TANDA-TANDA KECIL KIAMAT : MUNCULNYA BERBAGAI MACAM FITNAH ( MUNCULNYA FITNAH DARI ARAH TIMUR, B. TERBUNUHANYA ‘UTSMAN BIN AFFAN RADHIYALLAHU ANHU, C. PERANG JAMAL, D. PERANG SHIFFIN, E. MUNCULNYA KAUM KHAWARIJ, F. PERANG AL-HURRAH, G. FITNAH PERKATAAN BAHWA AL-QUR’AN ADALAH MAKHLUK, H. MENGIKUT PRILAKU UMAT-UMAT TERDAHULU,

TANDA-TANDA KECIL KIAMAT

Oleh
Dr. Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil

6. MUNCULNYA BERBAGAI MACAM FITNAH
(اَلْفِتَنُ) adalah bentuk jamak dari kata (فِتْنَةٌ), maknanya adalah cobaan dan ujian. Kemudian banyak digunakan untuk makna ujian yang dibenci, lalu dimutlakkan untuk segala hal yang dibenci atau berakhir dengannya seperti dosa, kekufuran, pembunuhan, pembakaran, dan yang lainnya dari segala hal yang dibenci.[1]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan bahwa di antara tanda-tanda hari Kiamat adalah munculnya fitnah besar yang bercampur di dalamnya kebenaran dan kebathilan. Iman menjadi goyah, sehingga seseorang beriman pada pagi hari dan menjadi kafir pada sore hari, beriman pada sore hari dan menjadi kafir pada pagi hari. Setiap kali fitnah itu muncul, maka seorang mukmin berkata, “Inilah yang menghancurkanku,” kemudian terbuka dan muncul (fitnah) yang lainnya, lalu dia berkata, “Inilah, inilah.” Senantiasa fitnah-fitnah itu datang menimpa manusia sampai terjadinya hari Kiamat.

Dijelaskan dalam hadits Abu Musa al-Asy’ari Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ، يُصْبِحُ الرَّجُلُ فِيهَا مُؤْمِنًا وَيُمْسِي كَافِرًا وَيُمْسِـي مُؤْمِنًا وَيُصْبِحُ كَافِرًا، اَلْقَاعِدُ فِيهَا خَيْرٌ مِنَ الْقَائِمِ وَالْقَائِِمُ خَيْـرٌ مِنَ الْمَاشِي، وَالْمَاشِي فِيهَا خَيْرٌ مِنَ السَّاعِي، فَكَسِّرُوا قِسِيَّكُمْ وَقَطِّعُوا أَوْتَارَكُمْ وَاضْرِبُوا بِسُيُوفِكُمُ الْحِجَارَةَ، فَإِنْ دُخِلَ عَلَى أَحَدِكُمْ فَلْيَكُنْ كَخَيْرِ ابْنَيْ آدَمَ.

‘Sesungguhnya menjelang datangnya hari Kiamat akan muncul banyak fitnah besar bagaikan malam yang gelap gulita, pada pagi hari seseorang dalam keadaan beriman, dan menjadi kafir di sore hari, di sore hari seseorang dalam keadaan beriman, dan menjadi kafir pada pagi hari. Orang yang duduk saat itu lebih baik daripada orang yang berdiri, orang yang berdiri saat itu lebih baik daripada orang yang berjalan dan orang yang berjalan saat itu lebih baik daripada orang yang berlari. Maka patahkanlah busur-busur kalian, putuskanlah tali-tali busur kalian dan pukulkanlah pedang-pedang kalian ke batu. Jika salah seorang dari kalian dimasukinya (fitnah), maka jadilah seperti salah seorang anak Adam yang paling baik (Habil).’” [HR. Imam Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan al-Hakim dalam al-Mustadrak][2]

Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

بَادِرُوا بِاْلأَعْمَالِ فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ، يُصْبِحُ الرَّجُلُ مُؤْمِنًا وَيُمْسِي كَافِرًا، أَوْ يُمْسِي مُؤْمِنًا وَيُصْبِحُ كَافِرًا يَبِيعُ دِينَهُ بِعَرَضٍ مِنَ الدُّنْيَا.

“Bersegeralah kalian melakukan amal shalih (sebelum datangnya) fitnah-fitnah bagaikan malam yang gelap gulita, seseorang dalam keadaan beriman di pagi hari dan menjadi kafir di sore hari, atau di sore hari dalam keadaan beriman, dan menjadi kafir pada pagi hari, dia menjual agamanya dengan kesenangan dunia.” [3]

Diriwayatkan dari Ummu Salamah Radhiyallahu anhuma, isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata:

اسْتَيْقَظَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةً فَزِعًا، يَقُوْلُ: سُبْحَانَ اللهِ! مَاذَا أُنْزِلَ مِنَ الْخَزَائِنِ؟ وَمَـاذَا أُنْزِلَ مِنَ الْفِتَنِ؟ مَنْ يُوقِظُ صَوَاحِبَ الْحُجُرَاتِ -يُرِيدُ بِهِ أَزْوَاجَهُ- لِكَيْ يُصَلِّينَ؟ رُبَّ كَاسِيَةٍ فِـي الدُّنْيَـا عَارِيَةٍ فِي اْلآخِرَةِ.

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terbangun pada suatu malam yang menakutkan, lalu beliau berkata, ‘Subhaanallaah, harta simpanan apakah yang telah diturunkan? Fitnah apakah yang telah diturunkan? Siapakah yang membangunkan pemilik kamar-kamar -yang beliau maksud adalah isteri-isterinya- sehingga mereka melakukan shalat? Banyak sekali wanita yang berpakaian di dunia, di akhirat kelak dia telanjang.’”[4] [HR. Al-Bukhari][5]

Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash Radhiyallahu anhuma, ia berkata:

نَادَى مُنَـادِي رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اَلصَّلاَةَ جَامِعَةً. فَاجْتَمَعْنَا إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَقَالَ: إِنَّهُ لَمْ يَكُنْ نَبِيٌّ قَبْلِي إِلاَّ كَانَ حَقًّا عَلَيْهِ أَنْ يَدُلَّ أُمَّتَهُ عَلَـى خَيْرِ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ، وَيُنْذِرَهُمْ شَرَّ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ، وَإِنَّ أُمَّتَكُمْ هَذِهِ جُعِلَ عَافِيَتُهَا فِي أَوَّلِهَا، وَسَيُصِيْبُ آخِرَهَا بَلاَءٌ وَأُمُورٌ تُنْكِرُونَهَا، وَتَجِيءُ فِتْنَةٌ، فَيُرَقِّقُ بَعْضُهَا بَعْضًا، وَتَجِيءُ الْفِتْنَةُ فَيَقُولُ الْمُؤْمِنُ: هَذِهِ، هَذِهِ… فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُزَحْزَحَ عَنِ النَّارِ وَيُدْخَلَ الْجَنَّةَ فَلْتَأْتِهِ مَنِيَّتُهُ وَهُوَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ.

“Seorang penyeru Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berseru, ‘Shalat berjama’ah!’ Lalu kami berkumpul bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian beliau berkata, ‘Sesungguhnya tidak ada seorang Nabi pun sebelumku melainkan wajib baginya untuk menunjuki umatnya kepada kebaikan yang ia ketahui, dan memberikan peringatan kepada mereka dari kejelekan yang ia ketahui, dan sesungguhnya umat kalian ini, dijadikan keselamatannya di awalnya, dan (orang) yang ada di akhirnya akan tertimpa musibah juga berbagai perkara yang kalian ingkari, dan datanglah fitnah, sebagiannya menjadi lebih ringan (karena besarnya fitnah yang setelahnya,-penj.), dan datanglah fitnah, lalu seorang mukmin berkata, ‘Ini, ini…’ maka barangsiapa ingin diselamatkan dari Neraka dan dimasukkan ke dalam Surga, maka hendaklah kematian mendatanginya dalam keadaan dia beriman kepada Allah dan hari Akhir.’” [HR. Muslim][6]

Dan hadits-hadits tentang fitnah banyak sekali. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan peringatan kepada umatnya dari berbagai fitnah, memerintahkan mereka untuk berlindung darinya. Beliau mengabarkan bahwa akhir dari umat ini akan ditimpa musibah juga fitnah yang sangat besar, tidak ada yang bisa melindungi darinya kecuali keimanan kepada Allah dan hari Akhir, tetap bersama jama’ah kaum muslimin, mereka adalah Ahlus Sunnah -walaupun mereka hanya sedikit-, menjauhkan diri dari berbagai fitnah, dan memohon perlindungan darinya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

تَعَوَّذُوا بِاللهِ مِنَ الْفِتَنِ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ.

“Mohonlah perlindungan kepada Allah dari segala fitnah, yang nampak darinya dan yang tersembunyi.”

Diriwayatkan oleh Muslim [7] dari Zaid bin Tsabit Radhiyallahu anhu.

