dia akan dicampakkan kedalam neraka.”

Itulah Hadits shohiih, yang semestinya menggetarkan hati kita. Tetapi terkadang kita sebagai manusia seringkali lupa akan hal tersebut. Kita bersikap seolah tenang-tenang saja tatkala menyakiti orang lain, dan tidak ingat bahwa perbuatan tersebut kelak dapat berdampak mendatangkan balasan yang pedih di hari akhirat.

Itu semua adalah perkara yang pasti. Siapa yang tidak meyakini Hadits tersebut berarti ia tidak beriman pada Hari Kiamat. Siapa yang tidak meyakini hari Kiamat berarti ia telah kafir, keluar dari Al Islam. Dan ia bukan lagi bagian dari kaum muslimin, dimana hal ini merupakan kerugian yang nyata.

Berhati-hatilah wahai kaum Muslimin. Siapa yang beriman kepada Allooh سبحانه وتعالى dan Hari Akhir, maka aplikasikanlah keimanan itu dalam bentuk sikap hidup yang positif, jangan suka menyakiti atau menganiaya orang lain, serta jangan pula bersikap rakus dan tamak terhadap dunia yang dapat menyebabkannya berlaku dzolim.

Jangankan terhadap orang lain, bahkan terhadap keluarga terdekat sekalipun, yang sekiranya mereka itu memiliki hak dari diri kita, lalu hak tersebut tidaklah kita tunaikan dengan semestinya; maka semua itu akan menjadi bagian dari kemungkinan adanya Qishosh terhadap diri kita di hari Kiamat. Na’uudzu billaahi min dzaalik.

Asy Syafaa’ah

Asy Syafaa’ah (Syafa’at), seperti dikemukakan oleh para ‘Ulama Ahlus Sunnah maknanya adalah Al Wasiilah (perantara, koneksi). Sebagai contoh: seseorang hendak melamar pekerjaan. Apabila ia semata-mata mendatangi suatu kantor, mungkin ia tidak dikenal oleh orang-orang yang ada dikantor tersebut. Ia akan mendapatkan kesulitan. Bahkan sejak dipintu depan kantor pun ia sudah ditolak untuk masuk ke kantor itu, dengan dikatakan bahwa di kantor itu tidak ada lowongan pekerjaan. Tetapi apabila ia membawa semacam surat rekomendasi agar ia dilayani dengan baik, maka ia akan dipersilakan masuk, bahkan bisa jadi diterima bekerja di kantor itu.

Tetapi Asy Syafaa’ah (Syafa’at) tentu saja ada syaratnya. Ada yang diperbolehkan dan ada yang tidak diperbolehkan (diharomkan). Bila sifatnya adalah hanya karena kekerabatan atau kolusi semata-mata, maka itu hukumnya adalah harom. Akan tetapi bila orang yang diberikan syafa’at itu memang orang yang berhak untuk dibantu karena ia memiliki akhlak yang baik dan seterusnya, maka syafa’at yang demikian itu adalah dianjurkan oleh Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, sepertti beliau صلى الله عليه وسلم sabdakan sebagaimana dalam Hadits Riwayat Al Imaam Al Bukhoory no: 1432, dari Shohabat Abu Muusa Al Asy’aary رضي الله عنه, beliau berkata bahwa seseorang datang kepada Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم untuk meminta bantuan bagi suatu keperluannya. Maka beliau صلى الله عليه وسلم pun bersabda :

اشْفَعُوا تُؤْجَرُوا

Artinya:

Berilah oleh kalian asy-syafaa’ah (pertolongan), niscaya kalian akan diberi pahala kebajikan oleh Allooh سبحانه وتعالى”.

Maka hendaknya janganlah berlaku bakhiil (kikir). Apabila seseorang memiliki status, jabatan, kedudukan yang terhormat maka hendaknya ia menjadikan statusnya tersebut untuk membantu dan menolong orang-orang yang membutuhkan pertolongan. Bantulah orang-orang yang baik yang sedang membutuhkan pertolongan. Minimal dengan memberikan keterangan bahwa orang tersebut patut untuk diperlakukan dengan baik, dan seterusnya. Yang demikian itu diajarkan oleh Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.

Asy Syafaa’ah (Syafa’at) secara bahasa maknanya adalah:  “Genap” (kebalikan dari “Ganjil”). Berarti apabila ada seseorang diberi Syafa’at maka maknanya adalah: “Digenapkan”. Sebagai contoh: Seseorang memiliki nilai 5,8 padahal standar kelulusan adalah 6,0. Maka bila ia diberiSyafa’at dengan digenapkan nilainya keatas menjadi 6,0 ia akan lulus ujian. Itulah Asy Syafaa’ah (Syafa’at) dalam arti bahasa.

Secara istilah, menurut Ibnul Atsiir رحمه الله dalam kitabnya yang berjudul “An Nihayah fii Ghoriibil Hadiits”, beliau رحمه الله mengatakan bahwa Asy Syafaa’ah (Syafa’at) artinya adalah “Permintaan agar dibebaskan daripada dosa dan ma’shiyat”. Seharusnya dosa dan ma’shiyat yang telah dilakukannya tersebut dihitung, dihisab, bahkan dihukum karena bagian dari Keadilan Allooh سبحانه وتعالى bila manusia berbuat dosa maka ia akan dihukum. Tetapi karena ia mendapatkan Asy Syafaa’ah (Syafa’at), maka ia tidak jadi dihukum melainkan dibebaskan dari dosa-dosanya, tidak mendapatkan adzab bahkan diperkenankan untuk masuk ke dalam surga Allooh سبحانه وتعالى. Oleh karena itu seseorang yang mendapatkan surga disebut Fadhlun (فضل) yang artinya adalah “Diutamakan”. Setiap manusia tidaklah mampu untuk membeli Surga. Surga yang seluas langit dan bumi dengan segala kenikmatan yang tidak terbayangkan oleh manusia itu tidak akan bisa dibeli oleh siapa pun, karena pada dasarnya manusia masuk surga itu adalah semata-mata karena Fadhlun (keutamaan) yang diberikan oleh Allooh سبحانه وتعالى.

