Bab VII. Pembatal-pembatal Wudhu

Jika terdapat salah satu dari pembatal-pembatal berikut maka seseorang telah batal wudhunya. Pembatal-pembatal tersebut yaitu :

a. Segala yang keluar dari dua jalan (qubul dan dubur). Dan yang termasuk dalam hal ini ialah :

  • Buang air besar dan buang air kecil, dalilnya Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: “Atau salah seorang diantara kalian buang air besar”  Dan sabda Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam: “Tetapi karena buang air besar dan buang air kecil dan tidur (Hadits hasan, Irwa’ul Ghalil no 106)
  • Buang angin, dalilnya : Dari hadits Abdullah bin Zaid Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya diadukan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam ada seorang yang dikhayalkan bahwasanya dia mendapatkan sesuatu (merasa telah buang angin) dalam sholatnya, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda : “Janganlah dia berpaling (keluar .dari sholatnya) sampai dia mendengar bunyi (kentut)nya atau sampai dia mencium baunya (Hadits shohih riwayat Bukhori dan Muslim) Demikian pula ketika Abu Huroiroh Radhiyallahu ‘anhu ditanya oleh seorang laki-laki dari Hadromaut: “Apakah yang dimaksud dengan hadats wahai Abu Huroiroh?”(yaitu hadats yang disebutkan dalam hadits :”Sesungguhnya Allah tidak akan menerima sholat seorang dari kalian jika dia berhadats hingga dia berwudhu”-pent). Maka Abu Huroiroh Radhiyallahu ‘anhu berkata : ُ (Kentut yang tidak bersuara) dan (kentut yang bersuara). (Diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim). Namun terjadi khilaf diantara para ulama bagaimana jika ada angin yang keluar dari depan (dari kemaluan), yang hal ini kadang terjadi pada kaum wanita ?. Hanafiyah berpendapat bahwa hal ini tidak membatalkan wudhu. Sedangkan selain Hanafiyah menyatakan tetap batal sesuai dengan keumuman  hadits : “Tidak ada wudhu kecuali karena bunyi atau angin (Hadits riwayat Thirmidzi dan Ibnu Majah dan dihasankan oleh Nawawi, lihat Irwa’ul Ghalil no 107) Ibnu Qudamah berkata :”Kami tidak mengetahui adanya wujud angin ini, kami tidak mengetahui adanya angin ini pada seseorang”. (Lihat al-fiqh al-islami 1/256-257) Namun yang benar angin seperti ini ada wujudnya dan kadang-kadang menimpa para wanita (Syarhul Mumti’ 1/230).
  • Madzi, sesuai dengan Hadits Ali Radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata : “Aku adalah seorang yang sering keluar madzi danaku malu untuk bertanya (tentang masalah ini) kepada Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam karena kedudukan anak beliau. Maka akupun memerintahkan Miqdad bin Aswad (untuk menanyakan hal ini kepada beliau), maka beliau berkata : “Dia cuci dzakarnya dan dia berwudhu” (Diriwayatkan oleh Bukhori Muslim)
  • Darah istihadloh, sesuai dengan hadits ‘Aisyah, bahwasanya Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam berkata kepada Fatimah binti Abi Hubaisy yang beristihadloh: “Berwudhulah setiap kali sholat” (Hadits shohih, Irwa’ul Ghalil no 109, 110) Berkata An-Nawawi : “Maka yang keluar dari qubul atau dubur laki-laki atau perempuan membatalkan wudhu, sama saja baik ia buang air besar, buang air kecil, angin, mikroba perut (ulat, cacing, dan sebagainya), nanah, darah, atau batu kecil, atau lainnya”. Dan tidak ada perbedaan dalam hal tersebut antara yang biasanya terjadi maupun yang jarang terjadi. (Sifat wudhu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam hal 44)