[Disalin dari kitab Asyraathus Saa’ah, Penulis Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil, Daar Ibnil Jauzi, Cetakan Kelima 1415H-1995M, Edisi Indonesia Hari Kiamat Sudah Dekat, Penerjemah Beni Sarbeni, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
_______
Footnote
[1]. Lihat Lisaanul ‘Arab (XIII/317-321), an-Nihaayah (III/410-411), dan Fat-hul Baari (XIII/3).
[2]. Musnad Imam Ahmad (IV/408 -dengan catatan pinggir Muntakhab Kanzul ‘Ummal), Sunan Abi Dawud (XI/337, ‘Aunul Ma’buud), Sunan Ibni Majah (II/1310), dan Mustadrak al-Hakim (IV/440), beliau berkata, “Ini adalah hadits yang isnadnya shahih, akan tetapi keduanya (al-Bukhari dan Muslim) tidak meriwayatkannya.” Dan adz-Dzahabi tidak mengomentarinya.
[3]. Shahiih Muslim, kitab al-Aimaan, bab al-Hatstsu ‘alal Mubaadarah bil A’maal Qabla Tazhaahuril Fitan (II/133, Syarah an-Nawawi).
[4]. Sebuah isyarat bagi isteri-isteri beliau agar banyak melakukan ibadah, serta tidak malas dengan anggapan mereka isteri beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.-ed. (Fat-hul Baari, syarah hadits no. 112).
[5]. Shahiih al-Bukhari, kitab al-Fitan, bab Laa Ya-ti Zamaanun illalladzi Ba’dahu Syarrun minhu (XIII/ 20, Syarh an-Nawawi).
[6]. Shahiih Muslim, kitab al-Imaarah, bab Wujuubul Wafaa’ bi Bai’atil Khaliifatil Awwal fal Awwal (XII/232-233, Syarh an-Nawawi).
[7]. Shahiih Muslim, kitab al-Jannah wa Shifatu Na’iimihaa wa Ahluhaa, bab ‘Ardu Maq’adil Mayyit ‘alaih wa Itsbaatu ‘Adzaabil Qabri wat Ta’awwudz minhu (XVII/203, Syarh an-Nawawi).

A. MUNCULNYA FITNAH DARI ARAH TIMUR
Sebagian besar fitnah yang menimpa kaum muslimin muncul dari arah timur, dari arah keluarnya tanduk syaitan. Hal ini sesuai dengan yang diberitakan oleh Nabi pembawa rahmat Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dijelaskan dalam hadits Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, bahwasanya ia mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, sedangkan beliau menghadap ke arah timur:

أَلاَ إِنَّ الْفِتْنَةَ هَا هُنَـا، أَلاَ إِنَّ الْفِتْنَةَ هَا هُنَـا، مِنْ حَيْثُ يَطْلُعُ قَرْنُ الشَّيْطَانِ.

“Ketahuilah sesungguhnya fitnah itu dari sana, ketahuilah sesungguhnya fitnah itu dari sana, dari arah munculnya tanduk syaitan [1] (dari arah timur-ed.).” [HR. Al-Bukhari dan Muslim][2]

Dalam riwayat Muslim, bahwasanya beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

رَأْسُ الْكُفْرِ مِنْ هَاهُنَا مِنْ حَيْثُ يَطْلُعُ قَرْنُ الشَّيْطَانِ؛ يَعْنِي الْمَشْرِقُ.

“Pangkal kekufuran dari sana, dari arah keluarnya tanduk syaitan,” yakni dari arah timur.[3]

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, beliau berkata:

دَعَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اللّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فيِ صَاعِنَا وَمُدِّنَا، وَبَارِكْ لَنَا فِي شَامِنَا وَيَمَنِنَا. فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْقَوْمِ: يَا نَبِيَّ اللهِ؟ وَفِيْ عِرَاقِنَا. قَالَ: إِنَّ بِهَا قَرْنُ الشَّيْطَانِ، وَتَهِيْجُ الْفِتَنُ، وَإِنَّ الْجَفَاءَ بِالْمَشْرِقِ.

“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdo’a, ‘Ya Allah, limpahkanlah keberkahan bagi kami di dalam sha dan mudd kami, dan berilah keberkahan kepada kami pada negeri Syam dan negeri Yaman kami,’ lalu seorang laki-laki dari kaum berkata, ‘Wahai Nabiyullah? Dan pada Irak kami.’ Beliau bersabda, ‘Sesungguhnya di sana ada tanduk syaitan, fitnah berkecamuk di sana, dan sesungguhnya kekerasan hati terdapat di timur.’” [4]

Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Fitnah yang pertama kali muncul sumbernya dari arah timur. Fitnah itu sebagai sebab terjadinya perpecahan di antara kaum muslimin, dan itulah di antara hal yang menyenangkan syaitan dan menjadikannya bergembira, demikian pula bid’ah-bid’ah timbul dari arah itu.” [5]

Dari Iraklah munculnya kelompok Khawarij, Syi’ah, Rafidhah, Bathiniyyah, Qadariyyah, Jahmiyyah, dan Mu’tazilah. Demikian pula kebanyakan ajaran-ajaran kufur berkembang dari timur; dari arah Persia, yaitu Majusi (penyembah api) seperti Zurdusytiyyah [6], Manawiyyah [7], Mazdakiyyah [8] , Hindu [9], Budha [10] dan yang baru-baru ini muncul adalah Qadiyaniyyah [11] dan Bahaiyyah [12]… juga madzhab-madzhab lain yang menghancurkan.

Demikian pula, munculnya kaum Tatar pada abad ke tujuh belas Hijriyyah dari arah timur. Dengan sebab tangan-tangan merekalah terjadi banyak penghancuran, pembunuhan dan kejelekan yang sangat besar, sebagaimana tercantum dalam buku-buku sejarah.

Sampai saat ini senantiasa timur menjadi sumber fitnah, kejelekan, bid’ah, khurafat, dan atheisme. Faham komunis yang tidak mengakui adanya tuhan berpusat di negara Rusia dan Cina, keduanya ada di arah timur, dan datangnya Dajjal juga Ya’-juj dan Ma’-juj dari arah timur. Hanya kepada Allah kita me-mohon perlindungan dari segala fitnah yang nampak dan tersembunyi.

Harus kami ingatkan di sini bahwasanya sebagian fitnah merupakan tanda-tanda Kiamat yang telah disebutkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti peristiwa Siffin juga munculnya kaum Khawarj. Dan kami akan membicarakan secara ringkas tentang fitnah-fitnah besar yang menjadi sebab perpecahan di kalangan muslimin, juga menjadi sebab munculnya kejelekan yang sangat besar.

[Disalin dari kitab Asyraathus Saa’ah, Penulis Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil, Daar Ibnil Jauzi, Cetakan Kelima 1415H-1995M, Edisi Indonesia Hari Kiamat Sudah Dekat, Penerjemah Beni Sarbeni, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
_______
Footnote
[1]. قَرْنُ الشَّيْطَانِ maknanya adalah kekuatan syaitan dan pengikutnya, atau sesungguhnya matahari memiliki tanduk secara hakiki, ada juga yang mengatakan, “Sesungguhnya syaitan menempatkan matahari sebagai tanduk di kepalanya agar sujud kepada matahari terjadi (tertuju) padanya.” Lihat Fat-hul Baari (XIII/46).
[2]. Shahiih al-Bukhari, kitab al-Fitan, bab Qaulin Nabiyyi Shallallahu ‘alaihi wa sallam al-Fitnatu min Qibalil Masyriq (XIII/45, al-Fat-h), dan Shahiih Muslim, kitab al-Fitan wa Asyraatus Saa’ah (XVIII/31, Syarh an-Nawawi).
[3]. Shahiih Muslim kitab al-Fitan (XVIII/31-32, Syarh an-Nawawi).
[4]. HR. Ath-Thabrani, dan para perawinya tsiqah.
Mukhtashar at-Targhiib wat Tarhiib (hal. 87), karya al-Hafizh Ibnu Hajar, tahqiq ‘Abdullah bin Sayyid Ahmad bin Hajjaj, cet. lama yang disebarluaskan oleh Maktabah as-Salam, Kairo, cet. IV th. 1402 H.
[5]. Fat-hul Baari (XIII/47).
[6]. Zurdusytiyah, mereka adalah pengikut Zurdusyt bin Yursyib, bapaknya dari Ajarbaizan, di antara keyakinannya bahwa cahaya dan kegelapan adalah dua sumber yang berlawanan, keduanya adalah awal adanya alam ini. Zurdusyt berkata, “Sesungguhnya Allah Ta’ala adalah Pencipta cahaya dan kegelapan juga yang membentuknya.” Zurdusytiyyah adalah sebuah kelompok yang terorganisir, di dalamnya ada derajat juga tingkatan, tempat mereka adalah di Persia (Iran).
Lihat al-Milal wan Nihal (I/236-237), karya asy-Syahrastani, dan Wa Jaa-a Daurul Majuus (hal. 24), karya Dr. ‘Abdullah al-Gharib.
[7]. Manawiyyah adalah pengikut Mani’ bin Fatik al-Majusi, ‘aqidah mereka bahwa alam diciptakan dari dua sumber yang qadim, yaitu cahaya dan kegelapan. Lihat al-Milal wan Nihal (I/244).
[8]. Mazdakiyyah adalah pengikut Mazdik bin Bafdad. Dialah yang menyerukan faham Ibaahiyyah dan berserikatnya manusia dalam harta juga wanita. Kaum komunis yang ada sekarang ini adalah perkembangan dari faham Mazdakiyyah.
Lihat kitab al-Milal wan Nihal (I/249) dan kitab Wa Jaa-a Daurul Majuus (hal. 27-29).
[9]. Hindu adalah agama terbesar penduduk India sekarang ini. Agama ini dibawa oleh al-Ariyyun ketika mereka menaklukkan India, tidak ada pendiri tertentu baginya, ia hanyalah kumpulan beberapa keyakinan. Mereka memiliki banyak tuhan dan membagi manusia kepada empat ting-katan, yang paling tinggi adalah Brahmana dan yang paling rendah adalah Paria. Mereka memiliki kitab suci Weda, kitab itu merupakan cerita tentang kaum Ariyyun, yaitu mereka yang berada pada tingkatan Brahmana, dan di dalamnya ada kumpulan beberapa pengajaran.
[10]. Budha. Pendiri agama ini adalah Sidarta, kemudian diberi nama Budha. Dakwahnya berdiri di atas landasan sikap hidup sengsara, zuhud, dan kerja keras, dia berkeyakinan adanya reinkarnasi -bahkan reinkarnasi adalah dasar agama-agama di India- dan Budha tidak percaya adanya tuhan.
Agama Budha telah bercampurbaur dengan agama Hindu, sedangkan Budha menjadi salah satu tuhan bagi orang-orang Hindu. Lihat Muqaaranatul Adyaan/ Adyaanul Hindil Kubraa’ (IV/137-170).
[11]. Qadiyaniyah, nama itu dinisbatkan kepada pendirinya Mirza Gulam Ahmad al-Qadiyani. Ajaran ini muncul di akhir kurun kesembilan belas masehi di India, yaitu di daerah Punjab, Pakistan. Dia mengaku sebagai Nabi, dan dialah al-Masih yang dijanjikan. Inggris membantu penyebaran agamanya. Di antara kebathilannya adalah menghapus konsep jihad, mewajibkan untuk taat kepada pemerintah Inggris, dan turunnya Nabi ‘Isa bin Maryam adalah cerita bohong orang-orang Nasrani. Ia berpendapat bahwa barangsiapa mengatakan sesungguhnya Nabi ‘Isa belum mati, maka ia telah melakukan kemusyrikan. Kematiannya pada tahun 1908 M.
Lihat al-Qaadiyani wa Mu’taqadaatuhu, karya Syaikh Mandzur Ahmad al-Bakistani, al-Qaadiyaniyyah Tsauratun ‘alan Nubuwwah wal Islaam, dan al-Qaadiyani Diraasatan wa Tahliil yang keduanya karya Abul Hasan an-Nadwi.
[12]. Baha-iyyah. Pendiri ajaran ini adalah seorang laki-laki dari Persia, bernama Mirza Ali Muhammad asy-Syiraji, yang memberikan julukan untuk dirinya sendiri dengan sebutan al-Bab. Pemerintah Persia telah memenjarakannya, kemudian membunuhnya, lalu digantikan oleh salah seorang pengikutnya, yaitu Baha-ullah Mirza Husain Ali. Di antara keyakinannya adalah penghapusan al-Qur-an, menghancurkan Ka’bah, membatalkan haji, mengaku diri sebagai Nabi dan memiliki kitab sendiri yang diberi nama al-Kitaabul Akdas.
Ajaran ini berkembang hingga para pengikutnya mengaku bahwa al-Baha adalah tuhan, selogan ajaran mereka “Baha wahai tuhanku”.
Lihat kitab Diraasaat ‘anil Bahaa-iyyah wal Baabiyyah, kumpulan risalah milik sekelompok penulis dari kalangan muslimin, dicetak oleh al-Maktab al-Islami, cet. II th. 1397 H, Damaskus.

