Arsip

MU’AMALAT RIBAWI DAN BAHAYANYA (SELESAI)

BAHAYA DAN IMPLIKASI BURUK RIBA DAMPAK NEGATIF RIBA BAGI PRIBADI DAN MASYARAKAT.

Syari’at islam tidak memerintahkan kepada manusia kecuali pada sesuatu yang membawa kepada kebahagian dan kemuliannya didunia dan akherat dan hanya melarang

dari sesuatu yang membawa kesengsaraan dan kerugian didunia dan akherat. Demikian juga larangan riba dikarenakan memiliki implikasi buruk dan bahaya bagi manusia.

Baca lebih lanjut

MU’AMALAT RIBAWI DAN BAHAYANYA (BAGIAN 3)

BALASAN PEMAKAN RIBA

Imam Al Sarkhasi menyampaikan 5 balasan dan hukuman bagi pemakan riba yang ada dalam ayat-ayat ini (Al Baqarah: 275-279) yaitu:

  • Kesurupan, seperti dalam firman Allah Ta’ala:

 

الَّذِينَ يَأْكُلوُنَ الرِّبَا لاَ يَقُومُونَ إِلاَّ كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَن جَآءَهُ مَوْعِظَةُُ مِّن رَّبِّهِ فَانتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللهِ وَمَنْ عَادَ فَأُوْلَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ

“Orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al Baqarah: 275)

Baca lebih lanjut

MU’AMALAT RIBAWI DAN BAHAYANYA (BAGIAN 2)

DALIL-DALIL YANG MENGHARAMKAN RIBA DARI AS-SUNNAH

Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari hadits Abu Hurairah bahwa Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda:

اجتنبوا السبع الموبقات قالوا يا

رسول الله وما هن قال الشرك بالله والسحر وقتل النفس التي حرم الله إلا بالحق وأكل الربا وأكل مال اليتيم والتولي يوم الزحف وقذف المحصنات المؤمنات الغافلات

“Hindarilah tujuh hal yang membinasakan.” Ada yang bertanya: “Apakah tujuh hal itu wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Menyekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa dengan cara yang haram, memakan riba, memakan harta anak yatim, kabur dari medan perang, menuduh berzina wanita suci yang sudah menikah karena kelengahan mereka. “

Baca lebih lanjut

RIBA BUKAN PERNIAGAAN

Oleh
Ustadz Aunur Rafiq Ghufron

وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا

Dan Allah menghalalkan perniagaan dan mengharamkan riba. [Al Baqarah:275].

Perniagaan model riba pada masa sekarang telah menyebar, merata di seluruh pelosok dunia, di kota dan di desa. Penggemarnya bukan hanya orang kafir, tetapi juga kaum muslimin. Berniaga dengan uang pinjaman dari bank riba yang harus dibayar bunganya setiap bulan itu, bukan hanya penguasaha kecil yang susah mencari pinjaman orang kampung -sehingga didatangi oleh bank keliling yang ingin menelurkan induknya dengan mencekik kaum dhuafa’- akan tetapi pengusaha yang kayapun hobinya senang berhutang di bank riba.

Mereka menganggap riba sama sengan peniagaan, karena dinilai sama-sama mencari keuntungan. Tentunya orang mukmin yang ingin menghidupkan hukum Allah dan Sunnah NabiNya tidak akan diam menghadapi kemungkaran ini.

Selanjutnya, mari simak pembahasannya, agar kita selamat dari murka Allah di dunia dan di akhirat. Semoga Allah memberi petunjuk kepada kita. Amin.

MAKNA RIBA DAN PERNIAGAAN 
Riba menurut bahasa artinya tambahan. [1] Sedangkan menurut istilah, ialah tambahan secara khusus. [2] Sedangkan maksud tambahan secara khusus, ialah tambahan yang diharamkan oleh syari’at Islam, baik diperoleh dengan cara penjualan, atau penukaran atau peminjaman yang berkenaan dengan benda riba.

Perniagaan (al bai’ was syira’), ialah memberikan harga dan mengambil yang dihargai. [3] Maksudnya, menyerahkan sesuatu yang berharga, dengan mengambil sesuatu yang lain, bertujuan untuk dimiliki, dengan akad secara lisan atau perbuatan, berdasar suka sama suka. Dalilnya firman Allah.

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ أمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu. [An Nisa’:29].

HUKUMNYA
Riba hukumnya haram, berdasarkan firmanNya: ( وَحَرَّمَ الرِّبَا dan Allah mengharamkan riba. (Al Baqarah:275), dan berdasarkan hadist yang shahih dan ijma’ ulama. Sedangkan perniagaan hukumnya -menurut asal- adalah halal, berdasarkan firmanNya: ( وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ ) dan Allah menghalalkan perniagaan. [Al Baqarah:275]

Perniagaan yang asalnya halal ini, suatu saat akan berubah menjadi haram karena ada beberapa sebab, antara lain:

Pertama : Penjualan benda tertentu.
Seperti dilarang menjual anjing, kucing, kera, binatang buas dan semisalnya. Dalilnya ialah, shahabat Ibn.Umar Radhiyallahu ‘anhu berkata:

نَهَى النبي عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang menerima hasil dari penjualan anjing. [HR Bukhari, Kitabul Buyu’]. [4]

Kedua : Sifat penjualannya.
Seperti menjual barang yang belum jelas, menjual anak kambing di dalam perut induknya, menjual kacang tanah yang masih di dalam tanah, menjual ikan di dalam air, menjual kambingnya yang hilang, menjual barang yang bukan miliknya dan seterusnya, hal seperti ini dilarang. Mengapa? Karena ada hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bersumber dari shahabat Abu Hurairah, dia berkata:

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ عَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang menjual barang yang ada unsur penipuan (tidak jelas). [HR Muslim, Kitabul Buyu’].