Sedangkan yang keluar selain dari dua jalan (qubul dan dubur) seperti nanah, darah, dan muntah maka tidak membatalkan wudhu. Dan inilah pendapat Malikiyah dan Syafi’iyah dengan dalil bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam pernah berbekam namun beliau tidak berwudhu, namun hadits ini dho’if. Mereka juga berdalil dengan kisah ketika ada seorang sahabat Ansor yang sholat pada malam hari lantas kakinya terkena tiga anak panah musuh sehingga mengalir darah dan dia tetap ruku dan sujud melanjutkan sholatnya (Dan ini adalah riwayat yang shohih, shohih Abu Dawud no 193, lihat tamamul minnah hal 51 ). (Lihat al-fiqh al-islami 1/ 267-269)

 

Adapendapat yang menyatakan bahwa muntah membatalkan wudhu. Dalilnya :

1. Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam muntah dan beliau berwudhu

2. Muntah itu adalah sisa-sisa yang keluar dari badan, maka dia mirip dengan kencing dan tahi.

Namun ini adalah pendapat yang lemah sebab yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam (kalaupun haditsnya shohih) hanyalah sekedar fiil dan tidak menunjukan wajib. (Syarhul

mumti’ 1/224-225)

 

b. Tidur

Dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu, berkata : Adalah para sahabat Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam di masa Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam menunggu sholat isya’ hingga teranggukangguk kepala mereka kemudian mereka sholat tanpa berwudhu. (Hadits shohih, diriwayatkan

oleh Abu Dawud dan asalnya adalah lafal Muslim, Irwa’ul Ghalil no 114)

Dan diriwayatkan oleh Thirmidzi dari jalan Syu’bah :

“ Sungguh aku telah melihat para sahabat Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam dibangunkan untuk sholat hingga aku sungguh mendengar dengkuran salah seorang dari mereka. Kemudian mereka bangun lalu sholat dan mereka

tidak berwudhu. Ibnul Mubarok berkata : Ini menurut kami, mereka (tidur) dalam keadaan duduk.

 

Ada khilaf diantara para ulama tentang masalah ini:

 

Pendapat pertama (ini merupakan pendapat Abu Musa Al-‘Asyari Radhiyallahu ‘anhu, Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhu, dan Ibnul Musayyib) : Baik tidurnya banyak ataupun sedikit tidaklah membatalkan wudhu selama belum dipastikan timbulnya hadats, karena tidur itu bukanlah pembatal tetapi hanyalah tempat kemungkinan terjadinya hadats. Dan tidak bisa dikatakan batal kecuali sampai yang tidur tersebut yakin bahwa dia berhadats.Para sahabat yang disebutkan dalam hadits diatas sampai ada yang mendengkur (tidurnya lelap), namun bangun dari tidur dan langsung sholat tanpa wudhu.

 

Pendapat kedua (jumhur) : Jika tidurnya banyak maka membatalkan wudhu, namun tidur yang sedikit tidak membatalkan wudhu. Dan mereka

(jumhur) memiliki perincan tentang ciri-ciri tidur yang sedikit tersebut yang disebutkan dalam kitab-kitab fiqih. Diantaranya seperti tidur dalam

keadaan duduk (atau dalam keadaan sujud). Karena dalam hadits diatas disebutkan bahwa hingga kepala-kepala para sahabat teranggukangguk.

Dan ini tidaklah terjadi kecuali mereka tidur dalam keadaan duduk (sebagaimana perkataan Ibnul Mubarok). Dan seseorang yang tidur dalam keadaan duduk, dia tidak bisa buang angin kecuali dengan mengerakkan badannya ke kanan atau ke kiri. Dan jika tidurnya lelap dan tidak dalam keadaan duduk maka batal sebagaimana hadits Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam, Dari Sofwan bin ‘Asal Radhiyallahu ‘anhu berkata

:”Adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam memerintah kami jika kami bersafar agar tidak melepaskan khuf-khuf kami selama tiga hari tiga malam kecuali karena janabah, tetapi (tidak usah dilepas kalau hanya) karena buang air besar, buang air kecil, dan tidur”.(Hadits shohih riwayat

Ahmad, Nasai, dan Tirmidzi , Irwa’ul Ghalil no 104)

Dengan demikian terjama’kanlah semua dalil. (Taudlihul Ahkam 1/225)

 

