Dimana Allah ?

Perjuangan gigih para ulama’ salaf dalam membela aqidah dari qoncangan faham-faham hitam Jahmiyyah sangatlah kuat, sehingga begitu banyak kitab para ulama yang berjudul“Ar-Radd ‘ala Jahmiyyah” (Bantahan Terhadap Jahmiyyah) seperti yang ditulis oleh Imam Ahmad bin HanbalUtsman bin Sa’id Ad-DarimiIbnu MandahIbnu Baththah dan lain sebagainya.

Sungguh benar Imam Ibnu Qayyim rahimahullah yang telah berkata:

“Pertempuran antara ahli hadits dengan kelompok Jahmiyyah lebih dahsyat daripada pertempuran antara pasukan kafir dengan pasukan Islam”.[1]

Munculnya ide pembahasan ini karena merebaknya para pengibar bendera Jahmiyyah di negeri ini. Sebagai contoh, Dr. M. Quraish Shihab yang mengatakan dalam bukunya“Membumikan Al-Qur’an” hal. 371-372 cet. Al-Mizan[2], Bandung pada judul “Selamat Natal[3] Menurut Al-Qur’an!!!”:

“Nabi SAW[4] sering menguji pemahaman umat tentang Tuhan. Beliau tidak sekalipun bertanya “Di mana Tuhan?”. Tertolak riwayat yang menggunakan redaksi itu karena ia menimbulkan kesan keberadaan tuhan pada satu tempat, hal yang mustahil bagi-Nya dan mustahil pula diucapkan oleh Nabi SAW…”.

Pada pembahasan kali ini, sebagai pembelaan terhadap hadits Nabi صلى الله عليه و سلم dan penjagaan umat dari goncangan kerancuan aqidah, penulis melakukan penelitian terhadap salah satu hadits tentang masalah penting ini secara riwayah dan dirayah. Semoga Allah menjadikannya bermanfaat bagi kita semua. Amin.

A. TEKS HADITS

عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ الْحَكَمِ السُّلَمِيِّ رضي الله عنه قَالَ: …وَكَانَتْ لِيْ جَارِيَةٌ تَرْعَى غَنَمًا لِيْ قِبَلَ أُحُدٍ وَالْجَوَّانِيَةِ فَاطَّلَعْتُ ذَاتَ يَوْمٍ, فَإِذَا بِالذِّئْبِ قَدْ ذَهَبَ بِشَاةٍ مِنْ غَنَمِهَا, وَأَنَا رَجُلٌ مِنْ بَنِيْ آدَمَ, آسَفُ كَمَا يَأْسَفُوْنَ, لَكِنِّيْ صَكَكْتُهَا صَكَّةً, فَأَتَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم عليه و سلم فَعَظَّمَ ذَلِكَ عَلَيَّ, قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ, أَفَلاَ أُعْتِقُهَا؟ قَالَ: ائْتِنِيْ بِهَا, فَقَالَ لَهَا: أَيْنَ اللهُ؟ قَالَتْ: فِيْ السَّمَاءِ, قَالَ: مَنْ أَنَا؟ قَالَتْ: أَنْتَ رَسُوْلُ اللهِ, قَالَ: فَأَعْتِقْهَا فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ.

Dari Muawiyah bin Hakam As-Sulami -radhiyallahu ‘anhu- berkata: “…Saya memiliki seorang budak wanita yang bekerja sebagai pengembala kambing di gunung Uhud dan Al-Jawwaniyyah (tempat dekat gunung Uhud). Suatu saat saya pernah memergoki seekor serigala telah memakan seekor dombanya. Saya termasuk dari bani Adam, saya juga marah sebagaimana mereka juga marah, sehingga saya menamparnya, kemudian saya datang pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ternyata beliau menganggap besar masalah itu. Saya berkata: “Wahai Rasulullah, apakah saya merdekakan budak itu?” Jawab beliau: “Bawalah budak itu padaku”. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya: “Dimana Allah?” Jawab budak tersebut: “Di atas langit”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallambertanya lagi: “Siapa saya?”. Jawab budak tersebut: “Engkau adalah Rasulullah”. Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Merdekakanlah budak ini karena dia seorang wanita mukminah”.

a. Takhrij Hadits

Seluruh jalan hadits ini melewati dua jalur berikut:

  1. Jalur Imam Malik bin Anas – Hilal bin Ali bin Abu Maimunah – Atha’ bin Yasar – Muawiyah bin Hakam As-Sulami.
  2. Jalur Yahya bin Abi Katsir – Hilal bin Ali bin Abi Maimunah – Atha’ bin Yasar – Muawiyah bin Hakam As-Sulami.

Adapun perinciaan takhrij hadits ini sebagai berikut:

1. Jalur Imam Malik

Hal ini sebagaimana riwayat beliau sendiri dalam  Al-Muwatha (2/772/no.8), Imam Syafi’i dalam Ar-Risalah (no. 242 -Tahqiq Syaikh Ahmad Syakir-), Nasa’i dalam Sunan Kubrasebagaimana dalam Tuhfatul Asyraf (8/427) oleh Al-Mizzi, Utsman bin Said Ad-Darimi dalamAr-Radd ‘ala Jahmiyyah (no. 62), Ibnu Huzaimah dalam Kitab Tauhid (hal. 132 -Tahqiq Syaikh Khalil Haras-), Al-Baihaqi dalam Sunan Kubra (10/98/no. 19984), Al-Baghawi dalamSyarh Sunnah (9/246/no. 2365), Ibnu Abdil Barr dalam At-Tamhid (9/69-70) dan Al-Ashbahani dalam Al-Hujjah fi Bayanil Mahajjah (2/102/no. 57).

(Faedah)

Dalam sanad imam Malik tertulis “Umar bin Hakam” sebagai ganti dari “Mu’awiyah bin Hakam”. Para ulama’ menilai bahwa hal ini merupakan kesalahan imam Malik. Imam pembela sunnah, As-Syafi’i berkata -setelah meriwayatkan hadits ini dari imam Malik- : “Yang benar adalah Mua’wiyah bin Hakam sebagaimana diriwayatkan selain Malik dan saya menduga bahwa Malik tidak hafal namanya”.[5]

Imam Ibnu Abdil Barr berkata: “Demikianlah perkataan Malik dalam hadits ini dari Hilal dari Atha’ dari  Umar bin Hakam. Para perawi darinya (Malik) tidak berselisih dalam hal itu. Tetapi hal ini termasuk kesalahan beliau (Malik) menurut seluruh ahli hadits karena tidak ada sahabat yang bernama Umar bin Hakam, yang ada adalah Mu’awiyah (bin Hakam). Demikianlah riwayat seluruh orang yang meriwayatkan hadits ini dari Hilal. Mua’wiyah bin Hakam termasuk dari kalangan sahabat yang terkenal dan hadits ini juga masyhur darinya. Diantara ulama’ yang menegaskan bahwa Malik keliru dalam hal itu adalah Al-Bazzar, At-Thahawi dan selainnya”.[6]

2. Jalur Yahya bin Abi Katsir

Sepanjang penelitian saya, ada empat orang yang meriwayatkan dari Yahya bin Abi Katsir. Berikut perinciannya:

Hajjaj bin Abu Utsman Ash-Shawwaf

  • Diriwayatkan imam Ahmad dalam Musnadnya (5/448), Al-Bukhari dalam Juz’ul Qira’ah(hal. 70), Abu Daud (no. 931 dan 3282), Nasa’i dalam Sunan Kubra sebagaimana dalam Tuhfatul Asyraf (8/427), Ibnu Khuzaimah dalam Kitab Tauhid (hal. 132), Al-Baghawi dalam Syarh Sunnah (3/237-239/no. 726) dan At-Thabrani dalam Al-Mu’jamul Kabir (19/398/no. 938) dari Yahya bin Sa’id Al-Qhoththon dari Hajjaj dengannya.
  • Dan diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf (6/162/no.30333) dan al-Iman(84), Muslim dalam Shahihnya (no. 537), Ahmad (5/447), Abu Daud (no. 931), Ibnu Hibban (165), Utsman bin Sa’id Ad-Darimi dalam Ar-Radd ‘ala Jahmiyyah (no.61), Ibnu Abi Ashim dalam As-Sunnah (490) dan Ibnu Jarud dalam Al-Muntaqo (no.212 -Ghautsul Makdud oleh Al-Huwaini-) dari Ismail bin Ibrahim (bin ‘Ulayyah) dari Hajjaj dengannya.

(Faedah)

Dalam kitab “Juz’ul Qira’ah” hal. 20 oleh imam Bukhari cet. Darul Kutub ‘Ilmiyyah tertulis begini Yahya bin Hilal  ( حَدَّثَنَا يَحْيَ بْنُ هِلاَلٍ). Ini adalah keliru yang benar adalah Yahya ‘an (dari) Hilal (حَدَّثَنَا يَحْيَ عَنْ هِلاَلٍ). Yahya namanya adalah Yahya bin Abi Katsir dan Hilal namanya adalah Hilal bin Ali bin Abi Maimunah. Wallahu A’lam.

.

Al-Auza’i

  • Diriwayatkan Imam Muslim dalam Shahihnya (537), Abu Awanah dalam al-Mustkhraj(2/141), Nasa’i dalam Sunan Sughra (3/14-18/no.1216), Ibnu Khuzaimah dalam Kitab Tauhid (hal.121), At-Thabrani dalam Al-Mu’jamul Kabir (19/398/no.937), Al-Baihaqi dalam As-Sunan Kubra (10/98/19984) dan Al-Asma’ wa Sifat (2/326/890-891), ath-Thahawi dalam Syarh Musykil Atsar (13/367), Ibnu Abdil Barr dalam At-Tamhid (9/71) dan Al-Ashbahani dalam Al-Hujjah fi Bayanil Mahajjah (2/100/no. 69).

.

Aban bin Yazid Al-Aththar

  • Diriwayatkan Abu Awanah dalam Al-Mustakhraj ‘ala Shahih Muslim (2/1141), At-Thoyyalisi dalam Musnadnya (1105), Ahmad dalam Musnadnya (5/448), Ibnu Abi Ashim dalam As-Sunnah (489), Utsman bin Sa’id Ad-Darimi dalam Ar-Radd ‘ala Jahmiyyah(no. 60) dan Naqdh Alal Marisy (122), At-Thabrani dalam Al-Mu’jamul Kabir (939), Al-Baihaqi dalam Al-Asma’ wa Sifat (2/326/890-891) dan Al-Lalikai dalam Syarh Ushul I’tiqad Ahli Sunnah (3/434-435/no. 652).