Ketiga : Berkenaan dengan waktunya.
Seperti berjualan ketika khatib sedang berkhotbah Jum’ah sampai selesai shalat.

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ أمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ

Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum`at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. [Al Jum’ah:9].

Keempat : Berhubungan dengan tempatnya.
Seperti berjual-beli di masjid. Dalilnya sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersumber dari shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, beliau bersabda:

إِذَا رَأَيْتُمْ مَنْ يَبِيعُ أَوْ يَبْتَاعُ فِي الْمَسْجِدِ فَقُولُوا لَا أَرْبَحَ اللَّهُ تِجَارَتَكَ

Apabila kamu melihat orang berjualan di masjid atau membelinya, maka katakanlah: semoga Allah tidak memberi laba perniagaanmu. [Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan Ad Darimi. Albani berkata, sanadnya shahih menurut ketetapan Imam Muslim].[5]

Kelima : Berkenaan dengan caranya.
Seperti menjual barang ribawi (mengandung unsur riba). Misalnya: menjual emas dengan emas, dengan melebihkan timbangannya sekalipun beda bentuknya. Atau menjual uang yang sama jenisnya, dengan melebihkan (menjual satu juta rupiah dengan memperoleh satu juta limapuluh ribu rupiah). Menjual beras lima kilogram dengan beras kwalitas lain, dengan tiga kilogram dan seterusnya. Dalilnya hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bersumber dari shahabat Abu Said Al Khudri Radhiyallahu ‘anhu.

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ مِثْلًا بِمِثْلٍ وَالْوَرِقُ بِالْوَرِقِ مِثْلًا بِمِثْلٍ

Menjual emas dengan emas, hendaknya sama nilainya (timbangannya). Perak dengan perak, hendaknya sama pula timbangannya. [HR Bukhari, Kitabul Buyu’]

PERBEDAAN ANTARA RIBA DENGAN PERNIAGAAN 
Menurut pandangan orang jahiliyah dahulu, perniagaan itu disamakan dengan riba dari segi keuntungan (sebagaimana tercantum dalam surat Al Baqarah ayat 275). Tetapi dari segi hukum, menurut pandangan Dinul Islam jelas berbeda. Riba hukumnya haram, tidak berubah menjadi halal dengan alasan apapun. Pelakunya diancam dengan tidak memperoleh barakah dari keuntungan yang didapatnya dan di akhirat mendapat siksa. Sedangkan perniagaan asalnya halal, kecuali sebagian bentuk perniagaan yang dilarangan dalam Al Qur’an, Sunnah dan Ijma’ ulama.

Mengingat pembahasan perbedaan antara jual-beli dan riba ini sangat luas jangkaunnya, -dikarenakan banyak dalil yang menjelaskan bentuk perniagaan yang haram (yang mengandung riba), disusul pula perkembangan model perniagaan pada zaman sekarang, yang pada hakikatnya mengarah kepada riba- oleh karenanya dalam pembahasan ini, kami batasi hanya memberikan contoh-contoh sepanjang pengetahuan kami model perniagaan dan riba yang berkembang pada masa kini dengan mengacu kepada dalil dari Al Qur’an, Sunnah dan fatwa para ulama’ yang dapat dipercaya keilmuannya.

Sebelum memasuki pembahasan perbedaan diantara keduanya, perlu kita mengetahui, mengenai benda apa yang apabila ditukar atau dijual dengan melebihkan salah-satunya, berarti dinamakan riba? Maka jawabnya ialah berikut ini.

Pertama : Ulama ahli fiqih telah sepakat, bahwa enam barang ini, yaitu: emas, perak, gandum, syair (jenis gandum), korma dan garam, tergolong riba, yaitu bila:
1. Dijual atau ditukar sama jenisnya dengan menambah pada salah satunya. Dinamakan riba fadhel.
2. Dijual atau ditukar, tidak diambil sebelum berpisah dari majelis. Dinamakan riba nasiah.
3. Dijual atau ditukar sama jenisnya dengan menambah pada salah satunya, dan diambil kemudian hari. Dinamakan riba fadhel dan nasiah.

Adapun dalilnya, sebagaimana dituturkan Ubadah bin Ash Shamit Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, sesungguhnya kami pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلًا بِمِثْلٍ يَدًا بِيَدٍ , فَمَنْ زَادَ أَوِ اسْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَى , الْآخِذُ وَالْمُعْطِي فِيهِ سَوَاءٌ

Emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dengan gandum, syair (jenis gandum) dengan syair, korma dengan korma, garam dengan garam, maka harus sama (timbangan atau takarannya) dan harus lewat tangan dengan tangan (diterima sebelum berpisah). Maka barangsiapa yang menambahi atau minta tambah, sungguh ia telah meribakan, yang mengambil atau yang memberi sama. [HR Muslim, Kitabul Masaqat].

Kedua : Ulama fiqih berbeda pendapat, tentang barang ribawi selain enam macam tersebut. Ada yang berpendapat:
1. Tidak termasuk ribawi. Demikian ini pendapat Zhahiriyah
2. Semua barang yang dijual dengan timbangan atau takaran termasuk ribawi. Demikian pendapat Imam Ahmad dan Abu Hanifah.
3. Mata uang dan makanan, demikian pendapat Imam Syafi’i.
4. Khusus makanan yang dijual dengan timbangan atau takaran, menurut pendapat Imam Ahmad.
5. Makanan pokok bila ditukar sama jenisnya dengan melebihkan, termasuk riba. Demikian pendapat Imam Ahmad dan Imam Malik.

Ibnul Qoyyim berkata,”Pendapat yang paling kuat, ialah pendapat yang mengatakan, bahwa makanan pokok bila dijual sama jenisnya dengan melebihkan salah satunya atau tidak diambil langsung, termasuk riba.”[6]

Contohnya gula dengan gula, tepung dengan tepung, beras dengan beras dan seterusnya.

