Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :Wahai orang-orang yang beriman jika kalianberdiri untuk (mendirikan) sholat maka cucilahwajah-wajah kalian dan tangan-tangan kalianhingga ke siku-siku dan basuhlah kepala-kepalakalian dan (cucilah) kaki-kaki kalian hingga keduamata kaki. (Al-Maidah : 6)
Hadits Rosulllah Shallallahu ‘alaihi wa Salam :Dari Amr bin Yahya Al-Maziniyyi dari bapaknya berkata : “Aku telah menyaksikan ‘Amr bin Abil Hasan bertanya kepada Abdullah bin Zaid tentang wudhunya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam, maka Abdullah bin Zaid Radhiyallahu ‘anhu meminta tempayan kecil yang berisikaan air lalu dia berwdlu sebagaimana wudhunya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam. Maka beliau pun memiringkan tempayan tersebut dan mengalirkan air kepada kedua tangannya lalu mencuci kedua tangannya itu tiga kali. Kemudian beliau memasukkan (satu) tangannya kedalam tempayan lalu berkumurkumur
dan beristinsyaq (memasukkan air kedalam lubang hidung dengan menghirupnya-pent) dan beristintsar (menghembuskan air yang ada dalaml lubang hidung-pent) tiga kali dengan tiga kali cidukan tangan. Kemudian beliau memasukkan (satu) tangannya dalam tempayan lalu mencuci wajahnya tiga kali, kemudian memasukkan kedua tangannya lalu mencuci kedua tangannya tersebut dua kali hingga kedua sikunya. Kemudian beliau memasukkan kedua tangannya dan mengusap kepalanya dengan kedua tangannya itu (yaitu) membawa kedua tangannya itu ke depan dan kebelakang satu kali. Kemudian mencuci kedua kakinya.
Dalam riwayat yang lain : Beliau memulai dengan
(mengusap) bagian depan kepalanya hingga
kebagian tengkuk lalu mengembalikan kedua
tangannya tersebut hingga kembali ke tempat
dimana beliau mulai (mengusap).
Dari ayat dan hadits di atas dapat kita tarik
kesimpulan bahwa sifat wudhu Nabi Shallallahu
‘alaihi wa Salam adalah :
1.Berniat.
Sebagaimana telah dibahas bahwa niat adalah
tempatnya di hati dan melafalkan niat adalah
bid’ah. Dan niat adalah syarat wudhu (dan ini
adalah pendapat jumhur ulama), sehingga barang
siapa yang berwudhu dengan niat bukan untuk
bertaqorrub kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
tetapi untuk mendinginkan badan atau untuk
kebersihan maka wudhunya tidak sah, karena
Rosululah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda
“Sesungguhnya amalan-amalan itu tergantung
niatnya”. Namun Menurut madzhab Hanafiyah,
hukum niat ketika akan berthoharoh (termasuk
juga ketika akan wudhu) adalah hanya sunnah,
sehingga seseorang berwudhu tanpa niat
bertaqorrub pun sudah sah wudhunya. Dan yang
benar adalah pendapat jumhur ulama. (Al-fiqh alislami
1/225)
2.Membaca “Bismilah”
Sesuai dengan sabda Rosulullah Shallallahu ‘alaihi
wa Salam ,dari hadits Abu Huroiroh Radhiyallahu
‘anhu:
“Tidak ada sholat bagi orang yang tidak berwudhu
dan tidak ada wudhu bagi orang yang tidak
menyebutkan nama Allah atasnya”. (Hadits Hasan,
berkata Syaikh Al-Albani : “…Hadits ini memiliki
syawahid yang banyak…”, lihat Irwa’ul Ghalil no
81)
Hadits ini secara dhohir menunjukan bahwa
membaca “bismillah” adalah syarat sah wudhu.