.

Hammam bin Yahya

  • Diriwayatkan Ahmad bin Hanbal dalam Musnadnya (5/448).

Hadits ini juga memiliki syawahid (penguat) dari sahabat Abu Hurairah, Abu Juhaifah, Ibnu Abbas, Ukkasyah Al-Ghanawi dan Abdur Rahman bin Hathib secara mursal.[7]

.

b. Komentar Para Ulama’ Ahli Hadits

Hadits ini disepakati keabsahannya oleh seluruh ulama’ kaum muslimin. Berikut sebagian komentar mereka:

1. Syaikh Muhammad Nasiruddin Al-Albani berkata: “Hadits ini disepakati keabsahannya oleh para ulama muslimin semenjak dahulu hingga sekarang dan dijadikan hujjah oleh imam-imam besar seperti Malik, Syafi’i, Ahmad dan lainnya. Dan dishahihkan oleh Muslim, Abu Awanah, Ibnu Jarud, Ibnu Huzaimah, Ibnu Hibban dan orang-orang yang mengikuti mereka dari para pakar dan sebagian mereka adalah para pentakwil seperti Al-Baihaqi, Al-Baghawi, Ibnul Jauzi, adz-Dzahabi, (Ibnu Hajar) Al-Asqalani dan lainnya. Lantas bagaimana pendapat seorang muslim yang berakal terhadap orang jahil dan sombong yang menyelishi para imam dan pakar tersebut, bahkan mencela lafadz Nabi n yang telah dishahihkan oleh para ulama tersebut?!!..”.[8]

2. Imam Al-Baihaqi berkata: “Hadits ini shahih, dikeluarkan Muslim”.[9]

3. Imam Al-Baghawi berkata: “Hadits ini shahih, dikeluarkan Muslim dari Abu Bakar bin Abi Syaibah dari Ismail bin Ibrahim dari Hajjaj”.[10]

4. Imam Al-Ashbahani berkata: “Dan sungguh telah shahih dari Nabi n bahwasanya beliau bertanya kepada seorang budak wanita yang akan dibebaskan oleh tuannya: Dimana Allah? Jawab budak tersebut: Di atas langit….”.[11]

5. Imam Ibnu Qudamah berkata: “Hadits ini shahih”.[12]

6. Imam Adh-Dzahabi berkata: “Hadits ini shahih, dikeluarkan Muslim, Abu Daud, Nasa’i dan imam-imam lainnya dalam kitab-kitab mereka dengan memperlakukannya sebagaimana datangnya tanpa ta’wil dan tahrif”.[13]

7. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Hadits shahih, diriwayatkan Muslim”.[14]

8. Al-Wazir al-Yamani berkata: “Hadits ini tsabit (shahih), diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahihnya”.[15]

9. Imam Muhammad Nasiruddin Al-Albani berkata

وَهَذَا الْحَدِيْثُ صَحِيْحٌ بِلاَ رَيْبٍ لاَ يَشُكُّ فِيْ ذَلِكَ إِلاَّ جَاهِلٌ أَوْ مُغْرِضٌ مِنْ ذَوِيْ الأَهْوَاءِ الَّذِيْنَ كُلَّمَا جَاءَهُمْ نَصٌّ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ يُخَالِفُ مَاهُمْ عَلَيْهِ مِنَ الضَّلاَلِ حَاوَلُوا الْخَلاَصَ مِنْهُ بِتَأْوِيْلِهِ بَلْ تَعْطِيْلِهِ, فَإِنْ لَمْ يُمْكِنْهُمْ ذَلِكَ حَاوَلُوْا الطَّعْنَ فِيْ ثُبُوْتِهِ كَهَذَا الْحَدِيْثِ فَإِنَّهُ مَعَ صِحَّةِ إِسْنَادِهِ وَتَصْحِيْحِ أَئِمَّةِ الْحَدِيْثِ إِيَّاهُ دُوْنَ خِلاَفٍ بَيْنَهُمْ فِيْمَا أَعْلَمُهُ

“Hadits ini shahih dengan tiada keraguan. Tidak ada yang meragukan hal itu kecuali orang jahil atau pengekor hawa nafsu yang setiapkali datang pada mereka dalil dari Rasulullah nyang menyelisihi keyakinan sesat mereka, maka mereka langsung berusaha membebaskan diri darinya dengan mentakwil, bahkan meniadakannya. Dan apabila mereka tidak mampu, maka mereka berupaya untuk mementahkan keabsahannya seperti hadits ini yang shahih sanadnya serta dishahihkan oleh seluruh ulama’ ahli hadits tanpa ada perselisihan pendapat di kalangan mereka sepanjang pengetahuan saya”.[16]

  • Setelah takhrij dan komentar para ulama ahli hadits diatas[17], kita dapat mengetahui bagaimana kadar ilmu DR. Quraish Syihab!! -semoga Allah memberinya hidayah- tentang ilmu hadits. Ataukah memang dia sengaja berusaha untuk menyebarkan racun pemikirannya kepada orang-orang awam?!. Tidak..Tidak …Demi Allah, pasti akan ada pejuang kebenaran yang akan menepis kerancuan fahamnya.

لاَ تَزَالُ طاَئِفَةٌ مِنْ أُمَّتِيْ ظَاهِرِيْنَ عَلَى الْحَقِّ لاَ يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُاللهِ

Akan senantiasa ada segolongan dari umatku yang tegak diatas Al-Haq, orang yang melecehkan mereka tidak akan membahayakan mereka sehingga datang hari kiamat[18].

(Faedah)

Lafadz fi (فِيْ) dalam hadits bermakna ‘ala (عَلَى)   yakni diatas, bukan bermakna zharaf (di dalam) sebagaimana dijelaskan oleh para ulama seperti Ibnu Abdil Barr[19] dan Al-Baihaqi[20]. Hal ini semakna dengan firman Allah:

ءَأَمِنتُم مَّن فِي السَّمَآءِ أَن يَخْسِفَ بِكُمُ اْلأَرْضَ فَإِذَا هِيَ تَمُورُ

Apakah kamu merasa aman terhadap Yang di langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang?. (QS. Al-Mulk: 16).

قُلْ سِيرُوا فِي اْلأَرْضِ ثُمَّ انْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ

Katakanlah: “Berjalanlah di atas muka bumi, kemudian perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan itu”. (QS. Al-An’aam: 11).

Demikian juga semakna dengan hadits:

الرَّاحِمُوْنَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمَنُ تَبَارَكَ وَتعَالَى, ارْحَمُوْا مَنْ فِيْ الأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِيْ السَّمَاءِ

Orang-orang yang pengasih akan dikasihi oleh Yang Maha Pengasih. Kasihilah (makhluk) yang di atas bumi, niscaya Yang di atas langit akan mengasihi kalian[21].

Demikianlah penafsiran Ahlu Sunnah wal Jama’ah yang beriman dengan dalil-dalil Al-Qur’an dan hadits mutawatir yang menetapkan Allah di atas langit. Tidak ada penafsiran yang benar selain ini.[22]

.

B. FIKIH HADITS

Hadits ini memiliki beberapa faedah yang sangat banyak sekali,  namun agar tidak terlalu panjang, maka kita cukupkan dua faedah saja yaitu:

b.1. Disyariatkannya pertanyaan: Di mana Allah?

  • Imam Ad-Dzahabi berkata:

فَفِيْ الْخَبَرِ مَسْأَلَتَانِ:

إِحْدَاهُمَا: مَشْرُوْعِيَّةُ قَوْلِ الْمُسْلِمِ أَيْنَ اللهُ؟
وَثَانِيْهَا: قَوْلُ الْمَسْؤُوْلِ: فِيْ السَّمَاءِ. فَمَنْ أَنْكَرَ هَاتَيْنِ الْمَسْأَلَتَيْنِ فَإِنَّمَا يُنْكِرُ عَلَى الْمُصْطَفَى n

Dalam hadits ini terdapat dua masalah:

Pertama: Disyari’atkannya pertanyaan seorang muslim; Dimana Allah?

Kedua: Jawaban orang yang ditanya: Di atas langit. Barangsiapa yang mengingkari dua masalah ini, maka berarti dia mengingkari Nabi”[23].

Syariat pertanyaan “Dimana Allah?” ini dikuatkan oleh hadits dan atsar sebagai berikut:

  • a. Hadits

عَنْ أَبِيْ رَزِيْنٍ قَالَ : قُلْتُ : يَا رَسُوْلَ اللهِ ! أَيْنَ كَانَ رَبُّنَا قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ خَلْقَهُ؟ قَالَ :كَانَ فِيْ عَمَاءٍ مَا تَحْتَهُ هَوَاءٌ وَمَا فَوْقَهُ هَوَاءٌ وَمَا ثَمَّ خَلْقٌ, عَرْشُهُ عَلَى الْمَاءِ

Dari Abu Razin berkata: Saya pernah bertanya: Ya Rasulullah, dimana Allah sebelum menciptakan makhlukNya? Nabi menjawab: Dia berada di atas awan, tidak ada udara di bawahnya maupun di atasnya, tidak makhluk di sana, dan ArsNya di atas air”. [24]

  • b.  Atsar

Dari Zaid bin Aslam bercerita: “Ibnu Umar pernah melewati seorang pengembala kambing lalu berkata: Hai pengembala kambing, adakah kambing yang layak untuk disembelih? Jawab si pengembala tersebut: “Tuan saya tidak ada di sini”. Ibnu Umar mengatakan: “Bilang saja sama tuanmu bahwa kambingnya dimakan oleh serigala! Pengembala itu lalu mengangkat kepalanya ke langit seraya mengatakan: “Lalu dimana Allah?”! Ibnu Umar berkata: Demi Allah, sebenarnya saya yang lebih berhak mengatakan: Dimana Allah? Kemudian beliau membeli pengembala serta kambingnya, membebaskannya dan memberinya kambing[25].

