SIKAP AHLUS SUNNAH TERHADAP AHLUL BID’AH

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

Termasuk prinsip ‘aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah mereka membenci para pengekor hawa nafsu dan ahli bid’ah, yang mengada-adakan sesuatu yang baru dalam agama, tidak simpatik kepada mereka, tidak berteman dengan mereka, tidak sudi mendengarkan ucapan mereka, tidak duduk di dalam majelis mereka, tidak berdiskusi atau tukar pikiran dengan mereka, dan tidak mau dialog dengan mereka.

Ahlus Sunnah menjaga telinga mereka dari ucapan-ucapan bathil ahlul bid’ah yang terkadang terdengar selintas lalu, kemudian membuat was-was dan merusak. Ahlus Sunnah menjelaskan tentang bahaya bid’ah dan hawa nafsu mereka serta memperingatkan ummat agar berhati-hati terhadap mereka, dan agar ummat tidak menimba ilmu dari mereka.[1]

Imam asy-Syathibi (wafat th. 790 H) rahimahullah menjelaskan bahwa dosa ahli bid’ah itu tidaklah satu tingkat, namun tingkatannya berbeda-beda. Perbedaan itu datang melalui sisi yang berbeda-beda pula, sebagaimana berikut:

1. Dari sisi keberadaan pelaku bid’ah itu sendiri, apakah ia sekedar bertaqlid atau seorang yang berijtihad.
2. Dari sisi terjadinya kebid’ahan itu pada hal-hal yang penting, misalnya jiwa, kehormatan, akal, harta dan sejenisnya.
3. Dari sisi apakah pelakunya itu melakukan bid’ah tersebut secara terang-terangan, atau dengan sembunyi-sembunyi.
4. Dari sisi keberadaan pelaku bid’ah itu mendakwahkan bid’ahnya atau tidak.
5. Dari sisi keberadaan pelakunya menyerang Ahlus Sunnah atau tidak.
6. Dari sisi keberadaan bid’ah yang dilakukannya itu haqiqiyyah atau idhafiyyah.
7. Ditinjau dari sisi keberadaan bid’ah itu jelas ataukah masih tersamar.
8. Dari sisi apakah bid’ah itu menyebabkan kekufuran atau tidak.
9. Dari sisi apakah si pelaku terus-menerus melakukan bid’ah tersebut atau tidak.

Imam asy-Syathibi rahimahullah menjelaskan bahwa perbedaan tingkat dalam dosa tersebut adalah dilihat dari tingkat kebid’ahan itu sendiri [2]. Beliau rahimahullah juga menjelaskan bahwa di antara tingkat bid’ah itu ada yang haram dan ada yang makruh. Sementara sifat sebagai kesesatan tetap melekat pada setiap bid’ah, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ.

“Setiap bid’ah adalah sesat.” [3]

Tidak diragukan lagi bahwa dosa-dosa perbuatan bid’ah itu terbagi-bagi sesuai dengan tingkatan-tingkatan bid’ah tersebut menjadi tiga bagian:

Pertama, yang menyebabkan kekufuran yang nyata. [4]
Kedua, berstatus sebagai salah satu dosa besar. [5]
Ketiga, berstatus sebagai salah satu dosa kecil. [6]

Bid’ah yang menjadi dosa kecil memiliki beberapa syarat:
1. Pelaku tidak melakukan bid’ah secara terus-menerus. Karena dengan melakukannya secara terus menerus, maka dosa bid’ah itu berubah menjadi dosa besar.
2. Pelaku tidak mendakwahkan bid’ahnya. Dakwah itu memperbesar dosa bid’ahnya karena semakin banyak orang yang mengamalkannya akibat mengikuti apa yang didakwahkannya tersebut.
3. Pelaku tidak melakukan bid’ah tersebut di tengah orang banyak, juga tidak di tempat-tempat di mana biasa dilakukan ibadah Sunnah.
4. Tidak menganggap kecil dan tidak meremehkan bid’ah ter-sebut. Karena yang demikian berarti menganggap remeh dosa bid’ah tersebut. Sementara meremehkan dosa lebih besar dosanya dari dosa itu sendiri. [7]

Sifat sebagai kesesatan tetap melekat pada ketiga bentuk bid’ah tersebut. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menetapkan bahwa setiap bid’ah adalah sesat. Sehingga hal tersebut mencakup bid’ah yang menyebabkan kekufuran atau yang menyebabkan kefasikan, baik besar maupun kecil. [8]

Ahlus Sunnah tidak memutlakkan satu (jenis) hukuman kepada ahli bid’ah, namun hukumannya bagi seorang pelaku bid’ah yang satu dengan yang lain berbeda sesuai dengan tingkat kebid’ahannya. Antara orang yang bodoh dan orang yang menta’wil tentang perbuatan bid’ahnya berbeda hukumannya dengan orang ‘alim yang menyeru kepada perbuatan bid’ahnya dan yang mengikuti hawa nafsu. Oleh karena itu, sikap Ahlus Sunnah membedakan cara bermu’amalah antara orang yang menyembunyikan kebid’ahannya dengan orang yang terang-terangan berbuat bid’ah. Begitu juga bermu’amalah antara orang yang mengajak kepada perbuatan bid’ah dengan orang yang tidak mengajak kepada perbuatan bid’ah.[9]

