Arsip

KEUTAMAAN MU’AWIYAH BIN ABI SUFYAN RADHIYALLAHU ‘ANHU

Oleh
Ustadz Abu Ihsan Al-Atsari

Imam Ahmad meriwayatkan di dalam Musnad-nya, dari Abdurrahman bin Abi Umairah al Azdi, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyebut Mu’awiyah dan berkata: “Ya, Allah. Jadikanlah ia orang yang menuntun kepada hidayah dan berilah ia hidayah”.[1]

Ishaq bin Rahuyah berkata,”Tidak ada satupun hadits yang shahih tentang keutamaan Mu’awiyah Radhiyallahu ‘anhu ; (dan) an Nasaa-í juga berkata demikian.”

Hadits yang paling kuat dalam masalah ini adalah hadits Abdurrahman bin Abi Umairah di atas.

Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma telah memuji Mu’awiyah Radhiyallahu ‘anhu atas ilmu fiqih yang dimilikinya. Imam al Bukhari meriwayatkan di dalam Shahih-nya, dari jalur Nafi’ bin Umar dari Ibnu Abi Mulaikah, bahwasanya ada yang berkata kepada Ibnu Abbas: “Mengapa Anda tidak menasihati Amirul Mukminin Mu’awiyah? Sesungguhnya dia hanya berwitir satu rakaat saja!”
Baca lebih lanjut

HUSAIN BIN ‘ALI BIN ABI THALIB RADHIYALLAHU ‘ANHUMA

Oleh
Ustadz Ahmas Faiz Asifuddin

Biografi ini ditulis secara ringkas dan bebas dari kitab-kitab: Siyar A’lâm Nubalâ’ karya Imam adz-Dzahabi Juz 3, penerbit Mu’assasah ar-Risâlah, Tahqiq; Muhammad Na’im al-‘Arqasusy dan Ma’mûn Shagharjiy, cet. XI – 1422 H/2001 M; al-Bidâyah wa an-Nihâyah karya Imam Ibnu Katsîr, juz 8, Maktabah al-Ma’ârif – Beirut, tanpa tahun; Tahdzîb at-Tahdzîb karya al-Hâfizh Ibnu Hajar al-‘Asqalâni rahimahullah cet. I- Mathba’ah Majlis Dâ-irah al-Mâ’arif an-Nizhâmiyah, India – Haidar Abâd dan Majmû’ Fatâwa karya Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyah rahimahullah.

NAMA DAN NASAB
Beliau adalah Husain bin Amirul Mukminin ‘Ali bin Abi Thâlib bin ‘Abdil Muth-thalib bin Hâsyim bin ‘Abdi Manâf bin Qushayy al-Qurasyi al-Hâsyimiy. Kun-yahnya Abu ‘Abdillah. Seorang imam yang mulia, cucu yang merupakan salah satu bunga kehidupan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dunia dan kesayangannya di samping Hasan Radhiyallahu ‘anhuma. Kedua orang tuanya adalah ‘Ali bin Abi Thâlib dan Fâthimah az-Zahra’ binti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Baca lebih lanjut

ALI BIN ABI THALIB RADHIYALLAHU ANHU KHALIFAH IV

Makalah ini diterjemahkan dari syarah ringkas Aqidah Thahawiyah yang ditulis oleh Syeikh Muhammad al-Hamud, seri ke 81 tentang kekhalifahan Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu dalam majalah al-Furqan terbitan Kuwait edisi 120 Th.XII – Dzul Hijjah 1420 H/April 2000M dengan judul “Fadhlu Amir al-Mu’minin Ali bin Abi Thalib Waliy al-Muttaqin wa Daafi’ al-Mariqin”. Diterjemahkan oleh Ahmas Faiz Asifuddin, dengan harapan agar kaum Muslimin semakin memahami dan menyintai para tokoh pendahulunya, termasuk Mu’awiyah bin Abi Sufyan Radhiyallahu anhuma . Sehingga aqidah, ilmu, amaliyah, sikap dan ibadahnya kepada Allah menjadi lurus –bi taufiqillah-.