B. TERBUNUHANYA ‘UTSMAN BIN AFFAN RADHIYALLAHU ANHU
Munculnya fitnah pada zaman Sahabat Radhiyallahu anhu terjadi setelah terbunuhnya Amirul Mukminin ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu ; masa sebelum wafat beliau ibarat sebuah pintu yang terkunci dari berbagai fitnah. Ketika beliau Radhiyallahu anhu terbunuh, muncullah berbagai fitnah yang besar, dan muncullah orang-orang yang berseru kepadanya (fitnah) dari kalangan orang yang belum tertanam keimanan dalam hatinya, dan dari kalangan orang-orang munafik yang sebelumnya menampakkan kebaikan di hadapan manusia, padahal mereka menyembunyikan kejelekan dan makar terhadap agama ini.

Dijelaskan dalam ash-Shahiihain dari Hudzaifah Radhiyallahu anhu, bahwasanya ‘Umar Radhiyallahu anhu berkata:

أَيُّكُمْ يَحْفَظُ قَوْلَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْفِتْنَةِ؟ فَقَالَ حُذَيْفَةُ: أَنَا أَحْفَظُ كَمَا قَالَ. قَالَ: هَاتِ؛ إِنَّكَ لَجَرِيءٌ. قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: فِتْنَةُ الرَّجُلِ فِي أَهْلِهِ وَمَالِهِ وَجَـارِهِ تُكَفِّرُهَا الصَّلاَةُ وَالصَّدَقَةُ وَاْلأَمْرُ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيُ عَنِ الْمُنْكَرِ، قَالَ: لَيْسَتْ هَذِهِ وَلَكِنِ الَّتِي تَمُوجُ كَمَوْجِ الْبَحْرِ. قَالَ: يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ! لاَ بَأْسَ عَلَيْكَ مِنْهَا، إِنَّ بَيْنَكَ وَبَيْنَهَا بَابًا مُغْلَقًا. قَالَ: يُفْتَحُ الْبَـابُ أَوْ يُكْسَرُ؟ قَالَ: لاَ، بَلْ يُكْسَرُ. قَالَ ذَلِكَ أَحْرَى أَنْ لاَ يُغْلَقَ. قُلْنَا: عُلِمَ الْبَابُ؟ قَالَ نَعَمْ، كَمَا أَنَّ دُونَ غَدٍ اللَّيْلَةَ إِنِّي حَدَّثْتُهُ حَدِيثًا لَيْسَ بِاْلأَغَالِيطِ. فَهِبْنَا أَنْ نَسْأَلَهُ، وَأَمَرْنَا مَسْرُوقًا، فَسَأَلَهُ، فَقَالَ: مَنِ الْبَابُ؟ قَالَ: عُمَرُ.

“Siapakah di antara kalian yang hafal sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang fitnah?” Lalu Hudzaifah berkata, “Aku hafal seperti yang beliau sabdakan.” (‘Umar) berkata, “Kemarilah, engkau memang berani.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Fitnah seorang laki-laki (yang ada) pada keluarganya, hartanya, dan tetangganya, bisa dihapus dengan shalat, shadaqah, dan amar ma’ruf nahi munkar.” Beliau (‘Umar) berkata, “Bukan yang ini, akan tetapi yang bergelombang seperti gelombang ombak di lautan.” Dia (Hudzaifah) berkata, “Wahai Amirul Mukminin! Hal itu tidak jadi masalah bagimu, sesungguhnya di antara engkau dengannya ada pintu yang tertutup.” Beliau (‘Umar) bertanya, “Pintu itu dibuka atau dirusak?” Dia menjawab, “Tidak, bahkan dirusak.” Beliau berkata, “Pintu itu pantas untuk tidak ditutup.” Kami (Syaqiq) bertanya, “Apakah beliau tahu apakah pintu itu?” Dia menjawab, “Betul, sebagaimana (dia tahu) bahwa setelah esok hari ada malam, sesungguhnya aku meriwayatkan hadits dan bukan cerita bohong.” Lalu kami sungkan untuk bertanya kepadanya, dan kami memerintahkan Masruq agar ia bertanya kepada beliau, lalu dia berkata, “Siapakah pintu itu?” Dia (Hudzaifah) menjawab, “‘Umar.”[1]

Itulah yang pernah dikabarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. ‘Umar telah terbunuh, pintu telah dirusak, muncullah berbagai fitnah dan terjadilah banyak musibah. Fitnah yang pertama kali muncul adalah terbunuhnya Khalifatur Rasyid, Dzun Nuraini, ‘Utsman bin ‘Affan Radhiyallahu anhu oleh para penyeru kejelekan, yang berkumpul untuk menghadapinya dari Irak dan Mesir. Mereka mema-suki Madinah dan membunuhnya sementara beliau berada di rumahnya Radhiyallahu anhu.[2]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan kepada ‘Utsman bahwa musibah akan menimpanya, karena itulah beliau bersabar dan melarang para Sahabat agar tidak memerangi orang-orang yang membangkang kepadanya, sehingga tidak ada pertumpahan darah karenanya Radhiyallahu anhu.[3]

Dijelaskan dalam hadits Abu Musa al-Asy’ari Radhiyallahu anhu, ia berkata:

خَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَـى حَائِطٍ مِنْ حَوَائِطِ الْمَدِينَةِ… فَجَاءَ عُثْمَـانُ، فَقُلْتُ: كَمَا أَنْتَ؛ حَتَّى أَسْتَأْذِنَ لَكَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ائْذَنْ لَهُ وَبَشِّرْهُ بِالْجَنَّةِ مَعَهَا بَلاَءٌ يُصِيبُهُ.

“Pada suatu hari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke sebuah kebun dari kebun-kebun Madinah… lalu datang ‘Utsman, aku berkata, ‘Tunggu dulu! Sehingga aku memohon izin (kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) untukmu,’ kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ‘Izinkanlah ia, berilah kabar kepadanya dengan Surga, bersamanya ada musibah yang menimpanya.’” [4]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengkhususkan ‘Utsman dengan menyebutkan musibah yang akan menimpanya, padahal ‘Umar pun meninggal dengan terbunuh. Hal itu karena ‘Umar tidak mendapatkan cobaan sebesar yang didapatkan oleh ‘Utsman; berupa sikap kaumnya yang lancang dan memaksanya untuk melepaskan jabatan kepemimpinan atas tuduhan kezhaliman dan ketidakadilan yang dinisbatkan kepadanya, dan ‘Utsman memberikan penjelasan yang lugas serta bantahan atas pernyataan-pernyataan mereka.[5]

Dengan terbunuhnya ‘Utsman Radhiyallahu anhu kaum muslimin menjadi berkelompok-kelompok, terjadilah peperangan antara para Sahabat, berbagai fitnah dan hawa nafsu menyebar, banyaknya pertikaian, pendapat menjadi berbeda-beda, dan terjadilah berbagai pertempuran yang membinasakan pada zaman Sahabat Radhiyallahu anhum. Sebelumnya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah mengetahui fitnah yang akan terjadi pada zaman mereka.

