Penulis: Al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc |
---|
Sebelumnya telah dijelaskan bahwa satu-satunya cara yang dibenarkan syariat untuk menentukan awal bulan adalah dengan ru’yah inderawi, yaitu melihat hilal dengan menggunakan mata. Lalu bagaimana dengan adanya perbedaan jarak antara tempat yang satu dengan lainnya, yang berakibat adanya perbedaan tempat dan waktu munculnya hilal? Inilah yang kita kenal dengan ikhtilaf mathali’. Apakah masing-masing daerah berpegang dengan mathla’-nya (waktu munculnya) sendiri ataukah jika terlihat hilal di satu daerah maka semuanya harus mengikuti? Di sini terjadi perbedaan pendapat. Dua pendapat telah disebutkan dalam pertanyaan di atas dan pendapat ketiga bahwa yang wajib mengikuti ru’yah tersebut adalah daerah yang satu mathla’ dengannya. Asy-Syaikh ‘Abdul ’Aziz bin ‘Abdullah bin Baz menjelaskan masalah ini ketika ditanya apakah manusia harus berpuasa jika mathla’-nya berbeda? Dikisahkan ketika seorang Arab Badui melapor kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam bahwa ia menyaksikan hilal, maka Nabi menerimanya padahal ia berasal dari daerah lain dan Nabi juga tidak minta penjelasan apakah mathla’-nya berbeda atau tidak. (Majmu’ Fatawa, 25/103) Hal ini mirip dengan pengamalan ibadah haji jaman dahulu di mana seorang jamaah haji masih terus berpegang dengan berita para jamaah haji yang datang dari luar tentang adanya ru’yah hilal. Juga seandainya kita buat sebuah batas, maka antara seorang yang berada pada akhir batas suatu daerah dengan orang lain yang berada di akhir batas yang lain, keduanya akan memiliki hukum yang berbeda. Yang satu wajib berpuasa dan yang satu lagi tidak. Padahal tidak ada jarak antara keduanya kecuali seukuran anak panah. Dan yang seperti ini bukan termasuk dari agama Islam. (Majmu’ Fatawa, 25/103-105) Karena perbedaan mathla’ diabaikan, maka bila hilal terlihat di suatu daerah berarti daerah-daerah lain wajib mengikuti, jika mereka mendapatkan berita tersebut dari sumber yang bisa dipercaya. Dan mungkin alasan yang paling kuat adalah bahwa hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu datang dalam perkara orang yang berpuasa sesuai dengan ru’yah yang ada di daerahnya, kemudian di tengah-tengah bulan Ramadhan sampai kepada mereka berita bahwa orang-orang di daerah lain telah melihat hilal sehari sebelumnya. Dalam keadaan ini ia terus melakukan puasa bersama orang-orang di negerinya sampai 30 hari atau mereka melihat hilal sendiri. Dengan pemahaman seperti ini maka hilanglah musykilah (problem) dalam hadits itu. Sedangkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang berbunyi: صُوْمُوا لِرُأْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُأْيَتِهِ “Puasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah karena melihatnya.” [Muttafaqun ‘alaihi, lihat takhrijnya dalam Al-Irwa, no. 902-red] Pertukaran informasi tentang hilal ini tentu saja bukan hal yang sulit di jaman kita ini. Hanya saja memang dibutuhkan ‘kepedulian’ dari negara-negara Islam sehingga dapat mempersatukan 1 Syawwal, insya Allah . Bolehkah seseorang atau sekelompok orang menyendiri dari mayoritas masyarakat di negerinya dalam memulai puasa atau mengakhirinya, walaupun berdasarkan ru’yah? Hal yang serupa dinyatakan juga oleh As-Sindi dan Al-Albani sebagaimana akan nampak dalam penjelasan yang akan datang. Jadi ini bukan tugas atau urusan individu atau kelompok tapi ini adalah urusan pemerintah. Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah menyebutkan sebuah hadits dalam Silsilah As-Shahihah (1/440): الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُوْمُوْنَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ وَاْلأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّوْنَ “Puasa adalah hari puasanya kalian, berbuka adalah hari berbukanya kalian dan ‘Iedul Adha adalah hari kalian menyembelih.” (Shahih, HR. At-Tirmidzi dari Abu Hurairah , dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Ash-Shohihah, no. 224) Beliau melanjutkan menerangkan hadits itu, katanya: ”At-Tirmidzi berkata setelah menyebutkan hadits itu: ‘Sebagian ahlul ilmi menafsirkan hadits ini, mengatakan bahwa maknanya adalah berpuasa dan berbuka dilakukan bersama jamaah dan kebanyakan manusia’.” Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan hal yang semakna dengannya dalam kitabnya Tahdzibus Sunan (3/214), katanya: “Dikatakan bahwa di dalam hadits itu ada bantahan atas orang yang mengatakan sesungguhnya orang yang mengetahui terbitnya bulan dengan hisab boleh puasa sendirian di luar mereka yang belum tahu. Dikatakan pula, sesungguhnya satu orang saksi jika melihat hilal dan hakim belum menerima persaksiannya, maka hari tersebut tidak menjadi hari puasa baginya sebagaimana tidak menjadi hari puasa bagi manusia (yang lain).” Abul Hasan As-Sindi mengatakan dalam Hasyiyah (catatan kaki)-nya terhadap Ibnu Majah setelah menyebutkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat At-Tirmidzi: “Nampaknya perkara-perkara ini tidak ada celah bagi individu-individu untuk masuk di dalamnya. Tidak bisa mereka menyendiri dalam masalah tersebut, bahkan perkara itu diserahkan kepada pemerintah dan jama’ah masyarakat. Dan wajib bagi setiap orang untuk mengikuti pemerintah dan jama’ah masyarakat. Atas dasar ini, jika seseorang melihat hilal lalu imam/pemerintah menolak persaksiannya maka mestinya ia tidak menetapkan untuk dirinya sesuatu apapun dari perkara ini dan wajib baginya untuk mengikuti jama’ah masyarakat.” Saya (Al-Albani) katakan: “Makna inilah yang langsung dipahami dalam hadits, dan itu didukung oleh perbuatan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha yang berhujjah dengannya kepada Masruq ketika ia tidak mau puasa Arafah karena khawatir ternyata itu hari nahr (10 Dzulhijjah, yakni hari raya). Maka ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha terangkan bahwa pendapatnya itu tidak bisa dianggap dan wajib baginya mengikuti kebanyakan manusia, lalu ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: النَّحْرُ يَوْمَ يَنْحَرُ النَّاسُ وَالْفِطْرُ يَوْمَ يُفْطِرُ النَّاسُ “Hari nahr adalah ketika orang-orang menyembelih dan ‘Iedul Fithri adalah ketika orang-orang berbuka.” (Al-Mushannaf Abdurrazaq, 4/157) Tidakkah engkau melihat bahwa para shahabat shalat di belakang yang lain padahal di antara mereka ada yang berpendapat bahwa menyentuh wanita, kemaluan, dan keluarnya darah membatalkan wudhu, dan di antara mereka juga ada yang tidak berpendapat demikian. Syaikul Islam Ibnu Tamiyyah rahimahullah ditanya: 1. Dia wajib berpuasa atau berbuka dengan sembunyi-sembunyi, dan ini adalah madzhab Asy-Syafi’i. الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُوْمُوْنَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ وَاْلأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّوْنَ “Puasa kalian adalah pada hari kalian berpuasa, berbukanya kalian adalah ketika kalian berbuka dan hari ‘Iedul Adha kalian adalah tatkala kalian menyembelih.” Riwayat At-Tirmidzi dan beliau katakan hasan gharib, diriwayatkan pula oleh Abu Dawud dan Ibnu Majah, dan ia menyebutkan buka dan ‘Iedul Adha saja. (Hadits ini dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albanidalam Silsilah Ash-Shahihah, no. 224) At-Tirmidzi juga meriwayatkan dari Abu Hurairah rahimahullah bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wasallambersabda: Beliau juga mengatakan, sebagian ahlul ilmi menafsirkan hadits ini dengan perkataan: “Sesungguhnya makna hadits ini adalah berpuasa dan berbuka dilakukan bersama jamaah manusia dan kebanyakan manusia.” Asal permasalahan ini yaitu bahwa Allah k mengaitkan hukum-hukum syar’i dengan nama hilal (bulan sabit) dan syahr (bulan) seperti hukum puasa, berbuka, dan menyembelih. Allah Ta’ala berfirman: يَسْأَلُوْنَكَ عَنِ اْلأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيْتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ “Dan mereka bertanya kepadamu tentang hilal-hilal. Katakanlah itu untuk manusia dan untuk (ibadah) haji.” (Al-Baqarah: 189) Allah Ta’ala terangkan bahwa itu adalah waktu-waktu bagi manusia dan haji. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ. أَيَّامًا مَعْدُوْدَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيْضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِيْنَ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُوْمُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ “Diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa, (yaitu) dalam beberapa hari tertentu. Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (Al-Baqarah: 183-185) Allah Ta’ala wajibkan puasa bulan Ramadhan dan ini disepakati kaum muslimin. Yang diperselisihkan manusia adalah apakah hilal itu sebutan untuk sesuatu yang muncul di langit walaupun manusia tidak mengetahuinya yang dengan itu berarti telah masuk bulan (baru), ataukah hilal itu merupakan sebutan untuk sesuatu yang manusia mengeraskan suara padanya (maksudnya mengumumkannya sehingga diketahui oleh banyak orang), dan makna syahr adalah yang tersohor/ terkenal di antara manusia. Dalam masalah ini ada dua pendapat: Orang yang berpendapat dengan pendapat pertama mengatakan bahwa barangsiapa yang melihat hilal sendirian, berarti dia telah masuk waktu puasa dan bulan Ramadhan telah masuk bagi dirinya. Malam itu termasuk malam Ramadhan walaupun yang lainnya belum mengetahui. Orang yang tidak melihatnya dan kemudian mengetahui bahwa ternyata hilal sudah muncul, berarti ia harus meng-qadha puasa. Begitu pula -menurut qiyas- pada bulan berbuka (Syawwal) dan pada bulan menyembelih (‘Iedul Adha). Namun pada bulan penyembelihan, saya (Ibnu Taimiyah) tidak mengetahui ada yang mengatakan bahwa barangsiapa yang melihat hilal (lebih dahulu) berarti melakukan wuquf sendirian tanpa jamaah haji yang lain, lalu hari setelahnya menyembelih, melempar jumrah ‘aqabah, dan ber-tahallul tanpa jamaah haji yang lain. Atas dasar itu, maka syarat hilal dan syahr adalah terkenalnya di antara manusia dan pengumuman manusia tentangnya. Sehingga walaupun yang melihatnya 10 orang tapi tidak dikenal di antara manusia di daerah itu, karena persaksian mereka ditolak atau karena mereka tidak mempersaksikan, maka hukum mereka seperti hukum seluruh muslimin (yang lain). Sehingga mereka tidak wuquf, tidak menyembelih qurban, dan tidak shalat ‘Ied kecuali bersama muslimin. Demikian juga tidak berpuasa kecuali bersama muslimin, dan ini makna ucapan Nabi Shallallahu alaihi wasallam: صُوْمُكُمْ يَوْمَ تَصُوْمُوْنَ وَفِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ وَأَضْحَاكُمْ يَوْمَ تُضَحُّوْنَ “Puasa kalian adalah pada hari kalian berpuasa, bukanya kalian adalah ketika kalian berbuka dan hari ‘Iedul Adha kalian adalah hari tatkala kalian menyembelih.” فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ “Maka barangsiapa yang menyaksikan bulan hendaknya ia berpuasa padanya.” (Al-Baqarah: 185) Allah Ta’ala hanyalah memerintahkan untuk berpuasa bagi yang menyaksikan bulan (waktu/syahr), dan menyaksikan itu tidak bisa dilakukan kecuali pada bulan yang telah terkenal (sebagaimana keterangan makna syahr yang telah lalu) di antara manusia sehingga bisa tergambarkan bagaimana menyaksikannya atau bagaimana tidak menyaksikannya. Sabda Nabi Shallallahu alaihi wasallam: Yang semacam itu adalah pembicaraan yang ditujukan kepada jamaah manusia. Akan tetapi barangsiapa yang berada pada suatu tempat yang tidak ada orang selain dirinya, jika dia melihat hilal maka hendaknya ia berpuasa, karena di sana tidak ada orang selainnya. Atas dasar ini, seandainya ia tidak berpuasa lalu ia mengetahui dengan jelas bahwa hilal dilihat di tempat lain atau diketahui di pertengahan siang, maka ia tidak wajib meng-qadha-nya. Ini adalah salah satu dari dua riwayat dari Al-Imam Ahmad. (Alasannya) karena awal bulan baru dianggap masuk pada mereka sejak tersebar (bila belum tersebar maka artinya belum masuk -red). Dan saat itu wajib menahan diri (dari segala yang membatalkan puasa) seperti pada kejadian ‘Asyura yang diperintahkan puasa di tengah hari dan tidak diperintah untuk meng-qadha-nya menurut madzhab yang shahih. Dan hadits mengenai qadha dalam hal ini adalah hadits yang lemah. Wallahu a’lam. (Majmu’ Fatawa, 25/114-118) Bagaimana jika penguasa menolak persaksian sekelompok orang dalam melihat hilal tanpa alasan yang syar’i, karena