Perusak-perusak Niat dan Obatnya (02)

3. Penyakit Hati

            Hati adalah segumpal darah yang menentukan anggota badan manusia, jika ia baik maka seluruh tubuhnya akan baik dan jika buruk maka anggota tubuh lainnya pun akan menjadi buruk. Buruknya hati akan menimbulkan keinginan-keinginan yang buruk dan keinginan yang buruk tersebut akan menimbulkan perbuatan yang tidak diridhai oleh Allah‘Azza wa Jalla, di antara perkara yang dapat merusak niat adalah:

  • Cinta Dunia

Manusia diciptakan oleh Allah dengan tabiat mencintai dunia, Allah Ta’ala berfirman,

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَاْلأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللهُ عِندَهُ حُسْنُ الْمَئَابِ 3

Dihiaskan kepada manusia cinta terhadap apa yang diinginkan berupa wanita, anak-anak, harta benda yang bertumpuk berupa emas dan perak, kuda pilihan, binatang ternak dan sawah ladang.” (QS. Ali Imran: 14).

Cinta dunia yang berlebihan menjadikan manusia lupa akan tujuan hidupnya dengan timbulnya niat meraih kesenangan dunia dari amalan shalihnya, sehingga menjadikan amalannya tidak diterima oleh Allah Ta’ala dan di akhirat tidak mendapatkan apa-apa kecuali neraka.

مَن كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لاَيُبْخَسُونَ {15} أُوْلَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي اْلأَخِرَةِ إِلاَّ النَّارَ وَحَبِطَ مَاصَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَّاكَانُوا يَعْمَلُونَ {16}

Barang siapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, pasti Kami berikan balasan atas pekerjaan mereka di dunia, dan mereka di dunia tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh sesuatu di akhirat kecuali neraka, dan sia-sialah di sana apa yang telah mereka usahakan dan terhapuslah apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Huud: 15-16).

Imam Qatadah rahimahullah berkata, “Barang siapa yang niat dan tujuannya hanya mencari dunia, Allah akan memberikan balasan kebaikannya di dunia saja, kemudian ia kembali ke akhirat dengan tanpa membawa pahala sedikit pun, adapun seorang mukmin (yang ikhlas) maka kebaikannya dibalas di dunia dan di akhirat.”[1]

Amalan manusia karena mengharap kehidupan dunia bervariasi di antaranya:

Pertama: amalan shalih yang dilakukan oleh banyak orang dengan mengharapkan keridhaan Allah berupa shadaqah, shalat, berbuat baik kepada manusia dan lain-lain, atau meninggalkan kezaliman dan kemaksiatan yang ia tinggalkan dengan ikhlas karena Allah, namun ia tidak menginginkan pahalanya di akhirat akan tetapi ia menginginkan agar Allah membalasnya dengan dijaga dan ditambah hartanya, dijaga keluarganya, dilanggengkan kenikmatannya, dan ia tidak mempunyai keinginan mencari balasan di surga atau lari dari api neraka, maka orang ini hanya diberikan balasan amalannya di dunia saja sedangkan di akhirat ia tidak mendapat apa-apa. Ini adalah seperti yang disebutkan oleh Ibnu Abbasradhiallahu ‘anhuma.

Kedua: yang disebutkan oleh Imam Mujahid bin Jabr yaitu amalan shalih yang dicampuri dengan riya’ bukan mencari pahala akhirat, amalan seperti ini lebih berat dan menakutkan dari yang pertama.

Ketiga: amalan shalih yang tujuannya adalah meraih harta, seperti orang yang haji dengan tujuan berbisnis dan bukan karena Allah atau berhijrah karena ada dunia yang ingin ia capai, atau karena wanita yang ingin ia nikahi atau berjihad karena ingin mendapatghanimah.

Keempat: amal shalih yang diniatkan padanya dua hal; karena Allah dan karena ingin meraih keinginan dunia, maka hukumnya untuk yang lebih kuat. [2]

Kewajiban seorang hamba adalah menyelamatkan dirinya dari tipu daya setan ini dengan memahami hakikat kehidupan dunia yang fana dan tidak kekal, kesenangannya adalah menipu dan kemewahannya tidak berharga di sisi Allah sedikit pun, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَوْ كَانَتِ الدُّنْيَا تَزِنُ عِنْدَ اللهِ جَنَاحَ بَعُوضَةٍ مَا أَعْطَى كَافِرًا مِنْهَا شَرْبَةً مِنْ مَاءٍ.

