Waktu I’tikaaf Dan Syarat-Syarat I’tikaaf

WAKTU I’TIKAAF

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

I’tikaaf yang wajib, dilakukan sesuai dengan apa yang telah dinadzarkan dan diiqrarkan seseorang, maka jika ia bernadzar akan beri’tikaaf satu hari atau lebih, hendaklah ia penuhi seperti yang dinadzarkan itu.

Adapun i’tikaaf yang sunnat, tidaklah terbatas waktunya.

Imam asy-Syafi’i, Imam Abu Hanifah dan kebanyakan ahli fiqh berpendapat bahwa i’tikaaf yang sunnat tidak ada batasnya.

[Lihat Bidayatul Mujtahid I/229.]

Imam Ibnu Hazm rahimahullah berkata, “Boleh seseorang beri’tikaaf siang saja atau malam saja. Ini merupakan pendapat Imam asy-Syafi’i dan Abu Sulaiman”.

[Baca al-Muhalla V/179-180, masalah no. 624.]

SYARAT-SYARAT I’TIKAAF

Syarat-syarat bagi orang yang i’tikaaf ialah:

[a]. Seorang Muslim.
[b]. Mumayyiz.
[c]. Suci dari janabat, suci dari haidh dan suci dari nifas.

Apabila i’tikaaf dilakukan di luar bulan Ramadhan, maka:

[1]. Menurut Ibnul Qayyim: “Puasa sebagai syarat sahnya i’tikaaf dan ini merupakan pendapat jumhur (mayoritas) ulama Salaf”. Dan pendapat ini dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah

[Lihat Zaadul Ma’ad, II/88]

[2]. Menurut Imam asy-Syafi’i dan Ibnu Hazm, bahwa puasa bukan syarat sahnya i’tikaaf. Jika seorang yang beri’tikaaf mau puasa, maka ia puasa. Jika ia tidak mau, tidak apa-apa.

[Baca: Al-Muhalla V/181, masalah no. 625]

[3]. Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Yang afdhal (utama) i’tikaaf dengan berpuasa dan bila ia i’tikaaf dengan tidak berpuasa juga boleh”.

[Lihat al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab VI/484]

Seandainya ada orang sakit i’tikaaf di masjid, maka i’tikaafnya sah.

Imam Ibnul Qayyim dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berpendapat bahwa orang yang i’tikaaf harus berpuasa. Hal ini berdasarkan perkataan ‘Aisyah Radhiyallahu anha:

“Artinya : Barangsiapa yang i’tikaaf hendaklah ia berpuasa”.

[Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq no. 8037.]

Aisyah Radhiyallahu anha juga berkata, “Sunnah bagi orang yang i’tikaaf adalah tidak menjenguk orang sakit, tidak melayat jenazah, tidak bercampur dengan istrinya dan tidak bercumbu rayu, tidak keluar dari masjid kecuali ada sesuatu yang mesti dia keluar, tidak ada i’tikaaf kecuali di masjid jami”.

[HR. Abu Dawud no. 2473 dan al-Baihaqi IV/315-316, lihat Shahih Sunan Abi Dawud VII/235-236 no. 2135]

[Disalin dari buku Itikaaf oleh Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Abdullah, Cetakan Ramadhan 1425H/Oktober 2004M]

Tinggalkan komentar