Dijelaskan dalam sebuah hadits:

فَإِنَّهُ أَشْـرَفَ عَلَى أُطُمٍ مِنْ آطَامِ الْمَدِينَةِ، فَقَالَ: هَلْ تَرَوْنَ مَا أَرَى؟ قَالُوْا: لاَ. قَالَ: فَإِنِّي لأَرَى الْفِتَنَ تَقَعُ خِلاَلَ بُيُوتِكُمْ كَوَقْعِ الْقَطْرِ.

“(Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam) pernah memperhatikan sebuah bangunan tinggi dari beberapa bangunan tinggi di Madinah, lalu beliau berkata, ‘Apakah kalian melihat fitnah yang aku lihat?’ Para Sahabat menjawab, ‘Tidak.’ Beliau berkata, ‘Sesungguhnya aku melihat fitnah-fitnah terjadi di antara rumah-rumah kalian bagaikan kucuran air hujan.’” [6]

An-Nawawi rahimahullah berkata, “Penyerupaan dengan kucuran air hujan terjadi pada sesuatu yang banyak dengan cakupannya yang umum, artinya fitnah tersebut banyak dan tidak khusus menimpa satu kelompok. Ini merupakan isyarat adanya peperangan yang terjadi antara mereka, seperti perang Jamal, Shiffin, Hurrah (daerah berbatu), pembunuhan ‘Utsman dan al-Husain Radhiyallahu anhuma… dan yang lainnya. Hadits tersebut juga menunjukkan adanya mukjizat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang nampak.[7]

[Disalin dari kitab Asyraathus Saa’ah, Penulis Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil, Daar Ibnil Jauzi, Cetakan Kelima 1415H-1995M, Edisi Indonesia Hari Kiamat Sudah Dekat, Penerjemah Beni Sarbeni, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
_______
Footnote
[1]. Shahiih al-Bukhari, kitab al-Manaaqib, bab ‘Alaamatun Nubuwwah (VI/603-604, al-Fat-h), dan Shahiih Muslim, kitab al-Fitan wa Asyraathus Saa’ah (XVIII/ 16-17, Syarh an-Nawawi).
[2]. Lihat perincian peristiwa itu dalam kitab al-Bidaayah wan Nihaayah (VII/170- 191).
[3]. Lihat al-‘Awaashim minal Qawaashim (hal. 132-137) tahqiq dan ta’liq Muhibbuddin al-Khatib.
[4]. Shahiih al-Bukhari, kitab al-Fitan, bab al-Fitnah allati Tamuuju ka Maujil Bahri (XIII/48, al-Fat-h).
[5]. Lihat Fat-hul Baari (XIII/51).
[6]. Shahiih Muslim, kitab al-Fitan wa Asyraathus Saa’ah.
[7]. Syarh Muslim, karya an-Nawawi (XVIII/8).

C. PERANG JAMAL
Di antara fitnah yang terjadi setelah terbunuhnya ‘Utsman Radhiyallahu anhu adalah perang Jamal yang terjadi antara ‘Ali Radhiyallahu anhu di satu pihak dengan ‘Aisyah, Thalhah, dan Zubair Radhiyallahu anhum di pihak lain. Hal itu ketika ‘Utsman terbunuh, orang-orang mendatangi ‘Ali di Madinah, mereka berkata, “Berikanlah tanganmu agar kami membai’atmu!” Lalu beliau menjawab, “Tunggu, sampai orang-orang bermusyawarah.” Kemudian sebagian dari mereka berkata, “Seandainya orang-orang kembali ke negeri-negeri mereka karena terbunuhnya ‘Utsman, sementara tidak ada seorang pun yang mengisi posisinya, niscaya tidak akan aman dari pertikaian dan kerusakan umat.” Lalu mereka terus mendesak ‘Ali z agar menerima bai’at mereka, akhirnya mereka membai’atnya. Di antara orang yang membai’at beliau adalah Thalhah, dan Zubair Radhiyallahu anhuma. Kemudian keduanya pergi ke Makkah untuk melakukan umrah. Di sana mereka ditemui oleh ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma. Setelah berbincang-bincang tentang peristiwa terbunuhnya ‘Utsman, maka mereka pergi ke Bashrah dan meminta kepada ‘Ali agar menyerahkan orang-orang yang telah membunuh ‘Utsman [1], namun ‘Ali tidak menjawab permohonan mereka karena beliau menunggu keluarga ‘Utsman agar mereka meminta putusan hukum darinya. Jika terbukti bahwa seseorang adalah di antara pembunuh ‘Utsman, maka dia akan mengqishasnya. Setelah itu mereka berbeda pendapat tentangnya, dan orang-orang tertuduh sebagai pelaku pembunuhan -yaitu orang-orang yang memberontak kepada ‘Utsman- merasa takut jika mereka bersepakat untuk memerangi mereka, akhirnya mereka mengobarkan api peperangan di antara dua kelompok ter-sebut (kelompok ‘Ali dan ‘Aisyah).”[2]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan kepada ‘Ali bahwasanya akan terjadi perkara antara dia dengan ‘Aisyah. Dijelaskan dalam sebuah hadits dari Abu Rafi’, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada ‘Ali bin Abi Thalib:

إِنَّهُ سَيَكُونُ بَيْنَكَ وَبَيْنَ عَائِشَةَ أَمْرٌ، قَالَ: أَنَا يَا رَسُـولَ اللهِ؟ قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: فَأَنَا أَشْقَاهُمْ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: لاَ، وَلَكِنْ إِذَا كَانَ ذَلِكَ؛ فَارْدُدْهَا إِلَى مَأْمَنِهَا.

“Sesungguhnya akan terjadi perkara di antara engkau dengan ‘Aisyah.” Dia berkata, “Aku, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Betul.” Dia berkata, “Kalau begitu aku mencelakakan mereka wahai Rasulullah.” Beliau menjawab, “Tidak, akan tetapi jika hal itu terjadi, maka kembalikanlah ia ke tempatnya yang aman.’” [3]

Di antara dalil yang menunjukkan bahwa ‘Aisyah, Thalhah dan az-Zubair tidak pergi untuk melakukan peperangan akan tetapi untuk melakukan perdamaian di antara kaum muslimin adalah apa yang diriwayatkan oleh al-Hakim dari jalan Qais bin Abi Hazim, dia berkata:

لَمَّا بَلَغَتْ عَـائِشَةُ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا دِيَـارَ بَنِيْ عَامِرٍ، نَبَحَتْ عَلَيْهَا الْكِلاَبُ، فَقَالَتْ: أَيُّ مَـاءٍ هَذَا؟ قَالُوْا: الْحَوْأَبُ. قَالَتْ: مَا أَظُنُّنِيْ إِلاَّ رَاجِعَةً. قَالَ لَهَا الزُّبَيْـرُ: لاَ بَعْدُ، تَقَدَّمِيْ، فَيَرَاكِ النَّاسُ، فَيُصْلِحُ اللهُ ذَاتَ بَيْنِهِمْ. فَقَالَتْ: مَا أَظُنُّنِيْ إِلاَّ رَاجِعَةً، سَمِعْتُ رَسُـوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: كَيْفَ بِإِحْدَاكُنَّ إِذَا نَبَحَتْهَا كِلاَبُ الْحَوْأَبِ.

“Sesampainya ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma di perkampungan Bani ‘Amir, anjing-anjing menggonggong, lalu dia berkata, “Air apakah ini?” [4] Mereka berkata, “Al-Hau-ab.” Beliau berkata, “Aku kira aku harus kembali.” Az-Zubair berkata kepadanya, “Tidak nanti saja, teruslah maju, lalu orang-orang akan melihatmu sehingga Allah mendamaikan di antara mereka.” Beliau berkata, “Aku kira aku harus kembali, aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Apa yang terjadi pada salah seorang di antara kalian ketika anjing-anjing al-Hau-ab menggonggongnya?’”[5]

Sementara dalam riwayat al-Bazzar dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada isteri-isterinya:

أَيَّتُكُنَّ صَاحِبَةُ الْجَمَلِ اْلأَدْبَبِ، تَخْرُجُ حَتَّى تَنْبَحَهَا كِلاَبُ الْحَوْأَبِ، يُقْتَلُ عَنْ يَمِيْنِهَا وَعَنْ شِمَالِهَا قَتْلَى كَثِيْرَةٌ، وَتَنْجُو مِنْ بَعْدِ مَاكَادَتْ.

“Siapakah di antara kalian yang memiliki unta dengan banyak bulu di mukanya, dia pergi sehingga anjing-anjing al-Hau-ab menggonggong, di sebelah kanannya dan sebelah kirinya banyak (orang) yang terbunuh, dan dia selamat padahal sebelumnya hampir saja (dia pun terbunuh).” [6]

Ibnu Taimiyyah berkata, “Sesungguhnya ‘Aisyah tidak pergi untuk melakukan perang, beliau pergi hanya untuk melakukan perdamaian di antara kaum muslimin, dan beliau mengira bahwa kepergiannya itu mengandung kemaslahatan bagi kaum muslimin, kemudian setelah itu beliau sadar bahwa tidak keluar lebih utama, maka jika beliau mengingat kepergiannya itu, beliau menangis sehingga kerudungnya basah, dan demikianlah kebanyakan Salaf, mereka merasa menyesal atas peperangan yang mereka lakukan. Maka Thal-hah, az-Zubair dan ‘Ali pun merasa menyesal Radhiyallahu anhum.”

