Puasa Hari Asyura’

Oleh:

Al-Hafizh Al-Imam Ibnu Hajar Al-asqalani رحمه الله

Sumber: Fathul Baari Penjelasan Kitab Shahih Bukhari Terbitan: Pustaka Azzam jilid 11

 

Puasa Hari Asyura’

عَنْ سَالِمٍ عَنْ أَبِيهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّي اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ إِنْ شَاءَ صَامَ

2000. Diriwayatkan dari Salim, dari bapaknya RA, dia berkata. “Nabi SAW bersabda, ‘Hari Asyura, jika seseorang mau (ia boleh) berpuasa’.”

عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ أَخْبَرَنِي عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ أَنَّ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّي اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِصِيَامِ يَوْمِ عَاشُورَاءَ فَلَمَّا فُرِضَ رَمَضَانُ كَانَ مَنْ شَاءَ صَامَ وَمَنْ شَاءَ أَفْطَرَ

2001. Dari Az-Zuhri, dia berkata, “Urwah bin Az-Zubair telah mengabarkan kepadaku bahwa Aisyah RA berkata, ‘Rasulullah SAW biasa memerintahkan berpuasa pada hari Asyura’. Ketika diwajibkan puasa Ramadhan, maka barangsiapa yang mau (berpuasa makai ia boleh berpuasa; dan barangsiapa yang mau (tidak berpuasa maka) ia tidak berpuasa’.”

 

عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ تَصُومُهُ قُرَيْشٌ فِي الْجَاهِلِيَّةِ وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّي اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُهُ فَلَمَّا قَدِمَ الْمَدِينَةَ صَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ فَلَمَّا فُرِضَ رَمَضَانُ تَرَكَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَمَنْ شَاءَ صَامَهُ وَمَنْ شَاءَ تَرَكَهُ

2002. Dari Hisyam bin Urwah, dari bapaknya, dari Aisyah RA, dia berkata, “Hari Asyura’ sebagai hari berpuasa kaum Quraisy pada masa jahiliyah, dan Rasulullah SAW berpuasa pada hari itu. Ketika beliau datang ke Madinah, beliau berpuasa pada hari itu dan memerintahkan untuk berpuasa. Ketika diwajibkan (puasa) Ramadhan, maka beliau meninggalkan puasa hari Asyura’. Barangsiapa mau (berpuasa maka) ia boleh berpuasa padanya, dan barangsiapa yang mau (tidak berpuasa maka) ia boleh meninggalkannya.”

عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ حُمَيْدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّهُ سَمِعَ مُعَاوِيَةَ بْنَ أَبِي سُفْيَانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يَوْمَ عَاشُورَاءَ عَامَ حَجَّ عَلَي الْمِنْبَرِ يَقُولُ يَا أَهْلَ الْمَدِينَةِ أَيْنَ عُلَمَاؤُكُمْ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّي اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ هَذَا يَوْمُ عَاشُورَاءَ وَلَمْ يَكْتُبْ اللَّهُ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ وَأَنَا صَائِمٌ فَمَنْ شَاءَ فَلْيَصُمْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيُفْطِرْ

2003. Dari Ibnu Syihab, dari Humaid bin Abdurrahman bahwasanya ia mendengar Muawiyah bin Abi Sufyan RA pada hari Asyura’, pada tahun beliau mengerjakan haji, berada di atas mimbar seraya berkata, “Wahai penduduk Madinah, dimanakah para ulama kalian? Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, ‘Ini adalah hari Asyura’ dan Allah tidak menetapkan atas kalian untuk berpuasa padanya. Sedangkan aku berpuasa. Barangsiapa mau (berpuasa), maka hendaklah ia berpuasa; dan barangsiapa mau (tidak berpuasa), maka hendaklah ia tidak berpuasa’.”

 

عَنْ أَيُّوبَ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّي اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ فَرَأَي الْيَهُودَ تَصُومُ يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَقَالَ مَا هَذَا قَالُوا هَذَا يَوْمٌ صَالِحٌ هَذَا يَوْمٌ نَجَّي اللَّهُ بَنِي إِسْرَائِيلَ مِنْ عَدُوِّهِمْ فَصَامَهُ مُوسَي قَالَ فَأَنَا أَحَقُّ بِمُوسَي مِنْكُمْ فَصَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ

2004. Dari Ayyub dari Abdullah bin Sa’id bin Jubair. dan bapaknya, dari Ibnu Abbas RA, dia berkata, “Nabi SAW datang ke Madinah dan melihat orang-orang Yahudi berpuasa hari Asyura’ maka beliau bertanya, ‘Apakah ini ? Mereka menjawab, ‘Ini adalah hari baik, pada hari ini Allah menyelamatkan bani Isra’il dari musuh-musuh mereka, maka Musa berpuasa pada hari ini’. Beliau bersabda. ‘Aku lebih berhak terhadap Musa daripada kalian’. Maka beliau berpuasa dan memerintahkan agar berpuasa pada hari Asyura’.”

