Agar “Mengingkari Kemungkaran” Tidak Menjadi Kemungkaran

Tidak ragu lagi bahwa mengingkari kemungkaran merupakan kewajiban agama dan ibadah yang sangat utama. Namun, harus diketahui bahwa pengingkaran memiliki etika dan kaidah yang telah diajarkan oleh Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena beliau adalah seorang yang paling mengerti tentang metode dakwah yang terbaik. Mungkinkah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada umatnya tata cara buang air besar, lalu melupakan untuk mengajarkan mereka tata cara inkarul munkar?!!

عَنْ أَبِي ذَرٍّ ، قَالَ : تَرَكْنَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَمَا طَائِرٌ يُقَلِّبُ جَنَاحَيْهِ فِي الْهَوَاءِ ، إِلا وَهُوَ يُذَكِّرُنَا مِنْهُ عِلْمًا ، قَالَ : فَقَالَ : صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَا بَقِيَ شَيْءٌ يُقَرِّبُ مِنَ الْجَنَّةِ ، ويُبَاعِدُ مِنَ النَّارِ ، إِلا وَقَدْ بُيِّنَ لَكُمْ.

Abu Dzar al-Ghifari radhiallahu ‘anhu pernah mengatakan, “Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallammeninggalkan kita, sedangkan tidak ada seekor burung pun yang mengepakkan kedua sayapnya di udara kecuali beliau telah menjelaskan kepada kami. Sesungguhnya Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Tidak ada sesuatu pun yang mendekatkan kalian ke surga dan menjauhkan dari neraka kecuali telah dijelaskan kepada kalian.’ ” [1]

Kita beralih kepada masalah yang aktual sekarang. Aksi-aksi anarkis dan kekerasan banyak terjadi di Pandeglang, Cikasik, Temanggung, dan lainnya karena perbedaan paham agama, sampai-sampai ada keinginan dari pemerintah untuk membubarkan ormas Islam yang dianggap bermasalah. Semua itu dikarenakan ulah sebagian kalangan yang keliru dalam metode mengingkari kemungkaran sehingga inginnya untuk mengubah kemungkaran, tetapi malah memperbesar kemungkaran.

رَامَ نَفْعًا فَضَرَّ مِنْ غَيْرِ قَصْدٍ # وَمِنَ الْبِرِّ مَا يَكُوْنُ عُقُوْقًا

Maksud hati ingin raih kebaikan, namun tanpa sengaja justru menimbulkan kerusakan.

Sesungguhnya di antara kebaikan ada yang menjadi kedurhakaan

Oleh karenanya, melalui rubrik hadits ini kami ingin mengkaji salah satu hadits Nabi yang bisa kita jadikan dalil tentang masalah ini.

Teks Hadits

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ بَيْنَمَا نَحْنُ فِى الْمَسْجِدِ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذْ جَاءَ أَعْرَابِىٌّ فَقَامَ يَبُولُ فِى الْمَسْجِدِ فَقَالَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مَهْ مَهْ. قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « لاَ تُزْرِمُوهُ دَعُوهُ ». فَتَرَكُوهُ حَتَّى بَالَ. ثُمَّ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- دَعَاهُ فَقَالَ لَهُ « إِنَّ هَذِهِ الْمَسَاجِدَ لاَ تَصْلُحُ لِشَىْءٍ مِنْ هَذَا الْبَوْلِ وَلاَ الْقَذَرِ إِنَّمَا هِىَ لِذِكْرِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَالصَّلاَةِ وَقِرَاءَةِ الْقُرْآنِ ». أَوْ كَمَا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم .قَالَ فَأَمَرَ رَجُلاً مِنَ الْقَوْمِ فَجَاءَ بِدَلْوٍ مِنْ مَاءٍ فَشَنَّهُ عَلَيْهِ.

Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu berkata, “Ketika kami sedang di masjid bersama Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam, tiba-tiba datang seorang Arab badui lalu berdiri untuk kencing di masjid. Para sahabat Rosulshallallahu ‘alaihi wa sallam menghardiknya, tetapi Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Janganlah kalian memutusnya, biarkanlah dia selesai kencing dulu.’ Maka mereka membiarkan orang tersebut kencing hingga selesai. Setelah itu Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam menasihatinya, ‘Sesungguhnya masjid ini tidak boleh digunakan untuk kotoran dan kencing, masjid adalah tempat untuk dzikir, sholat, dan membaca al-Qur’an.’ Atau seperti sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setelah itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallammemerintah seseorang untuk mengambil satu ember air dan menyiramnya.’ ” [2]

Fiqih Hadits

Hadits ini memuat banyak sekali mutiara faedah yang terkandung di dalamnya.[3] Di antaranya yang menjadi inti pembahasan kita adalah metode mengingkari kemungkaran yaitu tidak boleh mengingkari kemungkaran jika malah menimbulkan kerusakan yang lebih besar. Perhatikanlah hadits ini baik-baik, ketika para sahabat hendak mengingkari orang badui yang kencing di masjid tersebut, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menahan mereka karena apabila hal itu diteruskan maka akan mendatangkan kerusakan yang lebih besar, di antaranya:

Pertama: Akan membahayakan orang tersebut karena memberhentikan seorang yang tengah kencing adalah berbahaya dan menyakitkan.

Kedua: Seandainya dibiarkan terlebih dahulu maka dia akan menumpahkan najis pada bagian kecil dari masjid, tetapi kalau saja dia ditegur di tengah-tengah kencing niscaya air kencing akan mengena pada badannya dan pakaiannya serta malah melebar ke bagian masjid lainnya.[4]

Kita tidak boleh mengingkari kemungkaran dengan kemungkaran juga. Kita harus memperhatikan antara maslahat dan mafsadatnya. Apakah kita akan mengingkari suatu kemungkaran dengan menimbulkan kemungkaran yang besar darinya?! Semoga Alloh merahmati al-Imam Hasan al-Bashri tatkala melihat seorang khowarij yang keluar untuk mengingkari kemungkaran, beliau berkata, “Si miskin itu melihat kemungkaran dan ingin mengingkarinya tetapi malah jatuh pada kemungkaran yang lebih munkar darinya.” [5]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Pernah dikatakan, ‘Hendaknya perintahmu kepada kebaikan dengan cara yang baik dan laranganmu dari kemungkaran bukan suatu kemungkaran.’ Kalau amar ma’ruf nahi munkar termasuk kewajiban dan sunnah yang agung, maka hendaknya maslahatnya lebih besar daripada kerusakannya.” [6]

Jangan Memperbesar Kemungkaran

Perlu diketahui bahwa syari’at yang suci dan mudah ini dibangun di atas kemaslahatan dan menolak kemudaratan. Barang siapa meneliti sikap para nabi—’alaihimush sholatu wassalam—dan kisah-kisah mereka yang diceritakan dalam al-Qur’an, niscaya dia akan mengetahui dengan yakin tanpa sedikit pun keraguan. Hal ini dipraktikkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana diketahui oleh seorang yang memiliki pengetahuan tentang syari’at sekalipun hanya sedikit. Di antaranya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membunuh kaum munafik. Dalam banyak kejadian, telah nyata bagi Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallamkemunafikan beberapa orang yang seharusnya mereka mendapatkan hukuman setimpal untuk dibunuh, tetapi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukannya, bahkan bersabda:

لَا يَتَحَدَّثُ النَّاسُ أَنَّ مُحَمَّدًا يَقْتُلُ أَصْحَابَهُ

“Jangan sampai manusia bercerita bahwa Muhammad membunuh para sahabatnya.” (HR. al-Bukhori: 4542 dan Muslim: 4682)

Dalam hadits ini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa beliau tidak menghukum dan membunuh orang-orang munafik untuk meraih kemaslahatan yang lebih besar bagi Islam dan menolak kerusakan yang lebih besar. Sebab, apabila tersebar bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membunuh mereka tanpa diketahui sebabnya yang jelas oleh manusia umum, maka hal tersebut akan membuat orang-orang kafir lari dari agama Islam.[7]

Dari sini tampak jelas bagi kita bahwa tidak boleh mengingkari suatu kemungkaran apabila malah mendatangkan kemungkaran yang lebih besar.