Pada peristiwa perang Jamal sama sekali tidak ada niat dari mereka untuk melakukan peperangan, akan tetapi terjadinya peperangan bukan atas pilihan mereka. Karena ketika ‘Ali, Thalhah dan az-Zubair saling berkirim surat, mereka bermaksud untuk mengadakan kesepakatan damai. Jika mungkin, mereka akan meminta kepada para penebar fitnah untuk menyerahkan orang-orang yang telah membunuh ‘Utsman. ‘Ali sama sekali tidak ridha terhadap orang yang telah membunuh ‘Utsman, dia juga bukan orang yang membantu pembunuhan tersebut, sebagaimana ia bersumpah, “Demi Allah aku tidak membunuh ‘Utsman dan tidak mendukung pembunuhannya.” Sedangkan dia adalah orang yang berkata benar lagi jujur dalam sumpahnya. Kemudian para pembunuh takut jika ‘Ali bersepakat dengan mereka untuk menahan orang-orang yang telah membunuh ‘Utsman, lalu mereka membawa pasukan untuk menyerang Thalhah dan az-Zubair, sehingga Thalhah dan az-Zubair menyangka bahwa ‘Ali telah menyerangnya. Kemudian mereka membawa pasukan untuk melakukan pertahanan sehingga ‘Ali menyangka bahwa mereka telah menyerangnya, sehingga beliau pun melakukan pertahanan. Akhirnya terjadilah fitnah (peperangan) bukan atas keinginan mereka. Sedangkan ‘Aisyah hanya menunggangi unta dan tidak ikut dalam peperangan, juga tidak memerintah untuk melakukan peperangan. Demikianlah yang diungkapkan oleh lebih dari satu orang ulama dan ahli khabar.[7]

[Disalin dari kitab Asyraathus Saa’ah, Penulis Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil, Daar Ibnil Jauzi, Cetakan Kelima 1415H-1995M, Edisi Indonesia Hari Kiamat Sudah Dekat, Penerjemah Beni Sarbeni, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
_______
Footnote
[1]. Abu Bakar Ibnul ‘Arabi dalam kitabnya al-‘Awaashim minal Qawaashim berpendapat, “Sesungguh-nya mereka berangkat ke Bashrah untuk mengadakan perdamaian di antara kaum muslimin.” Beliau berkata, “Inilah yang benar, dan bukan untuk tujuan selain itu, dan hal ini didukung oleh berbagai kabar shahih yang menjelaskannya.”
Lihat al-‘Awaashim (hal. 151).
[2]. Lihat penjelasan rincinya dalam kitab Fat-hul Baari (XIII/54-59).
[3]. Musnad Imam Ahmad (VI/393, dengan catatan pinggir Muntakhab Kanzul ‘Ummal).
Hadits ini hasan. Lihat Fat-hul Baari (XIII/55).
[4]. الْحَوْأَب sebuah tempat dekat Bashrah. Tempat itu di antara sumber air pada zaman Jahiliyyah, dan merupakan jalan yang ditempuh oleh orang yang datang dari Makkah menuju Bashrah. Dinamakan al-Hau-ab dinisbatkan kepada Abu Bakar bin Kilab al-Hau-ab, atau nisbat kepada al-Hau-ab binti Kalb bin Wabrah al-Qudha’iyyah.
Lihat Mu’jamul Buldaan (II/314), dan catatan pinggir Muhibbuddin al-Khatib atas kitab al-‘Awaa-shiim minal Qawaashim (hal. 148).
[5]. Mustadrak al-Hakim (III/120).
Ibnu Hajar berkata, “Sanadnya berdasarkan syarat ash-Shahiih.” Lihat Fat-hul Baari (XIII/55).
Al-Haitsami berkata, “Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Ya’la, al-Bazzar, dan perawi Ahmad adalah perawi ash-Shahiih.” (Majma’uz Zawaa-id VII/237).
Hadits ini terdapat dalam Musnad Imam Ahmad (VI/52, dengan catatan pinggir Muntakhab Kanzul ‘Ummal).
[6]. Fat-hul Baari (XIII/55), Ibnu Hajar berkata, “Para perawinya tsiqah.”
Al-Imam Abu Bakar Ibnul ‘Arabi mengingkari hadits al-Hau-ab dalam kitabnya al-‘Awaashim minal Qawaashim (hal. 161), pendapat itu diikuti oleh Syaikh Muhibbuddin al-Khatib dalam ta’liqnya terhadap kitab al-‘Awashim, dan beliau menyebutkan bahwa hadits tersebut sama sekali tidak ter-maktub di dalam kitab-kitab Islam yang diakui.
Akan tetapi hadits tersebut shahih, hadits tersebut dishahihkan oleh al-Haitsami dan Ibnu Hajar sebagaimana dijelaskan terdahulu. Al-Hafizh dalam kitab Fat-hul Baari (XIII/55) pada pembahasannya terhadap hadits al-Hau-ab berkata, “Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Ya’la, al-Bazzar, di-shahihkan oleh Ibnu Hibban, al-Hakim, dan sanadnya berdasarkan syarat al-Bukhari.”
Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah, dan beliau membantah orang yang membatalkan keshahihan hadits ini. Beliau menjelaskan bahwa yang me-riwayatkannya adalah di antara para Imam. Lihat as-Silsilah (jilid 1, juz 4-5/223-233) (no. 475).
[7]. Minhaajus Sunnah (II/185).
D. PERANG SHIFFIN
Di antara fitnah yang terjadi antara para Sahabat Radhiyallahu anhum selain perang Jamal adalah apa yang diisyaratkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya:

لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّـى تَقْتَتِلَ فِئَتَانِ عَظِيمَتَانِ، يَكُـونُ بَيْنَهُمَا مَقْتَلَةٌ عَظِيمَةٌ، دَعْوَتُهُمَا وَاحِدَةٌ.

“Tidak akan terjadi hari Kiamat sehingga dua kelompok besar berperang, di antara keduanya terjadi peperangan yang sangat besar, padahal seruan (dakwah) mereka itu sama.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim][1]

Dua kelompok itu adalah kelompok ‘Ali dengan orang-orang yang bersamanya dan kelompok Mu’awiyah dengan orang-orang yang bersamanya, sebagaimana diungkapkan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fat-hul Baari.[2]

Al-Bazzar meriwayatkan dengan sanad yang jayyid, dari Zaid bin Wahb, dia berkata, “Saat itu aku bersama Hudzaifah, lalu beliau berkata, ‘Bagaimanakah kalian sementara penduduk agama kalian saling memerangi?’ Mereka berkata, ‘Apa yang engkau perintahkan kepada kami?’ Beliau menjawab, ‘Lihatlah golongan yang mengajak kepada perintah ‘Ali, lalu pegang teguhlah! Karena sesungguhnya kelompok tersebut ada di atas kebenaran.’”[3]

Telah terjadi peperangan antara dua kelompok pada sebuah tempat yang terkenal, yaitu Shiffin [4], pada bulan Dzul Hijjah, tahun ke-36 Hijriyyah. Jumlah kelompok tersebut lebih dari tujuh puluh pasukan besar. Pada peperangan tersebut gugur sebanyak tujuh puluh ribu orang dari dua pasukan tersebut.”[5]

Peperangan yang terjadi antara ‘Ali dan Mu’awiyah sebenarnya tidak diinginkan oleh salah seorang dari keduanya. Akan tetapi di dalam dua pasukan tersebut terdapat para pengikut hawa nafsu yang mendominasi dan selalu berusaha untuk melakukan peperangan. Hal inilah yang menyebabkan berkecamuknya peperangan dan keluarnya perkara dari kekuasaan (kendali) ‘Ali juga Mu’awiyah Radhiyallahu anhuma.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Kebanyakan orang-orang yang memilih peperangan di antara dua kelompok bukanlah orang-orang yang taat kepada ‘Ali, tidak juga kepada Mu’awiyah. Sebelumnya ‘Ali juga Mu’awiyah Radhiyallahu anhuma berusaha mencegah agar tidak terjadi pertumpahan darah, akan tetapi keduanya tidak mampu menahannya. Sementara jika fitnah telah menyala, maka orang-orang bijak pun tidak akan mampu memadamkan apinya.

Di antara pasukan itu ada orang-orang semisal al-Asytar an-Nakha’i [6] , Hasyim bin ‘Atabah, al-Mirqal [7] , ‘Abdurrahman bin Khalid bin al-Walid [8], Abul A’war as-Sulami [9] dan yang lainnya dari kalangan orang-orang yang mendorong untuk dilakukannya peperangan. Satu kelompok membela ‘Utsman secara mati-matian, kelompok lain meninggalkan ‘Utsman. Satu kelompok membela ‘Ali dan kelompok lain lari dari ‘Ali. Peperangan para pengikut Mu’awiyah sebenarnya bukan karena semata-mata untuk Mu’awiyah, akan tetapi ada sebab-sebab lainnya.