Pendapat yang dikuatkan oleh Ibnul Qoyyim ini, nampaknya diperkuat pula oleh hadits dari Makmar bin Abdullah. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda.

الطَّعَامُ بِالطَّعَامِ مِثْلًا بِمِثْلٍ, قَالَ وَكَانَ طَعَامُنَا يَوْمَئِذٍ الشَّعِيرَ

Makanan ditukar dengan makanan harus sama. Makmar berkata: Makanan kami saat itu ialah gandum. [HR Muslim, Bab Al Masaqah].

CONTOH PERBEDAAN ANTARA RIBA DENGAN PERNIAGAAN
1. Termasuk riba, bila menjual atau menukar uang lain jenis, dengan pembayaran belakangan.
Misalnya, menjual dolar dengan rupiah, salah satunya diambil nanti atau besok dan seterusnya. Penjualan ini haram karena termasuk riba nasi’ah.

Dalilnya, dari Umar bin Khathab Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata:

وَلَا تَبِيعُوا الْوَرِقَ بِالذَّهَبِ أَحَدُهُمَا غَائِبٌ وَالْآخَرُ نَاجِزٌ

Dan janganlah kamu menjual perak dengan emas, salah satunya tidak kelihatan yang lain di hadapannya (tunai). [HR Imam Malik, Kitabul Buyu’, sanadnya shahih].

Termasuk jual beli yang sah, bila menjual uang lain jenis dengan pembayaran tunai, sekalipun tidak sama nilainya.

Misalnya, menjual $ 100 USA dengan Rp 900.000,- diterima di tempat penjualan, maka penjualan ini sah, karena uangnya lain jenis dan diterima di tempat.

Dalilnya, dari Ubadah bin Shamit, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الْأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ

Maka apabila berbeda jenisnya, juallah sesukamu apabila berhadap-hadapan (tunai). [HR Muslim, Kitabul Masaqat].

Lembaga Darul Ifta’ Saudi Arabia menyatakan: Benda ribawi, apabila sama penyebabnya dan berbeda jenisnya, boleh dijual dengan melebihkan salah satunya, tetapi harus tunai. [7]

2. Termasuk riba, menjual barang ribawi yang sama jenisnya yang satu kelihatan, sedangkan yang lainnya tersembunyi.
Misalnya: Jual gelang emasmu 10 gr ini dengan kalung emasku di rumah seberat 10 gr. Penjualan seperti ini haram, karena termasuk riba nasi’ah.

Dalilnya, dari Abu Sa’id Al Khudri Radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

لَا تَبِيعُوا الذَّهَبَ بِالذَّهَبِ إِلَّا مِثْلًا بِمِثْلٍ وَلَا تُشِفُّوا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ وَلَا تَبِيعُوا الْوَرِقَ بِالْوَرِقِ إِلَّا مِثْلًا بِمِثْلٍ وَلَا تُشِفُّوا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ وَلَا تَبِيعُوا مِنْهَا غَائِبًا بِنَاجِزٍ

Janganlah kamu menjual emas dengan emas, melainkan sama timbangannya, jangan engkau melebihkan sebagian atas sebagian, dan janganlah kamu menjual perak dengan perak, melainkan sama timbangannya, jangan engkau melebihkan sebagian atas sebagian, dan jangan engkau menjual yang tidak kelihatan dengan yang nampak. [HR Bukhari, Kitabul Buyu’].

Lembaga Darul Ifta’ Saudi Arabia menyatakan: Benda ribawi, bila sama illat (penyebab) dan jenisnya, haram dijual dengan lebih (fadhel) atau tertunda (nasi’ah) penerimaannya. [8]

Termasuk jual beli yang sah, bila dia berkata: Jual gelang emasmu 10 gr ini, dengan kalung emasku seberat 10 gr itu. Hukum perniagaanya sah, karena sama ridha dan sama nilainya dan keduanya diterima ditempat.

3. Termasuk riba, menjual barang ribawi, sama illat dan jenisnya, jika dilebihkan satu sama lain, karena lain bentuk.
Misalnya: Aku jual perakku yang berupa cincin 10 gr ini dengan gelang perakmu 12 gr itu.

Hukum penjualan seperti ini haram, sekalipun sama-sama ridha, sama illat dan jenisnya, diterima ditempat, tetapi berbeda nilainya, yaitu 10 gr dengan 12 gr. Ini termasuk riba fadhel.

Dalilnya, lihat hadits yang dituturkan Ubadah bin Ash Shamit di atas, yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Kitabul Masaqah.

Lembaga Darul Ifta’ Saudi Arabia menyatakan: Dilarang menjual perhiasan dari emas dengan emas, perak dengan perak, lebih dari timbangannya karena berbeda bentuknya. [9]

Termasuk jual beli yang sah, bila,
a. Perak dengan perak tadi dijual sama timbangannya, seperti 10 gr dengan 10 gr sekalipun berbeda modelnya (misal: gelang dengan cincin).Dalilnya sebagaimana hadits diatas.
b. Dijual cincin perak dengan berat 10 gr tadi dengan uang, lalu dibelikan perak berupa gelang 12 gr tadi, walaupun tidak menambah dengan uang.
c. Jual atau tukar tambah sepeda dengan sepeda, motor dengan motor yang sama merknya, rumah dengan rumah, tanah dengan tanah dan semisalnya, sekalipun sama jenisnya dan diterima saat sebelum pisah, tetapi illatnya bukan barang ribawi, yaitu bukan emas dan perak atau uang dan bukan makanan pokok.
d. Menjual makanan yang lazimnya tidak dijual dengan takaran, seperti buah durian dengan buah kelapa, sekalipun jumlahnya berbeda, karena illatnya buah bukan makanan pokok dan tidak harus dijual dengan takaran atau timbangan.