Pendapat ketiga (ini adalah pendapat Ibnu Hazm) : Bahwasanya tidur membatalkan wudhu secara mutlaq baik tidurnya sedikit maupun

tidurnya banyak. Mereka berdalil dengan hadits Sofwan bin ‘Asal Radhiyallahu ‘anhu di atas yang menunjukan

bahwa tidur membatalkan wudhu secara mutlaq karena Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam tidak memperincinya. Demikian pula dengan

hadits : Dari Mu’awiyah berkata : Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda ;”Mata adalah pengikat lingkaran dubur, maka barang siapa yang tidur hendaknya dia berwudhu” (Hadits hasan , Irwa’ul Ghalil no 113)

Dan pendapat yang ketiga inilah yang rojih dan yang telah dipilih oleh Syaikh Al-Albani (Tamamul Minnah hal 99).

 

Bantahan terhadap pendapat kedua :

Sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Al-Albani yaitu adanya riwayat yang lain dari Abu Dawud dengan sanad yang shohih : Adalah para sahabat Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam membaringkan lambung-lambung mereka lalu mereka tidur, maka diantara mereka ada yang berwudhu dan ada yang tidak berwudhu. Dan lafal ini “yadhouuna junuubahum” (membaringkan lambunglambungmereka) bertentangan dengan “nakhfiqo ruusuhim” (terangguk-angguk kepala mereka) yang menunjukan mereka tidur dalam keadaan duduk.

Oleh karena itu kita katakan hadits ini mudtorib sehingga tidak bisa dijadikan sebagai hujjah, atau kita jama’kan dua lafal ini yaitu sebagian mereka (para sahabat) tidur dalam keadaan duduk dan sebagian yang lain dalam keadaan berbaring, sebagian sahabat ada yang berwudhu dan sebagian yang lain tidak, dan penjama’an ini lebih benar. Dengan demikian maka ini merupakan dalil bagi yang mengatakan bahwa tidur tidaklah membatalkan wudhu secara mutlak (yaitu pendapat jumhur –pent). Namun ini bertentangan dengan hadits Sofwan bin ‘Asal Radhiyallahu ‘anhu yang marfu’ kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam yang lebih rojih daripada hadits Anas Radhiyallahu ‘anhu ini yang maquf. Dan bisa jadi juga hadits Anas Radhiyallahu ‘anhu ini sebelum diwajibkannya berwudhu karena tidur.

 

Bantahan terhadap pendapat pertama :

Pendapat bahwa tidur bukanlah pembatal wudhu tetapi tempat kemungkinan timbulnya hadats maka kita katakan : Ketika perkaranya demikian

maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam memerintahkan semua orang yang tidur untuk berwudhu walaupun tidur dalam keadaan duduk

karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam mengabarkan bahwa mata adalah pengikat lingkaran dubur. Jika mata tertidur maka lepaslah ikatan itu. Dan orang yang tidur dalam keadaan duduk telah terlepas ikatannya walaupun dalam sebagian keadaan, misalnya dia miring ke kiri atau ke kanan.

Dan inilah pendapat Ibnu Hazm dan Abu ‘Ubaid Al- Qosim bin Salam tentang kisahnya yang bagus yang dihikayatkan oleh Ibnu Abdil Bar, beliau (Abu

‘Ubaid Al-Qosim bin Salam) berkata : “Aku berfatwa bahwa barang siapa yang tidur dalam keadaan duduk maka tidak wajib wudhu baginya, sehingga pada suatu hari jum’at ada seorang laki-laki yang duduk disampingku dan dia tidur, lalu dia buang angin. Maka aku berkata :”Berdiri dan berwudhulah”, dia berkata :”Aku tidak tidur”, Aku berkata :”Bahkan engkau telah buang angin yang membatalkan wudhu!”, Maka diapun bersumpah dengan nama Allah Subhanahu wa Ta’ala bahwa dia tidak buang angin dan

berkata kepadaku : “Justru engkau yang buang angin”. Maka hilanglah apa yang aku yakinitentang tidurnya orang yang duduk (tidak membatalkan wudhu), dan aku meyakini bahwa orang yang tidur dan hatinya telah tidak sadar (maka membatalkan wudhu, meskipun dalam keadaan duduk) (Tamamul Minnah hal 101)

Namun perlu diperhatikan bahwa tidur dan ngantuk berbeda. Tidur menutup hati untuk mengetahui keadaan hal-hal yang dzohir, sedangkan ngantuk memotong hati untuk mengetahui hal-hal yang batin (adapun yang

dzohir masih dikenali). Dan orang yang ngantuk tidak diwajibkan wudhu bagaimanapun berat ngantuk tersebut karena orang yang ngantuk masih bisa merasakan jika dia buang angin.