Namun yang benar bahwa yang dinafikan dalam
hadits di atas adalah kesempurnaan wudhu
Terjadi khilaf diantara para ulama. Imam Ahmad
dan pengikutnya berpendapat akan wajibnya
mengucapkan “bismilah” ketika akan berwudhu
Mereka berdalil dengan hadits ini
Sedangkan jumhur ulama (Imam Malik, Imam
Syafi’i, dan Imam Abu Hanifah, serta satu riwayat
dari Imam Ahmad) bahwa membaca “bismillah”
ketika akan berwudhu hukumnya hanyalah
mustahab, tidak wajib. (Taudihul Ahkam 1/193).
Dalil mereka :
- · Perkataan Imam Ahmad sendiri : “Tidak ada
satu haditspun yang tsabit dalam bab ini”
- · Dan kebanyakan sahabat yang mensifatkan
wudhu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam tidak
menyebutkan “bismillah” (syarhul mumti’
1/130)
Syaikh Al-Albani berkata : “…Tidak ada dalil yang
mengharuskan keluar dari dhohir hadits ini (yaitu
wajibnya mengucapkan bismillah-pent) ke pendapat
bahwa perintah pada hadits ini hanyalah untuk
mustahab. Telah tsabit (akan) wajibnya, dan ini
adalah pendapat Ad-Dzohiriyah, Ishaq, satu dari
dua riwayat Imam Ahmad, dan merupakan
pendapat yang dipilih oleh Sidiq Hasan Khon,
Syaukani, dan inilah (pendapat) yang benar Insya
Allah Radhiyallahu ‘anhu” (Tamamul Minnah hal
89)
Dan ada juga hadits yang lain yaitu :
Dari Anas berkata : Sebagian sahabat Nabi
mencari air, maka Rosulullah berkata : “Apakah
ada air pada salah seorang dari kalian?”. Maka
Nabi meletakkan tangannya ke dalam air
(tersebut) dan berkata :“Berwudhulah (dengan
membaca) bismillah”.. Maka aku melihat air
keluar dari sela-sela jari-jari tangan beliau hingga
para sahabat seluruhnya berwudhu hingga yang
paling akhir daari merek. Berkata Tsabit :”Aku
bertanya kepada Anas, Berapa jumlah mereka
yang engkau lihat ?, Beliau berkata : Sekitar tujuh
puluh orang”. (Hadits riwayat Bukhori no 69 dan
Muslim no 2279).
Hadits ini menunjukan akan wajibnya membaca
bismillah karena Rosulullah menggunakan fiil amr.
Kalau memang wajib, lantas bagaimana jika
seseorang lupa mengucapkannya ketika akan
berwudhu dan dia baru ingat di tengah dia
berwudhu atau bagaimana jika dia baru ingat
setelah berwudhu. Jawabnya :
Jika dia ingat di tengah berwudhu, maka dia tidak
perlu mengulangi wudhunya tapi terus
melanjutkan wudhunya karena membaca
“bismillah” bukan merupakan syarat wudhu. Dan
jika dia mengingatnya setelah selesai berwudhu
maka wudhunya sah, karena Allah Subhanahu wa
Ta’ala tidak membebani apa yang tidak disanggupi
oleh umatnya.
3.Mencuci tangan tiga kali hingga ke
pergelangan tangan
Berkata Syaikh Ali Bassam : “Disunnahkan
mencuci dua tangan tiga kali hingga ke
pergelangan tangan sebelum memasukkan kedua
tangan tersebut ke dalam air tempat wudhu, dan
ini merupakan sunnah menurut ijma’. Dan dalil
bahwa mencuci kedua tangan hanyalah sunnah
bahwasanya tidaklah datang penyebutan mencuci
kedua tangan di dalam ayat-ayat (Al-Qur’an). Dan
sekedar perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
Salam saja tidaklah menunjukan akan wajib,
hanyalah menunjukan kemustahabannya. Dan ini
adalah qoidah usuliah”. (Taudihul Ahkam 1/161).