4. Termasuk riba, menjual barang ribawi, sama illat dan jenisnya, jika dilebihkan satu sama lain, karena lain mutu atau kwalitasnya.
Misalnya: Saya jual berasku 100 kg yang aku peroleh dari tunjangan pemerintah ini dengan berasmu yang baru itu 90 kg, atau gula 5kg warnanya putih sekali ini dijual dengan gula agak kekuning-kuningan 6 kg. Hukum penjualan seperti ini haram, karena termasuk riba fadhel, dan karena illatnya sama. Yaitu makanan pokok dan jenisnya sama (beras dengan beras, gula dengan gula) sekalipun kwalitasnya tidak sama.

Dalilnya Dari Abu Hurairah, ia berkata:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ اسْتَعْمَلَ رَجُلًا عَلَى خَيْبَرَ فَجَاءَهُ بِتَمْرٍ جَنِيبٍ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ أَكُلُّ تَمْرِ خَيْبَرَ هَكَذَا قَالَ لَا وَاللَّهِ يَارَسُولَ اللَّهِ , إِنَّا لَنَأْخُذُ الصَّاعَ مِنْ هَذَا بِالصَّاعَيْنِ وَالصَّاعَيْنِ بِالثَّلَاثَةِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّه لَا تَفْعَلْ بِعِ الْجَمْعَ بِالدَّرَاهِمِ ثُمَّ ابْتَعْ بِالدَّرَاهِمِ جَنِيبًا

Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat seorang pekerja (Sawad bin Aziyah Al Anshari) di Khaibar, lalu dia datang dengan membawa kurma yang sangat istimewa. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya,”Apakah kurma Khaibar seperti ini semua?” Lalu dia menjawab,”Tidak, wahai Rasulullah. Demi Allah aku menukar satu sha’ kurma yang istimewa ini dengan korma kami dua sha’, dan dua sha’ dengan tiga sha’. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Jangan kamu membeli seperti itu! Jual kormamu yang campuran itu dengan dirham (mata uang), lalu beli korma yang istimewa itu dengan dirham.” [HR Bukhari Muslim, Kitabul Buyu’]

Termasuk jual beli yang sah, bila beras bagian yang jelek mutunya tadi dijual terlebih dahulu, dirupakan dengan uang atau barang lain, lalu dibelikan beras yang baik, demikian juga untuk gula.

Hadits di atas menunjukkan bolehnya merekayasa di dalam jual beli, asal dalam batas syar’i, sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah n tentang korma yang jelek dijual dengan dirham dulu, kemudian uangnya untuk membeli korma yang baik.

Lembaga Darul Ifta’ Saudi Arabia menyatakan: Benda ribawi bila sama illat dan jenisnya, haram dijual dengan melebihkan salah satunya dan tertunda penerimannya. Misalnya emas dengan emas, perak dengan perak, sekalipun salah satunya bermutu baik, yang lain jelek. [10]

5. Termasuk riba, bila menjual atau menukar benda ribawi sama jenisnya, dengan menambah ongkos pembuatan.
Misalnya: Menukar cincin emas senilai 3 gr di toko emas dengan senilai 3gr pula, lalu ditambah ongkos pembuatan. Hukumnya haram , karena termasuk riba fadhel, seharusnya tidak pakai tambah . Adapun dalilnya sebagaimana tercantum di atas.

Lembaga Darul Ifta’ Saudi Arabia menyatakan: Dilarang menjual perhiasan dari emas dan perak, yang sama jenisnya dengan melebihkan pada salah satunya karena ongkos pembuatan. [11]

Termasuk jual beli yang sah.
– Bilas cincin emas yang bernilai 3 gr tadi dijual dengan uang, lalu diterimanya, lalu dibelikan emas 3 gr pula sama bentunya atau lain , sekalipun nilai jual dan beli berbeda , karena orang menjual ingin cari untung , dan dia menjual dengan lain jenis , yaitu emas dengan uang.
– Bila mempunyai emas 10 gr, ingin ditukar dengan 17 gr, dengan membayar kekurangannya berupa uang tunai, hukumnya sah. [12]

6. Termasuk riba, menjual benda ribawi yang lazimnya dijual dengan takaran atau timbangan, tetapi dijual salah satunya tanpa ditimbang atau ditakar.
Misalnya : Ada orang menjual emas tetapi tidak diketahui timbangannya dengan emas milik temannya, berupa gelang emas 10 gr, atau menjual beras di dalam karung yang tidak jelas timbangannya dengan beras 50 kg. Hukumnya haram, termasuk riba fadhel, karena sesuatu yang tidak jelas, maka akan terjadi penambahan pada salah satunya.

Dalilnya, dari Jabir bin Abdullah, dia berkata.

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ عَنْ بَيْعِ الصُّبْرَةِ مِنَ التَّمْرِ لَا يُعْلَمُ مَكِيلَتُهَا بِالْكَيْلِ الْمُسَمَّى مِنَ التَّمْرِ

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang menjual tumpukan kurma yang belum diketahui takarannya dengan korma yang sudah ditakar. [HR Muslim, Kitabul Buyu’]

Lembaga Darul Ifta’ Saudi Arabia menyatakan: Yang dinamakan al mumatsalah (persamaan) harus terwujud persyaratannya (harus sama jenis dan ukurannya). Maka, apabila meragukan, berarti melebihkan (riba). [13]

Termasuk jual beli yang sah, bila emas yang belum jelas timbangannya, ditimbang dulu, lalu dijual dengan uang atau ditukar dengan emas dengan nilai yang sama dan diterima sebelum berpisah, sebagaimana mafhum (pemahaman) hadits di atas.