Kehilangan akal. Yaitu hilangnya akal (tidak sadar) dengan cara apapun seperti gila, pingsan, dan mabuk karena orang yang dalam keadaan

demikian tidak mengetahui apakah wudhunya batal atau tidak. Dan ini adalah pendapat jumhur ulama. (Sifat wudhu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa

Salam hal 45). Jika tidur membatalkan wudhu maka pingsan dan gila lebih membatalkan lagi.

 

c. Menyentuh kemaluan tanpa penghalang

 

Untuk masalah ini ada empat pendapat dikalangan para ulama

  • · Pendapat pertama : Tidak batal wudhunya walaupun dengan syahwat, dalilnya hadits Dari Tolq bin Ali Radhiyallahu ‘anhu berkata :”Seorang laki-laki berkata : “Aku telah menyentuh kemaluanku”, atau beiau berkata :

“Seorang laki-laki menyentuh kemaluannya dalam sholat, apakah atasnya wudhu ?” Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam menjawab : “Tidak, dia hanyalah bagian dari tubuh engkau”

  • · Pendapat kedua: Batal wudhunya walaupuntanpa syahwat, dalilnya hadits : Dari Busroh binti Shofwan Radhiyallahu ‘anhu berkata : Adalah Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam berkata : “Barang siapa yang menyentuh dzakarnya maka hendaklah dia berwudhu”. hadits Tolq diatas ada lafal

(menyentuh kemaluannya dalam sholat), tidak batal wudhunya karena dia menyentuhnya dengan penghalang, sebab bukan tempatnya orang

menyentuh kemaluannya dalam sholat tanpapenghalang. (Taudlihul Ahkam 1/236). Lagipula hadits Tolq diperselisihkan oleh para ulama akankeshohihannya.

  • · Pendapat ketiga: Batal kalau dengan syahwat. Pendapat ketiga ini menjamakkan dua pendapat di atas. Hadits Tolq kita bawakan untuk sentuhan tanpa syahwat, sedangkan hadits Busroh kita bawakan untuk sentuhan dengan syahwat. Perkataan Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam

(dia hanyalah bagian dari tubuh engkau) menunjukan Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam mengisyaratkan “Karena sesungguhnya engkau telah menyentuh kemaluanmu tanpa maka seakan-akan engkau seperti

menyentuh anggota-anggota tubuh yang lain. Namun jika engkau menyentuhnya dengan syahwat maka batal wudhumu karena ‘illahnya

ada”.

  • · Pendapat keempat : Hanya disunnahkanuntuk berwudhu walaupun menyentuhnya dengan syahwat. Dan ini adalah pendapat Syaikhul Islam

Ibnu Taimiyah. Sebab disebutkan dalam lafal Tolq َ (apakah atasnya wudhu?) maksudnya yaitu “apakah wajib baginya wudhu?”, maka Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam menjawab :”Tidak”, sebab hukumnya Cuma sunnah. Jadi perintah wudhu yang ada pada hadits Busroh hanyalah sunnah, tidak wajib. Namunpendapat ini terbantah karena ada hadits lain yang jelas menunjukan wajibnya berwudhu, yaitu

hadits :

Dari Abu Huroiroh Radhiyallahu ‘anhu berkata :Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda : “Jika salah seorang dari kalian menyentuhkan tangannya ke farjinya dan tidak ada hijab dan penutup antara tangannya dan farjinya tersebut maka wajib atasnya wudhu. (Hadits dishohihkan oleh Al-Albani dalam shohihul jami’ no 359 dan Nailul Author 1/199)