Menurut Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah, sebagaimana dinukil dari kitab “Aqiidah Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah”, yang ditulis oleh Syaikh Sa’iid Musfir, bahwa Asy Syafaa’ah (Syafa’at) itu adalah benar adanya dan bisa dilakukan oleh Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم atau oleh selain beliau صلى الله عليه وسلم atas izin Allooh سبحانه وتعالى. Asy Syafaa’ah (Syafa’at) juga dapat dilakukan oleh para Malaikat, bahkan oleh orang-orang beriman sebagaimana yang tertera dalam Al Qur’an dan Sunnah Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم. Betapapun demikian, kita tidak mengimani atau tidak membenarkan akan adanya jenis Syafa’at, yang mana jenis Syafa’at itu ditiadakan atau diingkari oleh Al Qur’an maupun As Sunnah. Jadi Asy Syafaa’ah (Syafa’at) itu ada dua macam, yaituSyafa’at yang yang syariatkan dan Syafa’at yang dilarang (diharomkan).

Pada intinya, Asy Syafaa’ah (Syafa’at) itu bisa dilakukan oleh para Nabi (termasuk Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم), juga oleh Malaikat dan orang-orang shoolih, yang mana mereka itu disebut sebagai: Asy Syaafi’ (الشافع), yaitu “yang memberikan Asy Syafaa’ah”. SedangkanAl Masyhu’ (المشفوع), yaitu “orang yang menerima Asy Syafaa’ah” adalah Muslimun, Mu’minun, Shoolihun, Shoddiqun, dan seterusnya. Hal ini adalah merupakan keyakinan Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah. Bahkan berdasarkan penjelasan para ‘Ulama Ahlus Sunnah, dalil tentangAsy Syafaa’ah (Syafa’at) itu adalah Muttawatir, baik dari ayat-ayat Al Qur’an maupun Hadits-Hadits Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.

Perhatikanlah dalil tentang Asy Syafaa’ah sebagaimana terdapat dalam Al Qur’an Surat An Najm (53) ayat 26 :

وَكَم مِّن مَّلَكٍ فِي السَّمَاوَاتِ لَا تُغْنِي شَفَاعَتُهُمْ شَيْئاً إِلَّا مِن بَعْدِ أَن يَأْذَنَ اللَّهُ لِمَن يَشَاءُ وَيَرْضَى

Artinya:

Dan berapa banyaknya malaikat di langit, syafaa`at mereka sedikitpun tidak berguna kecuali sesudah Allooh mengizinkan bagi orang yang dikehendaki dan diridhoi-(Nya).

Jadi Asy Syafaa’ah (Syafa’at) itu ada, hanya saja tidak bermanfaat; karena Asy Syafaa’ah(Syafa’at) tersebut tidak memenuhi prosedur yaitu tidak diizinkan dan diridhoi oleh Allooh سبحانه وتعالى. Malaikat memang memiliki Asy Syafaa’ah (Syafa’at), tetapi bila Allooh سبحانه وتعالى tidak mengizinkan atau meridhoinya, maka Asy Syafaa’ah (Syafa’at) Malaikat itu tidaklah berguna.

Perhatikan pula firman-Nya dalam Al Qur’an Surat Thohaa (20) ayat 109 :

يَوْمَئِذٍ لَّا تَنفَعُ الشَّفَاعَةُ إِلَّا مَنْ أَذِنَ لَهُ الرَّحْمَنُ وَرَضِيَ لَهُ قَوْلاً

Artinya:

Pada hari itu tidak berguna syafa`at, kecuali (syafa`at) orang yang Allooh Maha Pemurah telah memberi izin kepadanya, dan Dia (Allooh) telah meridhoi perkataannya.

Kemudian perhatikan pula Ayat Kursi (QS. Al Baqoroh (2) ayat 255) sebagai berikut:

اللّهُ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ لاَ تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلاَ نَوْمٌ لَّهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأَرْضِ مَن ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ وَلاَ يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِّنْ عِلْمِهِ إِلاَّ بِمَا شَاء وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ وَلاَ يَؤُودُهُ حِفْظُهُمَا وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ

Artinya:

 Allooh, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafa`at di sisi Allooh tanpa izin-Nya. Allooh mengetahui apa-apa yang dihadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allooh melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allooh meliputi langit dan bumi. Dan Allooh tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allooh Maha Tinggi lagi Maha Besar.

Hadits-Hadits yang berkenaan dengan Asy Syafaa’ah (Syafa’at) pun adalah Muttawatir(tidak bisa disangkal lagi). Sehingga apabila ada seseorang yang mengingkari Hadits yangMuttawatir seperti perkara Asy Syafaa’ah (Syafa’at) ini, maka sama saja dengan ia telah mengingkari Al Qur’an.

Didalam suatu Hadits yang sangat panjang, namun secara singkatnya adalah bahwa suatu hari kelak di Hari Kiamat, Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم akan didatangi oleh semua umat manusia, bahkan manusia sejak zaman Nabi Adam عليه السلام. Hal ini disebabkan karena ketika menghadapi kedahsyatan hari Kiamat, mereka membutuhkan bantuan (Syafa’at). Mula-mula manusia akan mendatangi Nabi Adam عليه السلام,ternyata Nabi Adam عليه السلام tidak sanggup memberikan Syafa’at. Lalu Nabi Adam عليه السلام mengisyaratkana agar manusia mendatangi Nabi lain selain beliau. Maka manusia pun beralih mendatangi Nabi Nuh عليه السلام. Ternyata Nabi Nuh عليه السلام juga tidak bisa memberikan Syafa’at, maka manusia pun mendatangi Nabi Ibrohim, kemudian Nabi Musa, lalu Nabi ‘Isa عليهم السلامNamun bahkan sampai dengan Nabi ‘Isa عليه السلام pun, beliau berkata : “Nafsi-nafsi (masing-masing) sajalah, aku tidak bisa memberi Syafa’at kepada kalian tetapi pergilah kalian kepada Muhammad صلى الله عليه وسلم.

Semua Nabi dikala itu tidak bisa memberikan Syafa’at, tetapi mereka menyarankan agar mendatangi Nabi Muhamamad صلى الله عليه وسلم dan akhirnya manusia pun berbondong-bondong mendatangi Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم. Lalu sebagaimana diberitakan dalam Hadits,  Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم pun memberi Syafa’at atas izin Allooh سبحانه وتعالى. Itulah yang disebut dengan Asy Syafa’atu Al ‘Udzma.

