Bab I : Pendahuluan (Bahaya Zina)

Di dalam kitabnya “Al Jawabul Kaafi Liman Sa’ala ‘an Ad Dawaa’ Asy Syafi “Imam Ibnu Qoyyim Al Jauziyah mengungkapkan tentang : Bahaya Zina

 

Melihat bahwa bahaya yang ditimbulkan oleh zina merupakan bahaya yang tergolong besar, disamping juga bertentangan dengan aturan

universal yang diberlakukan untuk menjaga kejelasan nasab ( keturunan ), menjaga kesucian dan kehormatan diri, juga mewaspadai hal hal

yang menimbulkan permusuhan serta perasaan benci diantara manusia, disebabkan pengrusakan terhadap kehormatan istri, putri, saudara

perempuan dan ibu mereka, yang ini semua jelas akan merusak tatanan kehidupan.

Melihat hal itu semua, pantaslah bahaya zina itu – bobotnya – setingkat dibawah pembunuhan. Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala

menggandeng keduanya di dalam Al Qur’an, juga Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam dalam keterangan hadits beliau. Al Imam Ahmad berkata : “Aku tidak mengetahui sebuah dosa – setelah dosa membunuh jiwa – yang lebih besar dari dosa zina.”

Dan Allah menegaskan pengharamannya dalam

firmanNya :

“Dan orang orang yang tidak menyembah Tuhan

lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang

diharamkan Allah (membunuhnya ) kecuali

dengan ( alasan ) yang benar, dan tidak berzina.

Barang siapa yang melakukan demikian itu,

niscaya dia mendapat ( pembalasan ) dosa(nya),

(yakni) akan dilipat gandakan adzab untuknya

pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab

itu, dalam kaedaan terhina kecuali orang orang

yang bertaubat ” ( QS. Al Furqon, 68 –70 ).

Dalam ayat tersebut, Allah Subhanahu wa Ta’ala

menggandengkan zina dengan syirik dan

membunuh jiwa, dan vonis hukumannya adalah

kekal dalam azab yang berat yang dilipat

gandakan, selama pelakunya tidak menetralisir hal

tersebut dengan cara bertaubat, beriman dan

beramal shaleh.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

“Dan janganlah kamu mendekati zina,

sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan

yang keji ( fahisyah ) dan suatu jalan yang

buruk.” ( QS. Al Isra’, 32 ).

Di sini Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan

tentang kejinya zina, karena kata “fahisyah”

maknanya adalah perbuatan keji atau kotor yang

sudah mencapai tingkat yang tinggi dan diakui

kekejiannya oleh setiap orang yang berakal,

bahkan oleh sebagian banyak binatang.

sebagaimana disebutkan oleh Imam Bukhori

dalam kitab shohehnya, dari Ami bin Maimun Al

Audi, ia berkata : “Aku pernah melihat – pada

masa jahiliyah – seekor kera jantan yang berzina

dengan seekor kera betina, lalu datanglah

kawanan kera mengerumuni mereka berdua dan

melempari keduanya sampai mati.”

Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala juga

memberitahukan bahwa zina adalah seburuk

buruk jalan, karena merupakan jalan kebinasaan,

kehancuran dan kehinaan di dunia, siksaan dan

azab di akhirat.

Dan karena menikahi mantan istri istri ayah itu

termasuk perbuatan yang sangat jelak sekali,

sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala secara husus

memberikan “cela” tambahan bagi orang yang

melakukannya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman ( setelah

secara tegas melarang kaum muslimin untuk

menikahi istri istri ayah mereka, pent.) :

“Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan

dibenci Allah dan seburuk buruk jalan ( yang

ditempuh ).” ( QS. An Nisa’, 22 ).

Allah Subhanahu wa Ta’ala juga menggantungkan

keberuntungan seorang hamba pada

kemampuannya dalam menjaga kehormatannya,

tidak ada jalan menuju keberuntungan tanpa

menjaga kehormatan.