Tentang Perkataan Imam Thahawi rahimahullah (dalam kitabnya Aqidah Thahawiyah) :“Kemudian (kekhalifahan berlanjut) pada Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu “
Baca lebih lanjut

IMAM JA’FAR ASH SHADIQ RAHIMAHULLAH, IMAM AHLI SUNNAH, BUKAN MILIK SYI’AH

Tokoh yang masih keturunan Ahli Bait ini, termasuk yang dicatut oleh ahli bid’ah (baca: Syi’ah) sebagai tokohnya. Padahal jauh panggang dari api. Aqidahnya sangat berbeda jauh dengan aqidah yang selama ini diyakini orang-orang Syi’ah.

NASAB DAN KEPRIBADIANNYA
Ia adalah Ja’far bin Muhammad bin ‘Ali Zainal ‘Abidin bin al Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib, keponakan Rasulullah dan istri putri beliau Fathimah Radhiyallahu ‘anha. Terlahir di kota Madinah pada tahun 80 H dan wafat di kota yang sama pada tahun 148 H dalam usia 68 tahun.

Ash Shadiq merupakan gelar yang selalu menetap tersemat padanya. Kata ash Shadiq itu, tidaklah disebutkan, kecuali mengarah kepadanya. Karena ia terkenal dengan kejujuran dalam hadits, ucapan-ucapan dan tindakan-tindakannya. Kedustaan tidak dikenal padanya. Gelar ini pun masyhur di kalangan kaum Muslimin. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah acapkali menyematkan gelar ini padanya.
Baca lebih lanjut

KHALIFAH UMAR BIN ABDIL AZIZ RAHIMAHULLAH

Pasca wafat Khalifah Mua’wiyah bin Abi Sufyan Radhiyallahu anhu, tahun 60 H, kezhaliman merajalela dimana-mana. Hubungan antara kalangan para ulama dengan para penguasa terjadi kesenjangan. Kondisi semakin memburuk, ketika sebagian orang zhalim mengemban kekuasaan, seperti misalnya al Hajjaj yang juga dibantu para pengikutnya. Mereka menghimpun harta dan menggunakannya tanpa aturan, dan juga memakainya untuk kepentingan yang tidak halal. Misalnya, Seorang penyair saja yang datang menyanjung Khalifah atau menyanjung Gubernur, pasti ia akan menangguk hadiah yang sangat besar.
Baca lebih lanjut

KHALIFAH ABU BAKAR ASH-SHIDDIQ RADHIYALLAHU ANHU SEORANG ORATOR ULUNG

Ketokohan profil ini tidak diragukan lagi. Ia sangat meyakinkan. Reputasinya tak perlu dipertanyakan. Banyak ayat Al-Qur`an yang membicarakan keutamaan beliau, baik secara pribadi maupun dalam konteks umum.

Allah Subahanhu wa Ta’ala berfirman :

وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ

Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka … [at-Taubah/9:100].
Baca lebih lanjut

AMIRUL MUKMININ UMAR BIN AL-KHTHTHAB RADHIYALLAHU ANHU, SAAT KRITIS, BELIAU TETAP MELAKUKAN NAHI MUNGKAR

AMIRUL MUKMININ UMAR BIN AL-KHTHTHAB RADHIYALLAHU ANHU, SAAT KRITIS, BELIAU TETAP MELAKUKAN NAHI MUNGKAR

Siapa yang tak mengenal Amirul-Mukminin ‘Umar Al-Faruq? Sebuah nama yang menciutkan nyali kaum musyrikin Quraisy setelah beliau menyatakan memeluk Islam. Sejarah hidupnya sarat dengan peristiwa yang amat berkesan. Kisah-kisahnya menggoreskan kesan mendalam. Alangkah baiknya, bila para orang tua mengajarkan sejarah salah seorang sahabat terdekat Rasulullah ke generasi penerus, putra-putrinya, sehingga kaum Muslimin dapat mereguk pelajaran dan nilai-nilai luhur dari sifat dan etikanya dalam menegakkan keadilan, rahmat, wara’ dan khasy-yah (rasa takut kepada Allah), dan kasih sayangnya kepada umat. Betapa banyak momentum menarik dan sisi keteladanan dari perjalanan hidup Abu Hafsh ‘Umar bin Khaththab Radhiyallahu anhu . Salah satu momentum terakhir dari perjalanan hidup beliau, yakni saat ajal menjemputnya pada tahun 23 H.
Baca lebih lanjut