4.Berkumur-kumur (tamadlmudl) dan
beristinsyaq
Khilaf diantara para Ulama :
Imam yang tiga (Imam Malik, Imam Abu Hanifah,
dan Imam Syafi’i) dan Sufyan At-Tsauri dan yang
lainnya berpendapat tidak wajibnya berkumurkumur
dan beristinsyaq tetapi hanya sunnah. Dalil
mereka yaitu hadits tentang (sepuluh
dari sunnah para nabi), diantaranya yaitu
beristinsyaq. Dan sunnah bukanlah wajib
Namun pendalilan ini sangat lemah. Yang
dimaksud dengan sunnah dalam hadits adalah
“toriqoh” bukan sunnah menurut istilah fiqh
(sesuatu yang jika dikerjakan mendapatkan
pahala dan jika ditinggalkan tidak berdosa),
karena istilah ini adalah istilah yang baru.
Sedangkan Imam Ahmad berpendapat akan
wajibnya berkumur-kumur dan beristinsyaq, dan
ini juga pendapat Ibnu Abi Laila dan Ishaq. Dalildalil
mereka :
- · Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam senantiasa
melakukan keduanya dan tidak pernah
meninggalkan keduanya, kalau memang hanya
sunnah, tentu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam
akan meninggalkan keduanya walau hanya
sekali untuk menunjukan akan bolehnya.
- · Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (Dan
cucilah wajah-wajah kalian), sedangkan mulut
dan hidung termasuk wajah jadi termasuk
dalam keumuman perintah Allah Subhanahu
wa Ta’ala.
- · Adanya hadits-hadits yang menunjukan akan
wajibnya. Diantaranya hadits Abu Huroiroh
Radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh
Imam Muslim
“Barangsiapa yang berwudhu hendaklah dia
beristinsyaq”
Dan juga hadits yang diriwayatkan oleh Abu
Dawud dan Daruqutni dari hadits Laqith bin
Sobroh, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
Salam bersabda :
“Jika engkau berwudhu maka berkumurkumurlah”
(Taudihul ahkam 1/173)
Dan setelah beristinsyaq hendaknya beristintsar
(menghembuskan air yang ada di hidung)
5.Mencuci wajah
Hukumnya adalah wajib. Dan definisi wajah secara
syar’i tidak dijelaskan oleh Syari’at oleh karena itu
kita kembalikan kepada maknanya secara bahasa.
Wajah adalah apa yang dengannya timbul
muwajahah/muqobalah (saling berhadapan). Dan
batasannya adalah dari tempat biasanya tumbuh
rambut kepala hingga ke ujung bawah dagu
(secara vertikal), dan dari telinga ke telinga
(secara horizontal). (Taudihul Ahkam 1/170)
Bagi yang punya jenggot ?
Hadits Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam :
Dari Utsman Radhiyallahu ‘anhu berkata :
“Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam
menyela-nyela jenggotnya ketika berwudhu.
(Hadits shohih, riwayat Tirmidzi)
Dan juga hadits Anas Radhiyallahu ‘anhu:
Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam jika
berwudhu beliau mengambil segenggam air
(dengan tangannya-pent) lalu beliau
memasukkannya di bawah mulutnya kemudian
beliau menyela-nyela jenggot dengannya. Dan
beliau berkata :”Demikianlah Robku
memerintah aku”. (Irwa’ul Ghalil no 92)
Menyela-nyela jenggot ada dua hukum :
- · Jika jenggot tersebut tipis sehingga kelihatan
kulit wajah (dagu), maka hukumnya wajib
menyela-nyela jenggot hingga mencuci kulit
wajah yang nampak tersebut dan juga mencuci
pangkal jenggot.
- · Jika jenggot tersebut tebal sehingga tidak
nampak kulit wajah (dagu), maka hukum
menyela-nyela janggut bagian dalam (pangkal
jenggot) dan mencuci kulit wajah adalah
sunnah tidak wajib. Karena termasuk hukum
bagian dalam yang tersembunyi. Adapun
bagian luar jenggot maka wajib dicuci
karena dia merupakan perpanjangan wajah
(Tadihul Ahkam 1/177 dan Syarhul Mumti’
1/140 )
6.Mencuci kedua tangan
Dicuci dari ujung-ujung jari hingga ke siku Tangan
kanan terlebih dahulu tiga kali, kemudian baru
tangan kiri.
