Di dalam kitabnya “Al Jawabul Kaafi Liman Sa’ala ‘an Ad Dawaa’ Asy Syafi “Imam Ibnu Qoyyim Al Jauziyah mengungkapkan tentang : Bahaya Zina
Melihat bahwa bahaya yang ditimbulkan oleh zina merupakan bahaya yang tergolong besar, disamping juga bertentangan dengan aturan
universal yang diberlakukan untuk menjaga kejelasan nasab ( keturunan ), menjaga kesucian dan kehormatan diri, juga mewaspadai hal hal
yang menimbulkan permusuhan serta perasaan benci diantara manusia, disebabkan pengrusakan terhadap kehormatan istri, putri, saudara
perempuan dan ibu mereka, yang ini semua jelas akan merusak tatanan kehidupan.
Melihat hal itu semua, pantaslah bahaya zina itu – bobotnya – setingkat dibawah pembunuhan. Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala
menggandeng keduanya di dalam Al Qur’an, juga Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam dalam keterangan hadits beliau. Al Imam Ahmad berkata : “Aku tidak mengetahui sebuah dosa – setelah dosa membunuh jiwa – yang lebih besar dari dosa zina.”
Dan Allah menegaskan pengharamannya dalam
firmanNya :
“Dan orang orang yang tidak menyembah Tuhan
lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang
diharamkan Allah (membunuhnya ) kecuali
dengan ( alasan ) yang benar, dan tidak berzina.
Barang siapa yang melakukan demikian itu,
niscaya dia mendapat ( pembalasan ) dosa(nya),
(yakni) akan dilipat gandakan adzab untuknya
pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab
itu, dalam kaedaan terhina kecuali orang orang
yang bertaubat ” ( QS. Al Furqon, 68 –70 ).
Dalam ayat tersebut, Allah Subhanahu wa Ta’ala
menggandengkan zina dengan syirik dan
membunuh jiwa, dan vonis hukumannya adalah
kekal dalam azab yang berat yang dilipat
gandakan, selama pelakunya tidak menetralisir hal
tersebut dengan cara bertaubat, beriman dan
beramal shaleh.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“Dan janganlah kamu mendekati zina,
sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan
yang keji ( fahisyah ) dan suatu jalan yang
buruk.” ( QS. Al Isra’, 32 ).
Di sini Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan
tentang kejinya zina, karena kata “fahisyah”
maknanya adalah perbuatan keji atau kotor yang
sudah mencapai tingkat yang tinggi dan diakui
kekejiannya oleh setiap orang yang berakal,
bahkan oleh sebagian banyak binatang.
sebagaimana disebutkan oleh Imam Bukhori
dalam kitab shohehnya, dari Ami bin Maimun Al
Audi, ia berkata : “Aku pernah melihat – pada
masa jahiliyah – seekor kera jantan yang berzina
dengan seekor kera betina, lalu datanglah
kawanan kera mengerumuni mereka berdua dan
melempari keduanya sampai mati.”
Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala juga
memberitahukan bahwa zina adalah seburuk
buruk jalan, karena merupakan jalan kebinasaan,
kehancuran dan kehinaan di dunia, siksaan dan
azab di akhirat.
Dan karena menikahi mantan istri istri ayah itu
termasuk perbuatan yang sangat jelak sekali,
sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala secara husus
memberikan “cela” tambahan bagi orang yang
melakukannya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman ( setelah
secara tegas melarang kaum muslimin untuk
menikahi istri istri ayah mereka, pent.) :
“Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan
dibenci Allah dan seburuk buruk jalan ( yang
ditempuh ).” ( QS. An Nisa’, 22 ).
