Bab IX. Wajibnya wudhu jika ingin menyentuh mushaf


Khilaf diantara para ulama,

 

  • · Pendapat pertama (ini merupakan pendapat jumhur): Wajib berwudhu jika menyentuh mushaf, dalilnya :

– Sesuai firman Allah Azza wa jalla “Laa yamasahu illa muthoharun” (Tidak menyentuhnya kecuali yang disucikan), karena dhomir (hu) kembali kepada Al-Qur’an sesuai dengan awal ayat tersebut “tanziilu min robbil alamin” (Yang diturunkan dari Robbul alamin). Sedangkan yang dimaksud “almuthohharuun” adalah orang yang berwudhu dan mandi dari janabah sesuai dengan firman Allah Azza wa Jalla “Wa lakin liyuthohirukum” (melainkan untuk mensucikan kalian). Dan walaupun ayat ini adalah khobar bukan perintah (sebab kalau pe rintah dia mestinya majzum َ”laa yamassahu”” karena Laa َ adalah nahiyah), namun dia adalah khobar yang bermaknaperintah. Dan yang seperti ini lebih mengena dalam amr.

– Sesuai dengan hadits :Abu Bakr bin Muhammad bin Amr bin Hazmdari bapaknya dari kakeknya :(BahwasanyaNabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam menuliskankepada penduduk Yaman sebuah kitab yang padanya (ada tulisan) “Tidaklah menyentuh Al-Qur’an kecuali orang yang suci” (Hadits

shohih, Irwa’ul Ghalil no 122)

Syaikh Utsaimin pada mulanya condongkependapat Daud Adz-Dzohiri (akan

disampaikan setelah ini), namun setelah beliaumemperhatikan hadits “laa yamassu alqur’an illa thohir” َ maka beliau berpendapat dengan pendapat jumhur, karena bermakna suci dari hadats besar atau hadats kecil, sesuai dengan firman Allah “Wa lakin liyuthohirukum”  (melainkan untuk mensucikan kalian).

Dan bukanlah termasuk kebiasaan Nabimengungkapkan mukmin dengan tohir karenamenggunakan mukmin lebih mengenadaripada tohir. (Syarhul Mumti’ 1/265) Dan ini adalah pendapat imam Ahmad,

sebagaimana yang dikataka oleh Ishaq al-Mawarzi :

Aku bertanya (kepada Imam Ahmad) :”Apakahseorang laki-laki (boleh) membaca Al-Qur’antanpa wudhu?”,beliau menjawab : “Ya, tetapi

janganlah dia membaca dengan (menyentuh)mushaf selama dia belum berwudhu.” Ishaq berkata :”(Hukumnya) sebagaimanayang dikatakan oleh Imam Ahmad karenatelah shohih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa

Salam “Tidaklah menyentuh Al-Qur’an kecuali orang yang suci”, dan demikianlah praktekpara shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam dan para tabiin”.

Berkata Syaikh Al-Albani : “Dan yang shohih dari para sahabat yaitu yang diriwayatkan oleh Mus’ab bin Sa’ad bin Abi Waqos Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya dia berkata : “Aku memegang mushaf dihadapan Sa’ad bin Abi

Waqos Radhiyallahu ‘anhu, lalu aku menggaruk, maka berkata Sa’ad :”Mungkin engkau menyentuh kemaluanmu?”, aku berkata :”Ya”, maka dia berkata :”Berdirilah dan berwudhulah”, maka akupun berdiri dan berwudhu kemudian aku kembali”. Diriwayatkan oleh Malik dan Baihaqi darinya dengan sanad yang shohih. (Irwa’ul Ghalil 1/161)

Adapun kitab-kitab tafsir, maka boleh menyentuhnya tanpa wudhu sebab jumlah tafsirnya lebih banyak dibandingkan jumlah Al- Qur’annya. Dan demikan pula dengan kitabkitab yang lain yang terdapat ayat-ayat Al-

Qur’an di dalamnya namun jumlahnya sedikit. Dalilnya bahwasanya Nabi menulis kitab kepada orang-orang kafir dan dalam kitab tersebut ada ayat-ayat Al-Qur’an (Syarhul Mumti’ 1/267)

 

  • · Pendapat kedua (ini adalah pendapat Dawud Adz-Dzohiri) : Tidak wajib berwudhu bila menyentuh mushaf, dalilnya :

– Al-Qur’an adalah dzikir, dan telah shohih dari Aisyah bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam berdzikir dalam seluruh keadaan (suci maupun tidak) Adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam berdzikir kepada Allah dalam seriap keadaan. (Riwayat Bukhori dan Muslim)

– Yang asal adalah seseorang tidak dikenai kewajiban, maka tidak boleh kita menyatakan seseorang berdosa tanpa bersandar kepada

nash.