Hal tersebut adalah sebagaimana dalam Hadits Riwayat Al Imaam Muslim no: 194, dari Shohabat Abu Hurairoh رضي الله عنه, beliau berkata,

أتي رسول الله صلى الله عليه و سلم يوما بلحم فرفع إليه الذراع وكانت تعجبه فنهس منها نهسة فقال أنا سيد الناس يوم القيامة وهل تدرون بما ذاك ؟ يجمع الله يوم القيامة الأولين والآخرين في صعيد واحد فيسمعهم الداعي وينفذهم البصر وتدنو الشمس فيبلغ الناس من الغم والكرب مالا يطيقون ومالا يحتملون فيقول بعض الناس لبعض ألا ترون ما أنتم فيه ؟ ألا ترون ما قد بلغكم ؟ ألا تنظرون من يشفع لكم إلى ربكم ؟ فيقول بعض الناس لبعض ائتوا آدم فيأتون آدم فيقولون يا آدم أنت أبو البشر خلقك الله بيده ونفخ فيك من روحه وأمر الملائكة فسجدوا لك اشفع لنا في ربك ألا ترى إلى ما نحن فيه ؟ ألا ترى إلى ما قد بلغنا ؟ فيقول آدم إن ربي غضب اليوم غضبا لم يغضب قبله مثله ولن يغضب بعده مثله وإنه نهاني عن الشجرة فعصيته نفسي نفسي اذهبوا إلى غيري اذهبوا إلى غيري اذهبوا إلى نوح فيأتون نوحا فيقولون يا نوح أنت أول الرسل إلى الأرض وسماك الله عبدا شكورا اشفع لنا إلى ربك ألا ترى ما نحن فيه ؟ ألا ترى ما قد بلغنا ؟ فيقول لهم إن ربي قد غضب اليوم غضبا لم يغضب قبله مثله ولن يغضب بعده مثله وإنه قد كانت لي دعوة دعوت بها على قومي نفسي نفسي اذهبوا إلى إبراهيم صلى الله عليه و سلم

فيأتون إبراهيم فيقولون أنت نبي الله وخليله من أهل الأرض اشفع لنا إلى ربك ألا ترى إلى ما نحن فيه ؟ ألا ترى إلى ما قد بلغنا ؟ فيقول لهم إبراهيم إن ربي قد غضب اليوم غضبا لم يغضب قبله مثله ولا يغضب بعده مثله وذكر كذباته نفسي نفسي اذهبوا إلى غيري اذهبوا إلى موسى فيأتون موسى صلى الله عليه و سلم فيقولون يا موسى أنت رسول الله فضلك الله برسالاته وبتكليمه على الناس اشفع لنا إلى ربك ألا ترى إلى ما نحن فيه ؟ ألا ترى ما قد بلغنا ؟ فيقول لهم موسى صلى الله عليه و سلم إن ربي قد غضب اليوم غضبا لم يغضب قبله مثله ولن يغضب بعده مثله وإني قتلت نفسا لم أومر بقتلها نفسي نفسي اذهبوا إلى عيسى صلى الله عليه و سلم فيأتون عيسى فيقولون يا عيسى أنت رسول الله وكلمت الناس في المهد وكلمة منه ألقاها إلى مريم وروح منه فاشفع لنا إلى ربك ألا ترى ما نحن فيه ؟ ألا ترى ما قد بلغنا ؟ فيقول لهم عيسى صلى الله عليه و سلم إن ربي قد غضب اليوم غضبا لم يغضب قبله مثله ولن يغضب بعده مثله ولم يذكر له ذنبا نفسي نفسي اذهبوا إلى غيري اذهبوا إلى محمد صلى الله عليه و سلم فيأتوني فيقولون يا محمد أنت رسول الله وخاتم الأنبياء وغفر الله لك ما تقدم من ذنبك وما تأخر اشفع لنا إلى ربك ألا ترى ما نحن فيه ؟ ألا ترى ما قد بلغنا ؟ فأنطلق فآتي تحت العرش فأقع ساجدا لربي ثم يفتح الله علي ويلهمني من محامده وحسن الثناء عليه شيئا لم يفتحه لأحد قبلي ثم يقال يا محمد ارفع رأسك سل تعطه اشفع تشفع فأرفع رأسي فأقول يا رب أمتي أمتي فيقال يا محمد أدخل الجنة من أمتك من لا حساب عليه من الباب الأيمن من أبواب الجنة وهو شركاء الناس فيما سوى ذلك من الأبواب والذي نفس محمد بيده إن ما بين المصراعين من مصاريع الجنة لكما بين مكة وهجر أو كما بين مكة وبصرى

Artinya:

“Pada suatu hari Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم diberi daging, dengan disuguhkan kepada beliau صلى الله عليه وسلم bagian lengan kambing dan beliau صلى الله عليه وسلم menyukainya. Lalu, beliau صلى الله عليه وسلم menggigitnya dengan ujung giginya. Kemudian beliau صلى الله عليه وسلم bersabda: “Aku adalah pemimpin (tuan / sayyid) manusia pada Hari Kiamat. Apakah kamu sekalian mengerti mengapa demikian? Pada Hari Kiamat, Allooh mengumpulkan semua manusia, yang dahulu dan yang akhir di suatu tempat. Lalu mereka mendengar suara penyeru. Pandangan pun tiada terhalang, dan matahari pun dekat. Manusia mengalami kesedihan dan kesulitan yang tiada mampu mereka tanggung dan mereka pikul. Maka, sebagian diantara mereka berkata kepada sebagian yang lain, “Tidakkah kamu tahu apa yang kamu alami? Tidakkah kamu tahu apa yang menimpamu? Tidakkah kamu cari siapa yang dapat memberimu Asy Syafaa’ah kepada Robb-mu?”

Sebagian yang lain diantara mereka pun menjawab, “Datangilah Adam عليه السلام.”

Kemudian mereka pun mendatangi Adam عليه السلام, dan berkata: “Wahai Adam, engkau adalahbapak manusia, Allooh سبحانه وتعالى telah menciptakanmu dengan Tangan-Nya. Lalu Dia tiupkan kepadamu Ruh-Nya dan memerintahkan para Malaikat agar mereka bersujud (hormat) kepadamu. Maka mintalah kepada Robb-mu Asy Syafaa’ah bagi kami. Tidakkah engkau tahu apa yang sedang kami alami? Tidakkah engkau tahu apa yang menimpa kami?”.

Nabi Adam عليه السلام menjawab: “Sesungguhnya Robb-ku pada hari ini murka yang tiada pernah Dia marah sebelum dan sesudahnya seperti itu. Robb-ku pernah melarangku mendekati sebuah pohon (di surga dulu),tetapi aku berma’shiyat, melanggar larangan itu karena nafsuku. Aku (saat ini) sibuk dengan urusanku sendiri, aku sibuk dengan urusanku sendiri. Pergilah kalian kepada Nabi lain selainku. Pergilah kalian kepada Nuh عليه السلام.”

