AL-ISTISQA’ BIL ANWA’ (MENISBATKAN TURUNNYA HUJAN KEPADA BINTANG)[1]

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qodir Jawas

Secara bahasa (etomologi), istisqa’ (اَلإِسْتِسْقَاءُ) berarti memohon siraman hujan, dan anwa’ (اْلأَنْوَاءُ) adalah bentuk jamak dari naw-u (نَوْءٌ) yang berarti posisi bintang. Selanjutnya, kata ini dipakai untuk arti bintang saja (tanpa kata posisi). Ini adalah kebiasaan orang Arab menggunakan kata posisi atau tempat tersebut. Ini merupakan bentuk majaz mursal sehingga menurut istilah (ter-minologi) berarti memohon siraman hujan kepada bintang.

Maksudnya, menisbatkan perbuatan itu kepada bintang, baik perbuatan menurunkan hujan atau perbuatan lainnya.

Hal itu jelas perbuatan haram. Karena semua sebab harus dinisbatkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

فَلَا أُقْسِمُ بِمَوَاقِعِ النُّجُومِ وَإِنَّهُ لَقَسَمٌ لَّوْ تَعْلَمُونَ عَظِيمٌ إِنَّهُ لَقُرْآنٌ كَرِيمٌ فِي كِتَابٍ مَّكْنُونٍ لَّا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ تَنزِيلٌ مِّن رَّبِّ الْعَالَمِينَ أَفَبِهَٰذَا الْحَدِيثِ أَنتُم مُّدْهِنُونَ وَتَجْعَلُونَ رِزْقَكُمْ أَنَّكُمْ تُكَذِّبُونَ

“Maka Aku bersumpah dengan tempat beredarnya bintang-bintang. Sesungguhnya sumpah itu adalah sumpah yang besar kalau kamu mengetahui. Sesungguhnya Al-Qur-an ini adalah bacaan yang sangat mulia, pada kitab yang terpelihara (Lauhul Mahfuzh), tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang di-sucikan. Diturunkan dari Rabb Semesta Alam. Maka apakah kamu menganggap remeh saja Al-Qur-an ini, kamu (mengganti) rizqi (yang Allah berikan) dengan mendustakan (Allah).” [Al-Waaqi’ah: 75-82]

Juga firman-Nya:

وَلَئِن سَأَلْتَهُم مَّن نَّزَّلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَحْيَا بِهِ الْأَرْضَ مِن بَعْدِ مَوْتِهَا لَيَقُولُنَّ اللَّهُ ۚ قُلِ الْحَمْدُ لِلَّهِ ۚ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ

“Dan sesungguhnya jika kamu menanyakan kepada mereka: ‘Siapakah yang menurunkan air dari langit lalu menghidupkan dengan air itu bumi sesudah matinya?’ Tentu mereka akan menjawab: ‘Allah’. Katakanlah: ‘Segala puji bagi Allah.’ Tetapi kebanyakan mereka tidak memahami(nya).” [Al-Anka-buut: 63]

Orang yang menisbatkan hujan kepada bintang, pelakunya dianggap kafir sebagaimana disabdakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Rabb-nya, bahwa Dia berfirman:

أَصْبَحَ مِنْ عِبَادِيْ مُؤْمِنٌ بِي وَكَافِرٌ، فَأَمَّا مَنْ قَالَ: مُطِرْنَا بِفَضْلِ اللهِ وَرَحْمَتِهِ، فَذَلِكَ مُؤْمِنٌ بِيْ كَافِرٌ بِالْكَوْكَبِ، وَأَمَّا مَنْ قَالَ: مُطِرْنَا بِنَوْءِ كَذَا وَكَذَا، فَذَلِكَ كَافِرٌ بِي مُؤْمِنٌ بِالْكَوْكَبِ.