Alangkah bagusnya ucapan al-Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah tatkala berkata, “Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mensyari’atkan kepada umatnya kewajiban mengingkari kemungkaran agar terwujudkan kebaikan yang dicintai oleh Alloh dan rosul-Nya. Namun, apabila mengingkari kemungkaran mengharuskan munculnya kerusakan yang lebih besar maka tidak boleh mengingkarinya sekalipun perbuatan dan pelakunya tersebut dibenci oleh Alloh, seperti mengingkari para pemimpin dengan memberontak mereka, karena ini adalah sumber segala kerusakan dan fitnah sepanjang zaman.” [8]

Lanjutnya, “Barang siapa yang mencermati kecamuknya berbagai fitnah yang berbentuk kecil maupun besar di dunia Islam, niscaya dia akan mengetahui bahwa faktor penyebabnya adalah melalaikan kaidah ini dan tidak sabar menghadapi kemungkaran lalu ingin mengubahnya tetapi malah membawa kerusakan yang lebih besar darinya.”[9]

Sungguh ini adalah ucapan berharga yang sepantasnya dicatat dengan tinta emas. Camkanlah kaidah ini baik-baik karena melalaikannya telah membuat mayoritas orang terpeleset dalam fitnah yang kerusakan. Adakah di antara kita yang mau memperhatikannya dan memetik pelajaran darinya?!! Ya Alloh, jauhkanlah kami dari fitnah.

Al-Hafizh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah melanjutkan, “Mengingkari kemungkaran memiliki empat tingkatan:

Pertama: Apabila kemungkaran tersebut hilang dan berganti sebaliknya

Kedua: Apabila mengecil sekalipun tidak hilang seluruhnya

Ketiga: Apabila berganti dengan kemungkaran semisalnya

Keempat: Apabila berganti kepada yang lebih parah darinya

Tingkatan pertama dan kedua disyari’atkan, tingkatan ketiga perlu pertimbangan, dan tingkatan keempat hukumnya haram. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah—semoga Alloh menerangi kuburnya—berkata, ‘Pada zaman pasukan Tatar, aku bersama para kawanku pernah melewati orang-orang yang lagi asyik minum khamar. Seorang kawan mengingkari mereka namun aku menegurnya seraya kukatakan padanya: Sesungguhnya Alloh mengharamkan khamr karena menghalangi manusia dari mengingat Alloh dan mengingat sholat, dan mereka apabila minum khamar maka mereka tidak membunuh, menawan anak-anak, dan merampok harta, jadi biarkan saja mereka.’ ” [10]

Kita berpindah kepada Syaikh Abdurrohman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah, sebagaimana dimaklumi bersama bahwa beliau berpendapat haramnya rokok, bahkan beliau menulis risalah khusus tentang haramnya rokok.[11]

Namun, ketika beliau pernah bepergian jauh dengan mobil yang sopirnya adalah perokok, maka beliau memberikan kesempatan waktu istirahat untuk merokok. Ketika ditanya tentang hal itu, beliau menjawab, “Para sopir itu adalah pecandu rokok. Bila mereka tidak merokok, maka kepala mereka akan pusing dan mungkin bisa ngawur nyopirnya sehingga membahayakan penumpang.” [12]

Demikian juga, suatu saat ada penjual kayu bakar pernah menaruh kayu bakar di rumah beliau dan bungkus rokoknya tertinggal, maka Syaikh as-Sa’di memanggil dan mengembalikan rokoknya. Ketika penjual tadi menanyakan mengapa beliau mengembalikannya padahal itu adalah rokok, beliau menjawab, “Karena jika kamu kehilangan rokok ini, nanti kamu akan membeli baru lagi sebagai penggantinya dengan menggunakan uang hasil jual kayu tadi, padahal itu sebenarnya adalah jatah untuk makan keluargamu.” Akhirnya penjual itu mengambil rokok tersebut kemudian membuangnya seraya mengatakan, “Ya Alloh, sekarang saya bertaubat dari rokok dan tidak akan mengisapnya lagi.” [13]

Demikianlah ketajaman ilmu para ulama yang mengetahui fiqih metode mengingkari kemungkaran. Semoga Alloh merahmati mereka semua dan menjadikan kita seperti mereka.

