SHALAT JUM’AT DALAM PANDANGAN FIQH

Oleh
Ustadz Abu Asma Kholid Syamhudi

JUM’AT DAN SHALAT JUM’AT
Hari Jum’at merupakan hari yang penting bagi kaum muslimin. Hari yang memiliki kekhususan dan keistimewaan yang tidak dimiliki hari-hari lain. Allah memerintahkan kaum muslimin untuk berkumpul pada hari itu untuk menunaikan ibadah shalat di masjid tempat berkumpulnya penduduk. Disana kaum muslimin saling berkumpul dan bersatu, sehingga dapat terbentuk ikatan kecintaan, persaudaraan dan persatuan.

Prof. Dr. Shalih bin Ghanim As Sadlan berkata,”Hari Jum’at merupakan hari terbaik dan termulia, yang Allah khusukan untuk umat Islam. Pada hari itu Allah mensyari’atkan kaum muslimin untuk berkumpul. Diantara hikmahnya, yaitu menjadi sarana perkenalan, persatuan, saling mencintai dan kerjasama diantara mereka. Jadilah hari Jum’at sebagai hari raya pekanan dan menjadi hari terbaik.” [1]

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin berkata,”Jum’at -dengan didhammahkan huruf jim-nya dan disukunkan huruf mim-nya- berasal dari kata al jam’u. Dinamakan demikian, karena Allah telah mengumpulkan beberapa perkara kauniyah dan syar’iyah yang tidak ada dihari lainnya. Terdapat padanya penyempurnaan penciptaan langit dan bumi, penciptaan Adam dan terjadinya hari kiamat dan kebangkitan manusia. Juga pada hari itu manusiapun berkumpul.”[2] 

Demikianlah Rasulullah khabarkan dalam hadits-hadits Beliau, diantaranya:

خَيْرُ يَوْمٍ طَلَعَتْ عَلَيْهِ الشَّمْسُ يَوْمُ الْجُمُعَةِ فِيهِ خُلِقَ آدَمُ وَفِيهِ أُدْخِلَ الْجَنَّةَ وَفِيهِ أُخْرِجَ مِنْهَا وَلَا تَقُومُ السَّاعَةُ إِلَّا فِي يَوْمِ الْجُمُعَةِ

“Sebaik-baiknya hari yang matahari terbit padanya adalah hari Jum’at. Pada hari itu Adam diciptakan, masuk dan keluar dari syurga dan hari kiamat hanya akan terjadi pada hari Jum’at.” [3]

Pada hari Jum’at, Allah mensyari’atkan shalat Jum’at, sebagaimana dinyatakan dalam firmanNya :

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاَةِ مِن يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرُُ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui” [Al Jum’ah:9].

HUKUM SHALAT JUM’AT
Hukum shalat Jum’at adalah wajib dengan dasar Al Qur’an, Sunnah dan Ijma’. Adapun dalil dari Al Qur’an adalah firman Allah:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاَةِ مِن يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرُُ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” [Al Jum’ah:9]

Dalam ayat ini Allah memerintahkan untuk menunaikannya, padahal perintah -dalam istilah ushul fiqh- menunjukkan kewajiban. Demikian juga larangan sibuk berjual beli setelah ada panggilan shalat, menunjukkan kewajibannya; sebab seandainya bukan karena wajib, tentuhal itu tidak dilarang.

Sedangkan dalil dari Sunnah, ialah sabda Rasulullah:

لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوَامٌ عَنْ وَدْعِهِمْ الْجُمُعَاتِ أَوْ لَيَخْتِمَنَّ اللَّهُ عَلَى قُلُوبِهِمْ ثُمَّ لَيَكُونُنَّ مِنْ الْغَافِلِينَ

“Hendaklah satu kaum berhenti dari meninggalkan shalat Jum’at, atau kalau tidak, maka Allah akan mencap hati-hati mereka, kemudian menjadikannya termasuk orang yang lalai.” [4]

Hal ini dikuatkan lagi dengan kesepakatan (Ijma’) kaum muslimin atas kewajibannya, sebagaimana hal itu dinukil para ulama, diantaranya: Ibnu Al Mundzir [5], Ibnu Qudamah[6] dan Ibnu Taimiyah.[7]

SIAPAKAH YANG DIWAJIBKAN SHALAT JUM’AT
Syaikh Al Albani berkata,”Shalat Jum’at wajib atas setiap mukallaf, wajib atas setiap orang yang baligh, berdasarkan dalil-dalil tegas yang menunjukkan shalat Jum’at wajib atas setiap mukallaf dan dengan ancaman keras bagi meninggalkannya.” [8]

Shalat Jum’at diwajibkan kepada setiap muslim, kecuali yang memiliki udzur syar’i, seperti: budak belian, wanita, anak-anak, orang sakit dan musafir, berdasarkan hadits Thariq bin Syihab dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau bersabda.

الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِي جَمَاعَةٍ إِلَّا أَرْبَعَةً عَبْدٌ مَمْلُوكٌ أَوْ امْرَأَةٌ أَوْ صَبِيٌّ أَوْ مَرِيضٌ 

“Shalat Jum’at wajib bagi setiap muslim dalam berjama’ah, kecuali empat: hamba sahaya, wanita, anak-anak atau orang sakit” [9].

Sedangkan tentang hukum musafir, para ulama masih berselisih sebagai orang yang tidak diwajibkan shalat Jum’at, dalam dua pendapat, yaitu:

Pertama : Musafir tidak diwajibkan shalat Jum’at. Demikian ini pendapat jumhur Ulama [10], dengan dasar bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam seluruh safarnya tidak pernah melakukan shalat jum’at, padahal bersamanya sejumlah sahabat Beliau. Hal ini dikuatkan dengan kisah haji wada’, sebagaimana disampaikan oleh Jabir bin Abdillah dalam hadits yang panjang. 

فَأَتَى بَطْنَ الْوَادِي فَخَطَبَ النَّاسَ ……ثُمَّ أَذَّنَ بِلا َلٌ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الظُّهْرَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الْعَصْرَ وَلَمْ يُصَلِّ بَيْنَهُمَا شَيْئًا 

“Lalu beliau mendatangi Wadi dan berkhutbah…Kemudian Bilal beradzan, kemudian iqamah dan shalat Dhuhur, kemudian iqamah dan shalat Ashar, dan tidak shalat sunnah diantara keduanya… [11] 

Kedua. Wajib melakukan shalat Jum’at. Demikian ini pendapat madzhab Dzahiriyah, Az Zuhri dan An Nakha’i. Mereka berdalil dengan keumuman ayat dan hadits yang mewajibkan shalat Jum’at dan menyatakan, tidak ada satupun dalil shahih yang mengkhususkannya hanya untuk muqim.[12] 

Dari kedua pendapat tersebut, maka yang rajih adalah pendapat pertama, dikarenakan kekuatan dalil yang ada. Pendapat inilah yang dirajihkan Ibnu Taimiyah, sehingga setelah menyampaikan perselisihan para ulama tentang kewajiban shalat Jum’at dan ‘Id bagi musafir, ia berkata,”Yang jelas benar adalah pendapat pertama. Bahwa hal tersebut tidak disyari’atkan bagi musafir, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bepergian dalam banyak safar, telah berumrah tiga kali selain umrah ketika hajinya dan berhaji haji wada’ bersama ribuan orang, serta telah berperang lebih dari dua puluh peperangan, namun belum ada seorangpun yang menukilkan bahwa Beliau melakukan shalat Jum’at, dan tidak pula shalat ‘Id dalam safar tersebut; bahkan Beliau shalat dua raka’at saja dalam seluruh perjalanan (safar)nya.”[13] Demikian juga, pendapat ini dirajihkan Ibnu Qudamah[14] dan Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin.[15]

Demikian juga orang yang memiliki udzur yang dibenarkan syar’i, termasuk orang yang tidak diwajibkan menghadiri shalat Jum’at.[16]

Orang yang mendapat udzur, tidak wajib shalat Jum’at, tetapi wajib menunaikan shalat Dhuhur, bila termasuk mukallaf. Karena asal perintah hari Jum’at adalah shalat Dhuhur, kemudian disyari’atkan shalat Jum’at kepada setiap muslim yang mukallaf dan tidak memiliki udzur, sehingga mereka yang tidak diwajibkan shalat Jum’at masih memiliki kewajiban shalat Dhuhur.

WAKTU SHALAT JUM’AT
Waktu shalat Jum’at dimulai dari tergelincir matahari sampai akhir waktu shalat Dhuhur. Inilah waktu yang disepakati para ulama, sedangkan bila dilakukan sebelum tergelincir matahari, maka para ulama berselisih dalam dua pendapat.

Pertama : Tidak sah. Demikian pendapat jumhur Ulama dengan argumen sebagai berikut:

– Hadits Anas bin Malik, ia berkata:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّي الْجُمُعَةَ حِينَ تَمِيلُ الشَّمْسُ

” Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat Jum’at ketika matahari condong (tergelincir).” [18]

– Hadits Samahin Al Aqwa’, ia berkata:

كُنَّا نُجَمِّعُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا زَالَتْ الشَّمْسُ ثُمَّ نَرْجِعُ نَتَتَبَّعُ الْفَيْءَ

“Kami shalat Jum’at bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika tergelincir matahari, kemudian kami pulang mencari bayangan (untuk berlindung dari panas).” [19]

Inilah yang dikenal dari para salaf, sebagaimana dinyatakan Imam Asy Syafi’i : “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Abu Bakar, Umar, Utsman dan para imam setelah mereka, shalat setiap Jum’at setelah tergelincir matahari”.[20]

Kedua : Sah, shalat Jum’at sebelum tergelincir matahari. Demikian pendapat Imam Ahmad dan Ishaq, dengan argumen sebagai berikut:

– Hadits saamah in Al Aqwa’, ia berkata: 

