Al-Hasiib, Yang Maha Memberi Kecukupan

بسم الله الرحمن الرحيم

Al-Hasiib, Yang Maha Memberi Kecukupan

Dasar penetapan

Nama Allah SWT yang maha agung ini disebutkan dalam beberapa ayat al-Qur’an:

{وكفى بالله حسيبا}

“Dan cukuplah Allah sebagai pemberi kecukupan” (an-Nisaa ‘: 6).

{الذين يبلغون رسالات الله ويخشونه ولا يخشون أحدا إلا الله وكفى بالله حسيبا}

“(Yaitu) orang-orang yang menyampaikan risalah Allah, mereka takut kepada-Nya dan tidak merasa takut kepada siapapun selain kepada-Nya. Dan cukuplah Allah sebagai pemberi kecukupan “(al-Ahzaab: 39).

Berdasarkan ayat di atas, para ulama menetapkan nama al-Hassib sebagai salah satu dari nama-nama Allah ‘Azza wa Jalla yang maha indah, seperti Imam Ibnul Atsir [1] , Ibnu Qayyim al-Jauziyyah [2] , Syaikh ‘Abdurrahman as -Sa ‘di [3] , Syaikh Muhammad bin Shaleh al-‘Utsaimin [4] , dan lain-lain.

 

Makna nama Allah SWT al-Hasiib dan penjabarannya

Imam Ibnu Faris menjelaskan bahwa asal kata nama ini menunjukkan empat makna, salah satunya adalah al-kifaayah (memberi kecukupan) [5] .

Makna asal secara bahasa ini juga disebutkan oleh imam al-Fairuz Abadi [6] dan Ibnu Manzhur [7] .

Imam Ibnul Atsir menjelaskan bahwa makna nama Allah ‘Azza wa Jalla ini adalah al-Kaafi (Yang Maha Memberi kecukupan) [8] .

Maka makna nama Allah ‘Azza wa Jalla al-Hasiib adalah Yang Maha mencukupi hamba-hamba-Nya dalam semua kebutuhan mereka, baik dalam urusan agama maupun urusan dunia, Dia yang memudahkan untuk mereka segala kebaikan dan mencegah dari mereka segala keburukan [9] .

Termasuk makna nama-Nya al-Hasiib adalah bahwa maha menjaga, menghitung dan mengetahui semua amal perbuatan para hamba-Nya, membedakan antara amal yang baik dan buruk, serta mengetahui balasan yang berhak mereka dapatkan dan penilaian pahala atau siksaan yang mereka terima [10] .

Syaikh ‘Abdurrahman as-Sa’di memerinci penjabaran makna nama Allah Ta’ala yang maha agung ini dalam ucapan beliau: ” Al-Hasiibadalah yang maha mengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya, yang maha memberi kecukupan kepada orang-orang yang bertawakal kepada-Nya, dan maha memberikan balasan (yang sempurna) untuk para hamba-Nya dengan kebaikan atau keburukan sesuai dengan hikmah-Nya (yang maha tinggi) dan pengetahuan-Nya (yang maha sempurna) pada amal perbuatan mereka yang besar maupun kecil .

Al-Hasiib (juga) berarti yang maha mengawasi dan memperhitungkan (amal perbuatan) hamba-hamba-Nya, serta memberikan balasan untuk mereka dengan keadilan (yang sempurna) dan prioritas (dari-Nya). Juga berarti yang maha mencukupi hamba-Nya dalam (segala) kesedihan dan kekalutannya. (Makna yang) lebih khusus dari semua itu, bahwa Allah SWT maha memberi kecukupan kepada orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.

{ومن يتوكل على الله فهو حسبه}

“Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Dia akan mencukupkan (segala kebutuhan) nya” (QS ath-Thalaaq: 3).

Artinya: Allah akan memberikan kecukupan baginya dalam (segala) urusan agama dan dunianya.

Demikian juga al-Hasiib adalah yang maha menjaga dan memperhitungkan semua amal perbuatan hamba-hamba-Nya, yang baik maupun buruk, (kemudian memberikan balasan yang sempurna), jika amal baik maka akan mendapatkan balasan yang baik, dan jika buruk maka akan mendapatkan balasan yang buruk. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

{يا أيها النبي حسبك الله ومن اتبعك من المؤمنين}

“Hai Nabi, cukuplah Allah (menjadi pelindung) bagimu dan bagi orang-orang mukmin yang mengikuti (petunjuk) mu” (QS al-Anfaal: 64).