Apakah siku ikut dicuci atau tidak ?. Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
(Dan cucilah) tangan-tangan kalian hingga ke
siku-siku
Sebab “ila” menurut para ahli nahwu bisa berarti
akhir dari puncak, baik untuk waktu maupun
tempat. Misalnya untuk waktu “tsuma atimu shiyama ila Laili” (Lalu
sempurnakanlah puasa hingga malam) dan untuk
tempat misalnya “ minal masjidil harom ila masijidil aqsho” (Dari
masjidil Harom hingga ke masjidi Aqso).
Adapun yang datang setelah “ ila” maka boleh masuk
kepada yang sebelum “ila “ (sehingga ketika itu “ila”bermakna “ma’a” sebagaimana firman Allah Subhanahu
wa Ta’ala “walaa ta’kulu amwalakum ila amwalikum” dan bisa juga tidak
masuk kepada apa yang sebelum “ila” , dan ini
semua diketahui dengan qorinah (indikasi)
(Taudihul Ahkam 1/160). Adapun dalam
permasalahan ini yang benar bahwasanya siku
masuk dalam daerah cucian dengan adanya
qorinah dari hadits yang menunjukan akan hal itu.
Diantaranya :
Dari Jabir Radhiyallahu ‘anhu berkata :”Adalah
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam jika berwudhu,
beliau memutar air ke kedua sikunya”
(Diriwayatkan oleh Darqutni dengan sanad yang
dho’if) Tapi haditsnya dhoif (Taudihul Ahkam
1/191)
Namun ada hadits yang lain yaitu hadits Abu
Huroiroh Radhiyallahu ‘anhu
Abu Huroiroh berwudhu maka dia mencuci
tangannya hingga naik ke lengan atas dan dia
mencuci kakinya hingga naik ke betisnya, lalu dia
berkata : “Demikianlah aku melihat Rosulullah
Shallallahu ‘alaihi wa Salam berwudhu” (Hadits
shohih riwayat Muuslim, Irwa’ul Ghalil no 94)
Apakah disunnahkan mencuci tangan hingga
ke lengan atas dan mencuci kaki hingga ke
betis sebagaimana yang dilakukan oleh Abu
Huroiroh Radhiyallahu ‘anhu ?
Untuk masalah ini (memanjangkan daerah wudhu
hingga ke lengan atas dan betis demikian juga ke
leher ketika mencuci wajah) ada khilaf dikalangan
para ulama. Jumhur ulama (Imam Syafi’i dan
Imam Abu Hanifah) berpendapat bahwa hal ini
disunnahkan. Imam Nawawi berkata : “Telah
bersepakat para sahabat kami atas mencuci apa
yang di atas kedua siku dan keda mata kaki”
Namun mereka berbeda pendapat tentang batasan
panjangnya tersebut. Mereka berdalil dengan
hadits Abu Huroiroh Radhiyallahu ‘anhu dalam
riwayat yang lain :
Dari Abu Huroiroh Radhiyallahu ‘anhu berkata :
Aku mendengar Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa
Salam bersabda : “Sesungguhnya umatku
dipanggil pada hari kiamat dalam keadaan
bercahaya wajah-wajah, tangan-tangan dan kakikaki
mereka karena bekas wudhu, maka
barangsiapa yang mampu untuk memanjangkan
gurrohnya dan tahjilnya maka lakukanlah” (Hadits
riwayat Bukhori dan Muslim)
Sedangkan Imam Malik berpendapat tidak
disunnahkannya hal ini (memanjangkan wudhu
melewati tempat yang yang diwajibkan). Dan ini
merupakan pendapat Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah, Ibnul Qoyyim dan juga dipilih oleh
ulama sekarang seperti Syaikh Adurrohman As-
Sa’di, Syaikh Bin Baz, Syaikh Utsaimin, dan
Syaikh Al-Albani.