 

عَنْ أَبِي عُمَيْسٍ عَنْ قَيْسِ بْنِ مُسْلِمٍ عَنْ طَارِقِ بْنِ شِهَابٍ عَنْ أَبِي مُوسَي رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ تَعُدُّهُ الْيَهُودُ عِيدًا قَالَ النَّبِيُّ صَلَّي اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَصُومُوهُ أَنْتُمْ

2005. Dari Abu Umais, dari Qais bin Muslim, dari Thariq bin Syihab, dari Abu Musa RA, dia berkata, “Orang-orang Yahudi menganggap hari Asyura’ sebagai hari raya, maka Nabi SAW bersabda, berpuasalah kalian pada hari itu’.”

 

عَنْ ابْنِ عُيَيْنَةَ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي يَزِيدَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: مَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّي اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَحَرَّي صِيَامَ يَوْمٍ فَضَّلَهُ عَلَي غَيْرِهِ إِلَّا هَذَا الْيَوْمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَهَذَا الشَّهْرَ يَعْنِي شَهْرَ رَمَضَانَ

2006. Dari Ibnu Uyainah, dari Ubaidillah bin Abi Yazid, dari Ibnu Abbas RA, dia berkata, “Aku tidak melihat Nabi SAW sengaja memilih berpuasa satu hari yang lebih beliau utamakan daripada hari lainnya kecuali hari ini, yaitu hari Asyura’ “, dan bulan ini, yakni bulan Ramadhan.”

 

عَنْ سَلَمَةَ بْنِ الْأَكْوَعِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: أَمَرَ النَّبِيُّ صَلَّي اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا مِنْ أَسْلَمَ أَنْ أَذِّنْ فِي النَّاسِ أَنَّ مَنْ كَانَ أَكَلَ فَلْيَصُمْ بَقِيَّةَ يَوْمِهِ وَمَنْ لَمْ يَكُنْ أَكَلَ فَلْيَصُمْ فَإِنَّ الْيَوْمَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ

2007. Dari Salamah bin Al Akwa’ RA, dia berkata, “Nabi SAW memerintahkan seorang laki-laki dari Aslam untuk mengumumkan kepada manusia, bahwasanya barangsiapa telah makan, hendaklah ia berpuasa pada sisa harinya; dan barangsiapa yang belum makan, maka hendaklah ia berpuasa. Sesungguhnya hari ini adalah hari Asyura’.”

 

Syarah Hadits

 

(Bab puasa pada hari Asyura’). Maksudnya, apakah hukum berpuasa pada hari Asyura’? Ibnu Duraid mengklaim bahwa Asyura’ adalah nama islami yang tidak dikenal pada masa jahiliyah. Namun, Ibnu Dihyah menolak pernyataan tersebut, yakni bahwasanya Ibnu Al A’rabi meriwayatkan telah mendengar dalam perkataan mereka dengan nama Khabura’ dan berdasarkan perkataan Aisyah bahwa kaum jahiliyah biasa berpuasa pada hari itu. Argumen terakhir ini tidak dapat dijadikan alasan untuk menolak apa yang dikatakan oleh Ibnu Duraid.

Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan waktu hari Asyura’.  Pada umumnya mereka berpendapat bahwa hari Asyura’ adalah hari ke-10 (bulan Muharram). Al Qurthubi berkata, “Asyura’ adalah perubahan dari kata aasyirah (sepuluh), untuk mengagungkan yang mulia. Pada mulanya kata itu merupakan sifat untuk malam ke-10, karena diambil dari kata Al Asyr. Apabila dikatakan ‘hari Asyura’. maka yang dimaksud adalah hari malam ke-10’. Hanya saja setelah di rubah dari kata sifat maka didominasi oleh kata benda (isim) sehingga tidak membutuhkan kata yang disifati, maka dihapuslah kata ‘malam’ sehingga lafazh ini menjadi nama tersendiri untuk hari ke-10.”

Disebutkan oleh Abu Manshur Al Jawaliqi bahwasanya ia belum mendengar perubahan kata dalam bentuk faa’ulaa kecuali aasyuraa’, dharuuraa’, saaruuraa’ dan daaluulaa’, dimana masing-masing berasal dari kata Adh-Dhaar, As-Saar, dan Ad-Daal. Berdasarkan hal ini, maka Asyura’ adalah hari ke-10 bulan Muharram. Demikian menurut Al Khalil dan lainnya.

Az-Zain bin Al Manayyar berkata, “Kebanyakan ulama mengatakan bahwa Asyura’ adalah hari ke-10 Muharram, dan ini merupakan indikasi dari perubahan kata dan penamaan. Namun. sebagian mengatakan hari ke-9. Berdasarkan pendapat ini, maka hari tersebut dinisbatkan kepada malam sebelumnya, sedangkan pendapat yang mengatakan hari ke-10, maka dinisbatkan kepada malam berikutnya. Dikatakan bahwa penamaan hari ke-9 sebagai hari Asyura’ adalah berdasarkan mereka yang memberi minum unta. Salah satu kebiasaan mereka apabila menggembala unta selama 8 hari kemudian mereka menuntunnya ke sumber air pada hari ke-9, maka mereka mengatakan “Kami telah mendatangi tempat air pada hari ke-10 (isyran)”. Imam Muslim meriwayatkan melalui jalur Al Hakam bir Al A raj, (Aku sampai kepada Ibnu Abbas dan dia sedang berbantalkan selendangnya. Aku berkata, “Beritahukm. kepadaku tentang hari Asyura’?” Dia menjawab, “Apabila engkau telah melihat hilal Muharram, maka hitunglah lalu jadilah pada pagi hari kesembilan dalam keadaan berpuasa.” Aku berkata, “Apakah Rasulullah SAW juga berpuasa pada hari itu?” Dia menjawab “Ya”).

