AS-SHAMAD, PENGUASA YANG MAHA SEMPURNA DAN TEMPAT BERGANTUNG SEGALA SESUATU

Oleh
Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, M.A

DASAR PENETAPAN
Nama Allâh Azza wa Jalla yang agung ini disebutkan dalam ayat berikut ini :

قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ ﴿١﴾ اللَّهُ الصَّمَدُ

Katakanlah: Dialah Allâh Yang Maha Esa, Allâh adalah ash-Shamad (Penguasa Yang Maha Sempurna dan bergantung kepada-Nya segala sesuatu) [al-Ikhlâsh/112:1-2]

Dan dalam sebuah hadits yang shahîh, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada para Sahabat Radhiyallahu anhum: “Apakah kalian tidak mampu membaca sepertiga (dari) al-Qur`ân dalam satu malam?” Maka para Sahabat Radhiyallahu anhum merasakan hal itu sangat berat sehingga berkata: “Siapa di antara kami yang mampu (melakukan) hal itu, wahai Rasûlullâh?”. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “(Surat) Allâh al-Wâhid (Yang Maha Esa) ash-Shamad (Penguasa Yang Maha Sempurna dan bergantung kepada-Nya segala sesuatu) adalah (sebanding dengan) sepertiga al-Qur`ân”[1].

MAKNA ASH-SHAMAD SECARA BAHASA
Ibnu Fâris rahimahullah menjelaskan bahwa asal kata nama ini menunjukkan dua makna, salah satunya adalah al-qashdu (tujuan). Maksudnya, orang yang dinamakan dengan ini adalah pemimpin yang dituju (dijadikan rujukan) dalam semua urusan. Kemudian Ibnu Fâris rahimahullah menyatakan, “Allâh yang maha agung kemuliaan-Nya adalah ash-Shamad karena semua doa dan permohonan hamba-Nya ditujukan kepada-Nya”[2].

Al-Fairûz Abâdi rahimahullah menjelaskan bahwa termasuk makna ash-Shamad secara bahasa adalah as-sayyid (pemimpin) karena selalu dituju (dijadikan rujukan), juga berarti yang kekal dan mulia [3].

Demikian juga Ibnu Manzhûr rahimahullah menyebutkan bahwa makna ash-Shamad adalah yang dituju dan dijadikan sandaran [4].

Sementara itu, Ibnul Atsîr rahimahullah berkata, “Nama Allâh ash-Shamad artinya as-sayyid (penguasa) yang mencapai puncak kemahakuasaan. Ada yang berpendapat: artinya adalah yang maha kekal abadi…Dan ada yang mengatakan: artinya adalah yang dituju (oleh semua makhluk) dalam segala kebutuhan mereka.”[5]

Oleh karena itu, (dahulu) bangsa Arab menamakan para pemimpin mereka dengan ‘ash-shamad’ karena menjadi tempat tujuan orang-orang yang mempunyai keperluan dan (sifat) kepemimpinan terhimpun pada (diri) mereka”[6] .

PENJABARAN MAKNA NAMA ASH-SHAMAD
Imam Ibnu Jarîr ath-Thabari rahimahullah dalam tafsir beliau [7] meriwayatkan keterangan seorang Sahabat yang mulia, ‘Abdullâh bin ‘Abbâs Radhiyallahu anhu yang berkata, “Ash-Shamad adalah penguasa yang maha sempurna kekuasaan-Nya, maha mulia yang sempurna kemuliaan-Nya, maha agung yang sempurna keagungan-Nya, maha penyantun yang sempurna sifat kesantunan-Nya, maha kaya yang sempurna kekayaan-Nya, maha perkasa yang sempurna keperkasaan-Nya, maha mengetahui yang sempurna pengetahuan-Nya, dan maha bijaksana yang sempurna hikmah/kebijaksanaan-Nya. Dialah yang maha sempurna dalam semua bentuk kemuliaan dan kekuasaan. Dialah Allâh yang maha suci dan sifat-sifat ini hanyalah pantas (diperuntukkan) bagi-Nya.”[8]

Lebih lanjut, Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah memaparkan, “ash-Shamad adalah penguasa yang sempurna kekuasaannya. Oleh karena itu, dulu orang Arab menamakan pemimpin mereka dengan nama ini, karena banyaknya sifat terpuji (yang terkumpul) pada diri orang (tokoh) tersebut…Jadi, ash-Shamad adalah dzat yang dituju (dijadikan sandaran) oleh hati manusia dalam ketakutan dan pengharapan (mereka), karena banyaknya sifat baik dan terpuji (yang terhimpun) padanya. Karenanya, mayoritas Ulama Salaf, di antaranya ‘Abdullâh bin ‘Abbâs Radhiyallahu anhu berkata: “ash-Shamad adalah penguasa yang maha sempurna kekuasaan-Nya…”[9]

Senada dengan itu, Syaikh Muhammad al-Amîn asy-Syinqîthi rahimahullah berkata, “Allâh Subhanahu wa Ta’ala Dialah penguasa tunggal, tempat menyandarkan segala kesulitan dan kebutuhan, Dialah Yang Maha Suci dan Tinggi dari (menyerupai) sifat-sifat makhluk, seperti makan, minum dan sebagainya…”[10]

Keterangan di atas menunjukkan bahwa ash-Shamad adalah termasuk nama Allâh yang menunjukkan makna beberapa sifat (kemuliaan), dan bukan hanya satu sifat. Ini sekaligus menggambarkan betapa banyak sifat keagungan dan kesempurnaan milik Allâh Azza wa Jalla. [11]

Atas dasar itu, keterangan para Ulama Salaf dalam mengartikan nama Allâh yang agung ini (ash-Shamad) berbeda-beda, sebagaimana yang disampaikan oleh imam Ibnu Jarîr ath-Thabari dan Imam Ibnu Katsîr [12]. Dan semua makna yang dipaparkan adalah benar dan hanya pantas diperuntukkan bagi Allâh Azza wa Jalla.

