AHLUS SUNNAH SENANTIASA MELAKUKAN TASHFIYAH DAN TARBIYAH SEBAGAI KATA KUNCI BAGI KEMBALINYA KEMULIAAN ISLAM[1]

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

A. Penyebab Terhinanya Kaum Muslimin
Penyebab tetapnya kaum Muslimin pada kondisi mereka yang terpuruk berupa kehinaan dan penindasan kaum kafir terhadap sebagian dunia Islam, penyebabnya bukanlah karena mayoritas ulama Islam tidak memahami fiqhul waqi’ (fiqih realita) atau tidak mengetahui rencana-rencana dan tipu daya orang-orang kafir sebagaimana anggapan sebagian orang.

Adalah sebuah kesalahan yang sangat nyata dan kekeliruan yang amat jelas apabila mencurahkan perhatian secara berlebihan terhadap fiqhul waqi’, hingga menjadikannya sebagai manhaj bagi para da’i dan generasi muda, di mana mereka membina dan terbina di atasnya dengan menganggapnya sebagai ‘jalan keselamatan’?!

Sedangkan suatu hal yang telah menjadi kesepakatan para fuqaha’ dan tidak terdapat perbedaan di antara mereka, bahwa penyebab yang paling mendasar bagi kehinaan kaum Muslimin sehingga terhenti perjalanan mereka (untuk terus maju) adalah:

1. Kejahilan/kebodohan kaum Muslimin terhadap Islam yang diturunkan Allah kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

2. Mayoritas kaum Muslimin yang mengetahui hukum-hukum Islam yang berkaitan dengan berbagai kepentingan mereka, tidak melaksanakannya, mereka cenderung meremehkan, menggampangkan dan menyia-nyiakannya.

B. Jalan untuk Mencapai Kemuliaan Islam
Tashfiyah dan tarbiyah adalah kata kunci bagi kembalinya kemuliaan Islam, dengan cara penerapan ilmu yang bermanfaat dan pengamalannya. Keduanya adalah perkara yang mulia, tidak mungkin kaum Muslimin dapat mencapai kejayaan dan kemuliaan kecuali dengan menerapkan metode ‘tashfiyah’ dan ‘tarbiyah’ yang merupakan kewajiban besar yang amat penting.

Kewajiban yang pertama adalah tashfiyah. Yang dimaksudkan dengan tashfiyah (pemurnian) adalah:

1. Pemurnian ‘aqidah Islam dari suatu yang tidak dikenal dan telah menyusup masuk ke dalamnya, seperti kemusyrikan, pengingkaran terhadap sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala atau penakwilannya, penolakan hadits-hadits shahih yang berkaitan dengan ‘aqidah dan lain sebagainya.

2. Pemurnian ibadah dari berbagai macam bid’ah yang telah mengotori kesucian dan kesempurnaan agama Islam.

3. Pemurnian fiqh Islam dari segala bentuk ijtihad yang keliru dan menyelisihi Al-Qur-an dan As-Sunnah, serta pembebasan akal dari pengaruh-pengaruh taqlid dan kegelapan sikap fanatisme (jumud).

4. Pemurniaan kitab-kitab tafsir Al-Qur-an, fiqh, kitab-kitab yang berhubungan erat dengan raqaa’iq (kelembutan hati) dan kitab-kitab lainnya dari hadits-hadits lemah dan palsu, serta dongeng Israiliyyat dan kemungkaran lainnya.

Dan kewajiban yang kedua adalah tarbiyah, yaitu pem-binaan generasi Muslim di atas Islam yang telah dibersihkan dari hal-hal yang telah disebutkan di atas, dengan sebuah pembinaan secara Islami yang benar sejak usia dini tanpa terpengaruh oleh pendidikan ala barat yang kafir.

Tidak diragukan lagi bahwasanya upaya untuk mewujudkan kedua kewajiban ini, memerlukan dan menuntut kesungguhan yang memadai, saling bahu membahu antara kaum Muslimin seluruhnya dengan penuh keikhlasan, baik secara kolektif mau-pun individual (perseorangan).

Sikap ini sangat diperlukan dari semua komponen masya-rakat yang benar-benar berkepentingan untuk menegakkan sebuah masyarakat yang Islami yang menjadi idaman, di setiap negeri yang telah rapuh pilar-pilarnya, semua pihak bekerja pada bidang dan spesialisasi masing-masing.

Maka, bagi para ulama yang mengetahui hukum-hukum Islam yang benar, harus sungguh-sungguh mencurahkan perhatian mereka, mengajak kaum Muslimin kepada pemahaman Islam yang benar, baik ‘aqidah maupun manhaj, serta memaham-kannya kepada kaum Muslimin. Kemudian ditindaklanjuti dengan pembinaan mereka di atas pemahaman tersebut, seperti yang telah difirmankan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَلَٰكِن كُونُوا رَبَّانِيِّينَ بِمَا كُنتُمْ تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنتُمْ تَدْرُسُونَ

“Akan tetapi (dia berkata): ‘Hendaklah kamu menjadi orang-orang Rabbani, karena kamu selalu mengajarkan al-Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.’” [Ali ‘Imran: 79]

Inilah jalan satu-satunya dalam pemecahan problematika ummat yang dikandung oleh ayat-ayat Al-Qur-an dan hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana firman Allah Subhnahu wa Ta’ala:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن تَنصُرُوا اللَّهَ يَنصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ

“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” [Muhammad: 7]

Merupakan sebuah kesepakatan yang tidak ada perbedaan di antara kaum Muslimin tentang ayat tersebut, bahwa makna firman Allah: “Jika kamu menolong (agama) Allah” adalah: “Jika kamu mengerjakan apa-apa yang diperintahkan-Nya, niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menolong kamu dari musuh-musuhmu.”