Kalaulah dunia itu berharga di sisi Allah seharga sayap nyamuk, Allah tidak akan memberi minum orang kafir setegukpun.” (HR. Ibnu Abi Syaibah).[3]

Oleh karena itu, Allah mengingatkan kita tentang hakikat kehidupan dunia dalam ayat yang banyak agar manusia ingat bahwa dunia bukanlah tujuan kehidupan seorang hamba dan bukan sesuatu yang kekal, Allah Ta’ala berfirman,

اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِب وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي اْلأَمْوَالِ وَاْلأَوْلاَدِ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُونُ حُطَامًا وَفِي اْلأَخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِّنَ اللهِ وَرِضْوَانٌ وَمَاالْحَيَاةُ الدُّنْيَآ إِلاَّ مَتَاعُ الْغُرُورِ

 “Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan senda gurau, perhiasan dan saling berbangga di antara kamu serta berlomba dalam kekayaan dan anak keturunan, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat ada adzab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (QS. Al Hadid: 20).

  • Cinta Pujian dan Ketenaran

Yang paling ditakutkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap umatnya adalah penyakit riya’ beliau bersabda,

إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمْ الشِّرْكُ الْأَصْغَرُ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا الشِّرْكُ الْأَصْغَرُ قَالَ الرِّيَاءُ إِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَقُولُ يَوْمَ تُجَازَى الْعِبَادُ بِأَعْمَالِهِمْ اذْهَبُوا إِلَى الَّذِينَ كُنْتُمْ تُرَاءُونَ بِأَعْمَالِكُمْ فِي الدُّنْيَا فَانْظُرُوا هَلْ تَجِدُونَ عِنْدَهُمْ جَزَاءً

“Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan kepada kalian adalah syirik kecil.” Mereka berkata, “Apa itu syirik kecil wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Riya, Allah akan berfirman kepada mereka pada hari manusia dibalas amalan mereka “Pergilah kepada orang yang kalian harapkan pujian di dunia dan lihatlah apakah kalian mendapatkan pahala dari mereka!!” (HR. Ahmad).[4]

Penyakit ini sangat merusak niat seorang hamba dan menjadikannya terombang-ambing di lautan yang tak bertepi, ia telah memposisikan dirinya sebagai orang yang pertama kali dilemparkan ke dalam api neraka, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ أَوَّلَ النَّاسِ يُقْضَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَيْهِ رَجُلٌ اسْتُشْهِدَ فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا قَالَ فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا قَالَ قَاتَلْتُ فِيكَ حَتَّى اسْتُشْهِدْتُ قَالَ كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ قَاتَلْتَ لِأَنْ يُقَالَ جَرِيءٌ فَقَدْ قِيلَ ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ وَرَجُلٌ تَعَلَّمَ الْعِلْمَ وَعَلَّمَهُ وَقَرَأَ الْقُرْآنَ فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا قَالَ فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا قَالَ تَعَلَّمْتُ الْعِلْمَ وَعَلَّمْتُهُ وَقَرَأْتُ فِيكَ الْقُرْآنَ قَالَ كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ تَعَلَّمْتَ الْعِلْمَ لِيُقَالَ عَالِمٌ وَقَرَأْتَ الْقُرْآنَ لِيُقَالَ هُوَ قَارِئٌ فَقَدْ قِيلَ ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ وَرَجُلٌ وَسَّعَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَأَعْطَاهُ مِنْ أَصْنَافِ الْمَالِ كُلِّهِ فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا قَالَ فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا قَالَ مَا تَرَكْتُ مِنْ سَبِيلٍ تُحِبُّ أَنْ يُنْفَقَ فِيهَا إِلَّا أَنْفَقْتُ فِيهَا لَكَ قَالَ كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ فَعَلْتَ لِيُقَالَ هُوَ جَوَادٌ فَقَدْ قِيلَ ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ ثُمَّ أُلْقِيَ فِي النَّارِ