Penutup

Sehubungan dengan masalah yang menghangat sekarang ini di publik dan media seiring dengan sering terjadinya tindakan kekerasan karena perbedaan paham agama, maka kami menasihatkan:

  1. Kepada pemerintah dan jajarannya untuk bertindak tegas terhadap aliran-aliran yang telah terbukti sesat dan menyesatkan serta menodai agama Islam seperti kelompok Ahmadiyah, sebab kekurangtegasan pemerintah dalam menyikapi masalah ini terkadang menjadi faktor utama terjadinya kerusuhan. Kewajiban ulama hanyalah menjelaskan dan menasihati, sedangkan pembubaran maka itu bukanlah wewenang mereka. Sungguh merupakan kesalahan, opini sebagian kalangan bahwa terjadinya kerusuhan tersebut adalah disebabkan fatwa MUI tentang kafirnya Ahmadiyah. Ini sama sekali tidak benar, sebab fatwa tersebut adalah benar, tetapi yang salah adalah tindakan anarkis sebagian masyarakat yang itu tidak diinginkan sama sekali oleh MUI. Jadi, jangan dicampuradukkan antara keduanya.
  2. Kepada masyarakat untuk tidak main hakim sendiri-sendiri, tetapi hendaknya mereka menyerahkan hukum untuk ditangani oleh pemerintah yang berwenang sehingga tidak menimbulkan kerusakan yang lebih besar. Semoga Alloh memberikan taufik kepada kita semua untuk tetap tegar di atas agama-Nya. Amin.
Penulis: Ustadz Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi
Artikel www.abiubaidah.com
 


[1]      Diriwayatkan oleh ath-Thobaroni dalam al-Mu’jam al-Kabir: 1647 dengan sanad yang shohih. Lihat ash-Shohihah kar. al-Albani: 1803.

[2]      HR. al-Bukhori: 219 dan Muslim: 284.

[3]      Lihat risalah Hadits Baulil A’robi Waqofat wa Ta’ammulat kar. Dr. Falih bin Muhammad ash-Shughoir.

[4]      Syarh Shohih Muslim kar. an-Nawawi: 1/191. Lihat pula risalah Hadits Baulil A’robi Waqofat wa Ta’ammulatkar. Dr. Falih bin Muhammad ash-Shughoir.

[5]      Asy-Syari’ah kar. al-Ajurri: 1/145

[6]      Al-Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ’anil Munkar hlm. 19

[7]      Adab Tholab wa Muntaha Arob kar. asy-Syaukani hlm. 159

[8]      Termasuk dalam hal ini adalah aksi-aksi demonstrasi untuk menumbangkan pemimpin yang marak akhir-akhir ini. Sejarah menjadi saksi bahwa tidaklah hal itu membawa kebaikan tetapi justru memperburuk keadaan. Hanya kepada Alloh kita memohon agar melindungi kita semua dari kejahatan fitnah.

[9]      I’lamul Muwaqqi’in (tahqiq Syaikh Masyhur bin Hasan Salman): 4/338–339

[10]   Ibid.: 4/339–340

[11]   Judul bukunya Hukmu Syurbi Dukhon sebagaimana tercantum dalam Majmu’ah Mu’allafat Syaikh as-Sa’di: 7/479–489.

[12]   Mawaqif Ijtima’iyyah min Hayati Syaikh Abdurrohman bin Nashir as-Sa’di hlm. 135–136

[13]   Ibid. hlm. 69

Tinggalkan komentar