Di antara nash-nash yang mendukung makna ini dan sangat sesuai dengan realita saat ini, dimana dalam nash tersebut telah digambarkan ‘jenis penyakit’ dan sekaligus ‘cara terapinya’ secara bersamaan, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِيْنَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيْتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللهُ عَلَيْكُمْ ذُلاًّ لاَ يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوْا إِلَى دِيْنِكُمْ.

“Jika kalian telah berjual beli dengan sistem ‘Bai’ul ‘Iinah’ dan kalian telah memegang ekor-ekor sapi dan ridha dengan pekerjaan bertani serta meninggalkan jihad (di jalan Allah), niscaya Allah akan menjadikan kehinaan menguasai kalian, Dia tidak akan mencabutnya dari kalian, hingga kalian kembali kepada agama kalian.” [2]

Maka, penyakit yang melanda kaum Muslimin bukanlah karena kejahilannya terhadap suatu ilmu tertentu namun harus dikatakan bahwa semua disiplin ilmu yang bermanfaat bagi kaum Muslimin adalah wajib, sesuai dengan porsinya. Akan tetapi kehinaan, dan kerendahan yang dijumpai mereka bukan karena kejahilan mereka tentang apa yang dinamakan fiqhul waqi’, namun penyebabnya adalah sikap mereka yang menggampangkan dan meremehkan pengamalan hukum-hukum agama, baik yang termaktub dalam Al-Qur-an maupun Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Sabda Nabi: “إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالعِيْنَةِ (jika kamu berjual beli dengan sistem bai’ul ‘inah),” [3] adalah sebuah isyarat dari beliau yang menunjukkan salah satu jenis mu’amalah yang bermuatan riba, dan memakai siasat (tipu daya) terhadap syari’at Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Sabda beliau: “وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ (dan kalian telah mengambil (memegang) ekor-ekor sapi),” merupakan isyarat dari beliau yang menunjukkan perhatian yang difokuskan kepada urusan-urusan duniawi, dan kecenderungan kepadanya, serta tidak adanya perhatian terhadap syariat dan hukum-hukumnya. Seperti itu pula yang diisyaratkan oleh sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “ وَرَضِيْتُمْ بِالزَّرْعِ (dan kamu telah ridha dengan pekerjaan bertani).”

Sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ (kamu telah meninggalkan jihad),” sebagai buah dari sikap ingin hidup kekal di dunia ini, sebagai-mana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا مَا لَكُمْ إِذَا قِيلَ لَكُمُ انفِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ اثَّاقَلْتُمْ إِلَى الْأَرْضِ ۚ أَرَضِيتُم بِالْحَيَاةِ الدُّنْيَا مِنَ الْآخِرَةِ ۚ فَمَا مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا فِي الْآخِرَةِ إِلَّا قَلِيلٌ

“Hai orang-orang yang beriman, apakah sebabnya apabila dikatakan kepada kamu: ‘Berangkatlah (untuk berperang) pada jalan Allah,’ kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu. Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? Padahal kenikmatan hidup di dunia (dibandingkan dengan kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit.’” [At-Taubah: 38]

Dan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

سَلَّطَ اللهُ عَلَيْكُمْ ذُلاًّ لاَ يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوْا إِلَى دِيْنِكُمْ.

“Niscaya Allah akan menjadikan kehinaan menguasai kamu, Dia tidak akan mencabutnya dari kalian, hingga kalian kembali kepada agama kalian.”

Mengisyaratkan secara jelas bahwasanya ‘agama’ yang merupakan kewajiban kita untuk kembali kepada-Nya, adalah agama yang disebutkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala pada beberapa ayat yang mulia.

Firman Allah Ta’ala:

إِنَّ الدِّينَ عِندَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ

“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.” [Ali ‘Imran: 19]

Juga firman-Nya:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

“Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” [Al-Maa-idah: 3] [4]

Manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam masalah tashfiyah dan tarbiyah adalah manhaj yang benar. Dalam pelaksanaannya memang membutuhkan waktu yang lama. Maka, hal ini harus dilaksanakan dengan ilmu yang bermanfaat dan amal yang shalih serta dengan penuh kesabaran. Sebab dengan ilmu, amal shalih dan kesabaran, Allah l akan memberikan kemenangan kepada ummat Islam.

[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Po Box 7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan Ketiga 1427H/Juni 2006M]
_______
Footnote
[1]. Pandangan Syaikh al-Imam Muhammad Nashiruddin al-Albani t, seorang Mujaddid (pembaharu), ahli Hadits dan pelopor Sunnah pada abad ini. Beliau wafat pada hari Sabtu, 22 Jumadil Akhir 1420 H (2 Oktober 1999 M), dalam usia 88 tahun, رحمه الله تعالى.
[2]. HR. Abu Dawud (no. 3462), al-Baihaqy (V/316), dari Sahabat Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma. Lihat Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 11).
[3]. Bai’ul ‘Inah (jual beli ‘inah) yaitu menjual suatu barang kepada seseorang dengan cara menghutangkannya untuk jangka waktu tertentu dan barang tersebut diserahkan kepadanya, kemudian si penjual membelinya kembali dari pembeli secara kontan dengan harga yang lebih murah, sebelum menerima pembayaran dari si pembeli tersebut. Lihat ‘Aunul Ma’buud (IX/263, cet. Daarul Fikr), Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah (I/42).
[4]. Disadur dari kitab Su-aal wa Jawaab Haula Fiqhil Waaqi’ lil ‘Allamah al-Imam Muhammad Nashiruddin al-Albani (hal. 48-54), cet. I, Daar al-Jalalain, th. 1412 H,

Tinggalkan komentar