Orang yang mengajak kepada perbuatan bid’ah secara terang-terangan harus diingkari perbuatan bid’ahnya, dibenci, dihajr [10] (diisolasi) dan ummat diperingatkan dari bahayanya, serta ulil amri harus mengambil tindakan untuk menghukum orang tersebut agar ia jera dan bertaubat kepada Allah Azza wa Jalla. Sebab bahaya bid’ah itu merusak hati, akal, agama, harta, dan kehormatan. Ahli bid’ah, mereka semuanya sudah keluar dari jalan yang lurus yang telah ditempuh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabat Radhiyallahu anhum. Ada di antara mereka yang keluar dari Islam, ada pula yang hampir keluar dari Islam yang pada akhirnya menghalalkan darah kaum Muslimin.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang kaum Khawarij:

…يَقْتُلُوْنَ أَهْلَ اْلإِسْلاَمِ وَيَدَعُوْنَ أَهْلَ اْلأَوْثَانِ…

“Mereka (Khawarij) membunuh orang Islam dan membiar-kan penyembah berhala…” [11]

Bisa jadi kaum penyembah berhala selamat dari mereka, sedangkan orang yang beriman belum tentu selamat dari mereka. Sebagaimana bid’ahnya kaum Khawarij yang menghalalkan ke-hormatan dan darah kaum Muslimin, sebagaimana juga apa yang telah dilakukan oleh Syi’ah dan firqah-firqah sesat yang lainnya.

Bukti pengingkaran dan hajr Salafush Shalih terhadap ahli bid’ah adalah sebagaimana tindakan Khalifah ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu ketika menghukum Shabigh bin ‘Asal [12]. Begitu juga apa yang telah dikatakan oleh Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma kepada orang yang mengingkari Qadar: “Apabila engkau bertemu dengan mereka, beritahukanlah kepada mereka bahwa Ibnu ‘Umar berlepas diri dari mereka dan mereka pun harus berlepas diri dari Ibnu ‘Umar.” [13] Begitu juga tindakan para ulama Ahlus Sunnah terhadap tokoh Jahmiyyah, yaitu Jahm bin Shafwan, ia dibunuh karena ia mengingkari Asma’ dan Sifat Allah, menyatakan Al-Qur-an adalah makhluk, Surga dan Neraka tidak kekal, dan lainnya. [14]

A. Ciri-Ciri Ahli Bid’ah
Ciri-ciri yang dimiliki ahli bid’ah itu sangat jelas dan terang serta mudah diketahui. Allah menyebutkan yang demikian dalam Al-Qur-an, Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menyebutkannya dalam beberapa hadits, Salafush Shalih menyebutkan juga tentang ciri-ciri mereka dan begitu pula para ulama yang mengikuti jejak Salafush Shalih, mereka mengingatkan ummat dari ahli bid’ah dan menjelaskan ciri-ciri mereka, agar ummat dapat berhati-hati dan tidak mengikuti jalan-jalan mereka.

Di antara ciri-ciri ahli bid’ah adalah:
1. Mereka jahil (bodoh) tentang tujuan syari’at.
2. Berfirqah-firqah (bergolong-golongan) dan memisahkan diri dari jama’ah kaum Muslimin.
3. Selalu berdebat dan bertengkar tentang masalah yang telah jelas namun mereka tidak memiliki ilmu tentangnya.
4. Selalu mengikuti hawa nafsu.
5. Mendahulukan akal atas wahyu.
6. Bodoh terhadap Sunnah-Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
7. Selalu mencari-cari ayat-ayat yang mutasyabihat.
8. Menentang (menolak) Sunnah dengan Al-Qur-an.
9. Berlebih-lebihan dalam mengagungkan seseorang.
10. Berlebih-lebihan dalam melakukan ibadah.
11. Menyerupai orang-orang kafir.
12. Memberikan laqab-laqab (gelar-gelar) yang jelek kepada Ahlus Sunnah dan mencela ulama Ahlus Sunnah.
13. Mereka sangat benci kepada Ahlus Sunnah.
14. Mereka memusuhi ulama ahli hadits dan melecehkannya.
15. Mereka mengkafirkan orang-orang yang tidak sependapat dengan mereka tanpa dalil.
16. Mereka selalu meminta pertolongan dan bantuan kepada penguasa untuk mencelakakan Ahlus Sunnah.[15]