Kemudian mereka mendatangi Nabi Nuh عليه السلام, lalu berkata : “Wahai Nuh, engkau adalah rosuul pertama di bumi (– setelah banjir besar –). Allooh سبحانه وتعالى menyebutmu sebagai hamba yang sangat bersyukur. Maka mintakanlah kepada Robb-mu Asy Syafaa’ah untuk kami.Tidakkah engkau tahu apa yang sedang kami alami? Tidakkah engkau tahu apa yang telah menimpa kami?”.

Nabi Nuh عليه السلام menjawab : “Sesungguhnya Robb-ku pada hari ini murka tiada tara, yang belum pernah Dia murka seperti itu sebelum dan sesudahnya. Sungguh, dahulu aku pernah mendo’akan jelek untuk kaumku. Aku (saat ini) sibuk dengan urusanku sendiri, aku sibuk dengan urusanku sendiri. Pergilah kalian kepada Ibrohim عليه السلام.”

Kemudian manusia mendatangi Nabi Ibrohim عليه السلام, dan berkata: “Engkau adalah Nabi Allooh dan KekasihNya dari penduduk bumi.Mintakanlah Asy Syafaa’ah kepada Robb-mu untuk kami.Tidakkah engkau tahu apa yang sedang kami alami? Tidakkah engkau tahu apa yang sedang menimpa kami?”.

Kemudian Nabi Ibrohim عليه السلام-pun menjawab, “Sesungguhnya Robb-ku pada hari ini murka tiada tara, yang belum pernah Dia murka seperti itu sebelum dan sesudahnya.

Nabi Ibrohim عليه السلام menyebutkan dusta yang telah dialaminya (– ketika ia menghancurkan berhala –). Nabi Ibrohim عليه السلام berkata, “Aku (saat ini) sibuk dengan urusanku sendiri, aku sibuk dengan urusanku sendiri. Pergilah kalian kepada Nabi lain selainku. Pergilah kalian kepada Musa عليه السلام.”

Maka mereka pun mendatangi Musa عليه السلام, lalu berkata: “Wahai Musa, engkau adalah utusan Allooh سبحانه وتعالى. Allooh سبحانه وتعالى telah memberimu keutamaan dengan risalah-Nya, dan firman-Nya kepadamu melebihi manusia lain. Maka mintakanlah Asy Syafaa’ah kepada Robb-mu untuk kami. Tidakkah engkau tahu apa yang sedang kami alami? Tidakkah engkau tahu apa yang telah menimpa kami?”.

Nabi Musa عليه السلام menjawab: “Sesungguhnya Robb-ku pada hari ini murka tiada tara, yang belum pernah Dia murka seperti itu sebelum dan sesudahnya. Sesungguhnya aku pernah membunuh seseorang yang aku tidak diperintahkan untuk membunuhnya. Aku (saat ini) sibuk dengan urusanku sendiri, aku sibuk dengan urusanku sendiri. Pergilah kalian kepada Isa عليه السلام.”  

Lalu mereka mendatangi Nabi ‘Isa عليه السلام, seraya berkata: “Wahai Isa, engkau adalah utusan Allooh سبحانه وتعالى (catatan pent.: — hal ini tidak seperti anggapan orang Nashroni yang menganggap bahwa ‘Isa عليه السلام adalah Tuhan dan anak Allooh –). Engkau telah berbicara kepada manusia ketika engkau baru lahir. Engkau terwujud dengan kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam dengan tiupan roh dari-Nya. Maka, mintakanlah Asy Syafaa’ah kepada Robb-mu untuk kami. Tidakkah engkau tahu apa yang sedang kami alami? Tidakkah engkau tahu apa yang sedang menimpa kami?”.

Nabi ‘Isa عليه السلام menjawab: “Sesungguhnya Robb-ku pada hari ini murka tiada tara, yang belum pernah Dia murka seperti itu sebelum dan sesudahnya.”

Nabi ‘Isa عليه السلام tidak menyebutkan dosa yang pernah dialaminya.

Kata Nabi ‘Isa عليه السلام selanjutnya, “Aku (saat ini) sibuk dengan urusanku sendiri, aku sibuk dengan urusanku sendiri. Pergilah kalian kepada Muhammad عليه السلام.”

Kemudian mereka mendatangiku, dan berkata : “Wahai Muhammad, engkau adalah utusan Allooh سبحانه وتعالى, engkau adalah Penutup para Nabi, Allooh سبحانه وتعالى telah memberikan ampunan atas dosa yang telah engkau lakukan (seandainya ada). Maka, mintakanlah Asy Syafaa’ah kepada Robb-mu untuk kami. Tidakkah engkau tahu apa yang sedang kami alami? Tidakkah engkau tahu apa yang sedang menimpa kami?”.

Maka aku (Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم) pergi dan mendatangi Tahtal ‘Arsy (kebawah Al ‘Arsy). Lalu aku bersujud kepada Robb-ku. Kemudian Allooh سبحانه وتعالى memberiku pertolongan dan pemberitahuan yang tidak pernah Dia berikan kepada seseorang sebelum aku. Dia berfirman, “Wahai Muhammad, angkatlah kepalamu. Mintalah, maka engkau akan diberi. Mintalah Asy Syafaa’ah, maka engkau akan diizinkan untuk memberi Asy Syafaa’ah.”

Lalu aku mengangkat kepalaku, dan aku mengatakan : “Ya Allooh, tolonglah ummatku! Tolonglah ummatku!”

Aku dijawab: “Wahai Muhammad, masukkanlah ke surga ummatmu yang bebas hisab dari pintu kanan surga, dan selain mereka lewat pintu yang lain lagi.” Demi Allooh yang menguasai diri Muhammad, sesungguhnya antara dua daun pintu di surga sebanding antara Mekkah dan Hajar (– daerah Palestina – pent.), atau antara Mekkah dan Bashra (– Iraq – pent.).

Hadits yang panjang tersebut merupakan dalil bagi kita tentang apa yang disebut Asy Syafaa’atul ‘Udzma (Asy Syafaa’ah yang Agung) yang tidak dimiliki oleh seorang Nabi pun, kecuali Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم.