7. Termasuk riba, bila menjual barang ribawi, tidak dengan ukuran syar’i.
Misalnya: Menjual emas dengan takaran atau bijian. Padahal menurut syari’at Islam harus dijual dengan timbangan. Contoh yang lain, menjual gula dengan cawukan (Jawa, menyiduk secara serampangan). Padahal lazimnya dijual dengan timbangan. Adapun barang yang lazimnya dijual dengan takaran atau timbangan, seperti beras, maka boleh membelinya dengan salah satu ukurannya, asal dengan uang atau benda yang lain. Akan tetapi tidak boleh menjual beras 1 kg dengan beras 1 liter, karena termasuk riba fadhel. Sebab ukurannya tidak sama.

Dalilnya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَزْنًا بِوَزْنٍ , وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَزْنًا بِوَزْنٍ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ كَيْلاً بِكَيْلٍ , وَالشَّعِيْرُ بِالشَّعِيْرِ كَيْلاً بِكَيْلٍ

Emas dijual dengan emas, hendaknya sama timbangannya. Dan perak dijual dengan perak, hendaknya sama timbangannya. Gandum dijual dengan gandum, hendaknya sama takarannya. Dan gandum syair dijual dengan syair, hendaknya sama dengan takarannya. [HR Al Atsram dan Ath Thahawi, dishahihkan oleh Al Lajnah Daimah 13/502]

Lembaga Darul Ifta’ Saudi Arabia menyatakan: Dilarang menjual barang ribawi, melainkan dengan ukuran syar’i. Yaitu barang yang lazimnya dijual dengan timbangan, maka harus dijual dengan timbangan; yang dijual dengan takaran, maka harus dijual dengan takaran pula. [14]

Termasuk jual beli yang sah.
– Bila emas dijual dengan timbangan dan diterima tunai.
– Bila tanah dengan meteran atau ukuran lain, karena bukan termasuk barang riba.
– Bila makanan ringan dan buah-buahan dengan bijian atau jumlah, karena bukan makanan pokok.
– Bila besi dengan timbangan atau bijian, karena bukan benda ribawi.

8. Termasuk riba, bila menjual sama jenisnya, tetapi bercampur dengan jenis lain, sebelum dipisah.
Misalnya: Menjual cincin emas yang bermata, dengan perhiasan emas yang tak bermata, atau dijual dengan uang, maka hukumnya haram. Karena tidak jelas timbangan emasnya dan termasuk riba fadhel. [15]

Lembaga Darul Ifta’ Saudi Arabia menyatakan: Barang ribawi tidak boleh dijual walaupun sama jenisnya, apabila salah satunya atau keduanya bercampur dengan jenis lain. Seperti, satu mud korma ajwah dan satu dirham, ditukar dengan semisalnya. Atau dengan dua mud dan dua dirham. Atau satu dirham dan satu dinar dengan dinar. [16]

Dalilnya, dari Fadhalah bin Ubaid, dia berkata.

اشْتَرَيْتُ يَوْمَ خَيْبَرَ قِلَادَةً بِاثْنَيْ عَشَرَ دِينَارًا فِيهَا ذَهَبٌ وَخَرَزٌ فَفَصَّلْتُهَا فَوَجَدْتُ فِيهَا أَكْثَرَ مِنِ اثْنَيْ عَشَرَ دِينَارًا فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ فَقَالَ : لَا تُبَاعُ حَتَّى تُفَصَّلَ

Saya membeli kalung pada waktu perang Khaibar dengan harga dua belas dinar. Di dalamya terdapat emas dan permatanya, lalu aku lepas permatanya. Tiba-tiba aku menjumpai beratnya lebih dari dua belas dinar, kemudian aku menuturkan kepada Nabi n , lalu beliau menjawab,”Jangan kamu jual, sehingga kamu pisahkan (emas dengan permatanya).” [HR Muslim, Kitabul Masaqat]

Termasuk jual beli yang sah, bila menjual perhiasan emas tadi dengan melepas permatanya sebelum dijual, lalu ditukar dengan emas yang sama timbangannya dan diterima sebelum berpisah, atau dibelinya dengan uang.

Dalilnya dari shahabat Abu Said Al Khudri Radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ مِثْلًا بِمِثْلٍ وَالْوَرِقُ بِالْوَرِقِ مِثْلًا بِمِثْلٍ

Menjual emas dengan emas, hendaknya sama nilai (timbangannya). Perak dengan perak, hendaknya sama pula timbangannya. [HR Bukhari, Kitabul Buyu’].

9. Termasuk riba, bila menjual barang dengan pembayaran taqsith (kredit), dan harus menambah nilainya apabila terlambat pembayarannya. Hal ini termasuk riba jahiliyah (riba nasiah). Untuk lebih jelasnya, silakan membaca kitab Fatawa Lajnah Daimah, 13/ 154 ,156, 161.]

Termasuk jual beli yang sah, bila pembelian barang dengan kredit tersebut tidak mengalami penambahan nilai hutang, bila tertunda pembayarannya.

Dalilnya:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ أمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.

Untuk lebih jelasnya, silakan membaca kitab Fatawa Lajnah Daimah, 13/ 155.

10. Termasuk riba, bila membelikan barang untuk orang lain dengan pembayaran tempo (tentunya lebih mahal), lalu pembeli menjualnya kepada penjual pertama lebih murah, karena dibayar tunai. Ini temasuk jual beli ‘inah. Untuk lebih jelasnya, silakan membaca Fatawa Lajnah Daimah 13/ 136-138.

Contohnya, Fulan membelikan mobil untuk orang lain dengan harga kredit 100 juta rupiah, diangsur selama dua tahun. Setelah akad pembelian, sebelum dipegangnya, dia menjualnya kepada Fulan lagi dengan tunai lebih murah, hanya 70 juta rupiah umpamanya. Maka, hukumnya haram.

Dalilnya, dari Ibnu Umar, dia berkata, saya pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ ذُلًّا لَا يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ

Apabila kamu jual beli dengan cara ‘inah, dan kamu sibuk dengan membajak ladangmu, dan kamu ridha dengan bercocok tanam, dan kamu tinggalkan kewajiban jihad (fardhu’ ain), maka Allah akan membuat kamu hina. Tidaklah Dia mencabut kehinaan itu, melainkan bila kamu kembali ke agamamu. [HR Abu Dawud, Kitabul Buyu’ dan Imam Ahmad Musnad Muktsirin].