Dalil mereka (Taudihul Ahkam 1/182) :
- · Seluruh sahabat yang mensifatkan wudhu Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa Salam tidak menyebutkan
kecuali hanya sampai kedua siku dan kedua
mata kaki
- · Dalam ayat (Al-Maidah :6) tempat anggota
wudhu hanya dibatasi pada siku dan dua mata
kaki
Adapun perkataan :”Barang siapa yang mampu
untuk memanjangkan, dst…..”, ini bukanlah
perkataan Rosululah Shallallahu ‘alaihi wa
Salam tetapi merupakan mudroj (tambahan
perkataan) dari Abu Huroiroh Radhiyallahu
‘anhu. Dalam musnad Imam Ahmad, Nu’aim
Al-Mujmiri perowi hadits ini berkata : “Aku
tidak tahu perkataan (“Barang siapa yang
mampu untuk memanjangkan gurrohnya
hendaklah dia melakukannya”) merupakan
perkataan Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa
Salam atau perkataan Abu Huroiroh Shallallahu
‘alaihi wa Salam”. Berkata Ibnul Qoyyim
:”Tambahan ini adalah mudroj dari perkataan
Abu Huroiroh Radhiyallahu ‘anhu bukan dari
perkataan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam,
hal ini telah dijelaskan oleh banyak Hafiz”.
Bahkan dalam suatu hadits yang diriwayatkan
oleh Imam Muslim(no 250) dari Abi Hazim,
beliau berkata : “Aku dibelakang Abu Huroiroh
Radhiyallahu ‘anhu dan dia sedang berwudhu
untuk sholat, dan dia mencuci tangannya
hingga ke ketiaknya. Maka aku berkata
kepadanya :”Wahai Abu Huroiroh, wudhu apa
ini?”, maka beliau berkata :”Wahai Bani
Farrukh, apakah engkau disini?, Kalau aku tahu
engkau di sini maka aku tidak akan berwudhu
seperti ini. Aku telah mendengar kekasihku
(yaitu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam)
bersabda : Panjangnya perhiasan seorang
mukmin tergantung panjangnya wudhu”.
Hadits ini jelas menunjukan bahwa wudhu yang
dilakukan oleh Abu Huroiroh Radhiyallahu
‘anhu hanyalah ijtihad beliau Radhiyallahu
‘anhu saja.
- · Kalau kita terima bahwa hadits ini, maka kita
harus mencuci wajah hingga ke rambut. Dan
ini tidak lagi disebut gurroh. Karena yang
namanya gurroh hanyalah di wajah saja. (Lihat
penjelasan Ibnul Qoyyim dalam Irwa’ul Ghalil
1/133). Demikian juga kita harus mencuci
tangan kita hingga ke lengan atas. Orang yang
membolehkan hal ini berdalil dengan hadits
Abu Huroiroh Radhiyallahu ‘anhu bahwa
Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam
bersabda :
(Panjangnya) perhiasan seorang mukmin
tergantung (panjang) wudhunya. (Riwayat
Muslim)
Namun ini tidaklah benar karena namanya
perhiasan hanyalah dipakai di lengan bawah
bukan di lengan atas.
7.Membasahi kedua tangan lalu membasuh
kepala dan kedua telinga.
Caranya sebagaimana disebutkan dalam hadits
Abdullah bin Zaid. Dan cukup diusap tidak boleh
dicuci. Barang siapa yang mencucinya maka dia
telah menyelisihi perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa Salam. Allah Subhanahu wa Ta’ala mewajibkan
kita untuk mengusap bukan mencuci karena
mencuci kepala bisa memberatkan kaum
muslimin, terutama ketika musim dingin. Selain
itu jika kepala sering dalam keadaan basah maka
bisa menimbulkan penyakit. Dan perbedaan
antara mengusap dan mencuci yaitu mencuci
membutuhkan aliran air sedangkan mengusap
tidak.(Syarhul Mumti’ 1/150)
Dan disunnahkan mengusap kepala hanya sekali,
namun boleh terkadang juga tiga kali,
sebagaimana telah shohih dari Utsman
Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi Shallallahu
‘alaihi wa Salam pernah mengusap kepalanya tiga
kali. (Shohih sunan Abu Dawud no 95, lihat
Tamamul Minnah hal 91).