alasan politis atau yang lain. Apakah kita mengikutinya atau mengikuti ru’yah hilal walaupun tidak diakui pemerintah? Beliau menjawab: Ya, mereka berpuasa pada tanggal 9 (yakni hari Arafah) yang nampak dan yang diketahui jamaah manusia walaupun pada hakekatnya tanggal 10 (yakni ‘Iedul Adha) meski seandainya ru’yah itu benar-benar ada. Karena dalam kitab-kitab Sunan dari shahabat Abu Hurairah dari Nabi Shallallahu alaihi wasallam bahwasanya beliau berkata: صُوْمُكُمْ يَوْمَ تَصُوْمُوْنَ وَفِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ وَأَضْحَاكُمْ يَوْمَ تُضَحُّوْنَ “Puasa kalian adalah pada hari kalian berpuasa, bukanya kalian adalah ketika kalian berbuka dan hari ‘Iedul Adha kalian adalah hari tatkala kalian menyembelih.” (Dikeluarkan oleh Abu Dawud, Ibnu Majah dan At-Tirmidzi dan beliau menshahihkannya) Seandainya manusia melakukan wuquf di Arafah pada tanggl 10 karena salah (menentukan waktu) maka wuquf itu cukup (sah), dengan kesepakatan para ulama, dan hari itu dianggap hari Arafah bagi mereka. Bila mereka wuquf pada hari kedelapan karena salah menentukan bulan, maka dalam masalah sahnya wuquf ini ada perbedaan. Yang nampak, wuqufnya juga sah dan ini adalah salah satu dari dua pendapat dalam madzhab Malik dan Ahmad serta yang lainnya. إِنَّمَا عَرَفَةُ الْيَوْمُ الَّذِي يَعْرِفُهُ النَّاسُ “Sesungguhnya hari Arafah adalah hari yang diketahui manusia.” يَسْأَلُوْنَكَ عَنِ اْلأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيْتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ “Mereka bertanya tentang bulan sabit. Katakanlah: “Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji; Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kalian beruntung.” (Al-Baqarah: 189) Hilal adalah sebutan untuk sesuatu yang diumumkan dan dikeraskan suara padanya. Maka jika hilal muncul di langit dan manusia tidak mengetahui atau tidak mengumumkannya maka tidak disebut hilal. Demikian pula sebutan syahr diambil dari kata syuhrah (kemasyhuran). Bila tidak masyhur di antara manusia maka berarti bulan belum masuk. Oleh karena itu Nabi Shallallahu alaihi wasallam bersabda: Yang membuat rancu dalam masalah ini adalah dua perkara: Ada riwayat lain pada madzhab mereka berdua untuk berbuka secara sembunyi-sembunyi seperti yang masyhur dari madzhab Abu Hanifah dan Asy-Syafi’i. Dan hari yang mereka melakukan penyembelihan padanya, dan ini akan jelas dengan masalah yang kedua. (Ini juga pendapat Asy-Syaikh Ibnu Baz t, lihat Fatawa Ramadhan, 1/65 dan Al-Albani dalam Tamamul Minnah, hal. 398) Boleh jadi seseorang akan mengatakan bahwa imam yang menetapkan masalah hilal dengan menyepelekan masalah ini karena dia menolak persaksian orang-orang yang adil, mungkin karena meremehkannya dalam masalah menyelidiki keadilan para saksi, atau ia menolak lantaran ada permusuhan antara dia dan para saksi, atau selainnya dari sebab-sebab yang tidak syar’i, atau karena imam berpijak pada pendapat ahli bintang yang mengaku bahwa dia melihatnya. Yang penting bahwa jika hilal tidak nampak dan tidak terkenal di mana manusia mencari-carinya (maka awal bulan belum tetap) -padahal telah terdapat dalam kitab Ash-Shahih bahwa Nabi Shallallahu alaihi wasallam bersabda dalam masalah para imam: يُصَلُّوْنَ لَكُمْ فَإِنْ أَصَابُوا فَلَكُمْ وَلَهُمْ وَإِنْ أَخْطَأُوا فَلَكُمْ وَعَلَيْهِمْ “Mereka itu shalat untuk kalian, jika mereka benar maka (pahala shalat) itu untuk kalian dan untuk mereka, namun jika mereka salah maka untuk kalian pahalanya dan kesalahannya ditanggung mereka.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ) 1 Ibnul Mundzir menukilkan ijma’ bahwa puasa pada tanggal 30 Sya’ban jika hilal belum dilihat padahal udara cerah tidak wajib dengan kesepakatan (ijma’) umat. Dan telah shahih dari mayoritas para shahabat dan tabi’in membenci puasa di hari itu. Ibnu Hajar mengatakan: demikian beliau (Ibnul Mundzir) memutlakkan dan tidak merinci antara ahli hisab atau yang lainnya, maka barang siapa yang membedakan antara mereka, dia telah dihujat oleh ijma’. (Fathul Bari, 4/123) http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=293 |