Kesimpulannya, sebagaimana perkataan Syaikh Utsaimin : “Seseorang jika menyentuh kemaluannya (dengan syahwat atau tanpa syahwat) maka disunnahkan agar dia berwudhu Namun pendapat akan wajibnya (berwudhu jika menyentuh dengan syahwat) sangat kuat, namun saya tidak menjazemkan (memastikan) hal ini. untuk hati-hati hendaknya dia berwudhu”.(syarhul Mumti’ 1/ 234)

 

Apakah hukum menyentuh dubur sama denganmenyentuh kemaluan ?. Hukumnya adalah sama,karena dubur masuk dalam dengan keumuman

lafal َfarji hadits Abu Ayub Radhiyallahu ‘anhu dan Habibah “ Barang siapa yang menyentuh farjinya (secara bahasa farj artinya lubang -pent) maka hendaklah dia berwudhu. (Hadits shohih, Irwa’ul Ghalil no 117).

Dan juga hadits Abu Huroiroh Radhiyallahu ‘anhu diatas.

 

Perhatian :

Dari hadits Abu Huroiroh Radhiyallahu ‘anhu diatas bisa diambil mafhum mukholafah bahwa jika menyentuhnya tidak dengan menggunakan alkaqqu (tangan dari jari-jari hingga ke pergelangan tangan, karena jika lafal alyaddu diitlaqqan maka maknanya adalah alkaqqu). Namun madzhab Syafi’iyah berpendapat bahwa tidaklah membatalkan wudhu kecuali jika menyentuh kemaluan dengan telapak tangan. Sehingga menurut beliau menyentuh kemaluan dengan pungung tangan tidaklah membatalkan wudhu.

Beliau berdalil dengan lafal “alifdhou” dalam hadits Abu Huroiroh Radhiyallahu ‘anhu yang menunjukan penyentuhan dengan telapak tangan. Namun pendapat ini dibantah oleh Ibnu Hazm dan jugaIbnu Hajar, sebab makna “alifdhou” adalah “alwushuulu” (sampai) dan ini lebih umum bisa sampai ke kemaluan dengan telapak tangan atau dengan punggung tangan. (Nailul Author 1/199).

 

d. Menyentuh wanita

 

Adakhilaf diantara para Ulama

Pendapat pertama : Batal wudhunya jika menyentuhnya dengan syahwat. Dalilnya :

  •  Bahwasanya syahwat adalah memungkinkantimbulnya hadats
  •  Dalam hadits yang shohih (riwayat Bukhori dan Muslim) disebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam pernah sholat dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam menyentuh kaki ‘Aisyah ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam akan sujud. Dan ‘Aisyah juga pernah menyentuh Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam yang sedang sujud sholat, beliau berkata : Aku kehilangan Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam pada suatu malam, maka akupun mulai mencarinya dengan kedua tanganku. Maka tanganku berada (menyentuh) pada kedua kakinya yang tegak dan beliau dalam keadaan bersujud.(Hadits shohih Muslim no 486 dan An- Nasai 1/101) Dan Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam tidak membatalkan sholatnya. Kalau seandainya menyentuh wanita tanpa syahwat membatalkan wudhu, tentu Rosulullah Shallallahu  ‘alaihi wa Salam sudah membatalkan sholatnya ketika itu.
  •  Batalnya wudhu hanya dengan sekedar menyentuh sangat menyulitkan, apalagi jika seseorang mempunyai Ibu yang telah tua dan anak pamannya.

 

Pendapat kedua: Batal wudhunya walaupun menyentuh wanita tanpa syahwat, dalilnya :

  • · firman Allah Subhanahu wa Ta’ala َ (..atau menyentuh para wanita..), dan Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak metaqyidnya dengan syahwat
  • · Adapun Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam menyentuh kaki ‘Aisyah mungkin saja karena ada kain penghalangnya (jadi tidak menyentuhnya langsung) atau mungkin beliau menyentuh dengan kukunya.