ABU QILABAH, MENGAJARKAN SABAR DAN SYUKUR KEPADA ALLAH

Bagi yang sering mengamati isnad hadits, nama Abu Qilabah tidaklah asing, karena sering disebutkan dalam isnad-isnad hadits. Terutama, karena ia seorang perawi yang meriwayatkan hadits dari sahabat Anas bin Malik. Sahabat ini merupakan salah seorang dari tujuh sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits-hadits Nabi n . Oleh karena itu, nama Abu Qilabah sering disebut secara berulang-ulang, seiring diulangnya nama Anas bin Malik. Ibnu Hibban di dalam ats-Tsiqot menyebutkan kisah menakjubkan tentangnya, yang menunjukan kekuatan keimanan Abu Qibalah kepada Allah.

Beliau bernama ‘Abdullah bin Zaid al Jarmi, salah seorang dari para ahli ibadah dan ahli zuhud yang berasal dari al Bashroh. Beliau meriwayatkan hadits dari sahabat Anas bin Malik dan sahabat Malik bin al Huwairits Radhiyallahu anhuma. Beliau wafat di Negeri Syam pada tahun 104 Hijriah, yaitu pada masa kekuasaan Yazid bin ‘Abdil-Malik.

‘Abdullah bin Muhammad berkata:
Aku keluar menuju tepi pantai untuk memantau kawasan pantai (dari kedatangan musuh). Tatkala tiba di tepi pantai, tiba-tiba aku telah berada di sebuah dataran lapang di suatu tempat (di tepi pantai). Di dataran tersebut ada sebuah kemah, yang di dalamnya terdapat seseorang yang telah buntung kedua tangan dan kedua kakinya. Pendengarannya telah lemah dan matanya telah rabun. Tidak satu anggota tubuhnyapun yang bermanfaat baginya, kecuali lisannya. Orang itu berkata, “Ya, Allah. Tunjukilah aku agar aku bisa memuji-Mu, sehingga aku bisa menunaikan rasa syukurku atas kenikmatan-kenikmatan yang telah Engkau anugerahkan kepadaku, dan Engkau sungguh telah melebihkan aku di atas kebanyakan makhluk yang telah Engkau ciptakan.”

‘Abdullah bin Muhammad berkata,”Demi Allah, aku akan mendatangi orang ini, dan aku akan bertanya kepadanya bagaimana ia bisa mengucapkan perkataan ini. Apakah ia memahami dan mengetahui yang diucapkannya itu? Ataukah ucapannya itu ilham yang diberikan kepadanya?”

Akupun mendatangi, lalu mengucapkan salam kepadanya. Kukatakan kepadanya: “Aku mendengar engkau berkata ‘Ya, Allah. Tunjukilah aku agar aku bisa memuji-Mu, sehingga aku bisa menunaikan rasa syukurku atas kenikmatan-kenikmatan yang telah Engkau anugerahkan kepadaku, dan Engkau sungguh telah melebihkan aku di atas kebanyakan makhluk yang telah Engkau ciptakan’. Nikmat manakah yang telah Allah anugerahkan kepadamu, sehingga engkau memuji Allah atas nikmat tersebut? Kelebihan apakah yang telah Allah anugerahkan kepadamu, sehingga engkau menysukurinya?”

Orang itu menjawab:
Tidakkah engkau melihat yang telah dilakukan Robbku kepadaku? Demi Allah, seandainya Ia mengirim halilintar kepadaku sehingga membakar tubuhku, atau memerintahkan gunung-gunung untuk menindihku sehingga menghancurkan tubuhku, atau memerintahkan laut untuk menenggelamkan aku, atau memerintahkan bumi untuk menelan tubuhku, maka tidaklah semua itu, kecuali semakin membuat aku bersyukur kepada-Nya, karena Ia telah memberikan kenikmatan kepadaku berupa lidahku ini.