كُنَّا نُجَمِّعُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا زَالَتْ الشَّمْسُ ثُمَّ نَرْجِعُ نَتَتَبَّعُ الْفَيْءَ

“Kami shalat Jum’at bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika tergelincir matahari, kemudian kami pulang mencari bayangan (untuk berlindung dari panas).” [22]

– Hadits Sahl bin Sa’ad, ia berkata:

مَا كُنَّا نَقِيلُ وَلَا نَتَغَدَّى إِلَّا بَعْدَ الْجُمُعَةِ 

“Kami tidak tidur dan makan siang, kecuali setelah Jum’at.” [23

Dan dalam riwayat Muslim terdapat tambahan lafadz : فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Pendapat ini menyatakan, bahwa makan dan tidur siang dalam adat bangsa Arab dahulu, dilakukan sebelum tergelincir matahari, sebagaimana dinyatakan Ibnu Qutaibah [24]. Demikian juga Rasulullah berkhutbah dua khutbah, kemudian diriwayatkan membaca surat Qaf, atau dalam riwayat lain surat Al Furqan, atau dalam riwayat lain surat Al Jumu’ah dan Al Munafiqun. Seandainya Beliau hanya shalat Jum’at setelah tergelincir matahari, maka ketika selesai, orang akan mendapatkan bayangan benda untuk bernaung dari panas matahari dan telah keluar dari waktu makan dan tidur siang. [25]

– Hadits Jabir bin Abdillah ketika ia ditanya:

مَتَى كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي الْجُمُعَةَ قَالَ كَانَ يُصَلِّي ثُمَّ نَذْهَبُ إِلَى جِمَالِنَا فَنُرِيحُهَا حِينَ تَزُولُ الشَّمْسُ 

“Kapan Rasulullah shalat Jum’at, ia menjawab,”Beliau shalat Jum’at, kemudian kami kembali ke onta-onta kami, lalu menungganginya ketika matahari tergelincir.[26]

Syaikh Al Albani berkata,”Ini jelas menunjukkan, bahwa shalat Jum’at dilakukan sebelum tergelincir matahari.”[27]

Demikianlah secara singkat uraian pendapat para ulama, dan yang rajih adalah pendapat kedua, yaitu waktu shalat Jum’at adalah waktu Dhuhur, dan sah bila dilakukan sebelum tergelincir matahari, sebagaimana dirajihkan Imam Asy Syaukani [28] dan Syaikh Al Albani.[29]

________
Footnote
[1]. Taisir Al Fiqh, karya Prof. Dr. Shalih bin Ghanim As Sadlan, Cetakan Kedua, Tahun 1417-1997 H, Riyadh, hlm. 53.
[2]. Tambih Al Afham Bi Syarhi Umdah Al Ahkam, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, Penerbit, Departemen Pendidikan Saudi Arabia, Tanpa tahun dan cetakan.
[3]. HR Imam Muslim dalam Shahih-nya, kitab Al Jum’ah, Bab Fadhlu Yaum Al Jum’ah, no.1411.
[4]. HR Imam Muslim dalam Shahih-nya, kitab Al Jum’ah, Bab At Taghlith Fi Tarki Al Jum’ah, no.1422.
[5]. Dinukil Imam Nawawi dalam Majmu’ Syarhu Al Muhadzab, karya Imam Nawawi, Tahqiq, Muhammad Najib Al Muthi’i, Cetakan Tahun 1415 H, Dar Ihya At Turats Al Arabi, 4/349.
[6]. Al Mugni, karya Ibnu Qudamah, Tahqiq, Abdullah bin Abdul Muhsin At Turki dan Abdul Fatah Muhammad Al Halwu, Cetakan Kedua, Tahun 1412 H, Penerbit Hajar, Kairo, Mesir. 3/159.
[7]. Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah, 11/615.
[8]. Al Ajwibah An Nafi’ah ‘An Asilat Lajnah Masjid Al Jami’ah, karya Muhammad Nashiruddin Al Albani, Cetakan Kedua, Tahun 1400 H, Al Maktab Al Islami, Bairut, hlm. 42-43.
[9]. Lihat kelengkapannya dalam rubrik Hadits 
[10]. Bidayat Al Mujtahid Wan Nihayah Al Muqtashid, karya Ibnu Rusyd Al Qurthubi, Cetakan Kesepuluh, Tahun 1408 H, Dar Al Kutub Al ‘Ilmiyah, Bairut, hlm. 1/157.
[11]. Potongan hadits riwayat Muslim dalam Shahih-nya, kitab Al Hajj, Bab Hajat An Nabi, no. 2137.
[12]. Lihat Majmu’ Fatawa, op.cit, 23/178.
[13]. Majmu’ Fatawa, op.cit, 23/178.
[14]. Al Mughni, op.cit, 3/216-217.
[15]. Asy Syarhu Al Mumti’, op.cit, 5/12.
[16]. Al Muhalla, karya Ibnu Hazm Al Andalusi, Tahqiq, Ahmad Muhammad Syakir, Tanpa tahun, Dar Al Turats, Kairo, Mesir, hlm. 5/55 dan Raudhah An Nadiyah, karya Muhammad Shidiq Hasan Khan, Tahqiq, Muhammad Subhi Hasan Khalaf, Cetakan Keempat 1416 H, Maktabah Al Kautsar, Riyadh, KSA, hlm.1/341.
[17]. Lihat Al Mughni, op.cit 3/160.
[18]. HR Imam Bukhari dalam Shahih-nya, kitab Jumu’ah, Bab Waktu Jum’ah Idza Zalat Asy Syamsu, no. 853.
[19]. HR Imam Muslim dalam Shahih-nya, kitab Al Jumu’ah, Bab Shalatul Jum’ah Hina Tazulu Asy Syamsu, no. 1323.
[20]. Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 4/380.
[21]. Lihat Subulus Salam Syarhu Bulughul Maram, karya Imam Ash Shan’ani, Tahqiq Muhammad Abdulqadir ‘Atho, Tanpa tahun, Dar Al Kutub Al Ilmiyah, Bairut, 2/98.
[22]. HR Imam Muslim dalam Shahih-nya, kitab Al Jumu’ah, Bab Shalatul Jum’ah Hina Tazulu Asy Syamsu, no. 1323.
[23]. HR Imam Bukhari dalam Shahih-nya, kitab Al Jum’ah, Bab Firman Allah Surah Jumu’ah Ayat 9, dan Muslim dalam Shahih-nya, kitab Al Jumu’ah, Bab Shalatul Jum’ah Hina Tazulu Asy Syamsu, no. 1422.
[24]. Lihat Nailul Authar Syarh Muntaqa Al Akhbar Min Ahadits Saiyidi Al Akhyar, karya Imam Asy Syaukani, Cetakan Pertama, Tahun 1415, Dar Al Kutub Al ‘Ilmiyah, Bairut, hlm. 3/275.
[25]. Ibid.
[26]. HR Imam Muslim dalam Shahih-nya, kitab Al Jumu’ah, Bab Shalatul Jum’ah Hina Tazulu Asy Syamsu, no. 1421.
[27]. Al Ajwiba An Nafi’ah, op.cit 22.
[28]. Nailul Authar, op.cit 3/275.
[29]. Al Ajwibah An Nafi’ah, op.cit 22.