  • Abdul Ghoni al-Maqdisi berkata mengomentari hadits ini: “Siapakah yang lebih jahil dan rusak akalnya serta tersesat jalannya melebihi seorang yang mengatakan bahwa tidak boleh bertanya di mana Allah setalah ketegasan pembuat syari’at dengan perkataannya dimana Allah?!”.[26]
  • Imam Ibnu Qoyyim juga berkata: “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertanya: “Di mana Allah?” Lalu dijawab oleh yang ditanya bahwa Allah berada di atas langit. Nabi n pun kemudian ridha akan jawabannya dan mengetahui bahwa itulah hakekat iman kepada Allah dan beliau juga tidak mengingkari pertanyaan ini atasnya. Adapun kelompok Jahmiyyah, mereka menganggap bahwa pertanyaan “Dimana Allah?” seperti halnya pertanyaan: Apa warnanya, apa rasanya, apa jenisnya dan apa asalnya dan lain sebagainnya dari pertanyaan yang mustahil dan batil!”.[27]
  • Syaikh Al-Allamah Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz mengatakan: “Pendapat yang benar menurut ahli sunnah adalah mensifati Allah dengan sifat uluw (tinggi) yaitu diatas arsy berdasarkan dalil-dalil Al-Qur’an dan hadits dan boleh juga menurut ahlu sunnah bertanya: “Dimana Allah” sebagaimana dalam Shahih Muslim Nabi shallallahu a’laihi wa sallam bertanya kepada budak perempuan: “Dimana Allah?” Jawabnya: “Di atas langit”.[28]
  • Syaikh Al-Muhaddits Muhammad Nasiruddin Al-Albani juga berkata: “Hadits ini merupakan cemeti dahsyat  bagi orang-orang yang meniadakan sifat-sifat Allah, karena hampir saja engkau tidak bertanya kepada seorang diantara mereka dengan pertanyaan di mana Allah? Kecuali mereka langsung mengingkarimu! Si miskin (jahil) ini tidak tahu bahwa sebenarnya dia telah mengingkari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semoga Allah melindungi kita semua dari ilmu kalam (filsafat)”.[29]
  • Abu Ubaidah -semoga Allah menambahkan ilmu baginya- berkata: “Perhatikanlah perkataan para ulama’ di atas lalu bandingkan dengan ucapan mayoritas para tokoh agama zaman sekarang yang jauh lebih jahil daripada budak wanita diatas, dimana mereka mengatakan: “Allah ada dimana-dimana” bahkan mengatakan: Pertanyaan “Dimana Allah” itu adalah bid’ah. Ironisnya, aqidah sesat bin menyesatkan ini ditanamkan kepada anak-anak dan murid-murid yang lugu, tak mengerti apa-apa. Saya masih teringat pada bulan Ramadhan 1423H, saya pernah diundang untuk sebagai pemateri di sebuah sekolah Islam. Ketika saya lontarkan sebuah pertanyaan sederhana “Dimana Allah?” ini kepada mereka, ternyata tak seorang siswa maupun siswi-pun yang dapat menjawab secara benar bahkan seorang diantara mereka mengatakan: “Kata pak guru, bertanya seperti itu enggak boleh!!!”. Wallahul Musta’an.

b.2. Allah berada di atas langit

  • Imam Utsman ad-Darimi berkata: “Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa seorang apabila tidak mengetahui kalau Allah itu di atas langit bukan di bumi maka dia bukan seorang mukmin. Apakah anda tidak tahu bahwa Nabi menjadikan tanda keimanannya adalah pengetahuannya bahwa Allah di atas langit?!! Dan dalam pertanyaan Nabi “Di mana Allah “ terdapat bantahan ucapan sebagian kalangan yang mengatakan bahwa Allah berada di setiap tempat, tidak disifati dengan “di mana”, sebab sesuatu yang ada di mana-mana tidak mungkin disifati “dimana”. Seandainya Allah ada dimana-mana sebagaimana anggapan para penyimpang, tentu Nabi akan mengingkari jawabannya…”.[30]
  • Memang sederhana soalnya, tapi sungguh aneh bin ajaib jawabannya. Bagaimana tidak? Seandainya Anda mau berkeliling Indonesia mengajukan satu pertanyaan sederhana ini, niscaya Anda akan mendengarkan berbagai macam jawaban yang beraneka ragam; Alloh ada di mana-mana… Alloh tidak di atas tidak di bawah… Alloh tidak di kanan tidak di kiri… Alloh ada di hatiku… dan sederet jawaban lainnya. Ironisnya, mayoritas dari para penjawab yang konyol itu adalah orang-orang yang notabene intelektual, ulama, kyai, atau kaum terpelajar. Bagaimanakah sebenarnya masalah ini? Mari kita ikuti ulasan berikut ini.

.

C. Dalil-Dalil Bahwa Allah di Atas Arsy

Sungguh tidak syak (ragu) lagi terutama bagi orang yang mau membaca ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi n/ serta kitab-kitab ulama kita bahwa Alloh berada di atas ‘arsy(singgasana)-Nya di atas langit. Berikut ini dalil-dalilnya.

c.1. Dalil dari al-Qur’an

Banyak sekali dalil-dalil al-Qur’an yang menunjukkan ketinggian Alloh dengan beberapa versi:

a.  Kadang dengan lafazh ‘ali (tinggi) dan istiwa’ (bersemayam) di atas ‘arsy. Seperti firman Alloh:

وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيْمُ

Dan Alloh Maha Tinggi lagi Maha Besar. (QS. al-Baqarah: 255)

الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى

Ar-Rahman (Yang Maha Pemurah) bersemayam di atas ‘arsy. (QS. Thaha: 5)

b.  Kadang juga dengan naiknya sesuatu kepada-Nya. Seperti firman Alloh:

إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ

Kepada-Nyalah naik perkataan yang baik, dan amal shalih dinaikkan-Nya. (QS. Fathir: 10)

تَعْرُجُ الْمَلاَئِكَةُ وَالرُّوْحُ إِلَيْهِ

Malaikat-malaikat dan Jibril naik kepada-Nya. (QS. al-Ma’arij: 4)

c.  Kadang lagi dengan turunnya sesuatu dari-Nya. Seperti firman Alloh:

قُلْ نَزَّلَهُ رُوحُ الْقُدُسِ مِن رَّبِّكَ بِالْحَقِّ

Katakanlah Ruh Qudus (Jibril) menurunkan al-Qur’an dari Rabbmu dengan benar. (QS. an-Nahl: 102)

.

c.2. Dalil dari as-Sunnah

Ketinggian Alloh di atas langit juga ditegaskan dalam banyak sekali hadits Nabi Muhammadshallallahu ‘alaihi wa sallam dengan beberapa versi, baik berupa perkataan, perbuatan, dantaqrir (persetujuan). Seperti sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

إِنَّ اللهَ لَمَّا قَضَى الْخَلْقَ كَتَبَ عِنْدَهُ فَوْقَ عَرْشِهِ إِنَّ رَحْمَتِيْ سَبَقَتْ غَضَبِيْ

Sesungguhnya Alloh tatkala menetapkan penciptaan, Dia menulis di sisi-Nya di atas ‘arsy: “Rahmat-Ku mengalahkan kemarahan-Ku.” [31]

Dan juga sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

أَلاَ تَأْمَنُوْنِيْ وَأَنَا أَمِيْنُ مَنْ فيِ السَّمَاءِ

Tidakkah kalian mempercayaiku padahal aku dipercaya oleh Dzat yang di atas langit[32]

Dan telah tetap pula bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat tangannya ke atas langit pada saat khutbah di Arafah ketika mereka mengatakan, “Kami bersaksi bahwa engkau telah menyampaikan dan menunaikan serta menasehati.” Di saat itu beliaushallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Ya Alloh saksikanlah.”[33]

.

c.3. Ijma’ (Kesepakatan) Para Ulama

Para sahabat, para tabi’in, serta para imam-imam kaum muslimin telah bersepakat akan ketinggian Alloh di atas langit-Nya, bersemayam di atas ‘arsy-Nya. Perkataan mereka sangatlah banyak dan masyhur, Di antaranya:

1. Imam al-Auza’i berkata, “Kami dan seluruh tabi’in bersepakat mengatakan, Alloh berada di atas ‘arsy-Nya. Dan kami semua mengimani sifat-sifat yang dijelaskan dalam as-Sunnah.”[34]

2. Imam Abdullah Ibnu Mubarak berkata, “Kami mengetahui Rabb kami, Dia bersemayam di atas ‘arsy berpisah dari makhluk-Nya. Dan kami tidak mengatakan sebagaimana kaum Jahmiyah yang mengatakan bahwa Alloh ada di sini (beliau menunjuk ke bumi).” [35]

3. I’tiqad salafiyah ini merupakan syi’ar salafiyunahlus sunnah wal jama’ah sejak dahulu hingga sekarang, bahkan di antaranya adalah Imam Syafi’i, Abul Hasan al-Asy’ari, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, dan lain-lain. Tidak ada seorang pun dari ulama terdahulu yang mengatakan bahwa Alloh ada di mana-mana, tidak di atas tidak di bawah, dan tidak seorang pun menganggap tabu pertanyaan “Di mana Alloh”!!

1. Imam Syafi’i berkata:

الْقَوْلُ فِيْ السُّنَّةِ الَّتِيْ أَنَا عَلَيْهَا وَرَأَيْتُ عَلَيْهَا الَّذِيْنَ رَأَيْتُهُمْ مِثْلُ سُفْيَانَ وَمَالِكٍ وَغَيْرِهِمَا الإِقْرَارُ بِشَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَأَنَّ اللهَ عَلَى عَرْشِهِ فِيْ سَمَائِهِ …

Aqidah yang saya yakini dan diyaikini oleh orang-orang yang pernah aku temui seperti Sufyan, Malik dan selainnya adalah menetapkan syahadat bahwa tidaka ada sesembahan yang berhak kecuali Allah dan Muhammad adalah Rasulullah dan bahwasanya Allah di atas arsy-Nya yakni di atas langitnya. (Adab Syafi’I wa Manaqibuhu Ibnu Abi Hatim hal. 93)

2. Imam Abul Hasan Al-Asy’ari berkata dalam Al-Ibanah fi Ushul Diyanah hal. 17 menceritakan aqidahnya:

وَأَنَّ اللهَ عَلَى عَرْشِهِ كَمَا قَالَ ( الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى )

Dan bahwasanya Allah di atas arsy-Nya sebagaimana firman-Nya: “Ar-Rahman tinggi di atas arsy”.