Artinya: Allah akn memberikan kecukupan (perlindungan) bagimu dan bagi orang-orang yang mengikuti (petunjuk) mu. Maka kecukupan (dari) Allah untuk hamba-Nya adalah sesuai dengan kesungguhan hamba tersebut dalam mengikuti (petunjuk) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lahir dan batin, juga sesuai dengan perbudakan dirinya kepada Allah ‘Azza wa Jalla ” [11] .

 

Pembagian sifat “memberi kecukupan” dari Allah ‘Azza wa Jalla kepada makhluk-Nya

Kecukupan yang Allah SWT berikan kepada makhluk-Nya ada dua macam, yaitu:

1. Kecukupan yang bersifat umum meliputi semua makhluk-Nya, yang beriman maupun yang kafir, yang taat kepada-Nya maupun yang durhaka, yaitu dengan menciptakan, membantu, menyiapkan dan memberikan segala kebutuhan untuk kelangsungan hidup mereka di dunia, berupa makanan, minuman dan penunjang kehidupan dunia lainnya.

 

2. Kecukupan yang bersifat khusus dari-Nya, ini hanya diperuntukkan bagi hamba-hamba-Nya yang bertakwa dan bertawakkal kepada-Nya. Dengan inilah Allah Ta’ala memperbaiki dan meluruskan semua urusan mereka, baik yang berhubungan dengan agama maupun dunia [12] .

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

{ومن يتق الله يجعل له مخرجا. ويرزقه من حيث لا يحتسب, ومن يتوكل على الله فهو حسبه}

“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan memberikan baginya jalan ke luar (untuk semua urusannya). Dan memberinya rezki dari arah yang tidada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (segala kebutuhan) nya “(QS ath-Thalaaq :2-3).

Artinya: Barangsiapa yang percaya kepada Allah dalam memasrahkan (semua) urusan kepada-Nya maka Dia akan mencukupi (segala) kebutuhan dan urusannya, baik yang berhubungan dengan agama maupun dunia [13] .

Salah seorang ulama salaf berkata: “Cukuplah bagimu untuk melakukan tawassul (sebab yang disyariatkan untuk mendekatkan diri) kepada Allah adalah dengan Dia mengetahui (adanya) tawakal yang benar kepada-Nya dalam hatimu, berapa banyak hamba-Nya yang memasrahkan urusannya kepada-Nya, maka Diapun cukup (semua) kebutuhan hamba tersebut “. Kemudian ulama ini membaca ayat tersebut di atas [14] .

Dalam ayat lain, Allah SWT berfirman:

{يا أيها النبي حسبك الله ومن اتبعك من المؤمنين}

“Hai Nabi, cukuplah Allah (menjadi pelindung) bagimu dan bagi orang-orang mukmin yang mengikuti (petunjuk) mu” (QS al-Anfaal: 64).

Ayat ini menunjukkan bahwa kecukupan (khusus) dari Allah ‘Azza wa Jalla kepada hamba-Nya adalah sesuai dengan tingkat keimanan dan kesungguhan hamba tersebut dalam mengikuti petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam [15] .

 

Pengaruh positif dan manfaat mengimani nama Allah al-Hasiib

Keimanan yang benar terhadap nama-Nya yang maha agung ini akan menumbuhkan dalam diri seorang hamba sikap tawakkal (penyandaran hati) yang benar kepada Allah ‘Azza wa Jalla , yang ini merupakan sebab utama untuk meraih kecukupan dan pertolongan dari-Nya dalam semua urusan yang dihadapi hamba tersebut. Maka jika seorang mukmin bertawakkal dengan benar kepada Allah SWT , dengan dia menyandarkan hatinya secara utuh dan sempurna kepada-Nya dalam mengusahakan semua kebaikan dan mencegah semua keburukan, disertai dengan keyakinan dan sangka baik kepada-Nya, maka Allah Ta’ala akan memberikan kecukupan yang sempurna kepadanya, memperbaiki keadaannya, meluruskan semua ucapan dan perbuatannya, serta melapangkan semua kesusahan dan kesedihannya.