JUMLAH YANG DISYARATKAN DALAM MENEGAKKAN SHALAT JUM’AT
Shalat Jum’at dilakukan secara berjama’ah dan tidak sah bila dilakukan secara sendirian. Para ulama berselisih tentang jumlah minimal orang yang menghadiri shalat Jum’at, terbagi menjadi beberapa pendapat.

Pertama : Tidak diadakan, kecuali minimal 40 orang dari orang yang diwajibkan shalat Jum’at. Demikian ini pendapat madzhab Malik, Syafi’i dan yang masyhur dalam madzhab Ahmad, dand diriwayatkan dari Umar bin Abdul Aziz dan Ubaidillah bin Abdillah bin Utbah.

Dalilnya sebagai berikut:

– Hadits Ka’ab bin Malik:

أَسْعَدُ بْنِ زُرَارَةَ أَوَّلُ مَنْ جَمَّعَ بِنَا فِي هَزْمِ النَّبِيتِ مِنْ حَرَّةِ بَنِي بَيَاضَةَ فِي نَقِيعٍ يُقَالُ لَهُ نَقِيعُ الْخَضَمَاتِ قُلْتُ كَمْ أَنْتُمْ يَوْمَئِذٍ قَالَ أَرْبَعُون

“As’ad bin Zararah adalah orang pertama yang mengadakan shalat Jum’at bagi kami di daerah Hazmi An Nabit dari harrah Bani Bayadhah di daerah Naqi’ yang terkenal dengan Naqi’ Al Khadhamat. Saya bertanya kepadanya: “Waktu itu, kalian berapa?” Dia menjawab,”Empat puluh.”[30]

– Hadits Jabir yang berbunyi:

مَضَتِ السُّنَّةُ أَنَّ فِيْ كُلِّ أَرْبَعِينَ فَمَا فَوْقَهَا جُمْعَةٌ

“Telah lalu Sunnah, bahwa setiap empat puluh orang ke atas diwajibkan shalat Jum’at.”[31]

Kedua : Tidak sah diadakan, kecuali terdapat limapuluh orang. Demikian ini salah satu riwayat Imam Ahmad dengan hujjah:

– Hadits Abu Umamah, ia berkata, telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

عَلَى الْخَمْسِيْنَ جُمْعَةٌ وَلَيْسَ فِيْمَا دُوْنَ ذَلِكَ

“Diwajibkan Jum’at pada lima puluh orang dan tidak diwajibkan pada di bawahnya. (Namun haditsnya lemah, di sanadnya terdapat Ja’far bin Az Zubair, seorang matruk).”