Secara lahiriah, riwayat ini menyatakan bahwa hari Asyura adalah hari ke-9. Akan tetapi, Az-Zain bin Al Manayyar berkata, “Perkataan ‘Apabila engkau berada di hari ke-9, maka jadilah pada pagi harinya dalam keadaan berpuasa’ memberi indikasi bahwa yang dimaksud adalah hari ke-10, sebab tidak mungkin seseorang di pagi hari dalam keadaan berpuasa setelah berada di waktu pagi hari ke-9, kecuali niat untuk berpuasa pada malam berikutnya, yaitu malam ke-10.”

Saya (Ibnu Hajar) katakan, kemungkinan ini diperkuat oleh riwayat Imam Muslim melalui jalur lain dari Ibnu Abbas, “Nabi SAW bersabda, لَئِنْ بَقِيْتُ إِلَيْ قَابِلٍ لأَصُوْمَنَّ التَّاسِعَ فَمَانَ قَبْلَ ذَلِكَ (Apabila aku masih hidup tahun depan, niscaya aku akan berpuasa pada hari ke-9. Lalu beliau meninggal sebelum itu)” Secara zhahir Nabi biasa berpuasa pada hari ke-10, lalu beliau berniat puasa pada hari ke-9, tetapi beliau lebih dahulu wafat sebelum sampai waktu tersebut. Kemudian tekad beliau untuk berpuasa pada hari ke-9, kemungkinan maksudnya beliau tidak hanya berpuasa pada hari ke-9 saja, bahkan beliau akan menambahkan hari ke-10; baik untuk sikap hati-hati maupun untuk menyelisihi orang-orang Yahudi dan Nasrani. Alasan terakhir lebih kuat dan hal ini diasumsikan oleh sebagian riwayat Imam Muslim. Dalam riwayat Imam Ahmad melalui jalur lain dari Ibnu Abbas yang dinisbatkan kepada Nabi SAW (marfu’) disebutkan,  صُومُوا يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَخَالِفُوا اليَحُودُ، صُومُوا يَوْمَ  قَبْلَهُ أَو بَعْدَهُ وَهَذَا كَانَ فَيْ آخِرِ الْأَمْرِ  (Berpuasalah kalian pada hari Asyura’ dan selisihilah orang-orang Yahudi, berpuasalah kalian sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya, dan yang demikian itu terjadi pada masa akhir kehidupan beliau).

Nabi SAW suka menyetujui perbuatan Ahli Kitab dalam hal-hal yang tidak diperintahkan, terutama dalam hal-hal yang menyalahi para penyembah berhala (paganisme). Ketika Makkah ditaklukkan dan Islam telah menyebar, maka beliau SAW suka menyelisihi perbuatan Ahli Kitab seperti tercantum dalam kitab Shahih, termasuk hal ini.Pada mulanya Nabi SAW menyetujui mereka seraya bersabda, نَحْنُ أَحَقَّ بِمُوسَ مِنْكُمْ (Kami lebih berhak terhadap Musa daripada kalian). Kemudian beliau ingin menyelisihi mereka, maka beliau memerintahkan untuk menambah sehari sebelumnya atau sesudahnya. Keterangan ini didukung oleh riwayat Imam At-Tirmidzi melalui jalur lain dengan lafazh, أَمَرَ رَسول اللهِ صَلَّي اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِصِيَمِ عَاشُورَاءَ يَومَ الْعَاشِرِ  (Rasulullah SAW memerintahkan kami untuk berpuasa hari Asyura’ yaitu hari ke-10).

Sebagian ulama mengatakan bahwa sabda beliau dalam Kitab Shahih Muslim ‘”Apabila aku masih hidup hingga tahun depan niscaya aku akun berpuasa hari ke-9″ memiliki dua kemungkinan

Pertama, beliau ingin memindahkan puasa hari ke-10 ke hari ke-9.

Kedua, beliau ingin menambahkan hari ke-9 kepada hari ke-10 Ketika beliau wafat sebelum memastikan kemungkinan yang dimaksud, maka sikap lebih berhati-hati adalah berpuasa pada kedai hari itu.

Berdasarkan keterangan di atas, maka puasa Asyura’ mempunyai tiga tingkatan: tingkat terendah adalah berpuasa pada hari ke-10 saja. Tingkat kedua, berpuasa hari ke-9 dan hari ke-10. Tingkatan pertama, berpuasa pada hari ke-9, ke-10 dan ke 11.

Kemudian Imam Bukhari memulai dengan hadits-hadits menunjukkan bahwa puasa Asyura’ itu tidak wajib, kemudian hadits yang memberi motivasi untuk berpuasa pada hari itu.

Hadits pertama, adalah hadits Ibnu Umar yang dinukil jalur Umar Ibnu Muhammad bin Zaid bin Abdullah bin Umar dari paman bapaknya, Salim bin Abdullah bin Umar. dari Riwayat ini telah dinukil pula oleh Imam Muslim melalui jalur Ahmad bin Utsman An-Naufali dari Abu Ashim (guru Imam Bukhari dalam riwayat ini), dimana ditegaskan bahwa masing-masing perawi telah mendengar langsung dari gurunya.