Dalam Hadits lain yaitu Hadits Riwayat Al Imaam Muslim no: 196, dari Shohabat Anas bin Maalik رضي الله عنه, bahwa Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda :

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « أَنَا أَوَّلُ النَّاسِ يَشْفَعُ فِى الْجَنَّةِ وَأَنَا أَكْثَرُ الأَنْبِيَاءِ تَبَعًا

Artinya:

Aku adalah manusia yang pertama kali memberi Syafa’at di dalam Surga dan aku adalah diantara Nabi-Nabi yang terbanyak pengikutnya.

Pelajaran yang dapat kita petik dari Hadits tersebut adalah bahwa Nabi Muhammadصلى الله عليه وسلم adalah manusia pertama yang diberi izin oleh Allooh سبحانه وتعالى untuk memberikan Asy Syafaa’ah (Syafa’at).

Juga sebagaimana dalam Hadits Riwayat Al Imaam Muslim no: 199, dari Shohabat Abu Hurairoh رضي الله عنه, ia berkata bahwa Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda,

لِكُلِّ نَبِىٍّ دَعْوَةٌ مُسْتَجَابَةٌ فَتَعَجَّلَ كُلُّ نَبِىٍّ دَعْوَتَهُ وَإِنِّى اخْتَبَأْتُ دَعْوَتِى شَفَاعَةً لأُمَّتِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَهِىَ نَائِلَةٌ إِنْ شَاءَ اللَّهُ مَنْ مَاتَ مِنْ أُمَّتِى لاَ يُشْرِكُ بِاللَّهِ شَيْئًا

Artinya:

Setiap Nabi mempunyai do’a yang mustajab. Maka, masing-masing Nabi segera menggunakan do’a tersebut. Namun, aku menyimpan do’a itu untuk memberi Syafaa’at kepada ummatku pada Hari Kiamat, yang Syafaa’at tersebut insya Allooh akan sampai pada ummatku yang mati tanpa menyekutukan Allooh dengan sesuatu apa pun.”

Syirik (menyekutukan Allooh سبحانه وتعالى) adalah sangat berbahaya. Bahkan bahaya daripadaSyirik itu adalah akan menghalangi seorang manusia untuk mendapatkan Syafa’at dari Rosuulullooh صلى الله عليه وسلمMaka hendaknya kaum Muslimin menjaga diri dari Syrik. Hanya sajaSyirik itu tidaklah mudah, karena Syirik itu ada dua jenis. Jenis yang pertama adalah Syirik Akbar (Syirik Besar) dan jenis yang kedua adalah Syirik Asghor (Syirik Kecil).

Syirik Akbar dapat menyebabkan seseorang keluar dari Al Islam (Murtad) dan terancam hukuman kekal di dalam neraka. Adapun Syirik Asghor (Syirik Kecil), maka jenis Syrik ini pun haruslah kita waspadai, karena ternyata ia adalah jenis Syirik yang lebih halus (lembut) dan lebih tersembunyi. Maka hendaklah kita semua berhati-hati, karena terkadang suatu amalan dianggap oleh manusia dapat menambah pahala bagi dirinya, padahal sesungguhnya dalam pandangan Allooh سبحانه وتعالى amalan tersebut adalah sia-sia, bahkan merugikan dirinya, karena adanya Riya’dan sebagainya.

Pernyataan para ‘Ulama Ahlus Sunnah tentang Asy Syafaa’ah

Menurut Al Imaam Ahmad bin Hanbal رحمه الله (beliau رحمه الله adalah murid dari Al Imaam Asy Syafi’iy رحمه الله). Beliau رحمه الله berkata bahwa Allooh سبحانه وتعالى akan mengeluarkan banyak kaum dari dalam neraka, karena Syafa’at Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.

Adapun menurut Al Imaam Aajurri رحمه الله dalam Kitabnya “Asy Syarii’ah” (beliau رحمه الله termasuk ‘Ulama Ahlus Sunnah abad ke-3, yaitu hidup di sekitar tahun 240-an Hijriyah). Beliau رحمه الله berkata dalam kitab itu bahwa merupakan kewajiban bagi kita untuk mengimani tentang adanya Asy Syafaa’ah. “Meng-imani Asy Syafaa’ah” dalam hal ini janganlah diartikan sekedar percaya, tetapi juga berarti membenarkannya dalam arti yang lebih mendalam daripada sekedar percaya. Kata beliau: “Ketahuilah oleh kalian, semoga Allooh سبحانه وتعالى menyayangi kalian, bahwa orang yang mengingkari Asy Syafaa’ah adalah meng-klaim bahwa orang yang masuk ke dalam neraka, maka mereka tidak akan keluar dari neraka tersebut. Ini adalah pemahaman Mu’tazilah, yaitu paham yang mendustakan Asy Syafaa’ah dengan berbagai dalil, yang akan saya sebutkan berikut ini : Mereka (Mu’tazilah) mengingkari berbagai pokok dan fondasi yang tertera dalam Kitabullooh dan Sunnah-Sunnah Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم,Sunnahnya para Shohabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan setia, bahkan mereka mengingkari perkataan-perkatan para Fuqoha dari kalangan kaum Muslimin. Orang Mu’tazilah menyelisihi semua ini (Ahlus Sunnah) yang diajarkan oleh Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم. Juga tidak memperhatikan Sunnahnya para Shohabat. Mereka menemui dan menghadapkan ayat tentang masalah Hadits dengan ayat-ayat yang Muhtasyabihat dalam Al Qur’an dan yang dikedepankan adalah akal (pendapat) mereka.

Kata beliau Al Imaam Aajurri رحمه الله selanjutnya : “Orang yang mengingkari adanya Asy Syafaa’ah, orang yang mengikuti adanya pendapat Mu’tazilah (Rasionalisme) adalah mereka yang bukan mengikuti jalannya kaum Muslimin,  tetapi justru mereka adalah tersesat dari jalan yang Al Haq (yang benar), mereka telah dipermainkan oleh syaithoon. Allooh سبحانه وتعالى telah memberikan kewaspadaan kepada kita dari sifat seperti itu (mengingkari adanya Asy Syafaa’ah). Demikian pula para Nabi dan juga kaum Muslimin, baik itu yang dahulu mapun zaman sekarang (– yaitu zamannya Al Imaam Aajurri رحمه الله — pen.).”

Dan zaman kita sekarang juga masih tetap, para penerus Ahlus Sunnah wal Jamaa’ah menyatakan bahwa : “Wahai kaum muslimin, berimanlah bahwa besok ada yang namanya Asy Syafaa’ah, maka bergegaslah untuk mendapatkan Asy Syafaa’ah tersebut.”