Paraulama berselisih tentang wajibnya mengusap
seluruh kepala. Abu Hanifah dan As-Syafi’i
berpendapat akan bolehnya mengusap sebagian
kepala, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam
pernah hanya mengusap ubun-ubun beliau ketika
berwudhu. Selain itu huruf ب yang terdapat dalam
ayat (biruusikum) bisa bermakna “sebagian”.
Sedangkan Imam Malik dan Imam Ahmad akan
wajibnya mengusap seluruh kepala karena
demikianlah yang ada dalam hadits-hadits yang
shohih dan hasan. Syaikhul Islam berkata : “Tidak
dinukil dari seorang sahabatpun bahwasanya Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa Salam mencukupkan
membasuh sebagian kepala” Berkata Ibnul
Qoyyim ;”Tidak ada sama sekali satu haditspun
yang shohih bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa Salam pernah mencukupkan membasuh
sebagian kepala” (Taudihul Ahkam 1/169). Dan
inilah pendapat yang rojih karena Nabi Shallallahu
‘alaihi wa Salam mengusap ubun-ubunnya ketika
dia memakai sorban, sebagaimana dalam hadits:
Dari Mugiroh bin Syu’bah bahwasanya Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa Salam berwudhu’ lalu beliau
mengusap ubun-ubunnya dan atas sorbannya dan
kedua khufnya. (Riwayat Muslim)
Dari hadits ini bisa ada 2 kemungkinan :
_ Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam pernah hanya
mengusap sorbannya dan pernah hanya
mengusap kepalanya dimulai dari ubunbunnya.
(Taudihul Ahkam 1/187)
_ Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam mengusap
ubun-ubunnya lalu melanjutkan mengusap
sorbannya. (Dan semua kemungkinan ini
dibolehkan oleh Sidiq Hasan Khon dalam Arroudlotun
Nadiah)
Sedangkan makna ب untuk makna tab’id
(sebagian) tidak ada dalam bahasa Arab
sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Utsaimin
(Syarhul mumti’ 1/151)
Mengusap kedua telinga
Dan dalam mengusap kepala disertai dengan
mengusap kedua telinga. Sesuai dengan hadits.
Dari Abdillah bin ‘Amr Radhiyallahu ‘anhu tentang
sifat wudhu, berkata : “Kemudian Nabi Shallallahu
‘alaihi wa Salam mengusap kepalanya dan
memasukkan kedua jari telunjuknya kedalam
kedua telinganya dan mengusap bagian luar kedua
telinganya dengan kedua ibu jarinya” (Hadits
hasan diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Nasa’i
dan dishohihkan oleh Ibnu Khuzaimah).(Taudihul
Ahkam 1/166)
Dan juga hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu :
“Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam
mengusap kepalanya dan kedua telinganya baik
bagian luar maupun yang bagian dalam” (Hadits
shohih, dishohihkan oleh Tirmidzi, Irwa’ul Ghalil no
90)
Dan ketika mengusapnya tidak perlu air yang
baru. Berkata Ibnul Qoyyim :”Tidak ada riwayat
yang tsabit dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam
bahwasanya beliau mengambil air yang baru
untuk mengusap kedua telinganya”. Sedangkan
hadits yang diriwayatkan oleh Baihaqi bahwa Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa Salam mengambil air yang
baru bukan dari air bekas mengusap kepalanya
adalah dlo’if. Yang shohih yaitu bahwasanya Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa Salam mengusap kepalanya
dengan air yang bukan sisa (untuk mencuci)
kedua tangannya. (Taudlihul Ahkam 1/180).