 

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

“Sesungguhnya beruntunglah orang orang yang

beriman, ( yaitu ) orang orang yang khusyu’

dalam shalatnya, dan orang orang yang

menjauhkan diri dari ( perbuatan dan perkataan )

yang tiada berguna, dan orang orang yang

menunaikan zakat, dan orang orang yang

menjaga kemaluannya kecuali terhadap istri istri

mereka, atau budak budak yang mereka miliki,

maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada

tercela. Barang siapa yang mencari yang dibalik

itu, maka mereka itulah orang orang yang

melampaui batas.” ( QS. Al Mu’minun, 1 – 7 ).

Dalam ayat ayat ini ada tiga hal yang

diungkapkan:

Pertama : bahwa orang yang tidak menjaga

kemaluannya, tidak termasuk orang yang

beruntung.

Kedua : dia termasuk orang yang tercela.

Ketiga : dia termasuk orang yang melampaui

batas.

Jadi, dia tidak akan mendapat keberuntungan,

serta berhak mendapat predikat “melampaui

batas”, dan jatuh pada tindakan yang

membuatnya tercela. Padahal beratnya beban

dalam menahan syahwat itu, lebih ringan

ketimbang menanggung sebagian akibat yang

disebutkan tadi.

Selain itu pula, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah

menyindir manusia yang selalu berkeluh kesah,

tidak sabar dan tidak mampu mengendalikan diri

saat mendapatkan kebahagiaan, demikian pula

kesusahan. Bila mendapat kebahagiaan dia

menjadi kikir, tak mau memberi, dan bila

mendapat kesusahan, dia banyak mengeluh.

Begitulah sifat umum manusia, kecuali orang

orang yang memang dikecualikan dari hamba

hambaNya, yang diantaranya adalah mereka yang

disebut di dalam firmanNya :

“Dan orang orang yang memelihara kemaluannya,

kecuali terhadap istri istri mereka atau budak

budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya

mereka dalam hal ini tiada tercela. Barang siapa

yang mencari dibalik itu maka mereka itulah orang

orang yang melampaui batas.” ( QS. Al Ma’arij, 29

– 31 ).

Oleh karenanya, Allah Subhanahu wa Ta’ala

memerintahkan Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa

Sallam untuk memerintahkan orang orang mu’min

agar menjaga pandangan dan kemaluan mereka,

juga diberitahukan kepada mereka bahwa Allah

Subhanahu wa Ta’ala selalu menyaksikan amal

perbuatan mereka.

Dia mengetahui ( pandangan ) mata yang khianat

dan apa yang disembunyikan oleh hati.” ( QS.

Ghafir, 19 ).

 

Dan karena ujung pangkal perbuatan zina yang

keji ini dari pandangan mata, maka Allah

Subhanahu wa Ta’ala lebih mendahulukan

perintah untuk memalingkan pandangan mata

sebelum perintah untuk menjaga kemaluan,

karena banyak musibah besar yang asal

muasalnya adalah dari pandangan ; seperti

kobaran api yang besar asalnya adalah percikan

api yang kecil. Mulanya hanya pandangan,

kemudian hayalan, kemudian langkah nyata,

kemudian terjadilah musibah yang merupakan

kejahatan besar ( zina ).

 

Oleh karena itu, ada yang mengatakan bahwa

barang siapa yang bisa menjaga empat hal, maka

berarti dia telah menyelamatkan agamanya: Al

Lahazhat ( pandangan pertama ), Al Khatharat (

pikiran yang terlintas di benak ), Al Lafazhat (

ungkapan yang diucapkan ), Al Khuthuwat (

langkah nyata untuk sebuah perbuatan ).

Dan seyogyanya, seorang hamba Allah itu

bersedia untuk menjaga dirinya dari empat hal di

atas dengan ketat, sebab dari situlah musuh akan

datang menyerangnya, merasuk kedalam dirinya

dan merusak segalanya.__

 

Sumber : Jangan Dekati Zina karya Al Imam Ibnul Qoyyim Al Jauziyah, penerjemah tim Darul HaqJakarta

 

Tinggalkan komentar