Termasuk jual beli yang sah, bila pembeli di atas menjual kepada penjual pertama, walaupun hanya 70 juta rupiah, bila hutangnya yang berupa kredit tadi telah dibayar lunas. Untuk lebih jelasnya, baca Fatawa Lajnah Daimah 13/ 139.

11. Termasuk riba, bila meminjamkan barang ribawi untuk mendapatkan ganti lebih dari pokoknya.

Misalnya:
a. Meminjamkan uang Rp 1.000.000,00 kembali menjadi Rp 1.050.000,00. Dinamakan riba fadhel, karena sama jenis rupiahnya.
b. Meminjamkan emas 10 gr, kembali setelah 3 bulan menjadi 11gr. Atau 10 gr dan gula 10 kg, atau 10 gr dan Rp 100.000,00. Dinamakan riba fadhel dan nasiah, karena sama jenisnya, yaitu emas.
c. Meminjam beras 1 kwintal di KUD atau orang lain, kembali setelah panen menjadi 1,5 kwintal. Atau harus menjual panennya ke KUD. Dinamakan riba fadhel dan nasiah, karena sama jenisnya, yaitu beras.
d. Meminjam benih anak ayam dari perusahaan tertentu. Hasilnya harus dijual kepadanya dengan harga dari perusahaan. Dinamakan riba fadhel dan nasiah. Karena menjual barang haknya penjual, bukan haknya pembeli.

Dalilnya, firman Allah.

فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ

Maka bagimu pokok hartamu;kamu tidak menganiaya (dengan memungut tambahan) dan tidak (pula) dianiaya (dengan dikuranginya). [Al Baqarah:279].

Contoh di atas tidak ada hubungannya dengan jual beli. Tetapi berhubungan dengan peminjaman barang riba. Kami masukkan benih telur ke dalam contoh, sekalipun bukan benda riba, karena meminjam sesuatu, harus kembali dengan sesuatu yang sama pula. والله أعلم

Peminjaman di atas sah, apabila:
– Huruf a, Rp. 1.000.000,00 kembali Rp. 1.000.000,00
– Huruf b, emas 10 gr kembali emas 10gr.
– Huruf c, 1 kwintal beras, kembali 1 kwintal beras. Atau 1 kwintal beras dari KUD tersebut dibeli walaupun dengan harga mahal, sedangkan pembayarannya setelah panen.
– Huruf d, sama dengan c, atau bagi hasil (mudharabah).
– Boleh meminjamkan mobil, kembali mobil dengan tambahan uang. Hal ini dinamakan menyewakan barang, dan mobil bukan barang ribawi.
– Boleh menerima pemberian dari orang yang meminjam peralatan rumah umpamanya, sekalipun tidak ada niat untuk menyewakan. Karena barang tersebut bukan benda ribawi.

12. Termasuk riba, bila menukar uang sejenis, salah satunya dilebihkan, diambil langsung atau belakangan.
Misalnya: Menukarkan uang ribuan baru sejumlah seratus lembar, kembali seratus lima ribu rupiah. Ini termasuk riba fadhel, sekalipun sama-sama suka.

Dalilnya, hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersumber dari shahabat Abu Said Al Khudri Radhiyallahu ‘anhu.

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ مِثْلًا بِمِثْلٍ وَالْوَرِقُ بِالْوَرِقِ مِثْلًا بِمِثْلٍ

Menjual emas dengan emas hendaknya sama nilai (timbangannya), perak dengan perak, hendaknya sama pula timbangannya. [HR Bukhari, Kitabul Buyu’].

13. Termasuk riba, bila menitipkan uang, lalu diambil dengan mendapat tambahan atau dikurangi.
Misalnya, menitipkan uang di bank. Ketika mengambilnya, dia mengambil bunganya juga. Atau sekolah memerintahkan siswanya agar menabung. Tetapi ketika diambil, tabungan itu dipotong untuk keperluan penitipan. Yang benar, diserahkan semua titipannya, lalu menyampaikan kepentingan kebutuhan sekolah.

Dalilnya, firman Allah.

فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ

Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya (dengan memungut tambahan) dan tidak (pula) dianiaya (dengan dikuranginya). [Al Baqarah:279].

Contoh di atas tidak ada hubungannya dengan jual beli, karena titipan. Maka, harus dikembalikan sebagaimana asalnya; lain dengan akad jual beli.

14. Termasuk riba, bila menjual dan membeli saham di bank. Karena pada hakikat penjualan saham ini, ialah menjual uang dengan uang yang tidak sama nilainya dan tidak langsung diterima. Dan karena usahanya membungakan uang. [17]

Dalilnya, firman Allah:

وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ

dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. [Al Maidah:2].

15. Termasuk jual beli yang sah, bila saham tersebut telah berada di tangannya, dan bukan bekerja sama dengan bank ribawi. Dan sebaiknya diberitahukan kepada pemilik saham yang lain. Karena kawannya lebih berhak, daripada yang lain. Sebagaimana disebutkan di dalam hadits.

Demikianlah sebagian contoh perbedaan antara riba dan perniagaan yang dihalalkan menurut pandangan Dinul Islam yang mulia. Tentunya tidak menutup kemungkinan masih banyak lagi mcam jual-beli sistim riba. Utamanya penjualan kertas berharga yang dikeluarkan oleh bank. Hal ini tentunya dapat diketahui oleh pengusaha besar, yang selalu berhubungan dengan bank. Seperti penjualan cek dengan harga lebih murah daripada yang tercamtum di dalamnya, karena pencairannya menunggu setelah satu bulan –umpamanya- dan seterusnya.