“Sesungguhnya orang yang pertama kali diadzab pada hari kiamat adalah orang yang mati syahid, lalu ia didatangkan menghadap Allah. Allah menyebutkan nikmat-Nya kepadanya dan ia pun mengakuinya. Allah berfirman, “Apa yang engkau amalkan dengannya?” Ia menjawab, “Aku berperang di jalan-Mu sampai aku mati syahid.” Allah berfirman, “Kamu dusta, akan tetapi kamu berperang agar disebut pemberani dan telah dikatakan padamu.” Lalu orang itu diperintahkan agar diseret dengan wajahnya sampai dilemparkan ke dalam api neraka. Dan orang yang mempelajari ilmu dan mengajarkannya serta membaca Alquran, ia didatangkan menghadap Allah. Allah menyebutkan nikmat-Nya kepadanya dan ia pun mengakuinya. Allah berfirman, “Apa yang engkau amalkan dengannya?” Ia menjawab, “Aku mempelajari ilmu dan membaca Alquran karena Engkau.” Allah berfirman, “Kamu dusta, akan tetapi kamu mempelajari ilmu agar disebut ulama dan membaca Alquran agar disebutqori dan telah dikatakan demikian kepadamu.” Lalu orang itu diperintahkan agar diseret dengan wajahnya sampai dilemparkan ke dalam api neraka. Dan orang yang Allah luaskan rezekinyanya dan diberi segala macam harta. Lalu ia didatangkan menghadap Allah. Allah menyebutkan nikmat-Nya kepadanya dan ia pun mengakuiya. Allah berfirman, “Apa yang engkau amalkan dengannya?” Ia menjawab, “Tidak ada satu pun jalan yang Engkau sukai untuk diinfakkan padanya, kecuali aku telah menginfakkannya karena Engkau.” Allah berfirman, “Kamu dusta, akan tetapi kamu berbuat itu agar disebut dermawan dan telah dikatakan demikian kepadamu.” Lalu orang itu diperintahkan agar diseret dengan wajahnya sampai dilemparkan ke dalam api neraka.” (HR. Muslim).[5]

Niat menjadi rusak dengan adanya riya, karena ia mengharapkan selain keridhaan AllahTa’ala sehingga ia berhak mendapatkan sanksi dari Allah Ta’ala. Seorang hamba wajib bersungguh-sungguh untuk berjuang melawannya dengan memohon perlindungan kepada Allah dan bertawakal kepada-Nya dan menjihadi dirinya agar senantiasa ikhlas dalam beribadah.

  • Tamak kepada Harta dan Kedudukan

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan bahwa tamak kepada harta dan kedudukan lebih berbahaya dari pada dua ekor serigala lapar, beliau bersabda,

مَا ذِئْبَانِ جَائِعَانِ أُرْسِلَا فِي غَنَمٍ بِأَفْسَدَ لَهَا مِنْ حِرْصِ الْمَرْءِ عَلَى الْمَالِ وَالشَّرَفِ لِدِينِهِ

Tidaklah dua serigala lapar dilepaskan kepada seekor kambing lebih berbahaya dari rakusnya seseorang kepada harta dan kedudukan melalui agamanya.” (HR. Tirmidzi).[6]

Karena orang yang rakus kepada harta dan kedudukan seringkali menjadikan pelakunya melecehkan batasan-batasan Allah Ta’ala, tidak peduli apakah jalan yang ditempuhnya halal atau haram, bahkan ia pun berani memusuhi hamba-hamba Allah yang shalih bila ternyata menjadi aral untuknya dalam meraih dunia yang ia inginkan. Lebih-lebih rakus terhadap kedudukan, ia lebih berbahaya daripada rakus terhadap harta, karena pelakunya mendapatkan kelezatan lebih dari sekedar harta namun juga kehormatan dan ketundukan manusia kepadanya. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita untuk meminta jabatan, beliau bersabda,

لَا تَسْأَلْ الْإِمَارَةَ فَإِنَّكَ إِنْ أُعْطِيتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْهَا وَإِنْ أُعْطِيتَهَا عَنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا

Janganlah engkau meminta jabatan, karena sesungguhnya jika engkau diberikan jabatan karena memintanya, maka engkau tidak akan dibantu namun diserahkan pada dirimu, dan jika engkau diberi jabatan karena engkau tidak memintanya maka engkau akan dibantu (oleh Allah).” (HR. Bukhari dan Muslim).