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga menggantungkan
keberuntungan seorang hamba pada
kemampuannya dalam menjaga kehormatannya,
tidak ada jalan menuju keberuntungan tanpa
menjaga kehormatan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“Sesungguhnya beruntunglah orang orang yang
beriman, ( yaitu ) orang orang yang khusyu’
dalam shalatnya, dan orang orang yang
menjauhkan diri dari ( perbuatan dan perkataan )
yang tiada berguna, dan orang orang yang
menunaikan zakat, dan orang orang yang
menjaga kemaluannya kecuali terhadap istri istri
mereka, atau budak budak yang mereka miliki,
maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada
tercela. Barang siapa yang mencari yang dibalik
itu, maka mereka itulah orang orang yang
melampaui batas.” ( QS. Al Mu’minun, 1 – 7 ).
Dalam ayat ayat ini ada tiga hal yang
diungkapkan:
Pertama : bahwa orang yang tidak menjaga
kemaluannya, tidak termasuk orang yang
beruntung.
Kedua : dia termasuk orang yang tercela.
Ketiga : dia termasuk orang yang melampaui
batas.
Jadi, dia tidak akan mendapat keberuntungan,
serta berhak mendapat predikat “melampaui
batas”, dan jatuh pada tindakan yang
membuatnya tercela. Padahal beratnya beban
dalam menahan syahwat itu, lebih ringan
ketimbang menanggung sebagian akibat yang
disebutkan tadi.
Selain itu pula, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah
menyindir manusia yang selalu berkeluh kesah,
tidak sabar dan tidak mampu mengendalikan diri
saat mendapatkan kebahagiaan, demikian pula
kesusahan. Bila mendapat kebahagiaan dia
menjadi kikir, tak mau memberi, dan bila
mendapat kesusahan, dia banyak mengeluh.
Begitulah sifat umum manusia, kecuali orang
orang yang memang dikecualikan dari hamba
hambaNya, yang diantaranya adalah mereka yang
disebut di dalam firmanNya :
“Dan orang orang yang memelihara kemaluannya,
kecuali terhadap istri istri mereka atau budak
budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya
mereka dalam hal ini tiada tercela. Barang siapa
yang mencari dibalik itu maka mereka itulah orang
orang yang melampaui batas.” ( QS. Al Ma’arij, 29
– 31 ).
Oleh karenanya, Allah Subhanahu wa Ta’ala
memerintahkan Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa
Sallam untuk memerintahkan orang orang mu’min
agar menjaga pandangan dan kemaluan mereka,
juga diberitahukan kepada mereka bahwa Allah
Subhanahu wa Ta’ala selalu menyaksikan amal
perbuatan mereka.
“Dia mengetahui ( pandangan ) mata yang khianat
dan apa yang disembunyikan oleh hati.” ( QS.
Ghafir, 19 ).
Dan karena ujung pangkal perbuatan zina yang
keji ini dari pandangan mata, maka Allah
Subhanahu wa Ta’ala lebih mendahulukan
perintah untuk memalingkan pandangan mata
sebelum perintah untuk menjaga kemaluan,
karena banyak musibah besar yang asal
muasalnya adalah dari pandangan ; seperti
kobaran api yang besar asalnya adalah percikan
api yang kecil. Mulanya hanya pandangan,
kemudian hayalan, kemudian langkah nyata,
kemudian terjadilah musibah yang merupakan
kejahatan besar ( zina ).
Oleh karena itu, ada yang mengatakan bahwa
barang siapa yang bisa menjaga empat hal, maka
berarti dia telah menyelamatkan agamanya: Al
Lahazhat ( pandangan pertama ), Al Khatharat (
pikiran yang terlintas di benak ), Al Lafazhat (
ungkapan yang diucapkan ), Al Khuthuwat (
langkah nyata untuk sebuah perbuatan ).
Dan seyogyanya, seorang hamba Allah itu
bersedia untuk menjaga dirinya dari empat hal di
atas dengan ketat, sebab dari situlah musuh akan
datang menyerangnya, merasuk kedalam dirinya
dan merusak segalanya.__
Sumber : Jangan Dekati Zina karya Al Imam Ibnul Qoyyim Al Jauziyah, penerjemah tim Darul HaqJakarta