 

Pendapat ketiga : Tidak batal wudhu secara Muthak, walupun menyentuh wanita dengan syahwat bahkan walaupun farji menyentuh farji. Dalilnya :

  • · Hadits ‘Aisyah, bahwasanya Nabi Shallallahu alaihi wa Salam pernah mencium sebagian istri-istrinya, kamudian beliau keluar untuk sholat tanpa berwudhu.
  • · Adapun jawaban terhadap pendapat pertama dan kedua, yaitu bahwasanya yang dimaksud dengan “menyentuh” dalam ayat maksudnya “berjimak” dan ini merupakan tafsir Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu.
  • · Selain itu Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :(Wahai orang-orang yang beriman,jika…….maka cucilah wajahwajah….dst….hingga kedua mata kaki) ini

merupakan perintah untuk menghilangkan hadats kecil. Lalu Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :(Dan jika kalian berjunub maka bersucilah) ini perintah untuk menghilangkan hadats besar. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan sebab-sebab hadats kecil yaitu (..atau salah seorang dari kalian buang air besar), kemudian Allah juga menjelaskan sebab hadats besar yaitu (atau kalian menyentuh wanita). Kalau menyentuh diartikan

sekedar menyentuh maka berarti Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menyebutkan sebab hadats besar. Dan ini merupakan kekurangan dalam koidah balagoh. (Syarhul Mumti’ 1/239)

 

e. Memandikan mayat

Adadua pendapat:

  • · Pendapat pertama: Batal wudhunya, dalilnya: – Diriwayatkan dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhu, Abu Huroiroh Radhiyallahu ‘anhu, dan Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya mereka memerintahkan orang yang

memandikan mayat untuk berwudhu.

– Orang yang memandikan mayat pada umumnya menyentuh kemaluan si mayat.

  • · Pendapat kedua (merupakan pendapat Ibnu Taimiyah):Tidak batal wudhu, dalilnya :

– Jika memang atsar tersebut shohih, maka mungkin saja perintah tersebut untuk istihbab (sunnah)

– Menyatakan sesuatu membatalkan wudhu harus berhati-hati, sebab jika kita menyatakan wudhunya batal otomatis kita menyatakan bahwa sholatnya juga batal.

– Tidaklah benar bahwa menyentuh dzakar membatalkan wudhu secara mutlaq (khilaf tentang masalah ini telah lalu). Kalaupun membatalkan, belum tentu yang memandikan ini menyentuh kemaluan si mayat.

– Pendapat pertama setuju bahwa jika kita memandikan orang lain yang masih hidup (mungkin karena sakit) maka wudhu kita tidak batal. Maka demikian pula ketika kita memandikan dia setelah mati, tidak

membatlkan wudhu.

 

f. Memakan daging unta

Adakhilaf diantara para ulama

  • · Pendapat pertama: Batal wudhunya, dalilnya Dari Jabir bin Samuroh Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya seorang laki-laki bertanya kepada Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam: “Apakah saya berwudhu karena (memakan) daging kambing?” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam menjawab :”Kalau kamu mau maka berwudhulah dan kalau tidak maka janganlah berwudhu”. Dia

berkata :”Apakah saya berwudhu karena (makan) daging unta?”, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam menjawab : “Ya, berwudhulah karena (makan)

daging unta!”. Dia berkata : ”Apakah saya (boleh) sholat di kandang kambing? Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam menjawab :”Ya”. Dia bertanya :

“Apakah saya (boleh) sholat di kandang unta?”, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam menjawab : Tidak”. (Hadits riwayat Muslim no 360)

Dalam hadits ini Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam mengkaitkan wudhu jika makan daging kambing dengan masyi’ah (pilihan), hal ini menunjukan bahwasanya jika daging unta tidak ada pilihan lain.

Hadits Barro’, yaitu Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda (Berwudhulah karena daging unta). Dan asalnya perintah adalah untuk wajib.

 

  • · Pendapat kedua : Tidak batal wudhu, dalilnya :

– Hadits Jabir Radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata : “Perkara yang terakhir (yang dipilih oleh) Rosulullah Radhiyallahu ‘anhu dari dua perkara adalah meninggalkan wudhu karena (memakan) apa-apa yang terkena api”.

Dan perkataan (apa-apa yang terkena api) adalah umum mencakup unta, dan hadits ini merupakan nasikh bagi hadits Jabir Radhiyallahu ‘anhu yang

pertama

– Hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda : (Wudhu itu karena apa-apa yang keluar bukan karena apa-apa yang masuk).