والحمد لله رب ا لعالمين

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun VII/1424H/2003M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
________
Footnote
[1]. Lihat kamus Mu’jmul Wasith 1/326, Mufradat Al Fadhil Quran Lil, oleh Al Asfahani, hlm. 340.
[2]. Definisi ini dituturkan oleh Imam Ahmad. Lihat kitab Raddul Muhtar, hlm. 183, kitab Mufradat Al Fadzil Qur’an, oleh Al Asfahan, hlm. 340.
[3]. Lihat kitab Mufradat Al Fadzil Qur’an, oleh Al Asfahani, hlm. 154
[4]. Untuk lebih jelasnya keterangan di atas, silakan membaca kitab Fatawa Allajnatud Daimah 13/36
[5]. Lihat kitab Al Miskah 1/228 no. 273
[6]. Lihat kitab Al Fiqhul Islami Wadillatuhu 4/675. Lihat kitab Taudhihul Ahkam, oleh Ali Bassam 4/21-23.
[7]. Lihat Fatwa Lajnah Ad Daimah 13/500-501
[8]. Lihat Fatawa Lajnah Daimah 13/500-501
[9]. Fatawa Lajnah Daimah 13/500-501; Fatawa Manarul Islam, Ibnu Utsaimin 2/448.
[10]. 10. Fatawa Lajnah Daimah 13/500
[11]. Lihat Fatawa Lajnah Daimah 13/500, Fatawa Manarul Islam, Ibnu ‘Utsaimin 2/449
[12]. Lihat Fatawa Manarul Islam, Ibnu ‘Utsaimin 2/448.
[13]. Fatawa Lajnah Daimah 13/ 501
[14]. Fatawa Lajnah Daimah 13/ 501
[15]. Lihat kitab Taudhihul Ahkam, oleh Ali Bassam 4/30
[16]. Fatawa Lajnah Daimah, 13/ 501
[17]. Lihat kitab Fatawa Islamiyah 2/399-340

CALO TIKET

Oleh
Ustadz Dr. Erwandi Tarmidzi MA

Dalam kamus besar bahasa Indonesia, calo berarti orang yang menjadi perantara dan memberikan jasanya berdasarkan upah. Calo bisa disamakan dengan makelar atau perantara. Dalam hal ini calo tiket dapat diartikan dengan perantara perusahaan pemberi jasa transportasi dan pengguna jasa.
Baca lebih lanjut

JIKA SESEORANG BERTAUBAT DARI RIBA APA YANG HARUS DIA KERJAKAN DENGAN UANG YANG ADA PADANYA?

Oleh
Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta

Pertanyaan.
Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta ditanya : Jika ada seseorang yang bermu’amalah dengan riba, lalu dia bermaksud untuk bertaubat, maka kemana dia harus membawa uang hasil ribanya tersebut, apakah dia boleh menyedekahkannya? (Sesungguhnya Allah itu baik dan tidak menerima kecuali yang baik-baik), sejauh mana pengaruh hadits ini pada uang riba?

Jawaban
Dia harus bertaubat kepada Allah dan memohon ampunan kepada-Nya serta menyesali semua perbuatan yang telah lalu, juga menyelamatkan diri dari bunga riba dengan cara menginfakkannya kepada fakir miskin. Hal itu bukan termasuk sedekah tathawwu’, tetapi termasuk dari upaya menyelamatkan apa yang diharamkan Allah, sebagai sarana menyucikan dirinya dari penghasilan yang tidak sesuai dengan syari’at Allah.

Wabillaahit Taufiq. Dan mudah-mudahan Allah senantiasa melimpahkan kesejahteraan dan keselamatan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan para sahabatnya.

Pertanyaan.
Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta ditanya : Sepeninggal ayah saya, beliau meninggalkan sejumlah uang. Uang itu beliau simpan di kantor pos, di mana praktek penyimpanan uang ini hampir menyerupai dengan praktek bank. Tetapi, akhir-akhir ini saya dikejutkan oleh pemberitahuan bahwa daftar penyimpanan ini disertai dengan keuntungan, yakni memperoleh keuntungan (bunga) tahunan. Dan beliau telah memperoleh keuntungan yang sangat besar. Dan saya ingin tahu, apakah keuntungan ini riba atau bukan? Jika riba, apakah saya boleh mengambilnya dari kantor pos dan menggunakan sedikit darinya seperti membersihkan jalan dari kotoran serta menyiramnya, atau menggunakannya untuk kepentingan lain, yang tidak memberikan keuntungan sama sekali kepada diri saya ? Dan jawabannya adalah sebagai berikut : Semua dana yang ada di bank ditarik berserta keuntungannya, kemudian diambil uang pokoknya saja, sedangkan keuntungan tidak boleh anda miliki, karena ia termasuk riba yang diharamkan melalui Al-Qur’an dan As-Sunnah serta ijma para ulama. Tetapi anda wajib menyalurkannya untuk kebaikan, seperti misalnya kepada kaum fakir miskin dan kepentingan umum. Sampai di sini jawaban yang diberikan.

Saya ingin mengetahui beberapa hal, yaitu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda dalam sebuah hadits yang maknanya sebagai berikut: “Bahwasanya tidak akan diterima apa pun dari pelaku riba, baik itu ibadah haji, sedekah maupun jihad”. Dan itu jelas bertentangan dengan ungkapan anda, yang berbunyi : “Tetapi kalian harus menyalurkannya untuk kebajikan, seperti kepada kaum fakir miskin dan berbagai kepentingan umum”. Dan saya ingin tahu, mengapa terjadi pertentangan, dan bagaimana saya harus menyalurkan keuntungan ini?

Jawaban
Tidak ada pertentangan antara fatwa yang disebutkan dengan dasar syari’at mana pun, karena riba yang disebutkan itu terdapat pada bank yang menjalankan praktek riba, karena keburukannya dengan menginvestasikan uang dalam akad-akad yang berbau riba dan tidak ada hak bagi orang yang mengambilnya, karena sejumlah dana itu penempatannya di dalam simpanan bank untuk diinvestasikan ke dalam riba dan dia pun mengetahui hal tersebut, sehingga diberikan ketetapan haram bagi keduanya.