Hal ini ditegaskan oleh Imam Abul Qâsim ath-Thabrâni rahimahullah dalam pernyataannya: “Semua makna tersebut adalah benar dan merupakan sifat-sifat Allâh Azza wa Jalla.”[13]

Imam al-Bagawi rahimahullah berkata, “Yang lebih tepat adalah mengartikan kata ash-Shamad dengan semua makna yang diterangkan (oleh para Ulama), karena kata ini mencakup (semua) makna tersebut. Maka, ini mengandung kensekuensi tidak ada (yang berhak disebut) ash-Shamad kecuali Allâh Subhanahu wa Ta’ala , Yang Maha Agung dan Kuasa atas segala sesuatu. Nama ini khusus (diperuntukkan) bagi-Nya semata. Dialah yang memiliki nama-nama yang maha indah dan sifat-sifat yang maha tinggi.”[14]

PENGARUH POSITIF DAN MANFAAT MENGIMANI NAMA ASH-SHAMAD
Jika seorang hamba mengetahui bahwa Rabbnya Allah Subhanahu wa Ta’ala , memiliki semua sifat mulia dan sempurna, Dia Maha Perkasa dan tidak ada sesuatu pun yang bisa mengalahkan-Nya, Dialah tempat bersandar dan bergantung semua makhluk-Nya, sehingga tidak ada cara untuk menyelamatkan diri dari kemurkaan-Nya kecuali dengan kembali kepada-Nya, dan Dialah satu-satunya yang dituju oleh semua makhluk untuk memenuhi segala kebutuhan, permintaan dan pengharapan mereka, maka ini akan menjadikan hamba tersebut selalu bersandar kepada-Nya semata, tidak meminta pemenuhan hajatnya kecuali kepada-Nya, tidak beribadah kecuali hanya kepada-Nya, serta tidak meminta pertolongan dan berserah diri dalam segala urusannya kecuali hanya kepada-Nya. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

أَمَّنْ يُجِيبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ السُّوءَ وَيَجْعَلُكُمْ خُلَفَاءَ الْأَرْضِ ۗ أَإِلَٰهٌ مَعَ اللَّهِ ۚ قَلِيلًا مَا تَذَكَّرُونَ

Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi? Apakah di samping Allah ada sembahan (yang lain)? Amat sedikitlah kamu mengingati(Nya) [an-Naml/27:62][15].

Inilah makna sabda Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang artinya, “Jika kamu meminta maka mintalah kepada Allâh, dan jika kamu memohon pertolongan, mohonlah pertolongan kepada-Nya”[16].

Bahkan ini merupakan inti kandungan dari al-Qur’ân yang suci, yang tertuang pada firman Allâh Azza wa Jalla :

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan [al-Fâtihah/1:5]

Salah seorang Ulama Salaf berkata, “Surat al-Fâtihah adalah rahasia (inti kandungan) al-Qur’ân dan rahasia (inti kandungan) al-Fâtihah adalah kalimat (ayat) ini”[17] .

PENUTUP
Kami akhiri tulisan ini dengan memohon kepada Allâh Azza wa Jalla dengan nama-nama-Nya yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna, agar senantiasa menganugerahkan kepada kita petunjuk dan taufik-Nya dan memudahkan kita untuk memahami dan mengamalkan kandungan dari sifat-sifat kesempurnaan-Nya. Wallâhu a’lam

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XIV/1431/2010M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. HR. al-Bukhâri (no. 4727) dari Abu Sa’îd al-Khudri Radhiyallahu anhu
[2]. Mu’jamu Maqâyîsil Lughah (3/241)
[3]. al-Qâmûs al-Muhîth hlm. 375
[4]. Lisânul ‘Arab (3/258).
[5]. an-Nihâyah fi Gharîbil Hadîts wal Atsar (3/99)
[6]. Lihat kitab Fâidatun Jalîlah fîi Qawâ‘idil Asmâil Husnâ hlm. 21-22
[7]. (12/741), juga dinukil oleh imam Ibnu Katsir dalam tafsir beliau (4/740) dan as-Suyuuthi (8/682).
[8]. Tafsir Ibnu Jarir ath-Thabari” (12/741).
[9]. Ash-Shawâ‘iqul Mursalah (3/1024-1025)
[10]. Adhwâ-ul Bayân (2/187)
[11]. Fiqhul Asmâil Husnâ hlm. 112
[12]. Tafsir Ibnu Jarîr ath-Thabari (12/736-742) dan Tafsir Ibnu Katsîr (4/740)
[13]. Dinukil Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya (4/740)
[14]. Ma’âlimut Tanzîl (7/321)
[15]. Lihat Fiqhul Asmâil Husna hlm. 113-114
[16]. HR at-Tirmidzi (no. 2516), Ahmad (1/293) dan lain-lain. Dishahihkan oleh at-Tirmidzi dan al-Albâni
[17]. Dinukil Imam Ibnu Katsîr dalam tafsirnya (1/48)

Tinggalkan komentar