Ayat-ayat al-Qur’an menjelaskan bahwa perbudakan diri dan tawakkal yang benar kepada Allah SWT merupakan hal yang wajib dilakukan untuk meraih kecukupan dari-Nya yang khusus diperuntukkan-Nya kepada para kekasih-Nya dan hamba-hamba-Nya yang bertakwa kepada-Nya [16] . Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

{ومن يتوكل على الله فهو حسبه}

“Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Dia akan mencukupkan (segala kebutuhan) nya” (QS ath-Thalaaq: 3).

Dalam ayat lain, Allah juga berfirman:

{أليس الله بكاف عبده}

“Bukankan Allah cukup untuk melindungi hamba-hamba-Nya?” (QS az-Zumar: 36).

Imam Ibnul Qayyim berkata: “Tawakkal kepada Allah adalah termasuk sebab yang paling kuat untuk melindungi diri seorang hamba dari gangguan, kezhaliman dan permusuhan orang lain yang tidak mampu dihadapinya sendiri. Allah akan memberikan kecukupan kepada orang yang bertawakkal kepada-Nya. Barangsiapa yang telah diberi kecukupan dan dijaga oleh Allah Ta’ala maka tidak ada harapan untuk musuh-musuhnya untuk bisa mencelakakannya. Bahkan dia tidak akan ditimpa kesusahan kecuali sesuatu yang harus (dirasakan oleh semua makhluk), seperti panas, dingin, lapar dan dahaga. Adapun gangguan yang diinginkan musuhnya maka selamanya tidak akan menimpanya. Maka (jelas sekali) perbedaan antara gangguan yang secara kasat mata menyakitinya, meskipun pada hakikatnya merupakan kebaikan baginya (untuk menghapus dosa-dosanya) dan untuk menundukkan nafsunya, dan gangguan (dari musuh-musuhnya) yang dihilangkan darinya.

Salah seorang ulama salaf berkata: “Allah ‘Azza wa Jalla menjadikan bagi setiap perbuatan balasan dari jenis perbuatan itu, dan Dia menjadikan balasan untuk (hamba yang) bertawakkal kepada-Nya (adalah) kecukupan dari-Nya untuk hamba tersebut. Allah berfirman:

{ومن يتوكل على الله فهو حسبه}

“Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Dia akan mencukupkan (segala kebutuhan) nya” (QS ath-Thalaaq: 3).

Dia tidak berkata: (barangsiapa yang bertawakal kepada Allah) maka Kami akan berikan kepadanya pahala sekian dan sekian, sebagaimana dalam amal-amal shaleh lainnya. Akan tetapi Allah ‘Azza wa Jalla menjadikan diri-Nya sebagai pemberi kecukupan, pelindung dan penolong untuk hamba-Nya yang bertawakkal kepada-Nya. Maka kalau seorang hamba bertawakkal kepada-Nya dengan tawakkal yang sebenarnya, kemudian langit dan bumi beserta semua makhluk yang ada di dalamnya ingin memperdayainya (mencelakakannya) maka sungguh Allah akan memberikan jalan keluar, melindungi dan menolong hamba tersebut ” [17] .

Makna inilah yang terungkap dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Barangsiapa yang ketika keluar rumah membaca (dzikir): Bismillahi tawakkaltu ‘alallahi, walaa haula wala quwwata illa billah (Dengan nama Allah, aku berserah diri kepada-Nya, dan tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan-Nya), maka malaikat akan berkata kepadanya: “(sungguh) kamu telah diberi petunjuk (oleh Allah SWT ), dicukupkan (dalam segala kebutuhanmu) dan dijaga (dari semua keburukan) “, sehingga setanpun tidak bisa mendekatinya, dan setan yang lain berkata kepada temannya: Bagaimana (mungkin) kamu bisa (mencelakakan) seorang yang telah diberi petunjuk, dicukupkan dan dijaga (oleh Allah SWT )? ” [18] .

Artinya: diberi petunjuk ke jalan yang benar dan lurus, diberi kecukupan dalam semua urusan dunia dan akhirat, serta dijaga dan dilindungi dari segala keburukan dan kejelekan, dari setan atau yang lainnya [19] .