Pada hal. 69-76, beliau memaparkan dalil-dalil yang banyak sekali tentang keberadaan Allah di atas arsy. Di antara perkataan beliau:

وَرَأَيْنَا الْمُسْلِمِيْنَ جَمِيْعًا يَرْفَعُوْنَ أَيْدِيَهُمْ -إِذَا دَعَوْا- نَحْوَ السَّمَاءِ لِأَنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ مُسْتَوٍ عَلَى الْعَرْشِ الَّذِيْ هُوَ فَوْقَ السَّمَاوَاتِ, فَلَوْلاَ أَنَّ اللهَ عَلَى الْعَرْشِ لَمْ يَرْفَعُوْا أَيْدِيَهُمْ نَحْوَ الْعَرْشِ

Dan kita melihat seluruh kaum muslimin apabila mereka berdo’a, mereka mengangkat tangannya ke arah langit, karena memang Allah tinggi di atas arsy dan arsy di atas langit. Seandainya Allah tidak berada di atas arsy, tentu mereka tidak akan mengangkat tangannya ke arah arsy.

وَزَعَمَتِ الْمُعْتَزِلَةُ وَالْحَرُوْرِيَّةُ وَالْجَهْمِيَّةُ أَنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ فِيْ كُلِّ مَكَانٍ, فَلَزِمَهُمْ أَنَّهُ فِيْ بَطْنِ مَرْيَمَ وَفِيْ الْحُشُوْشِ وَالأَخْلِيَةِ, وَهَذَا خِلاَفُ الدِّيْنِ, تَعَالَى اللهُ عَنْ قَوْلِهِمْ

Dan kaum Mu’tazilah, Haruriyyah dan Jahmiyyah beranggapan bahwa Allah berada di setiap tempat. Hal ini melazimkan mereka bahwa Allah berada di perut Maryam, tempat sampah dan WC. Faham ini menyelisihi agama. Maha suci Allah dari ucapan mereka.

Oleh karenanya, saya tidak mengerti, sebenarnya saudara-saudara kita yang berfaham Allah dimana-dimana, siapa sebenarnya yang mereka ikuti?! Nabi, para ulama salaf, ataukah…?!! Fikirkanlah!

.

c.4. Dalil Akal

Setiap akal manusia yang masih sehat, tentu akan mengakui ketinggian Alloh di atas makhluk-Nya. Hal tersebut dapat ditinjau dari dua segi:

Pertama: Ketinggian Alloh merupakan sifat yang mulia bagi Alloh.

Kedua: Kebalikan tinggi adalah rendah, sedang rendah merupakan sifat yang kurang bagi Alloh, Maha Suci Alloh dari sifat-sifat yang rendah.

.

c.5. Dalil Fithrah

  • Sesungguhnya Alloh telah memfithrahkan kepada seluruh makhluk-Nya, baik Arab maupun non-Arab dengan ketinggian Alloh. Marilah kita berpikir bersama di saat kita memanjatkan do’a kepada Alloh, ke manakah hati kita berjalan? Ke bawah atau ke atas? Manusia yang belum rusak fithrahnya tentu akan menjawab ke atas.
  • Pernah dikisahkan bahwa suatu hari Imam Abdul Malik al-Juwaini mengatakan dalam majelisnya, “Alloh tidak di mana-mana, sekarang ia berada di mana pun Dia berada.” Lantas bangkitlah seorang yang bernama Abu Ja’far al-Hamdani seraya berkata, “Wahai ustadz! Kabarkanlah kepada kami tentang ketinggian Alloh yang sudah mengakar di hati kami, bagaimana kami menghilangkannya?” Abdul Malik al-Juwaini berteriak dan menampar kepalanya seraya mengatakan, “Al-Hamdani telah membuat diriku bingung, al-Hamdani telah membuat diriku bingung.”[36] Akhirnya Imam Juwaini pun mendapat hidayah Alloh dan kembali ke jalan yang benar. Semoga saudara-saudara kita yang tersesat bisa mengikuti jejak beliau.
  • Sebenarnya masih sangat banyak lagi dalil-dalil dalam masalah ini, semua ini telah dijelaskan oleh para ulama kita dalam kitab-kitab mereka. Bahkan di antara mereka ada yang membahas masalah ini dalam kitab tersendiri seperi Imam Dzahabi dalam bukunya al-‘Uluw lil Aliyyil Azhim.
  • Semoga Alloh merahmati Imam Ibnu Abil Izzi al-Hanafi yang telah mengatakan –setelah menyebutkan 18 segi dalil–, “Dan jenis-jenis dalil-dalil ini, seandainya dibukukan tersendiri, maka akan tertulis kurang lebih seribu dalil[37]. Oleh karena itu, kepada para penentang masalah ini, hendaknya menjawab dalil-dalil ini. Tapi sungguh sangatlah mustahil mereka mampu menjawabnya.” [38]

.

D. SYUBHAT DAN BANTAHANNYA

Adapun syubhat yang dilontarkan oleh Dr. Quraish Syihab: “Karena ia menimbulkan kesan keberadaan tuhan pada satu tempat, hal yang mustahil bagi-Nya dan mustahil pula diucapkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam …”.

Jawaban:

Apabila yang maksud  “tempat” adalah yang tersirat dalam benak fikiran kita yaitu setiap yang meliputi dan membatasi seperti langit, bumi, kursi, arsy dan sebagainya maka benar hal itu mustahil bagi Allah karena Allah tidak mungkin dibatasi dan diliputi oleh makhluk, bahkan Dia lebih besar dan agung, bahkan kursi-Nya saja meliputi langit dan bumi. Allah f berfirman:

وَمَاقَدَرُوا اللهَ حَقَّ قَدْرِهِ وَاْلأَرْضُ جَمِيعًا قَبْضَتُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَالسَّمَاوَاتُ مَطْوِيَّاتٌ بِيَمِينِهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ

Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Maha Suci Tuhan dan Maha Tinggi Dia dari apa yangmereka persekutukan. (QS. Az-Zumar: 67).

Dan telah shahih dalam Bukhari (6519) dan Muslim (7050) dari Nabi bahwa beliau bersabda:

يَقْبِضُ اللهُ بِالأَرْضِ وَيَطْوِيْ السَّمَاوَاتِ بِيَمِيْنِهِ ثُمَّ يَقُوْلُ : أَنَا الْمَلِكُ أَيْنَ مُلُوْكُ الأَرْضِ؟

Allah menggenggam bumi dan melipat langit dengan tangan kanan-Nya kemudian berfirman: “Saya adalah Raja, manakah raja-raja bumi?”

Adapun apabila maksud “tempat” adalah sesuatu yang tidak meliputi yakni diluar alam semesta, maka Allah di luar alam semesta sebagaimana keberadaan-Nya sebelum menciptakan makhluk.

Jadi, Allah di tempat yang bermakna kedua ini bukan makna pertama[39].

Kemudian, khabarkanlah padaku: Apabila tuan mengingkari ketinggian Allah, lantas saya bertanya kepada tuan tentang keyakinan tuan: “Dimanakah Allah?”.  Saya sangat yakin bahwa jawaban tuan tidak keluar dari dua hal:

Pertama: Allah ada dimana-mana

Faham yang satu ini banyak dianut oleh mayoritas kaum muslimin sekarang ini. Padahal tahukah mereka pemahaman siapakah ini sebenarnya?! Faham ini dicetuskan oleh kaum Jahmiyyah dan Mu’tazilah. Imam Ahmad bin Hanbal telah menepis dan membongkar kerusakan faham ini dalam kitabnya “Ar-Rad ‘ala Al-Jahmiyyah” hal. 53, beliau mengatakan: “Apabila engkau ingin mengetahui kedustaan kaum Jahmiyyah tatkala mengatakan bahwa Allah dimana-mana dan tidak berada di satu tempat, maka katakanlah padanya: “Bukankah dahulu hanya Allah saja dan tidak ada sesuatu lainnya?” Dia akan menjawab: “Benar” Lalu katakanlah padanya lagi: “Tatkala Allah menciptakan sesuatu, apakah Dia menciptakannya pada diri-Nya ataukah diluar dari diri-Nya?” Jawaban dia tidak akan keluar dari tiga hal:

1. Apabila dia menyangka bahwa Allah menciptakan makhluk pada diri-Nya, maka ini merupakan kekufuran karena dia telah menganggap bahwa Jin, manusia, syetan dan iblis pada diri Allah!

2. Apabila dia mengatakan: Allah menciptakan mereka di luar diri-Nya kemudian Allah masuk pada mereka, maka ini juga kekufuran karena dia menganggap bahwa Allah berada di setiap tempat yang menjijikkan dan kotor!

3. Apabila dia mengatakan: Allah menciptakan mereka di luar dari diri-Nya kemudian Allah tidak masuk pada mereka, maka ini adalah pendapat Ahlus Sunnah wal Jama’ah”. [40]

Konsekuansi faham sesat “Allah dimana-mana” ini sangatlah batil sekali yaitu Allah berada di tempat-tempat yang kotor dan membatasi Allah pada makhluk sebagaimana diceritakan dari Bisyr Al-Mirrisyi tatkala dia mengatakan: “Allah berada di segala sesuatu”, lalu ditanyakan padanya: Apakah Allah berada di kopyahmu ini?! Jawabnya: Ya, ditanyakan lagi padanya: Apakah Allah ada dalam keledai?! Jawabnya: Ya!!!

Perkataan ini sangatlah hina dan keji sekali terhadap Allah!!! Oleh karena itulah sebagian ulama’ salaf mengatakan: “Kita masih mampu menceritakan perkataan Yahudi dan Nasrhani tetapi kita tak mampu menceritakan perkataan Jahmiyyah!

Kedua: Allah tidak di atas, tidak di bawah, tidak di kanan, tidak dikiri, tidak di depan, tidak di belakang, tidak di dalam, tidak di luar, tidak bersambung, tidak berpisah sebagaimana keyakinan ahli kalam (filsafat).