Dan yang lebih berat lagi adalah orang yang mencari kedudukan dunia melalui agamanya, dimana ia membela kepentingan dirinya di balik kedok agama, celakanya lagi ia berdalih dengan kaidah-kaidah syariat untuk membenarkan dirinya, sehingga agama menjadi permainan hawa nafsunya. Cobalah engkau lihat berapa banyak bid’ah dihalalkan untuk mencari suara lalu berdalih bahwa ini adalah keadaan darurat atau mashlahatnya besar atau seribu alasan lainnya, sunnah pun dilecehkan bahkan dianggapnya sebagai batu sandungan yang dapat menghalangi jalannya. Allahul musta’an

Al Hafidz Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Telah menjadi jelas bahwa cinta harta dan kedudukan dan rakus kepada keduanya dapat merusak agama seseorang sehingga tidak tersisa darinya kecuali apa yang Allah kehendaki sebagaimana dikabarkan oleh Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan asal cinta harta dan kedudukan adalah cinta dunia, dan asal cinta dunia adalah mengikuti hawa nafsu. Wahb bin Munabbih rahimahullah berkata, “Dari mengikuti hawa nafsu timbullah cinta dunia, dan dari cinta dunia timbullah cinta harta dan kedudukan, dan dari cinta harta dan kedudukan timbullah menghalalkan apa-apa yang haram.”[7]

 

4. Fitnah Syubhat dan Syahwat

Syubhat dan syahwat adalah dua penyakit yang sangat merusak niat, adanya bid’ah dalam niat adalah akibat syubhat dan niat yang tidak ikhlas adalah akibat syahwat, dua macam fitnah ini dikumpulkan dalam sebuah ayat,

 كَالَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ كَانُوا أَشَدَّ مِنكُمْ قُوَّةً وَأَكْثَرَ أَمْوَالاً وَأَوْلاَدًا فَاسْتَمْتَعُوا بِخَلاَقِهِمْ فَاسْتَمْتَعْتُم بِخَلاَقِكُمْ كَمَا اسْتَمْتَعَ الَّذِينَ مِن قَبْلِكُم بِخَلاَقِهِمْ وَخُضْتُمْ كَالَّذِي خَاضُوا أَوْلَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَاْلأَخِرَةِ وَأُوْلَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ

“(Keadaan orang munafik dan musyrikin) seperti orang-orang sebelum kamu, mereka lebih kuat dari pada kamu dan lebih banyak harta dan anak-anaknya. Maka mereka telah menikmati bagiannya dan kamu telah menikmati bagianmu sebagaimana orang-orang sebelum kamu menikmati bagiannya dan kamu tenggelam mempercakapkan (kepada hal-hal yang bathil) sebagaimana mereka tenggelam mempercakapkannya.” (QS. At Taubah: 69).

Ibnu Qayyim rahimahullah berkata, “Dan kamu telah menikmati bagianmu, maksudnya kamu menikmati bagianmu dari dunia dan syahwatnya. Dan kamu tenggelam mempercakapkan, maksudnya tenggelam mempercakapkan kebatilan yaitu syubhat. Allah Ta’alamengisyaratkan dalam ayat ini kepada apa yang dapat merusak hati dan agama berupa bersenang-senang dengan syahwat dan tenggelam dalam kebatilan, karena rusaknya agama dapat terjadi dengan adanya keyakinan yang batil atau beramal tidak sesuai dengan ilmu yang shahih.”[8]

Adapun obat syubhat adalah dengan mencari ilmu yang shahih dan memurnikan mutaba’ah terhadap Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berhukum dengannya dalam perkara besar maupun kecil dari urusan agama ini. Dan obat syahwat adalah dengan menumbuhkan rasa takut kepada Allah Ta’ala dan siksaan-Nya yang pedih serta memahami tentang hakikat kehidupan dunia ini sebagaimana telah kita sebutkan.

-bersambung insya Allah-
Penulis: Ustadz Abu Yahya Badrusalam, Lc.
Artikel www.cintasunnah.com

 


[1] Tafsir ibnu Katsir 4/217.

[2] Taisirul ‘Azizil Hamid Syarah Kitab Tauhid, Hal. 404.

[3] Musnad ibnu Abi Syaibah, 2:424 no.963 dan dishahihkan oleh Syaikh Al Bani dalam Silsilah Shahihah, no.686.

[4] Musnad Ahmad, 5:428 no. 23680 lihat Silsilah Shahihah Syaikh Al Bani no 951.

[5] Muslim 3:1513 no 1905.

[6] At Tirmidzi no.2376 dan dishahihkan oleh Syaikh Al Bani dalam Shahih Targhib no 1710.

[7] Ibnu Rajab, Syarah Ma Dzibaani Jaa’iaani, Hal. 71

[8] Ibnu Qayyim, Ighotsatulahafan, Hal. 535.

Tinggalkan komentar