Demikian juga, keimanan yang benar terhadap nama-Nya yang maha agung ini akan menumbuhkan dalam hati seorang hamba perasaan takut kepada Allah ‘Azza wa Jalla semata dan tidak takut kepada gangguan makhluk dalam menegakkan agama-Nya, karena dia meyakini bahwa Allah Subhanahu wa Ta ‘ ala akan selalu menjaga dan melindungi hamba yang selalu bertakwa dan menegakkan agama-Nya.

Allah ‘Azza wa Jalla memuji para shahabat radhiallahu ‘anhum yang merealisasikan sikap ini dalam menghadapi gangguan dan ancaman orang-orang kafir, dalam firman-Nya:

{الذين قال لهم الناس إن الناس قد جمعوا لكم فاخشوهم فزادهم إيمانا وقالوا حسبنا الله ونعم الوكيل}

“(Yaitu) orang-orang (yang mentaati Allah dan Rasul-Nya) yang ketika orang-orang berkata kepada mereka:” Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka “, maka kata itu (justru) menambah keimanan mereka dan mereka menjawab: “Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Dia adalah sebaik-baik Pelindung” (QS Ali ‘Imraan: 173).

Sikap ini pulalah yang ditampilkan oleh Nabi Allah ‘Azza wa Jalla yang mulia, Ibrahim ‘alaihissalam ketika beliau dilemparkan ke dalam api oleh musuh-musuh beliau, karena beliau menghancurkan berhala-berhala yang mereka sembah selain Allah Ta’ala .

Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu berkata: “Ucapan terakhir (yang dikatakan oleh) Ibrahim ‘alaihissalam ketika dilemparkan ke dalam api (adalah): ” Hasbiyallahu wani’mal wakiil ” (cukuplah Allah menjadi penolongku dan Dia adalah sebaik-baik Pelindung)

 

Penutup

Demikianlah, dan kami akhiri tulisan ini dengan memohon kepada Allah dengan nama-nama-Nya yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna, agar dia senantiasa menganugerahkan kepada kita petunjuk dan taufik-Nya, serta kecukupan dan penjagaan dari-Nya, sesungguhnya Dia Maha memberi kecukupan dan Maha Mengabulkan doa.

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين, وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

 

Kota Kendari, 12 Dzulqo’dah 1432 H

Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA
Artikel www.manisnyaiman.com

 


[1] Dalam kitab “an-Nihaayah fi gariibil hadiitsi wal atsar” (1 / 955).

[2] Dalam kitab beliau “Bada-i’ul fawa-id” (2 / 473).

[3] Dalam kitab “Tafsiiru asma-illahil husna” (hal. 30).

[4] Dalam kitab “al-Qawa-‘idul mutsla” (hal. 40).

[5] Mu’jamu maqaayiisil lughah (2 / 47).

[6] Kitab “al-Qamus al-Muhith” (hal. 94).

[7] Kitab “Lisaanul ‘Arab” (1 / 310).

[8] Dalam kitab “an-Nihaayah fi gariibil hadiitsi wal atsar” (1 / 955).

[9] Lihat kitab “Fiqhul asma-il husna” (hal. 234).

[10] Lihat kitab “Fiqhul asma-il husna” (hal. 234).

[11] Lihat penjelasan syaikh ‘Abdurrahman as-Sa’di dalam “Tafsiiru asma-illahil husna” (hal. 30-31).

[12] Lihat kitab “Fiqhul asma-il husna” (hal. 234).

[13] Lihat kitab “Fathul Qadiir” (7 / 241) dan “Aisarut tafaasiir” (4 / 274).

[14] Dinukil oleh imam Ibnu Rajab dalam kitab “Jaami’ul ‘uluumi wal hikam” (2 / 497).

[15] Lihat penjelasan syaikh ‘Abdurrahman as-Sa’di dalam kitab “Tafsiiru asma-illahil husna” (hal. 31).

[16] Lihat kitab “Fiqhul asma-il husna” (hal. 234-235).

[17] Kitab “Bada-i’ul fawa-id” (2/464-465).

[18] HR Abu Dawud (no. 5095) dan at-Tirmidzi (no. 3426), dishahihkan oleh at-Tirmidzi dan al-Albani.

[19] Lihat kitab “Fiqhul asma-il husna” (hal. 235).

Tinggalkan komentar