Peperangan yang terjadi karena fitnah seperti peperangan kaum Jahiliyyah, tujuan dan keyakinan pelakunya tidak beraturan. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh az-Zuhri, “Telah terjadi fitnah sedangkan para Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih berjumlah banyak. Mereka sepakat bahwasanya setiap darah, harta dan kehormatan yang tertimpa musibah dengan sebab mentakwil al-Qur-an adalah kesia-siaan. Para Sahabat mendudukkan mereka sendiri seperti kedudukan Jahiliyah.”[10]

[Disalin dari kitab Asyraathus Saa’ah, Penulis Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil, Daar Ibnil Jauzi, Cetakan Kelima 1415H-1995M, Edisi Indonesia Hari Kiamat Sudah Dekat, Penerjemah Beni Sarbeni, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
_______
Footnote
[1]. Shahiih al-Bukhari, kitab al-Fitan, bab (tanpa bab) (XIII/8, al-Fat-h), dan Shahiih Muslim, kitab al-Fitan wa Asyraatus Saa’ah (XVIII/12-13, Syarh an-Nawawi).
[2]. Fat-hul Baari (XIII/85).
[3]. Fat-hul Baari (XIII/85).
[4]. Shiffin adalah sebuah tempat di tepi sungai Efrat dari arah barat daya, dekat dengan ar-Riqqah, akhir perbatasan Irak dan awal negeri Syam.
Lihat Mu’jamul Buldaan (III/414), dan ta’liq Muhibbuddin al-Khatib terhadap kitab al’Awashiim (hal. 162).
[5]. Kitab Fat-hul Baari (XIII/86) dan Mu’jamul Buldaan (XIII/414-415).
[6]. Dia adalah Malik bin al-Harits bin ‘Abdi Yaghuts bin Maslamah an-Nakha’i al-Kufi yang terkenal dengan sebutan al-Asytar, mengalami zaman Jahiliyyah dan meriwayatkan hadits dari ‘Umar juga ‘Ali, ia adalah pengikut ‘Ali Radhiyallahu anhu. Ikut dalam peperangan Jamal, Shiffin dan peperangan yang lainnya. Dikatakan bahwa dia pun ikut dalam perang Yarmuk. Dia adalah kepala kaumnya, dia adalah orang yang berusaha menimbulkan fitnah dan merencanakan siasat atas ‘Utsman. Pernah menjadi gubernur di Mesir dan wafat ketika berjalan menuju ke sana pada tahun 37 H.
Lihat biografinya dalam kitab Tahdziibut Tahdziib (X/11-12), al-A’laam (V/ 259).
[7]. Hasyim bin ‘Atabah bin Abi Waqqash az-Zuhri, dikenal dengan nama al-Mirqal. Dia adalah komandan ‘Ali pada perang Shiffin. Lahir ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup, ada yang mengatakan bahwa dia termasuk Sahabat, dan terbunuh pada perang Shiffin, dan dia adalah seorang pemberani.
Lihat biografinya dalam kitab Siyar A’laamin Nubalaa’ (III/486), Syadzaraatudz Dzahab (I/46), dan al-A’laam (VIII/66).
[8]. ‘Abdurrahman bin Khalid bin al-Walid, salah seorang yang dermawan. Dia adalah pembawa bendera Mu’awiyah pada perang Shiffin, meninggal tahun 46 H rahimahullah. Lihat biografinya dalam kitab Syadzaraatudz Dzahab (I/55).
[9]. Dia adalah ‘Amr bin Sufyan bin ‘Abd Syams bin Sa’ad adz-Dzakwani as-Sulami, yang terkenal dengan kun-yahnya. Ibnu Hajar menukil dari ‘Abbas ad-Dauri bahwasanya Yahya bin Ma’in berkata, “Abul A’war as-Sulami adalah seseorang dari kalangan Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau bersama Mu’awiyah.”
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari bapaknya, “Sesungguhnya Abul A’war mengalami masa Jahiliyyah dan bukan merupakan seorang Sahabat, pernah ikut perang Qubrush pada tahun 26 H, dan dia memiliki kedudukan pada perang Shiffin bersama Mu’awiyah.
Lihat al-Ishaabah (II/540-541) dan catatan pinggirnya al-Muntaqaa’ min Man-haajil I’tidal (hal. 264), karya adz-Dzahabi tahqiq dan ta’liq Syaikh Muhibuddin al-Khatib.
[10]. Minhaajus Sunnah, karya Ibnu Taimiyyah (II/224).

E. MUNCULNYA KAUM KHAWARIJ
Di antara fitnah-fitnah yang terjadi adalah munculnya kaum Khawarij (kaum yang memberontak) kepada ‘Ali Radhiyallahu anhu. Awal kemunculannya adalah setelah berakhirnya perang Shiffin dan kesepakatan antara penduduk Irak dan Syam untuk mengangkat juru damai antara kedua kelompok. Di tengah perjalanan kembalinya ‘Ali Radhiyallahu ke Kufah, kaum Khawarij memisahkan diri darinya -padahal sebelumnya mereka bersama pasukannya- dan mereka singgah pada suatu tempat yang bernama Harura’ [1], jumlah mereka mencapai 8000 orang, ada juga yang mengatakan 16000 orang, kemudian ‘Ali mengutus Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma kepada mereka. Maka Ibnu ‘Abbas berdialog dengan mereka, sehingga sebagian mereka kembali dan bergabung dengan golongan yang men-taati ‘Ali.

Golongan Khawarij menyebarkan isu bahwa ‘Ali telah taubat dari keputusan hukum. Karena itulah sebagian dari mereka kembali dari mentaatinya (membelot), kemudian ‘Ali berkhutbah di hadapan mereka di masjid Kufah, lalu orang-orang yang ada di sisi masjid berteriak dengan berkata, “Tidak ada hukum selain hukum Allah,” dan mereka berkata, “Engkau telah menyekutukan Allah, menjadikan orang-orang sebagai landasan hukum dan tidak menjadikan Kitabullah sebagai landasan hukum.”

Selanjutnya ‘Ali Radhiyallahu anhu berkata kepada mereka, “Kalian memiliki tiga hak atas kami: kami tidak melarang kalian untuk masuk ke dalam masjid-masjid, tidak juga menahan kalian untuk mendapatkan rizki berupa rampasan perang (fai’), dan kami tidak akan memulai untuk memerangi kalian selama kalian tidak melakukan kerusakan.”

Kemudian mereka berkumpul dan membunuh orang yang melewati mereka dari kalangan kaum muslimin. ‘Abdullah bin Khabbab al-Aratt Radhiyallahu anhuma [2] melewati mereka bersama isterinya. Mereka membunuhnya dan mereka membelah perut isterinya kemudian mengeluarkan anaknya. Tatkala Amirul Mukminin ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu mengetahui hal itu, dan bertanya kepada mereka, “Siapa yang telah membunuhnya?” Mereka menjawab, “Kami semua membunuhnya.” Lalu ‘Ali bersiap-siap untuk memerangi mereka, dan berjumpa dengan mereka di sebuah tempat yang terkenal dengan sebutan Nahrawan [3]. Akhirnya beliau menghancurkan mereka dengan telak, dan tidak ada yang selamat darinya kecuali sedikit saja.”

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan akan keluarnya kelompok ini di tengah-tengah umatnya. Telah diriwayatkan hadits-hadits secara mutawatir tentangnya. Sebagiannya disebutkan oleh al-Hafizh Ibnu Katsir, lebih dari tiga puluh hadits dalam kitab-kitab Shahiih, Sunan dan kitab-kitab Musnad.” [4]

Di antaranya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

تَمْرُقُ مَارِقَةٌ عِنْدَ فُرْقَةٍ مِنَ الْمُسْلِمِينَ يَقْتُلُهَا أَوْلَى الطَّائِفَتَيْنِ بِالْحَقِّ.

‘Akan memisahkan diri satu kelompok (Khawarij) ketika kaum muslimin berpecah belah. Kelompok itu akan diperangi oleh salah satu golongan dari dua golongan yang lebih dekat dengan kebenaran.’” [HR. Muslim][5]

Dari Abu Sa’id Radhiyallahu anhu bahwasanya ketika beliau ditanya tentang al-Haruriyyah, beliau menjawab, “Aku tidak tahu apa al-Haruriyyah itu? Aku mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يَخْرُجُ فِـي هَذِهِ اْلأمَّةِ -وَلَمْ يَقُلْ مِنْهَا- قَوْمٌ تَحْقِرُونَ صَلاَتَكُمْ مَعَ صَلاَتِهِمْ، يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لاَ يُجَـاوِزُ حُلُوقَهُمْ أَوْحَنَاجِرَهُمْ، يَمْرُقُونَ مِنَ الدِّينِ مُرُوقَ السَّهْمِ مِنَ الرَّمِيَّةِ.

“Akan keluar di dalam umat ini -beliau tidak mengatakan di antaranya- suatu kaum yang kalian menganggap remeh shalat kalian dibandingkan shalat mereka, mereka membaca al-Qur-an namun tidak melewati kerongkongan mereka, mereka keluar dari agama bagaikan anak panah yang keluar dari busurnya.” [HR. Al-Bukhari][6]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan untuk memerangi kelompok Khawarij, dan beliau menjelaskan bahwa dalam memerangi mereka terdapat pahala dan ganjaran bagi orang yang membunuh mereka. Hal ini merupakan dalil kesesatannya kelompok ini dan jauhnya mereka dari Islam, juga bahayanya yang besar terhadap umat ini disebabkan fitnah dan kekacauan yang ditimbulkan oleh mereka.