Jenis Asy Syafaa’ah (Syafa’at)

Asy Syafaa’ah ada beberapa macam, disini disebutkan ada 6 perkara :

  1. Asy Syafaa’atul ‘Udzma (Asy Syafaa’ah yang Agung), yang diberikan oleh Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم (atas izin Allooh سبحانه وتعالى) terhadap manusia yang sedang dalam keadaan Mauqiif, menghadapi Hisab (Perhitungan) Allooh سبحانه وتعالى di Padang Mahsyar, yaitu ketika Allooh سبحانه وتعالى kelak akan datang menemui kita untuk memastikan dan mem-vonis tentang kemana dan bagaimana nasib kita selanjutnya. Asy Syafaa’ah yang Agung ini hanya diberikan melalui Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم, sementara para Nabi yang lain tidak mendapat keistimewaan ini. Itulah yang kemudian disebut dengan Al Maqoomul Mahmud.
  2. Syafaa’at Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم yang diberikan kepada manusia yang antara kebajikan dan dosanya adalah seimbang. Orang yang sama besar (seimbang) antara kebajikan dan dosa-dosanya, maka oleh Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم dimintakan Asy Syafaa’ah-nya kepada Allooh سبحانه وتعالى, sehingga orang tersebut pada akhirnya dapat masuk ke dalam surga-Nya.
  3. Syafaa’at Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم yang diberikan kepada kaum yang sesungguhnya mereka itu berhak mendapatkan siksa neraka, namun karena dimintakan Asy Syafaa’ah-nya oleh Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم kepada Allooh سبحانه وتعالى, maka kaum itu pun menjadi selamat dari siksaan neraka dan masuk ke dalam surga Allooh سبحانه وتعالى. Demikian sayangnya Allooh سبحانه وتعالى kepada kita. Dan di sisi lain menunjukkan betapa tingginya kedudukan Rosuul Muhamamad صلى الله عليه وسلم dalam pandangan Allooh سبحانه وتعالى
  4. Syafaa’at Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم yang diberikan (atas izin Allooh سبحانه وتعالى)untuk mengangkat derajat Ahlul Jannah (penghuni Surga), dari suatu derajat ke derajat lain yang lebih tinggi di dalam surga.
  5. Syafaa’at Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم yang diberikan kepada suatu kaum, agar mereka masuk ke dalam surga tanpa-hisab.
  6. Syafaa’at Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم untuk meringankan adzab / siksa neraka yang Allooh سبحانه وتعالى berikan kepada mereka, seperti halnya Asy Syafaa’ahRosuululloohصلى الله عليه وسلم terhadap paman beliau yakni Abu Tholib. Sebagaimana kita pelajari dalam Siroh maka Abu Tholib adalah wafat dalam keadaan kaafir, meskipun seumur hidupnya ia mendukung, membantu serta menyokong dakwah Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, namun sayangnya hingga akhir  ajalnya ia tetap tidak mau mengucapkan: Laa ilaaha ilallooh, suatu kalimat yang sebenarnya dapat menyelamatkannya dari siksa neraka. Tetapi karena ia tetap kaafir bahkan sampai meninggalnya maka ia berhak atas adzab neraka di hari Kiamat.

Asy Syafaa’ah ini hanya terjadi pada Abu Tholib, paman Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم saja, dan tidak pernah akan terulang kepada orang lain selainnya. Allooh سبحانه وتعالى berkenan memberikan Abu Tholib keringanan adzab, yaitu siksa neraka yang paling ringan.

Itulah Syafa’at-Syafa’at yang bisa kita dengar, seperti dikatakan oleh Ibnu Abdil ‘Iz Al Hanafyرحمه الله dalam menjelaskan Kitab Syarah “Al ‘Aqiidah Ath Thohaawiyyah”. Namun perlu kita ketahui agar kita tidak bersikap tenang-tenang saja karena merasa akan mendapatkan Syafa’at, adalah bahwa untuk mendapatkan Syafa’at ternyata tidaklah dengan mudah begitu saja, tetapi ada syaratnya. Syaratnya adalah Idzin dan Ridho dari Allooh سبحانه وتعالىTernyata tidak ada yang bisa memberikan Syafa’at di sisi Allooh سبحانه وتعالى (sebagaimana telah disebutkan dalam Ayat Kursi diatas), kecuali itu adalah atas idzin Allooh سبحانه وتعالى sebagaimana firman-Nya: “Tiada yang dapat memberi syafa`at di sisi Allooh tanpa izin-Nya.

Idzin Allooh سبحانه وتعالى itulah yang harus “kita cari”. Bagaimana caranya agar Idzin Allooh سبحانه وتعالى turun kepada kita untuk mendapatkan Syafa’at dari Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم, maka itulah yang harus kita pelajari dan kita lakukan introspeksi diri terlebih dahulu adakah diri kita ini telah tergolong orang-orang yang berhak mendapatkannya ataukah tidak.

Ridho Allooh سبحانه وتعالى juga adalah sesuatu yang harus kita upayakan. Allooh سبحانه وتعالى lah yang akan me-ridhoi adakah seseorang itu boleh diberi Syafa’at oleh Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم ataukah tidak. Jadi dalam memberikan Syafa’at, Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم hanyalah berperan untuk menyampaikan Syafa’at saja. Syafa’at tersebut bukanlah benar-benar berasal dari Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, dimana beliau صلى الله عليه وسلم lantas boleh memberikan Syafa’at sesuai keinginannya sendiri. Hal itu adalah tidak demikian. Melainkan, beliau صلى الله عليه وسلم adalah dapat memberikan Syafa’at apabila telah memperoleh idzin dari Allooh سبحانه وتعالى terhadap orang-orang yang Allooh سبحانه وتعالى ridhoi. Jadi Ridho Allooh سبحانه وتعالى -lah yang menjadi kunci terjadinyaAsy Syafa’ah.

Kunci agar Asy Syafaa’ah (Syafa’atbisa kita raih

Dari kajian kita diatas, maka kita mengetahui bahwa yang bisa memberikan Syafa’at adalah banyak, tetapi hal itu pun terpulang kepada diri kita masing-masing. Kalau kita tergolong orang-orang yang beriman dan beramal shoolih, serta tergolong orang yang taat kepada Allooh سبحانه وتعالى, maka mudah-mudahan kita berhak untuk mendapatkan Asy Syafaa’ah (Syafa’at).