قَالَ النَّبِيُّ صَلَّي اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ إِنْ شَاءَ صَامَ (Nabi SAW bersabda, “Hari Asyura’ jika seseorang mau [ia boleh] berpuasa”). Demikian tercantum pada seluruh naskah Imam Bukhari, yakni disebutkan secara ringkas. Sementara dalam riwayat Ibnu Khuzaimah dalam kitab Shahih-nya dari Abu Musa, dari Abu Ashim dengan lafazh, إِنَّ يَوْمُ عَاشُورَاءَ فَمَنْ شَاءَ فَلْيَصُمْهُ فَمَنْ شَاءَ فَلْيُفْطِرْهُ (Sesungguhnya hari ini adalah hari Asyura’ Barangsiapa mau (berpuasa), hendaklah ia berpuasa; dan barangsiapa mau (tidak berpuasa), maka hendaklah ia tidak berpuasa padanya).

Dalam riwayat Al Ismaili disebutkan, ia berkata,  يَوْمُ عَاشُورَاءَ مَنْ شَاءَ صَامَهُ وَمَنْ شَاءَ أَفْطَرَهُ (Hari Asyura’ barangsiapa ingin (berpuasa)hendaknya ia berpuasa, dan barangsiapa ingin (tidak berpuasa) hendaknya ia tidak berpuasa).

Dalam riwayat Imam Muslim disebutkan, ذُكِرَ عِنْدَ رَسول اللهِ صَلَّي اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ فَقَالَ: كَانَ يَوْمٌ يَصُومُهُ أَهْلُ الجَـاهِلِيَةِ، فَمَنْ شَاءَ صَامَهُ وَمَنْ شَاءَ تُرَكَهُ (Disebutkan di sisi Rasulullah SAW tentang hari Asyura’, maka beliau bersabda, “Ia adalah hari dimana orang-orang jahiliyah berpuasa pada hati itu. Barangsiapa ingin (berpuasa), maka hendaklah ia berpuasa; dan barangsiapa ingin (tidak berpuasa), maka hendaklah ia meninggalkannya).

Pada awal pembahasan tentang puasa melalui jalur Ayyub dari Nafi’ dari Ibnu Umar disebutkan dengan lafazh, صَامَ النَّبِيُّ صَلَّي اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَاشُورَاءَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ فَلَمَّا فُرِضَ رَمَضَانُ تُرَكَهُ (Nabi SAW melakukan puasa Asyura’ dan memerintahkan untuk berpuasa padanya. Ketika Ramadhan difardhukan, maka beliau meninggalkannya). Maka, hadits Salim dipahami dalam konteks keadaan kedua yang disinyalir oleh Nafi’ dalam riwayatnya, lalu kedua riwayat dikompromikan berdasarkan pandangan tersebut.

Hadits  kedua,  adalah  hadits  Aisyah  melalui   dua jalur periwayatan; jalur pertama dari Az-Zuhri, dia berkata bahwa Urwah telah mengabarkan kepadaku. Riwayat ini selaras dengan riwayat
Nafi’ yang telah disebutkan. Jalur kedua dari riwayat Hisyam, dari bapaknya dengan redaksi yang sama seperti itu, dan di dalamnya terdapat tambahan, أَنْ أَهْلَ الْجَاهِلِيَّةِ كَانُوا يَصُومُونَهُ وَأَنَّ النَّبِيُّ صَلَّي اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَصُومُهُ فَيْ الْجَاهِلِيَّةِ (Sesungguhnya orang-orang jahiliyah berpuasapadanya [hari Asyura’]), dan bahwasanya Nabi SAW berpuasa padanya di masa jahiliyah), yakni sebelum beliau SAW hijrah ke Madinah.

Riwayat ini menjelaskan penentuan waktu dikeluarkannya perintah puasa Asyura’, yakni pada masa awal kedatangan beliau di Madinah. Sementara tidak diragukan lagi bahwa awal kedatangan beliau di Madinah adalah pada bulan Rabi’ul Awal. Dengan demikian perintah untuk berpuasa Asyura’ terjadi pada awal tahun ke-2 H. Pada tahun ke-2 H ini ditetapkan pula kewajiban puasa Ramadhan Berdasarkan hal ini, maka perintah puasa Asyura’ hanya dalam satu tahun, kemudian diserahkan kepada orang yang bersangkutan. Kalaupun pendapat yang menyatakan puasa Asyura’ adalah dikatakan benar, maka kewajiban itu telah dihapus oleh hadits-shahih seperti di atas.

Iyadh menukil bahwa sebagian ulama salaf mewajibkan Asyura’. Ibnu Abdil Barr menukil ijma’ ulama yang menyatakan bahwa puasa Asyura’ saat ini tidak wajib, dan para ulama sepakat menyatakan bahwa hukumnya adalah mustahab (disukai). Sementara Ibnu Umar menyatakan makruh bagi orang yang sengaja berpuasa pada hari Asyura’.

Kemungkinan kaum Quraisy yang mengerjakan puasa mereka menerima dari syariat terdahulu. Oleh karena itu, mengagungkannya dengan cara memberi kain penutup Ka’bah hari tersebut, atau dengan cara-cara yang lain. Ikrimah ditanya mengenai hal itu, maka dia menjawab bahwa kaum Queasy melakukan suatu dosa pada masa jahiliyah, dan hal itu menyesakkan dada mereka. Maka, dikatakan kepada mereka, “Hendaklah kalian berpuasa Asyura’ untuk menghapus dosa tersebut”.