– Adapun makna َ”thohirun´ yang ada dalam hadits (kalau haditsnya shohih) memiliki banyak kemungkinan, yaitu :

  1. Bermakna orang mukmin, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala “inamal musyrikiina najasun” dan hadist “innal mu’mina laa yanjusu”, jadi maksudnya suci secara maknawi (suci aqidah).
  2. Bermakna suci dari najis haqiqi (‘aini/dzati) sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam tentang kucing “innaha laisat binajasin”
  3. Bermakna suci dari janabah, sebagaimana firman Allah : “inkuntum junuban  fathoharuu”
  4. Bermakna suci dari hadats kecil, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam : “da’huma fainnii adkhotuhuma dhohirotaini”  (Nailul Author 1/206, Taudlihul ahkam 1/248)

 

Dan jika terdapat dua kemungkinan makna pada suatu dalil maka tidak dapat dijadikan hujjah, bagaimanapula jika terdapat empat

kemungkinan.

– Adapun dhomir (hu) yang terdapat ayat kembalinya pada “fii kitaabin maknuun” yang kemungkinan maksudnya adalah lauhul mahfuz atau kitab

yang berada di tangan para malaikat bukan Al- Qur’an, karena dhomir kembali kepada yang paling terdekat (sehingga tidak kembali ke “tanzilun min robbil alamiin” yang lebih jauh). Hal ini sebagaimana terdapat dalam surat abasa ayat 11-16 yaitu “fii shuhufin mukaroah” sama dengan “fii kitaabin maknuun” dan “biaidii safaroh” sama dengan َ”laa yamassahu illal muthohharuun “, dan Al-Qur’an saling menafsirkan antara ayat yang satu dengan yang lainnya.

– Dan dalam ayat ا” almuthohharuun” menggunakan wazan isim maf’ul bukan isim fa’il. Kalau maknanya orang yang bersuci mestinya menggunakan wazan isim fa’il. Sehingga maksudnya adalah para malaikat bukan manusia (Nailul Author 1/206)

– Adapun anggapan bahwa ayat adalah khobar bermakna perintah, ini memang bisa demikian namun harus ada korinah yang menunjukan

akan hal itu. Jika tidak terdapat korinah maka kita kembali pada asal yaitu khobar tetap bermakna khobar.

– Adanya hadits bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam (melarang bersafar dengan (membawa) Al-Qur’an ke negeri musuh, Muttafaqun alaih). Hal ini dikhawatirkan karena orang kafir yang najis hatinya akhirnya menyentuh Al-Qur’an tersebut. (Tamamul Minnah hal 107).

– Adapun riwayat dari Mush’ab bin Sa’ad bin Abi Waqos, kalaupun seandainya shohih maka mungkin saja perintah Sa’ad bin Abi Waqos kepada Mush’ab hanyalah karena mustahab.

– Asalnya adalah boleh bagi seseorang memegang mushaf untuk membaca Al-Qur’an. Dan tidak boleh bagi seorangpun mengharamkannya kecuali dengan hadits yang shohih dan shorih.

 

 

MAROJI’ :

1. Nailul Author, Asy-Syaukani

2. Roudlotun Nadliah, Syaikh Sidiq Hasan Khan

3. Syarhus Sunnah, Imam Al-Bagowi

4. Irwa’ul Ghalil, Syaikh Al-Albani

5. Tamamul Minnah, Syaikh Al-Albani

6. Sifat Wudhu Nabi , Fahd bin Abdirrohman Ad-

Dausi

7. Taudlihul Ahkam, Syaikh Ali Bassam

8. Al-Fiqh al- Islami, DR. Wahb Az-Zuhaili

9. Thuhurul Muslim, Syaikh Al-Qohtoni

10. Syarhul Mumti,’ Syaikh Utsaimin

 

Disalin dari : KEMUDAHAN DI DALAM SIFAT WUDHU’ NABI,  disusun oleh :

Al-Ustadz Abu ‘Abdil Muhsin as-Soronji, Lc, Ebook, Maktabah Ummu Salma

Tinggalkan komentar