Dijelaskan dalam ash-Shahiihain, dari ‘Ali Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

سَيَخْرُجُ قَوْمٌ فِـي آخِرِ الزَّمَانِ، أَحْدَاثُ اْلأَسْنَانِ، سُفَهَاءُ اْلأَحْلاَمِ، يَقُولُونَ مِنْ خَيْرِ قَوْلِ الْبَرِيَّةِ، لاَ يُجَـاوِزُ إِيْمَانُهُمْ حَنَاجِرَهُمْ، يَمْرُقُونَ مِنَ الدِّيْنِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنَ الرَّمِيَّةِ، فَأَيْنَمَا لَقِيتُمُوهُمْ فَاقْتُلُوهُمْ، فَإِنَّ فِي قَتْلِهِمْ أَجْرًا لِمَنْ قَتَلَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ.

‘Akan keluar satu kaum di akhir zaman, (mereka) adalah orang-orang yang masih muda, akal mereka bodoh, mereka berkata dengan sebaik-baiknya perkataan manusia, keimanan mereka tidak melewati kerongkongan, mereka keluar dari agama bagaikan anak panah yang keluar dari busurnya, di mana saja kalian menjumpai mereka, maka (perangilah) bunuhlah, karena sesungguhnya dalam memerangi mereka terdapat pahala di hari Kiamat bagi siapa saja yang membunuh mereka.’” [7]

Al-Imam al-Bukhari rahimahullah berkata, “Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma menganggap mereka sebagai makhluk Allah yang paling jelek, dan beliau berkata, ‘Sesungguhnya mereka mengambil ayat yang turun untuk orang-orang kafir, lalu menjadikannya untuk orang-orang yang beriman.’” [8]

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Mereka merupakan bencana yang sangat besar, mereka terus menebarkan keyakinan mereka yang rusak, mereka membatalkan hukum rajam bagi pelaku zina yang sudah menikah, memotong tangan pencuri dari ketiak, mewajibkan shalat bagi wanita haidh ketika dia sedang haidh, mengkafirkan orang yang tidak melakukan amar ma’ruf nahi munkar ketika ia sanggup melakukannya, jika tidak sanggup maka ia telah melakukan dosa besar, menghukumi kafir pelaku dosa besar, menolak harta dari ahludz dzimmah dan sama sekali tidak bermuamalah dengan mereka, berlaku semena-mena terhadap orang yang menisbatkan dirinya kepada Islam dengan dibunuh, ditawan, dan dirampas.” [9]

Kaum Khawarij senantiasa menampakkan dirinya hingga Dajjal menjumpai kelompok terakhir dari mereka. Dijelaskan dalam hadits Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يَنْشَأُ نَشْءٌ يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لاَ يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ، كُلَّمَا خَرَجَ قَرْنٌ قُطِعَ. قَالَ ابْنُ عُمَرَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: كُلَّمَا خَرَجَ قَرْنٌ قُطِعَ أَكْثَرَ مِنْ عِشْرِينَ مَرَّةً حَتَّى يَخْرُجَ فِي عِرَاضِهِمُ الدَّجَّالُ.

“Akan tumbuh para pemuda yang membaca al-Qur-an akan tetapi (al-Qur-an itu) tidak melewati kerongkongan mereka. Setiap kali sekelompok dari mereka muncul, maka mereka pantas untuk dihancurkan.” Ibnu ‘Umar berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ‘Setiap kali sekelompok dari mereka keluar, maka mereka pantas untuk dihancurkan,’ lebih dari dua puluh kali hingga Dajjal keluar di dalam kelompok terakhir.”[10]

[Disalin dari kitab Asyraathus Saa’ah, Penulis Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil, Daar Ibnil Jauzi, Cetakan Kelima 1415H-1995M, Edisi Indonesia Hari Kiamat Sudah Dekat, Penerjemah Beni Sarbeni, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
_______
Footnote
[1]. Harura’ sebuah desa berjarak 2 mil dari Kufah. Kepadanyalah kaum Khawarij dinisbatkan, maka mereka disebut juga Haruriyyah.
[2]. ‘Abdullah bin Khabbab al-Aratt at-Tamimi, beliau salah seorang Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia, dilahirkan pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau menamainya ‘Abdullah. Ia dan ‘Abdullah bin az-Zubair adalah orang yang pertama kali dilahirkan pada masa Islam. Beliau dibunuh orang-orang Khawarij tahun 37 H. Lihat al-Ishaabah fii Tamyiizish Shahaabah (II/302, juga al-Bidaayah wan Nihaayah (VII/288), dan Tajriid Asmaa-ish Shahaabah (I/307).
[3]. Nahrawan berarti tiga sungai, yaitu sebuah negeri yang luas di dekat Baghdad – Irak, pada asalnya adalah lembah Jarrar, awalnya dari Ajarbaizan. Sungai tersebut mengairi banyak perkampungan, lalu sisanya mengalir ke Dajlah di bawah berbagai kota. Dalam bahasa Persia dikatakan Jaurawan, lalu Islam memasukkannya ke dalam bahasa Arab sehingga menjadi Nahrawan, dengan huruf nun yang difat-hahkan.
Lihat Mu’jamul Buldaan (V/290-325).
[4]. Lihat kitab al-Bidaayah wan Nihaayah (VII/290-307).
[5]. Shahiih Muslim, kitab az-Zakaah, bab I’thaaul Muallafah wa Man Yukhaaf ‘ala Imaanihi (VII/168, Syarh an-Nawawi).
[6]. Shahiih al-Bukhari, kitab Istitaabul Murtaddiin wal Mu’aanidiin wa Qitaalihim, bab Qatlul Khawaarij wal Mulhidiin ba’da Iqaamatil Hujjah ‘alaihim (XII/283, al-Fat-h).
[7]. Shahiih al-Bukhari (XII/283, al-Fat-h), dan Shahiih Muslim kitab az-Zakaah, bab at-Tahriidh ‘ala Qatlil Khawaarij (VII/169, Syarh an-Nawawi).
[8]. Shahiih al-Bukhari, kitab Istitaabul Murtaddiin, bab Qatlul Khawaarij (XII/282, al-Fat-h). Dan Ibnu Hajar berkata, “Sanadnya hasan.” (Fat-hul Baari XII/286).
[9]. Fat-hul Baari (XII/285).
[10]. Sunan Ibni Majah, al-Muqaddimah, bab Dzikrul Khawaarij (I/61) (no. 174), dan hadits ini hasan.
Lihat Shahiih al-Jaami’ish Shaaghiir (VI/362) (no. 8027), karya al-Albani.

F. PERANG AL-HURRAH[1]
Kemudian fitnah terus-menerus bermunculan setelah itu. Di antara fitnah ini adalah perang al-Hurrah yang terkenal pada masa Yazid bin Mu’awiyah. Waktu itu kota Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dibinasakan dan banyak dari kalangan Sahabat Radhiyallahu anhum yang terbunuh.

Sa’id bin al-Musayyab rahimahullah berkata, “Berkobarlah fitnah yang pertama, maka tidak seorang pun tersisa dari Sahabat yang ikut dalam perang Badar. Kemudian terjadilah fitnah yang kedua, maka tidak tersisa seorang pun dari Sahabat yang ikut dalam perang al-Hudaibiyyah.”

Beliau berkata, “Dan saya yakin, seandainya fitnah yang ketiga terjadi, niscaya fitnah tersebut tidak akan hilang sementara Thabaakh [2] masih ada di kalangan manusia.” [3]

[Disalin dari kitab Asyraathus Saa’ah, Penulis Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil, Daar Ibnil Jauzi, Cetakan Kelima 1415H-1995M, Edisi Indonesia Hari Kiamat Sudah Dekat, Penerjemah Beni Sarbeni, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
_______
Footnote
[1]. Al-Hurrah, maksudnya adalah al-Hurrah bagian timur, salah satu Hurrah yang ada di Madinah, di sanalah terjadinya pertempuran antara penduduk Madinah dengan pasukan Yazid bin Mu’awiyah pada tahun 63 H. Penyebabnya adalah sesungguhnya penduduk Madinah menurunkan Yazid, lalu dia mengutus pasukan kepada mereka dengan pimpinan Muslim bin ‘Uqbah al-Marri, lalu dia menghancurkan Madinah, dan membunuh sekitar tujuh ratus para Sahabat, kaum Muhajirin dan Anshar, dan dari yang lainnya sepuluh ribu, maka kaum Salaf menamakannya dengan Masraf, dan Allah telah membinasakannya ketika dia sedang berada di jalan Makkah menuju Madinah.
Lihat kitab al-Bidaayah wan Nihaayah (VIII/217-224), dan Mu’jamul Buldaan (II/249).
[2]. Thabaakh maknanya adalah kebaikan dan kemanfaatan, dikatakan (فُلاَنٌ لاَ طَبَاخٌ لَهُ) maknanya adalah tidak memiliki akal. Lihat Syarhus Sunnah, karya al-Baghawi (XIV/396), tahqiq Syu’aib al-Arna-uth.
[3]. Syarhus Sunnah, karya al-Baghawi (XIV/395).

G. FITNAH PERKATAAN BAHWA AL-QUR’AN ADALAH MAKHLUK
Kemudian datanglah setelah itu fitnah pada zaman ‘Abasiyyah, yaitu fitnah perkataan bahwa al-Qur-an adalah makhluk. Ucapan ini diyakini oleh khalifah ‘Abbasiyyah, al-Ma’-mun, dan dia membela perkataan ini. Faham ini diikuti oleh kelompok Jahmiyyah juga Mu’tazilah yang memprovokasi khalifah untuk meyakininya, sehingga para ulama Islam diuji dengannya. Dengan sebab fitnah itu pula kaum muslimin tertimpa musibah yang besar. Hal itu telah menyibukkan mereka dalam masa yang sangat lama, ditambah lagi dengan banyaknya keyakinan lain yang masuk ke dalam ‘aqidah kaum muslimin.