Ucapan di atas jelas-jelas menunjukkan bahwa Allah tidak ada. Inilah ta’thil (peniadaan) yang amat nyata. Maha suci Allah dari apa yang mereka ucapkan. Alangkah indahnya perkataan Mahmud bin Subaktukin terhadap orang yang mensifati Allah dengan seperti itu: “Bedakanlah antara Allah yang engkau tetapkan dengan sesuatu yang tidak ada![41]. Oleh karena itulah, sebagian ulama’ salaf juga mengatakan:

الْمُجَسِّمُ يَعْبُدُ صَنَمًا وَالْمُعَطِّلُ يَعْبُدُ عَدَمًا

Al-Mujassim itu menyembah patung dan Al-Mua’tthil menyembah sesuatu yang tidak ada

Walhasil, kedua jawaban diatas merupakan kebatilan yang tidak samar lagi bagi orang yang beri hidayah oleh Allah. Semoga Allah merahmati Al-Allamah Ibnu Qayyim tatkala mengatakan dalam qasidahnya “An-Nuniyyah” (2/446-447 -Taudhihul Maqasid cet. Mkt Islami):

Allah Maha besar, tidak ada satu makhlukpun di atas-Nya

Allah Maha besar, arsy-Nya meliputi langit dan bumi demikian pula kursi-Nya

Allah di atas arsy dan kursi, tak bisa dijangkau oleh fikiran manusia

Janganlah engkau membatasinya pada satu tempat dengan ucapan kalian: “Allah ada di setiap tempat”

Dengan modal kejahilan, kalian mensucikan Allah dari arsy-Nya padahal kalian membatasinya pada satu tempat

Janganlah kalian tiadakan Allah dengan ucapan kalian: “Allah tidak di dalam dan tidak pula di luar alam”

Allah Maha besar, Dia telah membongkar tirai kalian dan nampak bagi orang yang punya dua mata

Allah Maha besar, Dia suci dari penyerupaan dan peniadaan, kedua sumber kekufuran.

.

E. KONTRADIKSI ARGUMEN Dr. M. QURAISH SHIHAB

Setelah anda mengetahui bahwa Dr. M. Quraish Shihab mengingkari ketinggian Allah dalam bukunya “Membumikan Al-Qur’an”. Anehnya, kalau kita cermati bersama dan kalau saja DR. M. Quraish Shihab juga mau mencermati, maka akan kita jumpai dalil-dalil yang menolak fahamnya. Diantaranya:

1. Dalam “Membumikan Al-Qur’an” hal. 338-345, Dr. Quraish Syihab mengulas makna Isra’ Mi’raj. Dia menetapkan adanya peristiwa Isra dan Mi’raj serta membantah gugatan kaum empirisis dan rasiaonalis yang memustahilkannya seraya mengatakan: “Memang, pendekatan yang paling tepat untuk memahaminya adalah pendekatan imaniy. Inilah yang ditempuh oleh Abu Bakar ash-Shiddiq, seperti tergambar dalam ucapannya: Apabila Muhammad memberitakannya, pastilah benar”.

Alangkah indahnya ucapan ini!! Namun sayangnya, mengapa beliau tidak menerapkan hal yang sama dalam masalah ketinggian Allah ini?! Bukankah dalam peristiwa Isra Mi’raj terdapat pelajaran berharga tentang ketinggian Allah?!! Al-Hafizh Ibnu Abil Izzi al-Hanafimengatakan: “Dalam hadits Mi’raj ini terdapat dalil tentag ketinggian Allah ditinjau dari beberapa segi bagi orang yang menceramatinya”.[42] Semoga saya dan anda termasuk orang-orang yang bisa mencermatinya.

2. Dalam “Membumikan Al-Qur’an” hal. 314 pada judul Lailatul Qadr, Dr. Quraish Shihabmembawakan dalil:

تَنَزَّلُ الْمَلاَئِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِم مِّن كُلِّ أَمْرٍ

Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. (QS. Al-Qadr: 4).

Ayat mulia ini juga kalau kita mencermatinya dengan baik merupakan salah satu dalil tentang ketinggian Allah, karena para Malaikat dan Jibril yang berada di dekat Allah turun pada malam Lailatul Qadr, sedang kita faham semua bahwa makna kata turun berarti dari sesuatu yang tinggi ke tempah yang lebih rendah. Semoga Allah menjadikan kita manusia yang berakal.

.

F. TUDUHAN DAN JAWABANNYA

Satu pembahasan lagi yang perlu diselesaikan yaitu tuduhan keji yang keluar dari mulut kotor ahli bid’ah terhadap ahli haq yang menyatakan bahwa Allah berada di atas langit disebut dengan kaum “Musyabbihah” atau “Mujassimah”. Dalam buku “Aqidah Ahli Sunnah wal Jama’ah” oleh KH. Sirajuddin Abbas dan dicopi oleh KH. Ach. Masduqi dalam “Konsep Dasar Pengertian Ahlus Sunnah Wal Jama’ah” hal. 83 dikatakan demikian: “Golongan Musyabbihah ini juga dinamakan golongan Mujassimah. Golongan ini mempunyai I’tiqad yang bertentangan dengan golongan ASWAJA, antara lain:

  1. Tuhan itu berada di atas langit.
  2. Menurut golongan ASWAJA, Tuhan itu tidak berada di atas langit”.

Dan pada hal. 84, penulis ini mengatakan: “Pada mulanya Ibnu Taimiyyah adalah pengikut madzhab Hanbali dan banyak pengetahuannya dalam bidang fiqih dan ushuluddin. Akan tetapi sayang sekali beliau terpengaruh oleh faham golongan Musyabbihah/Mujassimah yang menyerupakan Tuhan dengan makhluk…”.

Jawaban:

Tuduhan seperti sudah tidak aneh lagi bagi kami karena memang demikianlah kebiasaan ahli bid’ah semenjak dahulu hingga sekarang. Semoga Allah merahmati imam Abu Hatim Ar-Razi yang telah mengatakan:

وَعَلاَمَةُ أَهْلِ الْبِدَعِ : الْوَقِيْعَةُ فِيْ أَهْلِ الأَثَرِ وَعَلاَمَةُ الْجَهْمِيَّةِ أَنْ يَسُمُّوْا أَهْلَ السُّنَّةِ مُشَبِّهَةً

Tanda ahli bid’ah adalah mencela ahli atsar. Dan tanda Jahmiyyah adalah menggelari ahli sunnah dengan Musyabbihah[43]

Ishaq bin Rahawaih mengatakan:

عَلاَمَةُ جَهْمٍ وَأَصْحَابِهِ دَعْوَاهُمْ عَلَى أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ مَا أُوْلِعُوْا مِنَ الْكَذِبِ أَنَّهُمْ مُشَبِّهَةٌ بَلْ هُمُ الْمُعَطِّلَةُ

Tanda Jahm dan pengikutnya adalah menuduh ahli sunnah dengan penuh kebohongan dengan gelar Musyabbihah padahal merekalah sebenarnya Mu’atthilah (meniadakan/mengingkari sifat bagi Allah). [44]

Adapun tuduhan terhadap Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah bahwa beliau termasuk golonganMujassimah atau Musyabbihah, dengarkanlah perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyahsendiri:

“Kelompok Mu’tazilah dan Jahmiyyah dan sejenisnya dari kalangan pengingkar sifat, mereka menuduh orang-orang yang menetapkannya dengan gelar Mujassimah/Musyabbihah, bahkan diantara mereka ada yang menuduh para imam populer seperti Malik, Syafi’I, Ahmad dan para sahabatnya dengan gelar Mujassimah dan Musyabbihah sebagaimana diceritakan oleh Abu Hatim, penulis kitab “Az-Zinah”dan sebagainya”.[45]

  • Padahal, kalau mau dicermati, ternyata tuduhan “Mujassimah” itu sebenarnya mereka sendiri yang pantas menerimanya (senjata makan tuan). Mengapa demikian? Karena orang yang berfaham bahwa Allah berada di setiap tempat, dia telah membatasi Allah pada tempat yang terbatas. Maha suci Allah dari apa yang mereka ucapkan.
  • Adapun pendapat yang menyatakan bahwa Allah di atas langit, tidaklah melazimkan tajsim(membentuk). Mengapa demikian? Karena perkataan kita: “Allah tinggi di atas arsy dan berpisah dari makhluknya” tidaklah berkonotasi membatasi Allah pada satu tempat, sebab tempat itu sesuatu yang terbatas di langit dan bumi serta antara keduanya, sedangkan di atas arsy tidak ada tempat.[46]

[1] Ijtima’ Al-Juyusy Al-Islamiyyah hal. 96

[2] Penerbit Mizan, Bandung ini banyak menerbitkan buku-buku berbahaya, sesat dan menyesatkan kaum muslimin. Waspadalah!!

[3] Al-Hafizh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berkata dalam Ahkam Ahli Dzimmah 1/205: “Mengucapkan selamat kepada orang kafir hukumnya haram menurut kesepakatan ulama seperti ucapan selamat hari raya dan sebagainya. Kalau bukan kekufuran, maka minimal adalah haram, sebab hal tersebut sama halnya dengan memberi selamat atas sujud mereka terhadap salib”. (Lihat pula Syarh Mumti’ Ibnu Utsaimin 8/75)

[4] Ringkasan shalawat seperti ini tidak dibenarkan, hendaknya ditulis secara sempurna.

[5] Ar-Risalah (hal. 76),

[6] At-Tamhid (9/67-68) Lihat pula Syarh Az-Zurqani (4/84) dan Tanwir Hawalik (3/5) oleh as-Suyuthi.

[7] Lihat As-Sunnah Ibnu Abi Ashim (hal. 226-227 -Dhilalul Jannah Al-Albani-) atau (1/344 -Tahqiq Dr. Basim Al-Jawabirah-) dan Silsilah Ahadits As-Shahihah no. 3161 oleh Syaikh Al-Albani.

[8] Silsilah Ahadits As-Shahihah (1/11)

[9] Al-Asma’ wa Sifat (hal. 532-533 cet. Dar Kutub ‘ilmiyyah)

[10] Syarh Sunnah (3/239) dan (9/247

[11] Al-Hujjah fi Bayanil Mahajjah (2/118)

[12] Itsbat Sifatil Uluw hal. 47

[13] Al-Uluw lil ‘Aliyyin Adzim 1/249, tahqiq Abdullah bin Shalih al-Barrok

[14] Fathul Bari (13/359)

[15] Al-Qowashim wal ‘Awashim 1/379-380

[16] Mukhtashar Al-Uluw hal. 82

[17]  Setelah itu, penulis mendapatkan dua kitab khusus tentang pembelaan hadits ini, yaitu buku Aina Allah? Difa’ ‘an Hadits Jariyah Riwayah wa Dirayah oleh Syaikh Salim al-Hilali dan risalah Takhilul Ain bi Jawaz Sual ‘anillah bi Ain oleh DR. Shadiq bin Salim bin Shadiq. Bagi yang ingin memperluas lagi pembhasan hadits ini, kami persilahkan membaca dua risalah ini.  Dan sebagai amanat juga, kita harus mengingatkan pembaca dari para ahli bid’ah yang berusaha untuk mementehkan hadits ini seperti al-Kautsari, al Ghumari, as-Saqqof dan lain sebagainya, bahkan as-Saqqof memiiki buku berjudul “Menyuntik Pe-mahaman Dangkal Tentang Peniadaan Lafazh Dimana Allah dalam Hadits Jariyah (budak wanita)”sebagaimana dalam Kutub Hadzdzara minha Ulama I/300, Syaikh Masyhur Hasan Salman.