– Hadits Abu Salamah, ia bertanya kepada Abu Hurairah: “Berapa jumlah orang yang diwajibkan shalat jama’ah padanya?” Abu Hurairah menjawab,”Ketika sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berjumlah lima puluh, Rasulullah mengadakan shalat Jum’at’ [33]. Imam Al Baihaqi berkata,”Telah diriwayatkan dalam permasalahan ini hadits tentang jumlah lima puluh, namun isnadnya tidak shahih.” [34]

Pendapat ini lemah, karena dalil-dalilnya dhaif (lemah).

Ketiga : Harus ada dua belas orang dari yang diwajibkan Jum’at. Demikian madzhab Rabi’ah bin Abdirrahman dan riwayat dalam madzhab Malik. Mereka berdalil dengan hadits Jabir :

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَخْطُبُ قَائِمًا يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَجَاءَتْ عِيرٌ مِنْ الشَّامِ فَانْفَتَلَ النَّاسُ إِلَيْهَا حَتَّى لَمْ يَبْقَ إِلَّا اثْنَا عَشَرَ رَجُلًا

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri berkhutbah pada hari Jum’at, lalu datanglah rombongan dari Syam, lalu orang-orang pergi menemuinya sehingga tidak tersisa, kecuali dua belas orang.” [35]

Hadits ini tidak dapat dijadikan dalil pembatasan hanya dua belas orang saja, karena terjadi tanpa sengaja, dan ada kemungkinan sebagiannya kembali ke masjid setelah menemui mereka.

Keempat : Disyaratkan paling sedikit empat orang. Demikian pendapat masdzhab Abu Hanifah, Al Laits bin Sa’ad, Zufar dan Muhammad bin Al Hasan [36] dengan berdalil pada firman Allah:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاَةِ مِن يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللهِ

“Mereka menyatakan, bahwa kata amanu adalah bentuk jama’ (plural’s), dan jama paling sedikit tiga ditambah imam, maka berjumlah empat orang. Ini jelas lemah dalampengambilan dalilnya”

Kelima : Disyaratkan paling sedikit tiga orang: seorang khatib dan dua orang pendengarnya. Demikian riwayat dari Imam Ahmad, Al Hasan Al Bashri, Abu Yusuf, Abu Tsaur dan salah satu pendapat Sufyan Ats Tsauri [37], berdalil dengan pernyataan di bawah ini:

– Tiga adalah angka terkecil dalam bentuk jama’.
– Hadits Abu Ad Darda’yang berbunyi:

مَا مِنْ ثَلَاثَةٍ فِي قَرْيَةٍ وَلَا بَدْوٍ لَا تُقَامُ فِيهِمْ الصَّلَاةُ إِلَّا قَدْ اسْتَحْوَذَ عَلَيْهِمْ الشَّيْطَانُ

“Tidak ada dari tiga orang di satu perkampungan atau pedalaman tidak ditegakkan padanya shalat, kecuali syetan akan menguasai mereka”.[38]

Mereka menyatakan, shalat yang dimaksudkan disini bersifat umum, meliputi shalat Jum’at dan yang lainnya. Ini menunjukkan kewajiban shalat Jum’at bagi tiga orang.

Demikian pendapat Ibnu Taimiyah yang menyatakan: Shalat Jum’at sah diadakan oleh tiga orang. Seorang berkhutbah, dan dua orang yang mendengarnya.[39]” Dan pendapat ini juga dirajihkan Syaikh Ibnu Baaz [40], Muhammad bin Shalih Al Utsaimin [41] dan fatwa Lajnah Daimah Saudi Arabia [42].

Keenam : Sah diadakan oleh dua orang atau lebih. Demikian pendapat madzhab Dzahiriyah, An Nakha’i, Al Hasan bin Shalih, Makhul dan Ath Thabari. Mereka menyatakan, telah dimaklumi bahwa shalat jama’ah selain Jum’at sah dilakukan dua orang saja secara Ijma’, dan shalat Jum’at sama dengan shalat jama’ah lainnya. Barangsiapa yang mengeluarkannya dari shalat jama’ah lainnya, maka harus mendatangkan dalil, dan tidak ada dalil yang tegas dalam masalah ini. Pendapat ini dirajihkan Imam Ibnu Hazm [43], Asy Syaukani [44], Muhammad Shidiq Hasan Khan dan Al Albani [45]. Demikian inilah pendapat yang rajih, insya Allah.

HUKUM KHUTBAH JUM’AT
Menurut pendapat yang rajih, khutbah Jum’at merupakan satu kewajiban dalam shalat Jum’at, dengan dalil sebagai berikut:

– Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاَةِ مِن يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرُُ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual-beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui”. [Al Jum’ah:9]

Dalam ayat ini, Allah memerintahkan kepada kita agar bersegera mengingat Allah Subhanahu wa Ta’ala sejak mendengar adzan, dan setelah adzan ada khutbah. Dengan demikian firman Allah (فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللهِ ) meliputi khutbah juga. Apabila bersegera mendengar khutbah merupakan kewajiban, maka tentunya khutbah menjadi wajib, karena bersegera datang mendengar khutbah merupakan wasilah dan tujuannya adalah khutbah. Sehingga menurut kaidah yang baku, bila wasilahnya wajib, maka tentu yang dituju menjadi pasti wajibnya.[46]

– Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang berbicara ketika imam berkhutbah, menunjukkan kewajiban mendengarkannya dan hal ini menunjukkan kewajiban khutbah.
– Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa berkhutbah dalam shalat Jum’at, dan sekalipun tidak pernah meninggalkannya. Hal ini menunjukkan juga wajibnya khutbah dalam shalat Jum’at.
– Seandainya khutbah tidak diwajibkan, maka tidak ada bedanya dengan shalat-shalat lainnya, dan orang tidak dapat mengambil manfaat dari pertemuan tersebut [47]

APAKAH MENGHADIRI KHUTBAH MENJADI SYARAT SAH SHALAT JUM’AT
Dalam masalah ini, para ulama terbagi menjadi dua pendapat.

Pertama : Tidak disyaratkan menghadiri khutbah.
Seandainya seseorang hanya mendapati shalat Jum’atnya saja, maka dianggap sah dan sudah mencukupi jum’atnya. Demikianlah pendapat Ibnu Mas’ud, Ibnu Umar, Anas bin Malik, Sa’id bin Al Musayyab, Al Hasan Al Bashri, Alqamah, Al Aswad, Urwah, Az Zuhri, An Nakha’i, Ats Tsauri, Ishaq, Abu Tsaur, Imam Malik, Abu Hanifah, Asy Syafi’i dan Ahmad.

Kedua : Disyaratkan menghadiri khutbah.
Sehingga seseorang yang tidak menghadiri khutbah, maka harus shalat empat raka’at. Demikian pendapat ‘Atha, Thawus, Mujahid, Makhul dan riwayat kedua dari imam Malik. Mereka berdalil, bahwa khutbah adalah syarat sahnya Jum’at, sehingga tidak sah Jum’at seseorang yang tidak mendapati khutbah, padahal Allah berfirman: فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللهِ .

Ibnu Qudamah merajihkan pendapat pertama dengan dalil hadits Abu Hurairah yang berbunyi:

مَنْ أَدْرَكَ مِنْ صَلَاةِ الْجُمُعَةِ رَكْعَةً فَقَدْ أَدْرَكَ

“Barangsiapa yang mendapatkan satu raka’at dari shalat Jum’at, maka ia mendapatkannya.”

Demikian ini pendapat yang rajih, insya Allah.

KAPAN DIANGGAP MENDAPATKAN SHALAT JUM’AT
Telah jelas dari pembahasan di atas, bahwa menghadiri khutbah bukan merupakan syarat Jum’at, sehingga seseorang yang mendapatkan shalat Jum’at bersama Imam, berarti telah mendapatkan shalat Jum’at sempurna. Lalu kapan seseorang dikatakan telah mendapatkan shalat Jum’at bersama imam?

Dalam permasalahan ini, para ulama berselisih pendapat.
Pertama : Dianggap mendapatkan shalat Jum’at, bila mendapatkan satu raka’at bersama Imam. Demikian pendapat jumhur Ulama [48], berdalil dengan hadits Abu Hurairah :

مَنْ أَدْرَكَ مِنْ صَلَاةِ الْجُمُعَةِ رَكْعَةً فَقَدْ أَدْرَكَ

“Barangsiapa yang mendapatkan satu raka’at dari shalat Jum’at, maka ia mendapatkannya”.[49]

Pendapat ini dirajihkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.[50]

Kedua : Dianggap mendapatkan shalat Jum’at, selama mendapatkan shalat bersama Imam walaupun hanya sedikit, seperti dalam tasyahud saja. Demikian pendapat madzhab Abu Hanifah, An Nakha’i dan Hamad; berdalil dengan Qiyas terhadap shalat musafir yang mendapatkan Imam muqim, maka musafir tersebut -walaupun hanya mendapat sedikit dari shalat Imam muqim tersebut- maka ia wajib menyempurnakan shalat dengan sempurna.

Ketiga : Tidak mendapatkan shalat Jum’at tanpa mendengarkan khutbahnya. Demikian ini pendapat ‘Atha, Thawus, Mujahid dan Makhul [51], berdalil dengan hadits Ibnu Umar yang berbunyi:

إِنَّمَا جُعِلَتْ الْخُطبَةُ مَكَانَ الْرَكْعَتَيْنِ فَإِنْ لَمْ يُدْرِكْ الْخُطْبَةَ فَلْيُصَلِّ أَرْبَعًا

“Khutbah dijadikan sebagai pengganti dua raka’at. Jika tidak mendapatkan khutbah, maka hendaklah shalat empat raka’at.” [52]

Dari ketiga pendapat tersebut, yang dianggap rajih ialah pendapat pertama, karena keabsahan hadits yang dijadikan dalil tersebut. Sedangkan hadits pendapat ketiga, merupakan hadits yang lemah, karena sanadnya terputus, ada riwayat Yahya bin Abi Katsir dari Ibnu Umar. Dan Yahya tidak mendengar hadits dari Ibnu Umar secara langsung.[53]