Hukum mengusap kedua telinga adalah wajib
karena (Taudlihul Ahkam 1/168) :
- · Termasuk dari keumuman perintah dalam ayat
(wamsahuubiruusikim), dan telinga termasuk kepala (baik
menurut bahasa, ‘urf, mapun syar’i),
sebagaimana hadits (kedua telinga itu termasuk kepala, lihat As-Shohihah no 36, dan pendapat akan sunnahnya (tidak wajib) timbul karena menganggap hadits ini lemah).
- · Hikmah diusapnya telinga selain untuk
sempurnanya kebersihan telinga baik yang luar
maupun yang dalam, juga membersihkan
dosa-dosa yang telah dilakukan oleh telinga.
8. Mencuci kaki kanan tiga kali hingga mata
kaki, dan demikian pula yang kiri.
Mencuci kedua kaki hukumnya adalah wajib,
sesuai perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala (…Dan kaki-kaki kalian hingga ke mata kaki). Dan cara mencucinya yaitu mencuci dari ujungujung
jari kaki hingga (bersama) mata kaki
sebagaimana disebutkan dalam ayat. Dan ini
telah disepakati oleh Ahlus-Sunnah wal
jama’ah. Berbeda halnya dengan Syi’ah. Mereka
beranggapan bahwa mengusap kaki sudahlah
cukup dan tidak usah sampai ke mata kaki tapi
cukup ke punggung kaki. Dalil mereka yaitu :
- · Adanya qiroat lain dalam ayat (waarjalikum) yaitu
dengan dikasrohkan huruf ل tidak di fathah
sehingga atofnya kepada kepala bukan pada
wajah. Ini menunjukan bahwa hukum kaki
sama dengan hukum kepala (sama-sama
diusap).
- · Ka’ab yang disebutkan dalam ayat datang
dalam bentuk mutsanna (yang menunjukan
dua), padahal jumlah ka’ab untuk dua kaki
adalah empat. Sehingga makna ka’ab dalam
ayat bukanlah mata kaki tetapi punggung kaki.
(Syarhul mumti’ 1/153)
- · Namun pendapat mereka ini adalah salah.
Bantahannya :
- · Qiro’ah yang tujuh adalah dengan
memfathahkan huruf ل . Dan qiro’ah ini jelas
menunjukan akan wajibnya. Adapun riwayat
yang dikasrohkan ل, walaupun shohih namun
tidak merubah hukum. Dan hal ini boleh dalam
bahasa arab yaitu ”arjuli” dikasrohkan karena
mujawaroh (bertetangga) dengan . “biruusi”
Sebagaimana dalam firman Allah Subhanahu
wa Ta’ala dalamsuratHud ayat 26 (adzaba yaumil alim) merupakan sifat dari “alimin” tetapi dia majrur
karena bertetangga dengan” yaumin” .(Syarhus
Sunnah 1/430)
- · Kalaupun qiro’ah yang dikasroh merubah
hukum maka bisa dibawakan bagi hukum
mengusap kaki ketika memakai khuf. (Syarhul
mumti’ 1/176)
- · Kalau boleh membasuh kaki maka
bertentangan dengan hadits Nabi Shallallahu
‘alaihi wa Salam
Dari Abdullah bin Amr Radhiyallahu ‘anhu
berkata : “Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa
Salam ketinggalan dari kami dalam suatu safar
yang kami bersafar bersama beliau, lalu
(setelah menyusul kami-pent) beliau
mendapati kami – (dan ketika itu) telah datang
waktu sholat yaitu sholat asar- kami sedang
berwudhu, maka kami mengusap kaki-kaki
kami. Lalu Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa
Salam berteriak kepada kami dengan suaranya
yang keras :”Celakalah tumit-tumit (yang tidak
terkena air wudhu) dengan api” (Hadits
shohih riwayat Bukhori dan Muslim)
Kalau memang mengusap kaki boleh tentu
tidak mengapa tumit tidak terkena air.