[18] Mutawatir. Sebagaimana ditegaskan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Iqtidha’ Shirath Mustaqim 1/34, as-Suyuthi dalam al-Azhar al-Mutanatsirah hal. 216, al-Kattani dalamNadhmul Mutanatsir hal. 93, az-Zabidi dalam Samtul Aali hal. 68-71, al-Albani dalam Shalatul I’dain hal. 39-40. (Lihat Bashair Dzawi Syaraf hal. 87-98 oleh Salim al-Hilali).

[19] At-Tamhid (7/129, 130, 134)

[20] Al-Asma’ wa Sifat (377)

[21] Shahih. HR. Abu Daud (4941), Tirmidzi (1/350), Ahmad (2/160), Al-Humaidi (591), Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf (8/526), Al-Hakim dalam Al-Mustadrak (4/159). Dan dishahihkan Al-Hakim, Ad-Dzahabi, Al-‘Iraqi, Ibnu Hajar dan lain sebagainya. Lihat As-Shahihah 3/594-595/922 oleh Al-Albani).

[22] Lihat Silsilah Ahadits As-Shahihah 6/474-475 oleh Al-Albani.

[23] Al-‘Uluw lil ‘Aliyyil Adzim (hal. 81 -Mukhtasar Al-Albani-)

[24] HR. Tirmidzi (2108), Ibnu Majah (182), Ibnu Hibban (39 -Al-Mawarid), Ibnu Abi Ashim (1/271/612), Ahmad (4/11,12) dan Ibnu Abdil Barr dalam At-Tamhid (7/137). Lihat As-Shahihah 6/469).

[25] Shahih. Riwayat At-Thabrani dalam Al-Mu’jamul Kabir (12/263/13054) dan sanadnya shahih sebagaimana dikatakan Al-Albani dalam As-Shahihah 6/470 dan Muhktasar Al-Uluwhal. 127.

[26] al-Iqtishod fil I’tiqod hal. 89

[27] I’lamul Muwaqqi’in (3/521)

[28] Ta’liq Fathul Bari (1/188)

[29] dalam Irwaul Ghalil (1/113)

[30] Ar-Radd ala Jahmiyyah hal. 46-47

[31] HR. Bukhari 7422 dan Muslim 2751

[32] HR.Bukhari 4351 dan Muslim 1064

[33] HR. Muslim 1218

[34] Shahih. Diriwayatkan Baihaqi dalam Asma’ wa Sifat 408, adz-Dzahabi dalam al-‘Uluw hal. 102 dan dishahihkan Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, dan al-Albani.

[35] Shahih. Dikeluarkan ash-Shabuni dalam Aqidah Salaf 28 dan ad-Darimi dalam ar-Radd ala Jahmiyyah hal. 47.

[36] Lihat kisah lengkapnya dalam Siyar A’lam Nubala 18/475, al-‘Uluw hal. 276-277 oleh adz-Dzahabi

[37] Sebagian pembesar sahabat Syafi’I berkata: “Dalam Al-Qur’an terlebih seribu dalil atau lebih yang menunjukkan bahwa Allah tinggi di atas para hambaNya”. (Majmu Fatawa Ibnu Taimiyyah 5/121)

[38] Syarh Aqidah Thahawiyah hal. 386.

[39] Muqaddimah Mukhtasar Al-‘Uluw hal. 70-71 oleh Al-Albani.

[40] Lihat pula Ijtima’ Al-Juyusy Al-Islamiyyah hal. 76-80 oleh Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah.

[41] Lihat At-Tadmuriyyah hal. 41 oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.

[42] Syarh Aqidah ath-Thahawiyyah 1/277

[43] Syarh Ushul I’tiqad Ahli Sunnah wal Jama’ah Al-Lalikai 1/204, Dzammul Kalam al-Harawi 4/390.

[44] Syarh Ushul I’tiqad al-Lalikai (937), Syarh Aqidah At-Thahawiyyah 1/85 oleh Ibnu Abi Izzi Al-Hanafi.

[45] Minhajus Sunnah (2/75)

[46] Lihat “Al-Jama’at Al-Islamiyyah” hal. 230 oleh Salim Al-Hilali.

Artikel : http://abiubaidah.com

10 thoughts on “Dimana Allah ?

  1. QS 57 Al Hadid : 4. Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa: Kemudian Dia bersemayam di atas ´arsy Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepada-Nya]. Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.

    Anda hanya mengambil dalil yang menguatkan Alloh di atas arsy saja, Lalu bagai manakah Ayat Quran yg mengatakan

    Dia bersama kamu di mana saja kamu berada

    QS.2 Al Baqoroh:115. Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas lagi Maha Mengetahui.

    Bukankah juga ada ayat yang mengatakan bersemayam atas bumi, Tidak ada yg bersendirian kecuali Alloh yang menemani, atw berdua sedang Alloh yang ketiga dst-dst. Cobalah anda kumpulkan mengenai jawaban “Dimana Alloh” dari Alquran saja. Maka apabila anda harus mengimani Kesemuanya, berarti anda harus mengakui bahwa Alloh ada dimana mana. Lalu apakah Layak Alloh berada pada tempat kotor atau kotoran? jawaban saya : Kotor dan najis adalah syariat untuk manusia. Sedang Bagi Alloh Tidak Ada ciptaanya yang kotor, semua adalah baik dan bermanfaat, Maha suci Engkau Ya Alloh,Tidak ada kau ciptakan sesuatupun dengan sia-sia.

    Bila anda masih ragu, saya mengajak anda mengujinya dengan Akal , karena akal itulah menjadi wajib menyembah tuhan. Sayaa awali dgn Pertanyaan Yakinkah anda bahwa Alloh itu AKBAR (maha besar) Waaasi'(maha Luas).Pemahaman Akbar menurut anda harusnya bagaimanakah? a Sangat Besar, b.Paling Besar. c. Besar Tak Terbatas. Saya yakin secara akal mestinya kita memilih Akbar Tanpa Batas untuk Alloh yg kita Sembah. Bila kita menyakini Bahwa DzatAlloh adalah Besar Tanpa Batas, maka pastilah Alloh ada dimana-mana, sebab bila diatas bumi tak ada dzatNya maka Akbarnya Menjadi Terbatas.

    Saya tidak silau dengan pendapat ulama besar,terutama ulama fikih, Tapi bila anda membaca pendapat ulama ahli hikmah atau para arif Billah, akan berbeda. Anda perlu Ketahui bahwa ilmu mengenai Haqikat Alloh adalah ilmu yg tak dibuka secara bebas(ilmu siri), hanya dibuka untuk yang mau menempuh ilmu itu langsung.

    • Pertama-tama kami mohon semoga Allah Jalla Wa Azza memberikan petunjukNya kepada kita. Amin. Adapun dalil bersemayamnya Allah di Arsy telah banyak kami sampaikan, adapun ayat Al Qur’an yg anda jadikan dalil itu berbicara tentang muroqobah (pengawasan) Allah dan penentuan arah Qiblat. (tolong baca tafsirnya). Saya tidak menjumpai ayat tentang bersemayamnya Allah di bumi.

      Saudaraku ketahuilah bahwa ajaran Islam ini telah sempurnya sebagaimana Allah jelaskan Dalam Al Maidah ayat 3, dan Rosulullah telah menyampaikan semua ajaran dari Allah. Salman Al-Farisi berkata,“Telah berkata kepada kami orang-orang musyrikin, ‘Sesungguhnya Nabi kamu telah mengajarkan kepada kamu segala sesuatu sampai buang air besar!’ Jawab Salman, ‘benar!” (Hadits Shohih riwayat Muslim). Jadi yang mesti kita lakukan dalam mempelajari Islam adalah belajar dari Alqur’an dan As-Sunnah dengan pemahaan generasi terdahulu safafus sholih, dalam masalah buang air saja Rosul telah mengajari apalagi masalah tetang Allah, adi barangsiapa yang masih mencari jalan lain dalam mempelajari agama berarti mengikari kesempurnaan ajaran ini atau menuduh Rosullullah belum menyampaikan semuanya.

      Saudaraku sesungguhnya yang lebih engetahui Allah (Arif Billah, bahasa anda) di antara hambanya adalah Rosulullah dan generasi setelahnya, maka jangan mengambil pengetahuan selain dari padanya. Dan tidak ada cara (thoriqot) menuntut ilmu secara langsung ke Allah Jalla Wa Azza.

      Insya Allah akan saya postingkan tentang turun nya Allah ke muka bumi di sepertiga malam, hal ini untuk menguatkan Allah di Arsy. Wa Allahu a’lam.

  2. Sayang Saudara tidak membantah dalil akal yang saya ajukan. Saya ingin sekali mengajukan Ilmu tauhid sebagai dasar, namun percuma apabila nanti Ilmu Tauhid anda anggap sesat. saya tidak faham bahasa arab. Arif billah hanya istilah untuk orang yg menekuni ilmu ma’rifat. Baiklah saya bertanya saja Pernahkah Saudara Mendengar Hadis yg isinya sbb: Suatu ketika salah seorang sahabat menceritakan pada sahabat yang lain “Sungguh Luar biasa apa yang baru saya terima dari Rosululloh” “Kalau begitu sampaikanlah apa yg kau dapat dari Rosul itu Kepadaku” maka di jawab ” Tidak,Tidak akan saya sampaikan kepadamu, Karena bila saya sampaikan kepadamu, maka Kamu akan Menganggap Aku Telah Kafir “. Kebanyakan orang memahami hadis tsb bahwa menyampaikan ilmu harus melihat kapasitas si penerima. Hadis tsb menggambarkan adanya ilmu siri, yaitu ilmu yng di wedar langsung antara guru dan murid secara turun temurun, maka pada jaman Rosululloh, harus beliau sendiri yg membukanya, sebab bisa menyebabkan orang salah paham dan menganggap penyampai telah kafir.Dan Setelah Beliau Wafat digantikan oleh Sy Ali ra, begitulah selanjutnya ada penunjukan-penunjukan secara turun temurun,sambung bersambung hingga sampai sekarang.Kakek buyut Guru saya kyai Syarif menerima penunjukan dari syeh Abdurohman dari Mekah itulah yang saya maksud berguru langsung. Tidak belajar dari kitab kitab,tetapi diskusi antara guru dengan murid. Selanjutnya bila anda setuju saya akan bahas menggunakan Ilmu Tauhid yang saya ketahui. InsyaAlloh besok bila saudara membalas balasan ini, karena ilmu Tauhid banyak sekali menggunakan dalil akal. Wa Allohu a’lam

  3. Assalamu a’laikum, maaf saya tambahin sedikit P.Ustad.

    Menurut Ilmu Tauhid yg saya pelajari, Bahwa Alloh mempunyai Sifat Wajib Yaitu Qiyamuhu Binafsihi, yang artinya : Berdiri pada Dzatnya Sendiri, atau bertempat pada Dzatnya Sendiri,dalam bahasa Jawa : Manggon ono ing Dzat e dewe. Sehingga menjadi bertentangan apabila P.Ustad memahami bahwa Alloh Bersemayam atas arsy. Walaupun Kalimat tersebut diambil dari Alquran, karena bertentangan dengan Ilmu Tauhid mestinya kalimat tersebut tidak diambil makna secara apa adanya.Dan lagi di lain ayat disebut juga “Alloh bersemayam atas langit” dan “Alloh bersama kamu dimanapun kamu berada”. Maha Suci Alloh dari membutuhkan pada Makhluk. QS An Ankabut 6 :

    Dan barangsiapa yang berjihad, maka sesungguhnya jihadnya itu adalah untuk dirinya sendiri. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.