Hadits ketiga, adalah hadits Muawiyah melalui jalur Ibnu Syihab dari Humaid bin Abdurrahman bin Auf, darinya (Muawiyah). Demikian diriwayatkan oleh Imam Malik dan diikuti oleh Yunus, Shalih bin Kaisan, Ibnu Uyainah dan selain mereka. Al Auza’i berkata, “Diriwayatkan dari Az-Zuhri, dari Abu Salamah bin Abdurrahman.” Sementara An-Nu’man bin Rasyid berkata, “Diriwayatkan dari Az-Zuhri, dari As-Sa’ib bin Yazid.” Keduanya meriwayatkan dari Muawiyah. Adapun yang akurat adalah riwayat Az-Zuhri dari Humaid bin Abdurrahman. Demikian dikatakan oleh An-Nasa’i dan selainnya. Kemudian tercantum dalam riwayat Imam Muslim dari Yunus, dari Az-Zuhri, “Humaid bin Abdurrahman telah mengabarkan kepadaku bahwasanya ia mendengar Muawiyah”.

عَامَ حَجَّ عَلَي الْمِنْبَرِ يَقُولُ يَا أَهْلَ الْمَدِينَةِ (pada tahun beliau mengerjakan haji, di atas mimbar). Yunus menambahkan, بِالْمَدِينَةِ (Di Madinah). Lalu dia berkata dalam riwayatnya,  فِيْ قَدَّمَةٍ قَدَّمَهَا (Pada saat beliau datang). Seakan-akan dia tinggal di Makkah atau Madinah pada saat mengerjakan haji sampai hari Asyura’. Abu Ja’far Ath-Thabari menyebutkan bahwa haji pertama yang dilakukan oleh Muawiyah sejak menjabat sebagai khalifah adalah pada tahun 44 H. Sedangkan haji terakhir yang dia lakukan adalah pada tahun 57 H. Nampaknya maksud hadits ini adalah haji yang terakhir.

؟أَيْنَ عُلَمَاؤُكُمْ (di manakah para ulama kalian?). Konteks riwayat ini mengindikasikan bahwa Muawiyah melihat bahwa mereka tidak memiliki perhatian serius terhadap puasa Asyura’. Oleh sebab itu, dia mempertanyakan keberadaan para ulama. Ada pula kemungkinan telah sampai kepadanya berita tentang sebagian orang yang berpandangan bahwa hukum puasa Asyura’ adalah wajib atau makruh.

وَلَمْ يَكْتُبْ اللَّهُ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ…ألخ(Allah tidak mewajibkan atas kalian untuk berpuasa padanya… dan seterusnya). Semua kalimat ini merupakan sabda Nabi SAW, sebagaimana dijelaskan oleh An-Nasa’i dalam riwayatnya. Riwayat ini dijadikan dalil bahwa puasa Asyura’ tidak pernah diwajibkan. Akan tetapi, dalam hadits tersebut tidak ada indikasi demikian, karena ada kemungkinan makna kalimat “Allah tidak mewajibkan kalian untuk berpuasa pada hari Asyura’ yakni terus-menerus seperti halnya puasa Ramadhan.

Ringkasnya, riwayat itu bersifat umum lalu dibatasi oleh dalil yang menunjukkan adanya kewajiban sebelumnya, atau yang dimaksud adalah puasa ini tidak masuk dalam cakupan firman Allah. “Telah diwajibkan atas kamu puasa sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu”. Kemudian ditafsirkan bahwa yang dimaksud adalah bulan Ramadhan. Hal ini tidak bertentangan dengan perintah untuk berpuasa pada hari Asyura’, meskipun akhirnya hukum puasa tersebut dihapus (mansukh). Untuk memperkuat pendapat ini. Abu Hurairah tidak menyertai Nabi SAW, kecuali setelah penaklukan kota Makkah. Adapun mereka yang menyaksikan perintah beliau untuk berpuasa, adalah pada tahun pertama di awal tahun ke-2 H.

Dari keseluruhan hadits dapat disimpulkan bahwa puasa Asyura’ adalah wajib karena adanya perintah untuk mengerjakannya, lalu perintah ini dipertegas oleh seruan secara umum, bahkan lebih diperkuat lagi oleh perintah Nabi untuk berpuasa bagi mereka yang terlanjur makan dan didukung oleh perintah beliau kepada para ibu untuk tidak menyusui anak-anak, serta berdasarkan perkataan Ibnu Mas’ud yang tercantum dalam Shahih Muslim, فَلَمَّا فُرِضَ رَمَضَانُ تُرَكَهُ عَاشُورَاءَ (Ketika [puasa] Ramadhan diwajibkan, maka Asyura’ ditinggalkan), padahal telah diketahui bahwa yang ditinggalkan bukanlah anjuran berpuasa pada hari Asyura’, bahkan anjuran ini tetap sebagaimana adanya. Maka, diketahui bahwa yang ditinggalkan adalah kewajibannya. Adapun pendapat sebagian mereka bahwa yang ditinggalkan adalah penekanan atas anjuran tersebut, sedangkan yang tertinggal hanyalah anjuran semata, nampak jelas kelemahannya Bahkan penekanan terhadap anjuran berpuasa pada hari Asyura’ tetap sebagaimana adanya, terutama bahwa puasa ini terus mendapat perhatian serius hingga tahun beliau wafat, dimana beliau bersabda, لَئِنْ عِشْتُ لأَصُوْمَنَّ التَّاسِعَ وَالْعَاشِرِ (Seandainya aku masih hidup, niscaya aku akan berpuasa pada hari kesembilan dan kesepuluh). Demikian pula dengan motivasi beliau untuk mengerjakannya, karena puasa tersebut dapat menghapus dosa selama setahun.