Berikut ini adalah beberapa kiat untuk mendapatkan Asy Syafaa’ah (Syafa’at):

  1. Kalau kita ingin tergolong orang yang bukan saja mendapatkan Syafa’at tetapi juga bisa memberikan Syafa’at kepada orang lain, maka diantara kiatnya adalah kita harus mau ber-jihad fii sabiilillah, berperang untuk meninggikan Laa ilaaha Ilallooh, mengorbankan darah dan nyawa dalam rangka men-dzohir-kan Syari’at Muhammad Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, memerangi orang-orang yang memerangi Allooh سبحانه وتعالى, lalu siap mati di medan-laga dengan kematian yang syahid. Orang yang demikian itu akan bisa memberikan Syafa’at kepada orang lain. Menurut Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم di antara enam kelebihan bagi orang yang mati syahid adalah : Orang itu akan diberikan keleluasaan dan keutamaan oleh Allooh سبحانه وتعالى untuk memberikan Syafa’at kepada 70 (tujuh puluh) orang dari anggota keluarganya.
  2. Do’a setelah Wudhu, dan do’a setelah mendengarkan Adzan, merupakan wasilah bagi diri kita agar bisa mendapatkan Syafa’at dari Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.
  3. Membaca Al Qur’an merupakan penyebab agar kita mendapatkan Syafa’at.
  4. Dengan ke-Iman-an yang kokoh juga bisa pula berpeluang memberikan Syafa’at kepada orang lain.

Semuanya itu hanya bisa terjadi, terpulang kepada diri kita masing-masing. Hendaknya kaum Muslimin harus beriman, beramal-shoolih, berjihad fii sabiillah, maka insya Allooh akan bisa mendapatkan bahkan bisa memberikan Syafa’at kepada orang lain atas idzin Allooh سبحانه وتعالى.

TANYA JAWAB

Pertanyaan:

Diatas dijelaskan bahwa ada Hadits yang shohiih, yang menyatakan bahwa merugilah seseorang yang mendzolimi orang lain, sampai-sampai ia bisa menjadi bangkrut, bukan hanya merugi di Hari Kiamat. Dari mulai yang tadinya ia memiliki banyak pahala namun pahala itu menjadi habis karena ia banyak pula mendzolimi orang lain.

Pertanyaan saya adalah :

  1. Bagaimana bila orang lain yang didzolimi itu adalah orang kaafir? Bukankah dalam ayat Al Qur’an disebutkan bahwa orang itu tidak akan dibebani dosa orang lain?
  2. Berapa lama (berapa tahun) antara waktu : Dibangkitkan – Hisab – Mizan – Syafa’at?

Jawaban:

1. Bagimana bila yang didzolimi adalah orang Kafir? Bahwa orang kafir termasuk tidak akan dan tidak berhak untuk mendapatkan Asy Syafaa’ah (Syafa’at). Bahkan kalaupun orang kaafir itu berbuat baik dalam pandangan manusia, maka amalnya itu tetap ditolak oleh Allooh سبحانه وتعالى, sebagaimana yang difirmankan-Nya dalam Al Qur’an bahwa barangsiapa yang mencari dien (agama) selain Islam, lalu ia beramal, maka amalannya tersebut tidaklah akan diterima oleh Allooh سبحانه وتعالى.

Perhatikan firman Allooh سبحانه وتعالى dalam QS. Aali ‘Imroon (3) ayat 85:

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

Artinya:

Barangsiapa mencari pedoman hidup selain Islam, maka dia akan ditolak, dan di akhirat dia akan tergolong orang-orang yang dzolim.”

Jadi amal orang kaafir tidak akan diterima oleh Allooh سبحانه وتعالى, disebabkan karena keyakinan mereka yang keliru.

Bahkan di akhirat ia termasuk orang yang merugi. Itu sudah ketentuan Allooh سبحانه وتعالى, tidak bisa diubah oleh siapapun. Oleh karena itu orang kafir (Yahudi, Nashroni, dan kaum Musyrikin lainnya) justru dijanjikan oleh Allooh سبحانه وتعالى dengan Jahannam, tidak akan bisa mendapat kebaikan dari yang lain, tidak akan pula mendapatkan kebaikan dari kaum Muslimin.

2. Berapa lamanya manusia dari sejak dibangkitkan – Hisab – Mizan – Syafaat, maka tidak ada keterangan dalil tentang hal tersebut. Semua itu alamnya sudah berbeda dengan alam dunia, dan disebut alam Akhirat; dimana tidak ada alam lain sesudahnya. Dan itu semua tidaklah bisa dibahas dengan akal manusia, tetapi haruslah berdasarkan Wahyu (Al Qur’an dan As Sunnah). Apabila tidak ada dalil tentang hal itu, maka kita hanyalah bisa mengatakan Walloohu a’lam bishshowaab.

Pertanyaan :

  1. Bila seseorang didzolimi temannya, lalu ia memaafkan. Apakah orang yang  mendzolimi itu kelak di Akhirat akan tetap di-qishosh, walaupun ia sudah dimaafkan?
  2. Ada Hadits yang mengatakan bahwa Abu Jahal, paman Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم, kelak akan diringankan siksanya di akhirat karena ketika Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم lahir maka Abu Jahal merasa bahagia di kala itu. Bagaimanakah kedudukan Hadits tersebut, shohiih-kah atau dho’iif ?

Jawaban:

1. Bila seseorang didzolimi temannya dan ia sudah memaafkan, maka tidak akan terjadi qishosh.  Hanya masalahnya ia yang mendzolimi itu bertaubat kepada Allooh سبحانه وتعالى ataukah tidak. Karena berbuat dzolim itu dimaafkan atau tidak, maka yang mendzolimi tetap berdosa. Dalam Hadits Riwayat Imaam Muslim no: 2578, dari Shohabat Jaabir bin ‘Abdillah رضي الله عنه, bahwa Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda:

اتَّقُوا الظُّلْمَ فَإِنَّ الظُّلْمَ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Artinya:

Hindarilah oleh kalian kedzoliman, sebab kedzoliman itu penyebab kegelapan pada hari kiamat.”