APA YANG DIPERBUAT ORANG YANG TIDAK MENDAPAT SHALAT JUM’AT BERSAMA IMAM
Seseorang yang tidak mendapatkan shalat Jum’at karena udzur, maka diwajibkan shalat Dhuhur empat raka’at, berdasarkan hadits Ibnu Mas’ud yang berbunyi:

منْ فَاتَتْهُ الرَّكْعَتَان فَلْيُصَلِّ أَرْبَعًا

“Barangsiapa yang tidak mendapatkan dua raka’at Jum’at, maka shalatlah empat raka’at.” [54]

Syaikh Al Albani berkata: Dalam hadits Ibnu Mas’ud ini, terdapat isyarat, bahwa shalat Dhuhur adalah asal dan ia wajib bagi orang yang tidak shalat Jum’at. Hal ini dikuatkan oleh beberapa hal berikut:

– Sudah sangat dimaklumi bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya shalat Dhuhur pada hari Jum’at jika dalam perjalanan. Namun mereka shalat dengan qashar. Seandainya asal kewajiban pada hari Jum’at adalah shalat Jum’at, tentulah mereka shalat Jum’at.
– Abdullah bin Mi’dan dari neneknya, ia berkata: Abdullah bin Mas’ud telah berkata kepada kami: “Jika kalian (kaum wanita) shalat Jum’at bersama Imam, maka shalatlah dengan shalatnya. Dan jika kalian shalat di rumah kalian, maka shalatlah empat raka’at”.

Hadits ini diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah (1/207/2) dan sanadnya sampai kepada nenek Ibnu Mi’dan, shahih. Sedangkan neneknya Ibnu Mi’dan, saya belum mengetahuinya. Nampaknya, ia seorang tabi’in dan bukan sahabat. Namun hal ini dikuatkan dengan pernyataan Al Hasan Al Bashri tentang wanita yang datang ke masjid pada hari Jum’at, bahwa ia shalat dengan shalat Imam tersebut, dan itu cukup baginya.

Dalam satu riwayat ia berkata: “Dulu, kaum wanita shalat Jum’at bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan disampaikan kepada mereka “Janganlah kalian keluar, kecuali tidak tercium dari kalian bau minyak wangi”. Isnad kedua riwayat ini shahih. Dan dalam riwayat lain dari jalur periwayatan Asy’ats dari Al Hasan, ia berkata: “Dulu, kaum wanita Muhajirin shalat Jum’at bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian mencukupkan mereka dari shalat Dhuhur”.[55]

Kemudian Syaikh Al Albani menyatakan: “Barangsiapa menganggap bahwa asal kewajiban pada hari Jum’at adalah shalat Jum’at, dan jika tidak mendapatkannya, atau tidak diwajibkan atasnya -seperti musafir dan wanita- hanya shalat dua raka’at; berarti ia telah menyelisihi nash-nash ini dengan tanpa hujjah. Saya mendapatkan Ash Shan’ani menyebutkan (dalam Subulul Salam, 2/74) seperti (yang telah saya jelaskan), dan menyebutkan bahwa jika Jum’at tidak didapatkan seseorang, maka menurut Ijma’, ia wajib shalat Dhuhur, karena ia adalah asal”.[56]

Demikianlah penjelasan para ulama tentang hal ini. Apakah masih kurang jelas kesalahan orang yang mewajibkan kaum wanita shalat dua raka’at bila tidak shalat Jum’at bersama Imam?!