Hadits keempat, adalah hadits Ibnu Abbas tentang sebab puasa Asyura’.

هَذَا يَوْمٌ نَجَّي اللَّهُ بَنِي إِسْرَائِيلَ (Ini dalah hari yang baik, hari ini Allah menyelamatkan bani Israil dari musuh-musuh mereka]). Dalam riwayat Imam Muslim disebutkan, هَذَا يَوْمٌ عَظِيْمٌ أَنْجَيْ اللَّهُ فَيْهِ مُوسَي وَقَومَهُ وَغَرَّقَ فِرْعَوْنَ وَقَومَهُ  (Ini adalah hari yang mulia, pada hari ini Allah menyelamatkan Musa beserta kaumnya dan menenggelamkan Fir ‘aun bersama kaumnya).

فَصَامَهُ مُوسَي (maka Musa berpuasa pada hari itu). Imam Muslim menambahkan dalam riwayatnya,  (Sebagai rasa syukur kepada Allah Ta ‘ala, maka kami berpuasa pada hari itu). Imam Bukhari menyebutkan dalam riwayat Abu Bisyr,  (Kami berpuasa padanya sebagai bentuk pengagungan kepadanya). Imam Ahmad meriwayatkan dari Syabil bin Auf dari Abu
Hurairah dengan tambahan, (ia adalah hari dimana perahu [Nuh] mendarat di atas gunung Judiy, maka Nuh berpuasa pada hari itu sebagai rasa syukur).

Makna lahiriah hadits ini menyebabkan kemusykilan, karena dikatakan bahwa ketika Nabi SAW datang ke Madinah, beliau mendapati orang-orang Yahudi sedang melakukan puasa Asyura’ padahal beliau sampai di Madinah pada bulan Rabi’ul Awal. Masalah ini dijawab bahwa yang dimaksud adalah, pertama kali beliau SAW mengetahui dan menanyakannya pada awal beliau datang ke Madinah, karena sebelum datang beliau tidak mengetahui hal itu.

Kesimpulannya, kalimat tersebut telah diringkas, karena seharusnya kalimat tersebut adalah; Nabi SAW datang ke Madinah lalu datang hari Asyura’, dan beliau mendapati orang-orang Yahudi berpuasa. Ada pula kemungkinan orang-orang Yahudi biasa menghitung hari Asyura’ berdasarkan perjalanan matahari, maka hari Asyura’ dalam perhitungan mereka bertepatan dengan hari kedatangan Nabi SAW di Madinah. Penakwilan (intepretasi) ini mengukuhkan kedudukan kaum muslimin yang lebih berhak terhadap Musa AS, sebab orang-orang Yahudi telah sesat dalam menentukan hari yang dimaksud, dan Allah memberi petunjuk kepada kaum muslimin .Akan tetapi, konteks hadits menolak  penakwilan ini, dan yang menjadi pedoman adalah penakwilan yang pertama. Dalam kitab Al Mu’jam Al Kabir karangan Ath-Thabrani, saya mendapatkan keterangan yang mendukung penakwilan ini. Keterangan yang dimaksud adalah riwayat yang dikutip oleh Zaid bin Tsabit dari jalur Abu Az-Zinad dari bapaknya, dari Kharijah bin Zaid bin Tsabit, dari bapaknya, dia berkata, (Hari Asyura’ bukanlah hari yang dikatakan oleh orang-orang, akan tetapi ia adalah hari dimana Ka’bah diberi kain penutup ia beredar dalam setahun, dan mereka biasa mendatangi seseorang di kalangan Yahudi -yakni untuk menghitung bagi mereka-. Ketika mereka mendatangi Zaid bin Tsabit, mereka pun bertanya kepadanya). Sanad riwayat ini hasan. Syaikh kami —Al Haitami— berkata dalam kitab Zawa’id Al Masanid, “Aku tidak tahu apa makna ini.”

Saya (Ibnu Hajar) telah mendapati pernyataan yang semakna dengannya dalam kitab Al Atsar Al Qadimah karangan Abu Ar-Raihan Al Bairuni, yang secara ringkasnya disebutkan, “Sesungguhnya orang-orang awam di kalangan Yahudi berpedoman pada bintang dalam menentukan puasa dan hari-hari besar mereka; dan tahun menurut mereka berdasarkan perjalanan matahari, bukan perjalanan bulan”.

Aku (Ibnu Hajar) katakan, dari sini mereka membutuhkan orang yang tahu ilmu hisab untuk dijadikan pedoman dalam menentukan waktu-waktu tersebut.

وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ (beliau memerintahkan berpuasa padanya). Dalam riwayat Imam Bukhari pada tafsir surah Yunus melalui jalur Abu Bisyr disebutkan,  فَقَالَ لِأَصْحَابِهِ أَنْتُمْ أَحَقُّ بِمُوسَي مِنْهُمْ فَصُومُوا (Beliau bersabda kepada para sahabatnya, “Kalian lebih berhak terhadap Musa daripada mereka, maka hendaklah kalian berpuasa. “). Akan tetapi, timbul kemusykilan berkenaan dengan sikap Nabi yang merujuk kepada mereka dalam masalah itu. Namun, hal ini dijawab oleh Al Maziri bahwa ada kemungkinan diwahyukan kepadanya akan kebenaran mereka, atau berita mengenai perkara itu telah mencapai derajat mutawatir dalam pandangan beliau SAW. Iyadh menambahkan, ada kemungkinan beliau diberitahu oleh orang-orang Yahudi yang telah masuk Islam, seperti Ibnu Salam. Kemudian dia berkata, “Tidak ada keterangan dalam hadits bahwa beliau baru memulai berpuasa, bahkan dalam hadits Aisyah terdapat pernyataan tegas bahwa beliau melakukan puasa Asyura’ sebelum itu.”

Kesimpulan yang terdapat dalam kisah adalah bahwa beliau SAW tidak menetapkan hukum baru sehubungan dengan perkataan orang-orang Yahudi, bahkan yang ada hanyalah penjelasan tentang sifat situasi serta jawaban terhadap pertanyaan yang ada. Dalam hal ini, tidak ada perbedaan riwayat dari Ibnu Abbas, dan tidak ada pertentangan antara riwayat ini dengan hadits Aisyah أَنْ أَهْلَ الْجَاهِلِيَّةِ كَانُوا يَصُومُونَهُ (Sesungguhnya orang-orang jahiliyah berpuasa pada hari itu), karena tidak mustahil bila kedua kelompok itu sama-sama mengerjakan puasa hari Asyura’ meskipun motifnya berbeda.

Al Qurthubi berkata, “Barangkali orang-orang Quraisy mengerjakan puasa Asyura’ berdasarkan syariat terdahulu, seperti syariat Ibrahim. Sedangkan sikap Rasulullah SAW yang mengerjakan puasa itu kemungkinan sebagai persetujuan atas mereka, seperti dalam masalah haji. Atau Allah mengizinkan Nabi SAW untuk berpuasa, karena puasa adalah perbuatan yang baik. Ketika hijrah, beliau mendapati orang-orang Yahudi berpuasa pada hari itu, maka beliau bertanya kepada mereka lalu turut berpuasa seraya memerintahkan para sahabatnya. Kemungkinan itu dimaksudkan untuk melunakkan hati orang-orang Yahudi, sebagaimana beliau menghadap ke kiblat mereka untuk tujuan yang sama. Tapi ada pula kemungkinan yang lain. Atas dasar apapun, sesungguhnya Nabi SAW mengerjakan puasa Asyura’ bukan untuk mengikuti orang-orang Yahudi, karena beliau telah mengerjakannya sebelum itu pada saat beliau suka mengikuti Ahli Kitab dalam hal-hal yang beliau tidak dilarang mengerjakannya”‘.

Imam Muslim meriwayatkan melalui jalur Ghathafan bin Tharif. “Aku mendengar Ibnu Abbas berkata, (Rasulullah SAW berpuasa pada hari Asyura’ dan memerintahkan untuk berpuasa padanya. Mereka berkata, “Sesungguhnya ia adalah hari yang diagungkan oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani.”).”

Kemudian timbul kemusykilan, dimana alasan melakukan puasa Asyura’ karena selamatnya Musa dan tenggelamnya Fir’aun adalah khusus bagi Musa dan kaum Yahudi. Akan tetapi, kemusykilan ini dijawab bahwa ada kemungkinan Isa juga berpuasa pada hari itu, dan hal ini termasuk hal yang tidak dihapuskan dari syariat Musa, dimana kebanyakan syariatnya telah dihapus oleh syariat Isa berdasarkan firman Allah, وَلِأُحِلَّ لَكُم بَعْضَ الَّذِي حُرِّمَ عَلَيْكُمْ (Untuk menghalalkan bagi kamu sebagian perkara yang telah diharamkan atas kalian [Ali-Imran: 50]) Dikatakan, bahwa kebanyakan hukum-hukum cabang (furu’) dalam syariat Isa diterima oleh orang-orang Nasrani dari kitab Taurat.

Imam Ahmad meriwayatkan keterangan tambahan mengenai penyebab orang-orang Yahudi berpuasa pada hari Asyura’ melalui jalur dari Ibnu Abbas, dimana kesimpulannya adalah bahwa perahu Nuh mendarat di gunung Judiy pada hari Asyura’, maka Nuh dan Musa berpuasa pada hari itu sebagai ungkapan rasa syukur. Seakan-akan disebutkannya Nabi Musa di tempat ini tanpa menyertakan nabi-­nabi yang lain adalah adanya kesamaan beliau dengan Nabi Nuh, yaitu sama-sama diselamatkan dan musuh mereka ditenggelamkan.

Hadits kelima, adalah hadits Abu Musa Al Asy’ari, dia berkata, يَوْمُ عَاشُورَاءَ تَعُدُّهُ الْيَهُودُ عِيدًا قَالَ النَّبِيُّ صَلَّي اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَصُومُوهُ أَنْتُمْ (Hari Asyura’ digolongkan oleh orang-orang Yahudi sebagai hari raya, maka Nabi SAW bersabda, “Berpuasalah kalian pada hari itu.”).