[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Po Box 7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan Ketiga 1427H/Juni 2006M]
_______
Footnote
[1]. ‘Aqiidatus Salaf Ash-haabil Hadiits (hal. 114-115 no. 161). Lihat juga Hajrul Mub-tadi’ oleh Syaikh Bakr Abu Zaid, Mauqif Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah min Ahlil Ahwaa’ wal Bida’ oleh Dr. Ibrahim bin Amir ar-Ruhaily, dan Ijmaa’ul Ulamaa’ ‘alal Hajr wat Tahdziir min Ahlil Ahwaa’ oleh Khalid bin Dhahawi azh-Zhufairi.
[2]. Lihat al-I’tisham (I/216-224, II/515-559) tahqiq Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali.
[3]. Ibid, (II/530).
[4]. Ibid, (II/516).
[5]. Ibid, (II/517, II/543-544).
[6]. Ibid, (II/517, II/539, 543-550).
[7]. Lihat syarat ini beserta syarahnya dalam al-I’tishaam (II/551-559).
[8]. Ibid, (II/516).
[9]. Lihat al-Wajiiz fii ‘Aqiidatis Salafish Shaalih (hal. 184).
[10].Maksud hajr adalah memutuskan hubungan dengan seseorang (tidak diajak bicara, tidak diberi salam, tidak ada komunikasi dengannya). Menurut hukum syar’i hajr dibagi menjadi dua, yaitu hajr mamnu’ (hajr yang dilarang) dan hajr masyru’ (hajr yang disyari’atkan). Hajr mamnu’ contohnya yaitu menghajr saudaranya sesama Muslim lebih dari 3 hari karena masalah pribadi. Hal ini di-bolehkan menurut keperluan dan dibatasi selama 3 hari (HR. Malik dalam al-Muwaththa’ II/692 no. 13, al-Bukhari no. 6077, Muslim no. 2560 dan lainnya). Sedangkan hajr masyru’ (hajr yang disyari’atkan) adalah hajr yang dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kekuasaan baik secara maknawi maupun materi, tidak dibatasi dengan tiga hari yang tujuannya untuk memberikan pelajaran dan peringatan agar pelakunya segera bertaubat kepada Allah dan kembali ke jalan yang benar. Hajr ini dilakukan kepada orang-orang yang melakukan kesyirikan, kemaksiyatan, kemunkaran, kefasikan dan kebid’ahan. Seperti hajr yang dilaku-kan oleh Nabi j sebagai seorang suami kepada isteri-isterinya selama 40 hari, Ibnu ‘Umar kepada anaknya, Nabi j menghajr tiga Sahabatnya yang tidak ikut dalam perang Tabuk, mereka adalah Ka’ab bin Malik, Murarah bin ar-Rabi’ dan Hilal bin Umaiyah al-Waqifi selama 50 hari. (Diringkas dari al-Hajr fil Kitaab was Sunnah oleh Syaikh Masyhur Hasan Salman, cet. I/Daar Ibnul Qayyim, th. 1419 H).
[11]. HR. Al-Bukhari (no. 3344), Muslim (no. 1064) dan Abu Dawud (no. 4764), dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu.
[12]. Shabigh bin ‘Asal al-Hanzhali adalah seseorang yang pernah bertanya kepada Khalifah ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu tentang arti “adz-Dzaariyaat”, maka beliau Radhiyallahu anhu menjawab: “Yang dimaksud adalah angin, kalau aku tidak mendengar dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka aku tidak akan mengatakan demikian.” Kemudian Shabigh bertanya lagi: “Apa maksud al-Haamilaat?” Beliau Radhiyallahu anhu menjawab: “Yang dimaksud adalah awan.” Setelah itu ia masih bertanya tentang beberapa pertanyaan yang kemudian dijawab oleh Khalifah ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu, lalu beliau Radhiyallahu anhu menyuruh orang untuk memukul Shabigh dengan seratus cambukan dan setelah sembuh dari sakitnya dicambuk lagi seratus kali. Akhirnya Khalifah ‘Umar menyuruh Abu Musa al-Asy’ari untuk melarang Shabigh bin ‘Asal berkumpul bersama orang banyak. (Al-Ibaanah Ibnu Baththah no. 329-330, ‘Aqiidatus Salaf Ash-haabil Hadiits no. 83-85, Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah oleh al-Lalika-i no. 1136-1140)
[13]. HR. Muslim (no. 8), Abu Dawud (no. 4695), at-Tirmidzi (no. 2610), as-Sunnah oleh ‘Abdullah bin Imam Ahmad (II/413 no. 901), dan al-Lalika-i dalam Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (no. 1038).
[14]. Lihat Maqaalaat Islaamiyyiin (I/338), Lisaanul Miizaan (II/142), Jahm bin Shaf-wan dibunuh oleh Salim bin Ahwaz al-Mazini di akhir masa pemerintahan Bani Umayyah.
[15]. Lihat Syarhus Sunnah lil Imaam al-Barbahari, ‘Aqiidatus Salaf Ash-haabil Hadiits dan al-Wajiiz fii ‘Aqiidatis Salafish Shaalih Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (hal. 184-185).

Tinggalkan komentar