“Di antara hamba-Ku ada yang menjadi beriman kepada-Ku dan ada pula yang kafir. Adapun orang yang mengatakan: ‘Kami telah diberi hujan karena keutamaan dan rahmat Allah,’ maka itulah orang yang beriman kepada-Ku dan kafir ter-hadap bintang-bintang. Sedang orang yang mengatakan: ‘Kami diberi hujan dengan bintang ini dan itu,’ maka itulah orang yang kafir kepada-Ku dan beriman kepada bintang-bintang.’” [2]

Jika ia percaya bahwa bintang adalah pelaku atau faktor yang mempengaruhi turunnya hujan, maka ia dinyatakan musyrik dengan tingkatan syirik besar. Dan jika ia percaya bahwa bintang menyertai turunnya hujan sehingga dapat dijadikan isyarat -walaupun dengan meyakini bahwa turunnya hujan itu dengan izin Allah Azza wa Jalla- maka perbuatan itu tetap haram dan pelakunya dinyatakan musyrik dengan tingkatan syirik kecil yang bertentangan dengan kesempurnaan tauhid.

Menisbatkan sesuatu kepada selain Allah sebagai pencipta, baik sebagai pelaku, faktor yang mempengaruhi atau faktor penyerta adalah perbuatan syirik yang kini telah banyak tersebar di kalangan masyarakat. Inilah syirik yang sangat dikhawatirkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam salah satu sabda beliau:

ثَلاَثٌ أَخَافُ عَلَى أُمَّتِي: اْلاِسْتِسْقَاءُ بِاْلأَنْوَاءِ، وَحَيْفُ السُّلْطَانِ، وَتَكْذِيْبٌ بِالْقَدْرِ.

“Tiga hal yang sangat aku khawatirkan akan menimpa kalian: (1) menisbatkan hujan kepada bintang-bintang, (2) penguasa yang zhalim, dan (3) pendustaan terhadap taqdir.”[3]

Perbuatan itu merupakan salah satu bentuk dari pengingkaran terhadap nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan sikap tawakkal dan bergantung kepada selain Allah Azza wa Jalla. Selain itu, ia juga membuka peluang bagi munculnya berbagai kepercayaan yang salah dan rusak yang pada gilirannya akan menghantarkan kepada kepercayaan penyembahan patung dan bintang. Ini adalah syirik di dalam Rububiyyah, sebab di dalamnya terkandung penafian (peniadaan) ciptaan dari penciptanya dan sebaliknya serta pemberian hak Rububiyyah kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَرْبَعٌ فِيْ أُمَّتِي مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ لاَ يَتْرُكُوْنَهُنَّ: الْفَخْرُ بِاْلأَحْسَابِ، وَالطَّعْنُ فِي اْلأَنْسَابِ، وَاْلإِسْتِسْقَاءُ بِالنُّجُوْمِ، وَالنِّيَاحَةُ.

“Empat perkara dari perkara-perkara Jahiliyyah yang ter-dapat pada ummatku, dan tidak ditinggalkan oleh mereka: (1) membanggakan nenek moyang, (2) mencela keturunan, (3) menisbatkan hujan kepada bintang-bintang, dan (4) meratapi mayat.” [4]]

[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Po Box 7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan Ketiga 1427H/Juni 2006M]
_______
Footnote
[1]. Lihat Fat-hul Majiid Syarah Kitaabit Tauhiid (hal. 367-379), Qaulul Mufiid ‘ala Kitaabit Tauhiid (II/18-43), dan al-Madkhal li Diraasatil ‘Aqiidah al-Islamiyyah (hal. 147-148).
[2]. HR. Al-Bukhari (no. 846, 1038, 4147) dan Muslim (no. 71), dari Sahabat Zaid bin Khalid al-Juhainy Radhiyallahu anhu.
[3]. HR. Ahmad (V/89-90), Ibnu Abi ‘Ashim (no. 324). Dari Sahabat Jabir bin Samurah Radhiyallahu anhu. Hadits ini hasan, lihat Shahiihul Jaami’ ash-Shaghiir (no. 3022) dan Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 1127).
[4]. HR. Muslim (no. 934) dari Sahabat Abu Malik al-Asy’ari Radhiyiallahu anhu.

Tinggalkan komentar