Sedang penyalurannya untuk kebajikan sama seperti upah pelacur dan ongkos untuk dukun, seperti keseluruhan uang yang dikeluarkan sebagai hukuman bagi orang yang memperolehnya. Dan hal itu tidak termasuk dalam sedekah dan dalam fatwa hal tersebut tidak disebut sebagai sedekah, melainkan ia merupakan upaya penyelamatan diri dari harta yang haram. Dan penginfakkannya untuk kepentingan umat yang merupakan kebajikan, selain untuk kepentingan masjid. Artinya, masjid tidak boleh dibangun dengan menggunakan dana tersebut, sebagai upaya menyucikannya dari pengasilan haram seperti itu. Adapun apa yang disebutkan di atas bukan hadits dan tidak juga memunyai sumber dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam

Wabillaahit Taufiq. Dan mudah-mudahan Allah senantiasa melimpahkan kesejahteraan dan keselamatan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan para sahabatnya.

APAKAH RUMAH YANG DIBANGUN DARI UANG RIBA HARUS DIROBOHKAN?

Pertanyaan.
Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta ditanya : Perlu saya sampaikan kepada anda bahwa saya pernah mengambil pinjaman dari salah satu bank –bukan dari bank pembangunan real estate- yang nilainya 30.000 riyal, dan bank tersebut memberikan dana kepada saya sebesar 28.000 riyal. Kemudian dana tersebut saya pergunakan untuk membangun rumah milik saya. Dan saya menanyakan masalah tersebut setelah membangun. Dan jawaban yang saya dapatkan ternyata menyebutkan bahwa hal tersebut tidak diperbolehkan, yaitu mengambil pinjaman dari bank yang bukan bank pembangunan real estate. Dan sekarang kami menempati rumah yang kami bangun dengan uang pinjaman tersebut. Apakah uang ini riba? Sesungguhnya saya benar-benar menyesal atas apa yang telah saya kerjakan ini, dan saya sendiri tidak mengetahui hal tersebut kecuali setelah membangun. Apakah saya boleh mneyerahkan masalah ini kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala ? Tolong beritahu kami mengenai masalah tersebut, apa yang harus saya perbuat dalam hal ini?

Jawaban
Jika kenyataannya seperti yang anda sebutkan tadi, maka uang pinjaman yang anda terima dengan cara tersebut adalah haram, karena ia termasuk riba. Oleh karena itu, anda harus bertaubat dan memohon ampunan dari hal tersebut serta menyesali apa yang telah terjadi pada diri anda dan benar-benar berkeinginan keras untuk tidak mengulangi perbuatan serupa. Sedangkan rumah yang telah anda bangun itu tidak perlu dihancurkan, tetapi manfaatkanlah untuk tempat tinggal atau lainnya. Dan kami berharap mudah-mudahan Allah memberikan ampunan atas kelalaian anda itu.

Wabillaahit Taufiq. Dan mudah-mudahan Allah senantiasa melimpahkan kesejahteraan dan keselamatan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan para sahabatnya.

[Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta, Pertanyaan ke-9 dari Fatwa Nomor 6375, Pertanyaan ke-1 dari Fatwa Nomor 7076. Fatwa Nomor 6941. Disalin dari Fataawaa Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyyah Wal Ifta, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Jual Beli, Pengumpul dan Penyusun Ahmad bin Abdurrazzaq Ad-Duwaisy, Terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi’i]

MENJUAL BARANG SECARA KREDIT, TETAPI BARANG TERSEBUT BELUM MENJADI MILIK SIPENJUAL KETIKA MENJUALNYA

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Perlu dicermati bahwa ada sebagian perusahaan yang bila seseorang datang untuk membeli suatu keperluan seperti peralatan rumah tangga, mobil, rumah dan sebagainya, ia membelikan keperluan tersebut kemudian menjualnya kepada orang tersebut secara kredit plus bunga darinya padahal barang tersebut belum menjadi milik perusahaan itu. Atau trik lainnya, perusahaan tadi menyuruh orang tersebut membelinya sendiri kemudian ia membayarkan harganya terlebih dahulu berdasarkan kwitansi lalu mengambil bunga dari orang ini, bagaimana hukum jual-beli seperti ini?
Baca lebih lanjut

CACAT DALAM PERJANJIAN USAHA

Oleh
Prof.Dr.Abdullah al-Muslih
Prof.Dr.Shalah ash-Shawi

Ketika melakukan sebuah perjanjian usaha terkadang perjanjian itu diselimuti beberapa cacat yang bisa menghilangkan kerelaan sebagian pihak, atau menjadikan perjanjian itu tidak memiliki sandaran ilmu yang benar. Maka pada saat itu pihak yang dirugikan berhak membatalkan, perjanjian. Gambaran cacat itu dapat dipaparkan sebagai berikut:
Baca lebih lanjut

KLASIFIKASI AKAD / PERJANJIAN

Oleh
Prof.Dr.Abdullah al-Muslih
Prof.Dr.Shalah ash-Shawi

Akad memiliki banyak klasifikasi melalui sudut pandang yang berbeda-beda. Di sini akan kita singgung sebagian klasifikasi tersebut:

PERTAMA : DARI SEGI TAKLIFI
Berkaitan dengan soal perjanjian ada beberapa hukum syariat yang ditetapkan. Berdasarkan sudut pandang ini, perjanjian terbagi menjadi lima:

1. Akad wajib. Seperti akad nikah bagi orang yang sudah mampu menikah, memiliki bekal untuk menikah dan khawatir dirinya akan berbuat maksiat kalau tidak segera menikah.
Baca lebih lanjut