Namun, wahai hamba Allah. Engkau telah mendatangiku, maka aku perlu bantuanmu. Engkau telah melihat keadaanku. Aku tidak mampu untuk membantu diriku sendiri atau mencegah diriku dari gangguan. Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku memiliki seorang anak yang selalu melayaniku. Saat tiba waktu sholat, ia mewudhukan aku. Jika aku lapar, ia menyuapiku. Jika aku haus, ia memberi aku minum. Namun sudah tiga hari ini aku kehilangan dirinya, maka tolonglah engkau mencari kabar tentangnya. Semoga Allah merahmati engkau.

Aku berkata,”Demi Allah, tidaklah seseorang berjalan menunaikan keperluan seorang saudaranya, dan ia memperoleh pahala yang sangat besar di sisi Allah, lantas pahalanya lebih besar dari seseorang yang berjalan untuk menunaikan keperluan dan kebutuhan orang yang seperti engkau,” maka akupun berjalan mencari anak orang tersebut, hingga tidak jauh dari tempat itu, aku sampai di suatu gudukan pasir. Tiba-tiba aku mendapati anak orang tersebut telah diterkam dan dimakan binatang buas. Akupun mengucapkan inna lillah wa inna ilaihi roji’un. Aku berkata,”Bagaimana aku mengabarkan kejadian ini kepada orang tersebut?”

Tatkala aku tengah kembali menuju orang tersebut, maka terlintas di benakku kisah Nabi Ayyub Alaihissallam. Begitu aku menemui orang tersebut, maka akupun mengucapkan salam kepadanya. Dia menjawab salamku dan bertanya,”Bukankah engkau orang yang tadi menemuiku?”

Aku menjawab,”Benar.”

Ia bertanya,”Bagaimana dengan permintaanku kepadamu untuk membantuku?”

Akupun berkata kepadanya,”Engkau lebih mulia di sisi Allah ataukah Nabi Ayyub Alaihissallam ?”

Ia menjawab,”Tentu Nabi Ayyub Alaihissallam.”

Aku bertanya,”Tahukah engkau cobaan yang telah diberikan Allah kepada Nabi Ayyub? Bukankah Allah telah mengujinya dengan hartanya, keluarganya, serta anaknya?”

Orang itu menjawab,”Tentu aku tahu.”

Aku bertanya,”Bagaimanakah sikap Nabi Ayyub dengan cobaan tersebut?”

Ia menjawab,”Nabi Ayyub bersabar, bersyukur, dan memuji Allah.”

Aku berkata,”Tidak hanya itu, bahkan ia dijauhi oleh karib kerabatnya dan sahabat-sahabatnya.”

Ia menimpali,”Benar.”

Aku bertanya,”Bagaimanakah sikapnya?”

Ia menjawab,”Ia bersabar, bersyukur dan memuji Allah.”

Aku berkata,”Tidak hanya itu, Allah menjadikan ia menjadi bahan ejekan dan gunjingan orang-orang yang lewat di jalan, tahukah engkau tentang hal itu?”

Ia menjawab,”Iya.”

Aku bertanya,”Bagaimanakah sikap Nabi Ayyub?”

Ia menjawab,”Ia bersabar, bersyukur, dan memuji Allah. Langsung saja jelaskan maksudmu. Semoga Allah merahmatimu.”

Aku (pun) berkata,”Sesungguhnya putramu telah aku temukan di antara gundukan pasir dalam keadaan telah diterkam dan dimakan binatang buas. Semoga Allah melipatgandakan pahala bagimu dan menyabarkan engkau.”

Orang itu berkata,”Segala puji bagi Allah yang tidak menciptakan bagiku keturunan yang bermaksiat kepada-Nya, lalu Ia menyiksanya dengan api neraka,” kemudian ia berkata,”Inna lillah wa inna ilaihi roji’un,” lalu ia menarik nafas yang panjang, kemudian meninggal dunia.