- · Mencuci kaki harus sampai mata kaki,
sebagaimana dijelaskan oleh hadits Abu
Huroiroh Radhiyallahu ‘anhu
Abu Huroiroh berwudhu maka dia mencuci
tangannya hingga naik ke lengan atas dan dia
mencuci kakinya hingga naik ke betisnya, lalu
dia berkata : “Demikianlah aku melihat
Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam
berwudhu” (Hadits shohih riwayat Muuslim,
Irwa’ul Ghalil no 94)
Dan tidak mungkin mencuci betis kecuali juga
mencuci mata kaki. Dan kalau cuma diusap
sampai punggung kaki maka tumit boleh tidak
terkena air. Dan ini bertentangan dengan
hadits Abdullah bin Amr di atas.
Perlu diingat ketika mencuci kaki disunnahkan
untuk mencela jari-jari kaki dan juga jari-jari
tangan (Taudihul Ahkam 1/175), sebagaimana
hadits :
Dari Laqith bin Sobroh Radhiyallahu ‘anhu
berkata : Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa
Salam bersabda :”Sempurnahkanlah wudhu
dan sela-selalah jari-jari dan bersungguhsungguhlah
ketika beristinsyaq kecuali engkau
sedang berpuasa” (Hadits shohih, dishohihkan
oleh Ibnu Khuzaimah).
Adapun menyela jari-jari kaki dengan jari
tangan yang kelingking, maka ini hanyalah
istihsan dari para ulama dan tidak bisa
dikatakan sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
Salam. Berkata Ibnul Qoyyim dalam zadul
ma’ad :”…Dalam (kitab) sunan dari Mustaurid
bin Syadad berkata : “Aku melihat Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa Salam berwudhu dan dia
menggosok jari-jari kakinya dengan jari
tangan kelingkingnya” Kalau riwayat ini benar
¨) maka sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa Salam hanya melakukannya sekali-kali.
Oleh karena itu sifat seperti tidak diriwayatkan
oleh para sahabat yang memperhatikan wudhu
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam seperti
¨ ) Dan hadits ini dishohihkan oleh Sy aikh Al-Bani dalam shohihul jami’
no 4576
Utsman, Abdullah bin Zaid dan selain
keduanya. Lagipula dalam riwayat tersebut
ada Abdullah bin Lahiah.” (Syarhul Mumti’
1/143).
9. Membaca doa setelah wudhu
Yaitu sebagaimana yang disebutkan dalam hadits :
“Tidak ada seorang pun dari kalian yang berwudhu
lalu menyempurnakan wudhunya kemudian
berkata : “asyhadu anlaailaha illa allah wa sayhadu ana muhammadan abduhu wa rosuluhu” kecuali akan dibukakan baginya pintu-pintu surga
yang delapan dan dia masuk dari pintu mana saja
yang dia sukai”. (Hadits riwayat Muslim, Irwa’ul
Ghalil no 96)
Dan juga tambahan yang diriwayatkan oleh
Tirmidzi : “ Allahuma ‘jlni mana tawabiin wa ‘jlni minal matathohirin” Ya Allah, jadikanlah aku termasuk orang-orang
yang bertaubat dan jadikanlah aku termasuk
orang-orang yang bersih.
Sebagian ulama menganggap tambahan ini dhoif
karena idtirob sanadnya, namun yang benar
tambahan ini adalah shohih menurut Syaikh Al-
Albani (Tamamul Minnah hal 96).
Disunnahkan pula untuk berkata setelah wudhu :
(Dari hadits Abu Sa’id Al-Khudri, lihat Irwa’ul
Ghalil 1/135 dan 2/94)
Demikianlan sekilas tentang sifat wudhu Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa Salam.
Disalin dari : KEMUDAHAN DI DALAM SIFAT WUDHU’ NABI, disusun oleh :
Al-Ustadz Abu ‘Abdil Muhsin as-Soronji, Lc, Ebook, Maktabah Ummu Salma.