    Ditinjau dari sifat Alloh Wahdaniyah juga tidak bersesuain. Yang saya fahami ke esaan Alloh adalah esa yg hakiki mutlak. Sehingga tidak bisa berpisah antara sifat dan dzat. tetapi dalam satu kesatuan. Yang saya maksud Bila Alloh maha mengetahui,maka Alloh mengetahui dengan Dzatnya,tidak dengan pengetahuannya. Jadi Bila Alloh Melihat,maka melihat pula dengan Dzatnya, tidak bisa disifati Alloh punya mata. Sehingga Dia lah Dzat Yang maha meliputi/memenuhi seluruh langit dan bumi( milussama wati wal ardi ). Tidak seperti manusia yang melihat memakai mata, teropong ,kamera dst. Demikian pula bila Alloh dikatakan maha Kuasa,Dia menguasai setiap sesuatu dengan Dzatnya. Tidak seperti seorang Raja yang duduk diatas singgasana di ibukota kerajaanya,yang kuasanya dilaksanakan oleh bawahanya. Itulah Mengapa Singgasana Alloh(kursi Alloh) dikatakan seluas seluruh langit dan bumi (ayat kursi).

    Terakhir saya ingin menggabarkan Dzat Alloh itu sebagaimana dilukiskan Thoriqot Satariyah, yang saya ambil dari buku “satrio Paningit medar Ilmu sejati” yg ditulis oleh DR.A.Khozin Affandi dan Prof.DR.Bisri Affandi MA. diterbitkan oleh Pustaka Pondok Sufi,cetakan juni 2001 hal 51 :

    Semua Makhluk (termasuk manusia) dengan keberadaan Diri Ilahi adalah sebagaimana ikan dalam samudra yang selalu meliputi (air samudra). Oleh karena itu amat sangat dekat sekali,yang bernafaspun tidak ,kalaulah tidak denganNya.Apalagi hingga berdaya dan bertenaga. Oleh karena itu apabila mata hati ini buta tidak mengetahui keberadaan Nya Dzat Yang Al -Ghoib ini, saat mati juga buta, di akhirat lebih buta dan lebih sesat yang sejauh jauhnya ( Guru Wasithah).

    Saya Bukan pengikut Thiriqot Satariyah, tetapi membenarkan gambaran tersebut. Cocok dengan kalimat ” La haula wa la Kuwata Illa Billah” dan QS 17 Bani Israil :72

    Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).

    Semoga bermanfaat,menjadi penerang jalan Tauhid Kita,WaAllohu a’lam
    Wassalamu a’laikum warohmatullohi wabarokatuh.

  4. Waalaikum salam warohmatullahi wa barakatuhu,

    Pertama
    Mepelajari ilmu tauhid adalah salah satu keharusan bagi seorang muslim, jadi kami tidak mengharamkannnya. Rosulullah telah berpesan kepada kita agar kita berpegang teguh pada dua hal yaitu Al Quran dan Sunnah, dan kita tidak akan tersesat selamanya jika berpegang pada 2 hal tersebut. Dalam memahami Al Qur’an kita harus memahami berdasarkan apa yang dipahami umat terdahulu karena merekalah yang paling tahu bagaimana Al Qur’an dipahami dan dijalankan. Sebagaimana pesan Rosulullah “ Sebaik-baik zaman adalah zamanku (sahabat) dan generasi sesudahnya (tabiin) dan generasi sesudahnya (tabiut tabiin).”.
    Jadi ketika kita melihat satu ayat bertentangan dengan ayat yang lain menurut kita maka kita harus merujuk kepada pemahaman generasi terdahulu, karena tidak akan ada pertentangan di antara ayat al Qur’an, demikian juga dengan hadist shohih. Adapun fungsi akal adalah untuk memahami dalil-dalil tersebut, jadi jika ada sesuatu dari Al Quran atau hadist yang shohih bertentangan dengan akal, maka akalah g wajib tunduk pada dalil bukan sebaliknya.
    Tentang dalil akal yang anda sampaikan pengertian Allahu Akbar, saya nasehatkan agar anda tidak terjebak pada aksioma logika yang anda bikin sendiri. Misalkan saya bertanya kepada anda “apakah Allah yang Maha Besar mampu membuat sesuatu yang tidak dapat diangkatNya?”. Ini adalah salah satu pertanyaan yang seolah-olah logis namun sangat tidak logis.
    Kembali kemasalah Allah besemayam diatas Arsy telah disampaikan dalil-dalil baik dari Alquran Hadist perkatan sahabat dalil akal bahkan secara fitrah (saya tidak tahu arti yang tepat mungkin “hati nurani”). Semuanya sudah ada di makalah di atas. Adapun ada ayat yang lain yang mengatakan sebaliknya menurut anda, maka harus mengkaji pengertian ayat tersebut, karena sekali lagi tidak ada kontradiksi di Al Qur’an.

    Kedua

    Hadist yang anda sampaikan insyaAllah ada dishohih Buchori.Adapun cara menutut ilmuyg seperti anda sebut “medar ilmu” jelas mempunyai banyak kelemahan, teringat saya saat bapak Mario Teguh pakar motivator Indonesia pada suatu acara minta beberapa orang untuk ke depan forum,kemudian beliau meminta bebaris dan menunjukan sebuah kalimat perintah ke orang pertama untuk dibisikan ke peserta selanjutnya,lantas apa yang terjadi?. Perintah atau informasi itu sudah bias sebelum pada orang terakhir.Demikianlah jikasuatu ilmu tidak ditulis tapi disampaikan dariseorang ke orang berikutnya.Hal ini sangat berbeda dengan hadist yang tertulis,sehinggabisa diperiksa baik matan, rowi maupun sanadnya. Ingatlah pesan Rosulullah SAW “ Ikatlah Ilmu dengan ditulis “

    Ketiga
    Allah dzat yang ghoib,untuk mengetahuinya kita hanyabisa tahu dari yang diinformasikan olehNya. Dalam memahami tauhid aqidah asma wa sifat dalam penetapannya kita hanya menetapkan beriman kepada nama-nama Allah dan sifat-sifatNya, sebagaimana yang diterangkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah RasulNya Shallallaahu alaihi wa Salam menurut apa yang pantas bagi Allah Subhannahu wa Ta’ala, tanpa ta’wil dan ta’thil, tanpa takyif, dan tamtsil, berdasarkan firman Allah Subhannahu wa Ta’ala : “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Asy-Syura: 11) . Adapun sifat 20 yang diklaim dari Imam Al Asy’ari sebetulnya bukan dari beliau tapi dariAl Maturudi. Sedangkan Imam al Asy’ari sendiri kembali ke aqidah Imam Ahmad bin Hanbal.( Lihat kitab Al Ibanah Al Ushuludiniyah Karya Imam AL Asy’ari).

    Mohon juga dibaca aqidah Imam Empat di

    Wa Allahu A’lam

    Malan 29 Ramadhon 1432 H

  5. Pertama
    Mepelajari ilmu tauhid adalah salah satu keharusan bagi seorang muslim, jadi kami tidak mengharamkannnya. Rosulullah telah berpesan kepada kita agar kita berpegang teguh pada dua hal yaitu Al Quran dan Sunnah, dan kita tidak akan tersesat selamanya jika berpegang pada 2 hal tersebut. Dalam memahami Al Qur’an kita harus memahami berdasarkan apa yang dipahami umat terdahulu karena merekalah yang paling tahu bagaimana Al Qur’an dipahami dan dijalankan. Sebagaimana pesan Rosulullah “ Sebaik-baik zaman adalah zamanku (sahabat) dan generasi sesudahnya (tabiin) dan generasi sesudahnya (tabiut tabiin).”.
    Jadi ketika kita melihat satu ayat bertentangan dengan ayat yang lain menurut kita maka kita harus merujuk kepada pemahaman generasi terdahulu, karena tidak akan ada pertentangan di antara ayat al Qur’an, demikian juga dengan hadist shohih. Adapun fungsi akal adalah untuk memahami dalil-dalil tersebut, jadi jika ada sesuatu dari Al Quran atau hadist yang shohih bertentangan dengan akal, maka akalah g wajib tunduk pada dalil bukan sebaliknya.
    Tentang dalil akal yang anda sampaikan pengertian Allahu Akbar, saya nasehatkan agar anda tidak terjebak pada aksioma logika yang anda bikin sendiri. Misalkan saya bertanya kepada anda “apakah Allah yang Maha Besar mampu membuat sesuatu yang tidak dapat diangkatNya?”. Ini adalah salah satu pertanyaan yang seolah-olah logis namun sangat tidak logis.
    Kembali kemasalah Allah besemayam diatas Arsy telah disampaikan dalil-dalil baik dari Alquran Hadist perkatan sahabat dalil akal bahkan secara fitrah (saya tidak tahu arti yang tepat mungkin “hati nurani”). Semuanya sudah ada di makalah di atas. Adapun ada ayat yang lain yang mengatakan sebaliknya menurut anda, maka harus mengkaji pengertian ayat tersebut, karena sekali lagi tidak ada kontradiksi di Al Qur’an.