Aku berkata,”Inna lillah wa inna ilaihi roji’un.”

Besar musibahku, orang seperti ini, jika aku biarkan begitu saja, maka akan dimakan binatang buas. Dan jika aku hanya duduk, maka aku tidak bisa melakukan apa-apa.[1] Lalu akupun menyelimutinya dengan kain yang ada di tubuhnya, dan aku duduk di dekat kepalanya sambil menangis.

Tiba-tiba datang kepadaku empat orang dan berkata kepadaku: “Wahai ‘Abdullah. Ada apa denganmu? Apa yang telah terjadi?”

Akupun menceritakan kepada mereka yang telah aku alami.

Lalu mereka berkata,”Bukalah wajah orang itu, siapa tahu kami mengenalnya!”

Akupun membuka wajahnya, lalu merekapun bersungkur mencium keningnya, mencium kedua tangannya, lalu mereka berkata: “Demi Allah, matanya selalu tunduk dari melihat hal-hal yang diharamkan Allah. Demi Allah, tubuhnya selalu sujud tatkala orang-orang dalam keadaan tidur”.

Aku bertanya kepada mereka: “Siapakah orang ini. Semoga Allah merahmati kalian?”

Mereka menjawab,”Abu Qilabah al Jarmi sahabat Ibnu ‘Abbas. Dia sangat cinta kepada Allah dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,” lalu kamipun memandikan dan mengafaninya dengan pakaian yang kami pakai, lalu kami menyolati dan menguburkannya. Setelah usai merekapun berpaling pulang, dan akupun pergi menuju pos penjagaanku di daerah perbatasan.

Tatkala malam hari tiba, akupun tidur. Aku melihat di dalam mimpi, ia berada di taman surga dalam keadaan memakai dua lembar kain dari kain surga sambil membaca firman Allah:

سَلامٌ عَلَيْكُمْ بِمَا صَبَرْتُمْ فَنِعْمَ عُقْبَى الدَّارِ

“Salamun ‘alaikum bima shabartum” [keselamatan bagi kalian (dengan masuk ke dalam surga) karena kesabaran kalian], maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu. [ar-Ra’d/13:24].

Aku bertanya kepadanya,”Bukankah engkau adalah orang yang aku temui?”
Ia menjawab,”Benar.”

Aku berkata,”Bagaimana engkau bisa memperoleh ini semua?”
Ia menjawab,”Sesungguhnya Allah menyediakan derajat-derajat kemuliaan yang tinggi, yang tidak bisa diperoleh, kecuali dengan sikap sabar tatkala ditimpa bencana, dan rasa syukur tatkala dalam keadaan lapang, dan tenteram bersama dengan rasa takut kepada Allah, baik dalam keadaan sendirian maupun dalam keadaan di depan khalayak ramai.”

(Diterjemahkan oleh Abu Abdil-Muhsin, dari Kitab ats-Tsiqot, karya Ibnu Hibban. Tahqiq as-Sayyid Syarofuddin Ahmad, Penerbit Darul Fikr, Jilid 5 halaman 2-5)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XI/1428H/2007. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Hal ini, karena biasanya daerah perbatasan jauh dari keramaian manusia. Dan kemungkinan ‘Abdullah tidak membawa peralatan untuk menguburkan orang tersebut. Sehingga, jika ia hendak pergi mencari alat untuk menguburkan orang tersebut, maka bisa saja datang binatang buas memakannya. Wallahu a’lam.

SYURAIH, SEORANG HAKIM YANG TIDAK PANDANG BULU

Keadilan pada zaman kita sekarang ini, bagaikan barang yang sangat istimewa, tidak semua orang bisa menikmatinya. Rasanya sulit bagi seseorang untuk mendapatkan hak-haknya. Keadilan itu, seolah hanya milik segelintir orang. Kezhaliman seakan sudah menjadi bagian hidup yang sulit diobati, yang salah bisa menjadi benar, dan yang benar bisa menjadi salah. Yang seharusnya mendapatkan hak, justru harus menanggung beban dan kewajiban.
Baca lebih lanjut