Artinya perbuatan dzolim itu akan menyempitkan dan merugikaan dirinya sendiri, terlepas dari orang lain dirugikan ataukah tidak. Kalau ada orang lain yang dirugikan. maka orang yang berbuat dzolim itu dobel dosanya. Kalau yang didzolimi sudah memaafkan, maka orang yang memaafkannya akan mendapat pahala, sedang pihak yang mendzolimi tinggal satu masalah, sudah bertaubatkah ia kepada Allooh سبحانه وتعالى ataukah belumKarena berbuat dzolim adalah perbuatan ma’shiyat, perbuatan dosa. Maka janganlah berbuat dzolim

2. Hadits tentang Abu Jahal akan mendapatkan keringanan di akhirat, maka itu tidak bisa dipercaya, tidak shohiih.

Bahkan bila dipikirkan secara akal saja, ketika Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم dilahirkan, maka tidak  seorangpun  yang tahu akan menjadi apa bayi yang baru lahir itu, tidak seorang pun tahu bahwa ia kelak akan menjadi Rosuul. Tetapi yang jelas, ketika Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم sudah menjadi Rosuul, maka Abu Jahal mencaci-maki beliau صلى الله عليه وسلم: “Celakalah kamu hai Muhammad…” dan seterusnya, sehingga turunlah Surat Al Lahab. Oleh karena itu maka Hadits tersebut tidak perlu dipercaya.

Pertanyaan:

Bila seseorang berbuat dzolim kepada orang lain, dan ia tidak sempat meminta maaf hingga orang yang didzoliminya meninggal dunia, maka bagaimana caranya orang yang mendzolimi itu meminta maaf kepada orang yang didzolimi (padahal ia sudah meninggal)? Bisakah ia dimaafkan?

Jawaban:

Bila seseorang yang didzolimi sudah meninggal terlebih dahulu, sehingga orang yang mendzoliminya tidak sempat meminta maaf, maka yang demikian itu menjadi pelajaran bagi kita semua. Artinya janganlah menunda-nunda meminta maaf dan jangan pula menyepelekan suatu dosa. Jangan sampai orang belum sempat memperbaiki kesalahannya, maka orang yang didzoliminya sudah meninggal. Tetapi ada suatu cara untuk memperbaiki diri, yakni :

Pertama, kalau kedzolimannya berupa materi (harta, uang), maka harus dikembalikan kepada ahli waris orang yang didzolimi itu, dan meminta maaf kepada ahli warisnya.

Kedua, orang yang mendzolimi itu harus memintakan ampun kepada Allooh سبحانه وتعالى atas dosa-dosa orang yang didzolimi, sampai ia merasa sudah bisa membayar kepada orang yang didzolimi itu.

Pertanyaan:

Bagimanakah dengan Muslim yang setiap harinya melakukan Bid’ah sampai akhir hayatnya,  apakah termasuk yang mendapat Syafa’at dari Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم kelak di Akhirat ?

Jawaban:

Bila seseorang selama hidupnya mendarah daging melakukan Bid’ah, maka harus dilihat duluBid’ah-nya itu apa

Karena Bid’ah itu ada dua macam : Bid’atun Mukaffiroh (Bid’ah yang menjadikan seseorang menjadi kaafir, murtad), dan Bid’atun Mufassiqoh (Bid’ah yang menjadikan orang masuk dalam kategori Fasiq).

Bid’ah yang menyebabkan kaafir, misalnya adalah Bid’ah-nya orang-orang Syi’ah, dimana mereka mengatakan bahwa para Shohabat Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم adalah Kaafir. Bid’ah yang seperti itulah Bid’ah Mukaffiroh, karena bahkan didalam Al Qur’an jelas-jelas Allooh سبحانه وتعالى telah meridhoi para Shohabat Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.

Perhatikanlah firman Allooh سبحانه وتعالى dalam QS. At Taubah (9) ayat 100:

وَالسَّابِقُونَ الأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالأَنصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُم بِإِحْسَانٍ رَّضِيَ اللّهُ عَنْهُمْ وَرَضُواْ عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَداً ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

Artinya:

Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allooh ridho kepada mereka dan merekapun ridho kepada Allooh dan Allooh menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.”

Dengan demikian, apabila Syi’ah mengkafirkan para Shohabat Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم berarti mereka itu tidak percaya kepada Al Qur’an dan Hadits. Bahkan mereka (Syi’ah) mengatakan bahwa Al Qur’an yang ada sekarang ini hanya sepertiga saja. Berarti mereka menyatakan bahwa Al Qur’an itu masih kurang, padahal Allooh سبحانه وتعالى jelas-jelas sudah menyatakan bahwa Islam sudah sempurna, yang berarti bahwa Al Qur’an itu juga sudah sempurna.

Hal ini adalah sebagaimana firman Allooh سبحانه وتعالى dalam QS. Al Maa’idah (5) ayat 3 berikut ini :

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِينًا

Artinya:

Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu dien-mu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhoi Islam itu jadi dien bagimu.”

Tetapi kaum Syi’ah membantahnya, mereka mengatakan kurang. Dengan demikian, berarti mereka telah kaafir terhadap ayat Allooh سبحانه وتعالى. Itulah Bid’atun Mukaffiroh. Orang yang seperti itu tentunya akan masuk neraka dan kekal di dalamnya. Na’uudzu billaahi min dzaalik.

Tetapi bila seseorang melakukan Bid’atun Mufassiqoh, yakni berbuat Bid’ah karena fasiq saja, maka seperti dinyatakan dalam Hadits tersebut diatas, meskipun  ia masuk neraka terlebih dahulu, namun karena di dalam hatinya ada iman maka suatu ketika ia akan mendapatkan Syafa’at dan diangkat dari neraka serta dimasukkan dalam Sungai Kehidupan, yang pada akhirnya insya Allooh akan dimasukkan ke dalam Jannah (Surga).

Namun demikian kita tetap harus merasa (terutama kepada saudara kita yang masih suka melakukan ke-Bid’ah-an), meskipun ia melakukan ke-Bid’ah-an maka hukum asal sikap kita kepada mereka adalah harus Rohmah, harus sayang kepada mereka. Dalam arti janganlah putus asa dan jangan pula merasa bosan untuk menyadarkannya, mengajaknya kepada kebenaran, mendakwahinya, sehingga ia lurus diatas jalan Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم dan selamat bisa masuk surga.

Alhamdulillah, kiranya cukup sekian dulu bahasan kita kali ini, mudah-mudahan bermanfaat. Kita akhiri dengan Do’a Kafaratul Majlis :

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ

والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Senin malam, 4  Rabbi’ul Akhir 1430 H – 30 Maret 2009 M.

 

Artikel : http://ustadzrofii.wordpress.com

Tinggalkan komentar