    Kedua

    Hadist yang anda sampaikan insyaAllah ada dishohih Buchori.Adapun cara menutut ilmuyg seperti anda sebut “medar ilmu” jelas mempunyai banyak kelemahan, teringat saya saat bapak Mario Teguh pakar motivator Indonesia pada suatu acara minta beberapa orang untuk ke depan forum,kemudian beliau meminta bebaris dan menunjukan sebuah kalimat perintah ke orang pertama untuk dibisikan ke peserta selanjutnya,lantas apa yang terjadi?. Perintah atau informasi itu sudah bias sebelum pada orang terakhir.Demikianlah jikasuatu ilmu tidak ditulis tapi disampaikan dariseorang ke orang berikutnya.Hal ini sangat berbeda dengan hadist yang tertulis,sehinggabisa diperiksa baik matan, rowi maupun sanadnya. Ingatlah pesan Rosulullah SAW “ Ikatlah Ilmu dengan ditulis “

    Ketiga
    Allah dzat yang ghoib,untuk mengetahuinya kita hanyabisa tahu dari yang diinformasikan olehNya. Dalam memahami tauhid aqidah asma wa sifat dalam penetapannya kita hanya menetapkan beriman kepada nama-nama Allah dan sifat-sifatNya, sebagaimana yang diterangkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah RasulNya Shallallaahu alaihi wa Salam menurut apa yang pantas bagi Allah Subhannahu wa Ta’ala, tanpa ta’wil dan ta’thil, tanpa takyif, dan tamtsil, berdasarkan firman Allah Subhannahu wa Ta’ala : “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Asy-Syura: 11) . Adapun sifat 20 yang diklaim dari Imam Al Asy’ari sebetulnya bukan dari beliau tapi dariAl Maturudi. Sedangkan Imam al Asy’ari sendiri kembali ke aqidah Imam Ahmad bin Hanbal.( Lihat kitab Al Ibanah Al Ushuludiniyah Karya Imam AL Asy’ari).

    Mohon juga dibaca prinsip aqidah Imam Empat di blog ini

    Malam 29 Ramadhon 1432 H

  6. Assalamu alaikum wr wb . Saya menggaris bawahi sanggahan anda terhadap Dalil akal yang saya ajukan yaitu : “Apakah Allah yang Maha Besar mampu membuat sesuatu yang tidak dapat diangkatNya?”. Ini adalah salah satu pertanyaan yang seolah-olah logis namun sangat tidak logis…….. Sangat jelas kiranya dalil akal yg saya ajukan sangat berbeda. Saya hanya memberikan pilihan Definisi/pengertian anda thd Kalimat ALLOHU AKBAR yang mengandung konsekwensi pemahaman yg menyertainya. Tentu akal akan memilih apa yg sesuai fitrah akal sendiri. Mungkin perlu saya jelaskan bahwa sebagai org yang mengikuti kajian Ilmu Tauhid Tidaklah mungkin melontarkan pertanyaan yang bertentangan dengan Ilmu Tauhid seperti pertanyaan diatas.
    Dalam Ilmu Tauhid Dijelaskan bahwa Tuhan hanya melakukan pekerjaan sesuai dengan SIFAT KETUHANAN Nya saja. Banyak yang tidak bisa dilakukan tuhan karena bertentangan dengan sifat ketuhananNya, Karena Bila Tuhan melakukan hal tersebut maka menjadi BATAL ketuhanannya. Misalnya :

    – Tuhan tidak mungkin mengusir manusia keluar dari wilayah kekuasaan Nya, karena tidak ada suatu wilayahpun kecuali pasti wilayah kekuasaan Alloh. (mengutip: Ahmad Deedat di yutube)
    – Tuhan tidak mungkin menciptakan Tuhan
    – Tuhan tidak mungkin menjelma, karena bersifat BAQO’,tidak akan pernah berubah.
    – Tuhan juga tidak mungkin menampakkan diri, karena Dia adalah Dzat yg maha DZAHIR,dan BAQO’ tidak berubah sedikitpun
    Itulah kenapa Nabi Musa Bertobat setelah memperoleh pemahaman dari Alloh, Qs :7. Al A’raf :143. Untuk memahami/melihat Tuhan Persepsi/pemahaman manusia yag harus berubah hingga manusia mengenali Nya.
    – Tuhan juga tidak bergerak – gerak, Karena setiap gerak akan membutuhkan ruang gerak. Mahasuci Alloh dari membutuhkan ruang. Walaupun Dia adalah Dzat yg maha menggerakkan.

    Akhirnya Tetap saya tak bisa menerima pendapat Bahwa “Alloh bersemayam atas arsy” saja sebagai jawaban “Dimanakah Alloh”. karena sangat jelas Alquran punya banyak jawaban yang berbeda-beda untuk pertannyaan tsb, dan bisa disimpulkan dalam QS.2.Al Baqoroh : 115

    وَلِلَّهِ المَشرِقُ وَالمَغرِبُ ۚ فَأَينَما تُوَلّوا فَثَمَّ وَجهُ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ وٰسِعٌ عَليمٌ

    (115) Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke mana pun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas lagi Maha Mengetahui

    Memang ayat tersebut Asbabul Nujulnya ttg Kiblatnya orang bingung, namun siapakah yang berani menyanggah kebenaran kalimat dari Alloh tersebut apa adanya ?.

    Kenapakah Anda Mengambil satu bagian,dan membuang yang lain ayat Quran ? . Sedang yang saya lalukan adalah mengumpulkan semuanya, kemudian menyimpulkan menjadi satu sehingga tidak terjadi pertentangan antar ayat Quran. Dan Kesimpulan tersebut Juga Ayat Quran sendiri. Jadi bila anda menentang pendapat saya, otomatis anda menentang Quran sendiri. Tidakkah anda takut ?

    QS.57 Al Hadid :4

    هُوَ الَّذى خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَالأَرضَ فى سِتَّةِ أَيّامٍ ثُمَّ استَوىٰ عَلَى العَرشِ ۚ يَعلَمُ ما يَلِجُ فِى الأَرضِ وَما يَخرُجُ مِنها وَما يَنزِلُ مِنَ السَّماءِ وَما يَعرُجُ فيها ۖ وَهُوَ مَعَكُم أَينَ ما كُنتُم ۚ وَاللَّهُ بِما تَعمَلونَ بَصيرٌ ﴿٤﴾

    (4) “Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa; Kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya. Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”

    Alasan Apakah hingga anda anggap pendapat Bahwa “Alloh ada dimana mana ” itu adalah pendapat yang sesat ?, cukup sekian

    Wassalamu A’laikum Wr.Wb

  7. Tambahan sedikit.

    Sulit sekali bagi saya menerima pendapat saudara, karena ” Alloh Bersemayam Atas Arsy ” Bukanlah Jawaban yang Tuntas, tetapi menimbulkan berbagai pertanyaan yang semakin sulit dijawab. Atau konsep tersebut akan membutuhkan gambaran yang tak mungkin anda bisa menjelaskan. Sehingga Pasti anda akan mengatakan bahwa Akal manusia terbatas dan tak boleh bertanya lagi tentang Haqiqot Tuhan. Sehingga Nasibnya akan seperti Dogma Kristiani : Cukup anda Imani sana titik. Haram bertanya lebih dalam lagi.

  8. Saudara Mengatakan “Allah dzat yang ghoib”
    Sedang Alquran mengatakan : QS 57, Al Hadid :3
    هُوَ الأَوَّلُ وَالءاخِرُ وَالظّٰهِرُ وَالباطِنُ ۖ وَهُوَ بِكُلِّ شَيءٍ عَليمٌ ﴿٣﴾
    (3) “Dialah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Dzahir dan Yang Batin; dan Dia Maha Mengetahui setiap sesuatu.

    Dialah Dzat yg maha Dzahir , Terlihatnya seluruh Makhluknya adalah karena ke Dzahiran Nya. Setiap yang terlihat Indah itu bukan makluk nya yang indah, tapi Alloh yg maha Indah, karena Alloh lah yang memberi idzin keindahan itu masuk ke mata Manusia. Sungguh patut bila kita mengucapkan Subhanalloh. Tiada daya kekatan Kecuali dengan Alloh

  9. 1. mohon dibaca lagi dengan teliti artikel diatas, sehingga dalil-dalil yang disampakan adalah sangat jelas dan mohon juga dibaca penjelasan Ustadz Abdul hakim Abdat di https://ilmuislam2011.wordpress.com/2011/08/25/bantahan-bagi-yang-menganggap-allah-ada-dimana-mana/
    2. Dalam memahami al qur’an harus dengan cara yang benar mengikuti penafsiran yang benar, sehingga kita tidak salah memahami, dan mengambil kesimpulan. Atau setidaknya membaca terjemahan dan catatan kaki Depag. Surat Al Baqoroh 115 berkenaan dengan arah kiblat ( lihat tafsir ibnu katsir) Adapun surat Al hadid makna “zhahir” adalah Yang Maha Tinggi tiada diatasNya seseuatupun (terjemahan Depag). Saya tidak pernah menjumpai penafsiran pemahaman Surat Al Hadid sebagaimana yang anda sampaikan. Dalam memahami Al-Qur’an sebaiknya anda melihat bagaimana al Qur’an dipahami ulama yang berkompeten (ahli tafsir). Kalau memahami secara leksikal akan terjadi banyak kekeliruan, coba anda lihat surat Al maidah ayat 44 “ Barang siapa yang tidak berhukum kepada Allah maka mereka tergolong orang kafir”, kalau dimaknai secara leksikal saja maka akan terjadi pengkafiran dimana-mana, orang yang tidak menutup aurot maka ia kafir dan tidak berhak diberi salam, disholati dsb, maka ikutilah tafsir yang benar dari para ulama yang terpercaya, dari kitab tafsir yang mashur, seperti ibnu katsir dsb.
    3. Allah azza wa jalla berfirman “ bertanyalah kepada ahlu dzikir (orang yang memiliki ilmu), jika kalian tak mengerti”. Maka selayaknyalah kita mengikuti para ulama karena mereka telah dikarunai Allah ilmu, dan jelas tidak sama pemahaman orang yang memahami agama dari sumber secara leksikal dengan para ulama yang memahami dan menghafal ilmu agama berseta cabang-cabangnya.

    Akirnya saya mohon kepada Allah bimbinganNya untuk kita semua dan kita diselamatkan dari pemahaman yang tidak benar akan agamaNya, dan diseelamatkan dari Neraka Amin

Tinggalkan komentar