Demikianlah sebagian hukum-hukum seputar shalat Jum’at yang banyak dijumpai oleh kita dalam kehidupan sehari-hari. Mudah-mudahan dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang terbesit di hati pembaca seputar shalat Jum’at ini.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun VIII/1425H/2004M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
________
Footnote
[30]. HR Abu Dawud dalam Sunan-nya, kitab Ash Shalat, Bab Al Jum’ah Fil Qura’, no.1069 dan Ibnu Majah dalam Sunan-nya, kitab Iqamatu Ash Shalat Wa Sunan Fiha, Bab Fardhiyah Al Jum’ah, no.
1082 dan Ibnu Al Jarud dalam Al Muntaqa, no 291. Hadits ini dihasankan oleh Abu Ishaq Al Huwaini dalam kitab Ghauts Al Makdud Bi Takhrij Muntaqa Ibni Al Jarud, karyanya, tanpa tahun, Dar Al Kitab Al ‘Arabi, hlm. 1/254.
[31]. HR Ad Daraquthni dalam Sunan-nya, kitab Al Jum’ah, Bab Dzikru Al ‘Adad Fil Jum’ah, hlm. 2/4 dan dalam sanadnya terdapat Abdul Aziz bin Abdurrahman Al Jazari, seorang yang lemah, sehingga Imam Ahmad menyatakan: “Buang haditsnya,” dan Al Baihaqi menyatakan: “Hadits ini tidak dapat dijadikan hujjah”. Lihat pernyataan Abu Thayib Muhammad Al Abadi dalam At Ta’liq Al Mughni ‘Ala Ad Daraquthni yang terdapat di footnote kitab Sunan Ad Daraquthni, 2/4.
[32]. HR Ad Daraquthni dalam Sunan-nya, kitab Al Jum’ah, Bab Dzikru Al ‘Adad Fil Jum’ah, hlm. 2/4.
[33]. Hadits ini dinukil dari kitab Ikhtiyarat Ibnu Qudamah Al Fiqhiyah Min Asyhar Al Masail Al Khilafiyah, karya Dr. Ali bin Sa’id Al Ghamidi, Cetakan Pertama, 1407 H, Dar Al Madani Jeddah, KSA, hlm. 366.
[34]. Sunan Al Kubra, karya Al Baihaqi, Tahqiq Muhammad Abdulqadir ‘Atha, Cetakan Pertama, Tahun 1414, Dar Al Kutub Al Ilmiyah Bairut, 3/255.
[35]. HR Muslim dalam Shahih-nya, kitab Jum’ah, Bab Fi Qaulihi Ta’ala وَإِذَا رَأَوْا تِجَارَةً أَوْ لَهْوًا انْفَضُّوا إِلَيْهَا وَتَرَكُوكَ no. 863.
[36]. Al Muhalla, op.cit 5/46.
[37]. Ibid.
[38]. HR Abu Dawud dalam Sunan-nya, kitab Shalat, Bab At Tasydid Fi Tarki Al Jamah, no 537 dan An Nasa’i dalam Sunan-nya, kitab Al Imamah, Bab At Tasydid Fi Tarki Al Jamah, 2/106 dan dishahihkan Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban.
[39]. Dinukil pentahqiq Asy Syarhu Al Mumti’, 5/51 dari kitab Al Ikhtiyarat, hlm. 79.
[40]. Majmu’ Fatawa Wa Maqalaat Mutanawi’ah, karya Syaikh Abdul Aziz bin Baaz, Disusun Dr. Muhammad bin Sa’ad Asy Syuwai’ir, Cetakan Ketiga, 1423 H, Muassasah Al Haramain Al Khairiyah, Riyadh, KSA, hlm. 12/326.
[41]. Asy Syarhu Al Mumti’, op.cit, hlm. 5/53.
[42]. Fatawa Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhuts Al Ilmiyah Wal Ifta’, Disusun Ahmad Abdur Razaq Ad Duwaisy, Cetakan Pertama, 1416 H, Dar Al ‘Ashimah, Riyadh, KSA, hlm. 8/178 no.1794.
[43]. Al Muhalla, op.cit, hlm. 5/45.
[44]. Nailul Authar, op.cit.
[45]. Al Ajwiba An Nafi’ah, op.cit, hlm. 44.
[46]. Lihat Asy Syarhu Al Mumti’, op.cit, hlm. 5/66 dan Al Ajwiba An Nafi’ah, op.cit, hlm. 53.
[47]. Asy Syarhu Al Mumti’, op.cit, hlm. 5/66.
[48]. Taisir Al Fiqh Al Jami’ Lil Ikhtiyarat Al Fiqhiyah Li Syaikh Al Islam Ibni Taimiyah, karya Dr. Ahmad Muwafi, Cetakan Kedua, Tahun 1416H, Dar Ibnu Al Jauzi, Damam, KSA, hlm. 1/278.
[49]. HR An Nasa’i dalam Sunan-nya, kitab Al Jum’ah, Bab Man Adraka Shalat Rak’atan Min Shalat Al Jum’ah, no. 1408, dengan sanad yang shahih. Hadits ini dishahihkan Al Albani di dalam Al Ajwibah An Nafi’ah, op.cit, hlm. 48.
[50]. Lihat Majmu’ Fatawa, op.cit, 23/330-332.
[51]. Telah lalu sebagian dalilnya dalam masalah Apakah Menghadiri Khutbah Adalah Syarat Sah Shalat Jum’at?
[52]. HR Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf-nya, 1/126/1. Lihat Al Ajwibah An Nafi’ah, op.cit, hlm. 49.
[53]. Hadits tersebut dilemahkan Al Albani. Lihat Al Ajwibah An Nafi’ah, op.cit, hlm. 49.
[54]. HR Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf-nya, 1/126/1; Ath Thabrani dalam Mu’jam Al Kabir, 2/38/2; dan ini lafadz Ath Thabrani dari jalur periwayatan Abul Ahwash dari Ibnu Mas’ud secara mauquf. Berkata Al Albani: “Sebagian jalur periwayatannya shahih”. Al Haitsami menghasankannya di dalam Al Majma’, 2/192. Nampaknya penulis (Muhammad Shidiq Hasan Khan) berargumentasi dengan hadits Ibnu Mas’ud ini; padahal mauquf, karena tidak diketahui adanya sahabat yang menyelisihinya. Lihat semua ini di dalam Al Ajwibah An Nafi’ah, op.cit, hlm. 47.
[55]. Al Ajwibah An Nafi’ah, op.cit, 48.
[56]. Ibid.

Tinggalkan komentar