Dalam riwayat Imam Muslim disebutkan, (Hari Asyura biasa diagungkan oleh orang-orang Yahudi, mereka menjadikannya sebagai hari raya). Secara zhahir motifasi untuk berpuasa pada hari itu adalah keinginan menyelisihi perbuatan orang-orang Yahudi, dimana kaum muslimin berpuasa pada hari mereka tidak berpuasa, sebab hari raya bukanlah waktu untuk berpuasa. Sedangkan hadits Ibnu Abbas menunjukkan bahwa motifasi berpuasa pada hari itu adalah menyetujui Ahli Kitab, yaitu bersyukur kepada Allah atas keselamatan Musa. Akan tetapi, pengagungan orang-orang Yahudi terhadap hari itu serta sikap mereka yang menjadikannya sebagai hari raya, tidak berarti mereka tidak berpuasa pada hari itu. Bahkan, mungkin diantara cara mereka untuk memuliakan hari itu adalah dengan berpuasa. Hal ini telah dinyatakan dengan tegas dalam hadits Abu Musa yang diriwayatkan Imam Bukhari dalam pembahasan tentang hijrah dengan lafazh,  (Penduduk Khaibar berpuasa pada hari Asyura’, mereka menjadikannya sebagai hari raya dan mengenakan kaum wanita mereka dengan perhiasan dan pakaian bagus mereka).

Hadits keenam, adalah hadits Ibnu Abbas yang diriwayatkan melalui jalur Ibnu Uyainah dari Ubaidillah bin Abu Yazid, dan Imam Ahmad meriwayatkannya dari Ibnu Uyainah, dia berkata,  عَخْبَرْنِيْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي يَزِيدَ مُنْذُ سَبْعِيْنَ سَنَةً  (Ubaidillah bin Abu Yazid telah mengabarkan kepadaku sejak tujuh puluh tahun).

مَا رَأَيْتُ…إلخ (Aku tidak pernah melihat… dan seterusnya). Hal ini mengindikasikan bahwa puasa Asyura’ merupakan hari paling utama bagi orang yang berpuasa setelah Ramadhan. Akan tetapi Ibnu Abbas mendasari perkataannya itu kepada pengetahuan pribadinya, sehingga tidak dapat dijadikan alasan untuk menolak pendapat yang lain. Sementara Imam Muslim meriwayatkan dari hadits Abu Qatadah  dari Nabi SAW, إِنَّ يَوْمَ عَاشُورَاءَ يُكَفِّرُ سَنَةً، وَأَنْ صِيَمَ عَرَفَةَ يُكَفِّرُ سَنَتَيْنِ (Sesungguhnya puasa Asyura’ menghapus dosa setahun, sedangkan puasa hari Arafah menghapus dosa dua tahun). Secara lahiriah, puasa hari Arafah lebih utama daripada puasa hari Asyura’. Sehubungan dengan hikmah perbedaan ini, dikatakan bahwasanya hari Asyura’ dinisbatkan kepada Musa AS, sedangkan hari Arafah dinisbatkan kepada Nabi Muhammad SAW sehingga lebih utama.

وَهَذَا الشَّهْرَ يَعْنِي شَهْرَ رَمَضَانَ (bulan  ini  maksudnya  bulan Ramadhan). Demikian yang tercantum pada semua riwayat. Begitu pula yang tercantum dalam riwayat Imam Muslim dan selainnya. Seakan-akan Ibnu Umar mencukupkan pada perkataan “bulan ini”. Kalimat ini sebagai isyarat darinya kepada sesuatu yang telah disebutkan, seakan-akan telah disebutkan “Ramadhan” dan “Asyura’” sebelumnya, atau pada suatu kesempatan dia menyebut “Ramadhan” secara transparan, lalu pada kesempatan lain hanya menyebutkan “bulan ini”. Oleh karena itu, perawi yang menukil darinya mengatakan, “Maksudnya bulan Ramadhan”. Atau perawi menyimpulkan bahwa tidak ada puasa yang dikerjakan sebulan penuh selain Ramadhan, berdasarkan keterangan dari Ibnu Abbas bahwasanya dia berkata, “Aku tidak pernah melihat Rasulullah SAW berpuasa sebulan penuh kecuali Ramadhan.” Hanya saja Ibnu Abbas mengumpulkan antara Asyura’ dan Ramadhan -meski salah satunya puasa wajib dan yang lainnya puasa sunah- karena adanya kesamaan dalam mendapatkan pahala, karena makna “sengaja memilih” adalah menyengaja berpuasa untuk mendapatkan pahala serta kecintaan.

Hadits ketujuh, adalah hadits Salamah bin Al Akwa’ tentang perintah puasa Asyura’. Pembahasan mengenai hadits ini telah dijelaskan di sela-sela pembahasan tentang puasa, yaitu pada bab “Apabila Berniat Puasa di Siang Hari”. Hadits ini dijadikan dalil tentang sahnya puasa meskipun tidak disertai niat bagi siapa yang bani mengetahui bahwa puasa tersebut wajib dilakukan pada hari itu, seperti seseorang yang baru mengetahui di siang hari bahwa Ramadhan telah masuk. Sesungguhnya ia dapat melakukan puasa dan dianggap sah. Dalam riwayat Abu Daud dan yang lainnya terdapat perintah untuk mengganti puasa hari itu, meski mereka diperintah untuk menahan diri dari segala hal yang membatalkan puasa.

Tinggalkan komentar