 

  • · Pendapat ketiga : Hukum berwudhunya hanyalah sunnah (inilah pendapat Imam Syaukani), dengan dalil bahwasanya jika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam memerintahkan suatu perkara kemudian beliau menyelisihinya maka

menunjukan bahwa perintah tersebut tidaklah wajib.

 

Dan yang rojih adalah pendapat yang kedua.

 

Bantahan terhadap pendapat pertama dan ketiga :

– Hadits Jabir Radhiyallahu ‘anhu yang kedua ini umum, sedangkan hadits-hadits yang dijadikan dalil oleh pendapat pertama adalah khusus. Maka yang umum dibawakan kepada yang khusus. Jadi yang benar semua yang disentuh api tidak perlu wudhu kecuali daging unta.

– Adapun menyatakan hadits ini sebagai nasikh, maka tidaklah benar sebab masih mungkin untuk dijamakkan

– Adapun hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu adalah dho’if.

– Pendapat yang menyatakan perintah berwudhu karena memakan daging unta hanyalah sunnah adalah lemah. Sebab sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam mencakup perkataan dan perbuatan beliau. Jika perbuatan beliau menyelisihi perkataan beliau maka jika bisa dijamakkan maka tidak kita

bawakan pada khususiah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam, karena kita diperintahkan untuk mengikuti perkataan dan perbuatan beliau. (Syarhul Mumti’ 1/247-250)

Apakah yang membatalkan wudhu itu hanya daging (otot)nya saja atau termasuk juga hati, jantung, dan yang lainnya.Adakhilaf diantara

para ulama. Diantara mereka ada yang menyatakan bahwa hanya daging yang membatalkan wudhu, dalilnya :

– Jantung, hati, rempelo, jerohan, itu tidaklah disebut daging. Kalau kita memerintahkan orang lain untuk membelikan daging, lantas dia membelikan kita jerohan maka tentu kita tidak menerimanya.

– Asal segala sesuatu adalah suci sampai ada dalil yang menunjukan keharamannya.

– Hikmah bahwa memakan daging unta membatalkan wudhu adalah ta’abbudiyah, oleh karena itu tidak bisa diqiaskan dengan yang

lainnya.

– Pendapat kedua menyatakan bahwa seluruh bagian tubuh unta kalau dimakan maka akan membatalkan wudhu, dalilnya :

– Bahwasanya (daging) menurut bahasa arab mencakup seluruh bagian tubuh, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (Diharamkan bagi kalian bangkai dan darah dan daging babi). Maka daging di sini

mencakup seluruh bagian tubuh babi baik kulit, jerohan, dan yang lainnya.

– Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam tidak menjelaskan bahwa selain daging tidak membatalkan wudhu, padahal beliau mengetahui bahwa manusia tidak hanya memakan daging unta saja.

– Tidak ada dalam syari’at Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Salam dihalalkan

sebagian anggota tubuh hewan dan dihalalkan bagian yang lain.

– Telah shohih bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam memerintahkan berwudhu karena meminum susu unta. Maka bagianbagian yang selain susu lebih aula untuk diperintahkan berwudhu.(Namun hadits tentang masalah ini didhoifkan oleh sebagian ulama)__

 

 

MAROJI’ :

1. Nailul Author, Asy-Syaukani

2. Roudlotun Nadliah, Syaikh Sidiq Hasan Khan

3. Syarhus Sunnah, Imam Al-Bagowi

4. Irwa’ul Ghalil, Syaikh Al-Albani

5. Tamamul Minnah, Syaikh Al-Albani

6. Sifat Wudhu Nabi , Fahd bin Abdirrohman Ad-

Dausi

7. Taudlihul Ahkam, Syaikh Ali Bassam

8. Al-Fiqh al- Islami, DR. Wahb Az-Zuhaili

9. Thuhurul Muslim, Syaikh Al-Qohtoni

10. Syarhul Mumti,’ Syaikh Utsaimin

 

Disalin dari : KEMUDAHAN DI DALAM SIFAT WUDHU’ NABI,  disusun oleh :

Al-Ustadz Abu ‘Abdil Muhsin as-Soronji, Lc, Ebook, Maktabah Ummu Salma.

 

Tinggalkan komentar