Demikianlah, fitnah-fitnah yang terjadi sangat banyak, tidak terhitung, dan senantiasa bermunculan, berlanjut juga bertambah.

Dengan sebab fitnah ini juga fitnah yang lain, kaum muslimin berpecah-belah menjadi bergolong-golongan, setiap golongan menyerukan orang lain untuk mengikutinya, mengaku bahwa dialah yang berada di atas jalan yang benar, dan yang lain berada di atas kebathilan.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai penunjuk jalan dan pemberi kabar gembira عليه الصّلاة والسّلام telah mengabarkan adanya perpecahan umat ini sebagaimana umat sebelumnya telah berpecah belah.

Dijelaskan dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

افْتَرَقَتِ الْيَهُودُ عَلَى إِحْدَى أَوْ ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً، وَتَفَرَّقَتْ النَّصَارَى عَلَى إِحْدَى أَوْ ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً، وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً.

‘Kaum Yahudi berpecah belah menjadi tujuh puluh satu atau tujuh puluh dua golongan, dan kaum Nasrani berpecah belah menjadi tujuh puluh satu atau tujuh puluh dua golongan, sementara umatku akan berpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan.’” [HR. Ash-habus Sunan kecuali an-Nasa-i] [1]

Diriwayatkan dari ‘Amir bin ‘Abdillah bin Luhay, dia berkata:

حَجَجْنَا مَعَ مُعَاوِيَةَ بْنِ أَبِـي سُفْيَانَ، فَلَمَّا قَدِمْنَا مَكَّةَ قَامَ حِينَ صَلَّى صَلاَةَ الظُّهْرِ، فَقَالَ: إِنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِنَّ أَهْلَ الْكِتَابَيْنِ افْتَرَقُوا فِي دِيْنِهِمْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً، وَإِنَّ هَذِهِ اْلأُمَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِينَ مِلَّةً يَعْنِي اْلأَهْوَاءَ كُلُّهَا فِي النَّارِ إِلاَّ وَاحِدَةً وَهِيَ الْجَمَاعَةُ، وَإِنَّهُ سَيَخْرُجُ فِي أُمَّتِي أَقْوَامٌ تَجَارَى بِهِمْ تِلْكَ اْلأَهْوَاءُ كَمَا يَتَجَارَى الْكَلْبُ بِصَاحِبِهِ، لاَ يَبْقَـى مِنْهُ عِرْقٌ وَلاَ مَفْصِلٌ إِلاَّ دَخَلَهُ، وَاللهِ يَا مَعْشَرَ الْعَرَبِ لَئِنْ لَمْ تَقُومُوا بِمَا جَاءَ بِهِ نَبِيُّكُمْ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَغَيْرُكُمْ مِنَ النَّاسِ أَحْرَى أَنْ لاَ يَقُوْمَ بِهِ.

“Kami melakukan haji bersama Mu’awiyah bin Abi Sufyan, lalu sesampainya kami di Makkah, seusai melaksanakan shalat Zhuhur dia berdiri seraya berkata, ‘Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya dua Ahli Kitab berpecah belah di dalam agama mereka menjadi tujuh puluh dua golongan, dan sesungguhnya umat ini akan berpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan, yakni -hawa nafsu- semuanya ada di dalam Neraka kecuali satu, yaitu al-Jama’ah. Dan sesungguhnya akan ada di dalam umatku beberapa kaum di mana kebid’ahan itu akan men-jalar di dalam diri mereka sebagaimana penyakit rabies menjalar kepada penderitanya, tidak tersisa darinya urat atau persendian kecuali dimasuki-nya. Demi Allah, wahai orang-orang Arab! Seandainya kalian tidak bisa melaksanakan segala hal yang dibawa oleh Nabi kalian, maka orang selain kalian lebih pantas untuk tidak bisa melaksanakannya.’” [2]

[Disalin dari kitab Asyraathus Saa’ah, Penulis Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil, Daar Ibnil Jauzi, Cetakan Kelima 1415H-1995M, Edisi Indonesia Hari Kiamat Sudah Dekat, Penerjemah Beni Sarbeni, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
_______
Footnote
[1]. HR. At-Tirmidzi (VII/397-398, Tuhfatul Ahwadzi), dan beliau berkata, “Hadits hasan shahih.” Sunan Abi Dawud (XII/340, ‘Aunul Ma’buud), dan Sunan Ibni Majah (II/1321) tahqiq Fu-ad ‘Abdul Baqi.
[2]. Musnad Ahmad (IV/102 -dengan catatan pinggir Muntakhab Kanzul ‘Ummal), Sunan Abi Dawud (XII/341-342, ‘Aunul Ma’buud), Mustadrak al-Hakim (IV/ 102), dan al-Hakim berkata setelah menuturkan hadits ini dan hadits Abu Hurairah, “Ini adalah sanad-sanad yang tegak dengannya hujjah bagi penshahihan hadits ini.”
Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh al-Albani, dan beliau menyebutkan jalan-jalannya dalam kitab Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah, dan membantah orang yang memberikan tudingan kepada hadits itu. Lihat as-Silsilah (jilid II/juz III/ 14-23) (no. 204).

H. MENGIKUT PRILAKU UMAT-UMAT TERDAHULU
Di antara fitnah yang besar adalah mengikuti prilaku orang-orang Yahudi dan Nasrani dan meniru-niru mereka. Sebagian kaum muslimin telah meniru gaya orang-orang kafir, menyerupai mereka, berperangai dengan perangai mereka dan merasa kagum kepada mereka. Hal ini sesuai dengan apa yang dikabarkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dijelaskan dalam hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تَقُوْمُ السَّاعَةُ حَتَّـى تَأْخُذَ أُمَّتِـي بِأَخْذِ الْقُرُونِ قَبْلَهَا شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ فَقِيْلَ: يَا رَسُولَ اللهِ كَفَـارِسَ وَالرُّوْمِ، فَقَـالَ: وَمَنِ النَّاسُ إِلاَّ أُولَئِكَ.

“Tidak akan datang Kiamat sehingga umatku mengambil jalan orang pada zaman sebelumnya sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta.” Lalu beliau ditanya, “Wahai Rasulullah, seperti orang-orang Persia dan Romawi?” Lalu beliau menjawab, “Siapa lagi kalau bukan mereka.” [HR. Al-Bukhari][1]

Dalam satu riwayat dari Abu Sa’id Radhiyallahu anhu:

قُلْنَا: يَا رَسُولَ اللهِ! آلْيَهُودَ وَالنَّصَارَى؟ قَالَ: فَمَنْ؟!

“Kami bertanya, ‘Wahai Rasulullah! Yahudi dan Nasranikah?’ beliau menjawab, ‘Siapa lagi?!’” [HR. Al-Bukhari dan Muslim][2]

Ibnu Baththal rahimahullah berkata [3], “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitahukan bahwa umatnya akan mengikuti perkara-perkara yang diada-adakan, bid’ah-bid’ah dan berbagai hawa nafsu, sebagaimana (perbuatan) itu terjadi pada umat-umat sebelum mereka, dan beliau telah memberikan peringatan dalam banyak hadits bahwasanya manusia yang terakhir lebih jelek, dan Kiamat tidak akan datang kecuali kepada orang-orang yang jelek, dan ajaran Islam akan tetap berdiri tegak pada orang-orang tertentu.” [4]

Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Sebagian besar peringatan yang diungkapkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah terjadi, dan selebihnya akan terjadi.”[5]

Pada masa ini banyak kaum muslimin yang telah menyerupai orang-orang kafir yang di timur maupun di barat, kaum pria dari kalangan kita menyerupai kaum pria dari kalangan mereka, wanita-wanita kita menyerupai wanita-wanita mereka, dan terkena fitnah mereka sehingga menjadi sebab keluarnya sebagian orang dari Islam. Mereka meyakini bahwa peradaban dan kemajuan tidak akan pernah sempurna kecuali dengan melemparkan Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Barangsiapa mengenal Islam dengan benar, niscaya dia akan mengetahui sejauh mana kaum muslimin telah merosot di kurun-kurun terakhir; jauh dari ajaran Islam dan melenceng dari ‘aqidahnya, sehingga Islam tidak tersisa pada sebagian mereka kecuali hanya namanya saja. Mereka telah menjadikan undang-undang orang-orang kafir sebagai landasan hukum, dan jauh dari hukum Allah, tidak ada yang lebih tepat dalam menyifati kaum muslimin yang mengikuti mereka dan dalam pengambilan hukum dari orang-orang kafir daripada sifat yang diungkapkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana sabda beliau:

شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِي جُحْرِ ضَبٍّ تَبَعْتُمُوْهُمْ.

“… Sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, seandainya mereka masuk ke dalam lubang biawak, niscaya kalian akan mengikuti mereka.” [6]

An-Nawawi rahimahullah berkata, “Yang dimaksud dengan sejengkal, sehasta, dan lubang biawak adalah hanya sebuah permisalan karena banyaknya sisi persamaan dengan mereka. Persamaan yang dimaksud dalam hal perbuatan-perbuatan maksiat, dan penyelewengan-penyelewengan, bukan dalam kekufuran. Hal ini merupakan mukjizat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan telah terbukti apa yang dikabarkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” [7]

Demikianlah, sebenarnya fitnah itu tidak terhingga banyaknya. Fitnah wanita, fitnah harta, cinta akan keinginan hawa nafsu, juga cinta akan kedudukan dan pangkat; semuanya merupakan fitnah yang terkadang dapat menghancurkan manusia, dan membawanya pada kehinaan. Hanya kepada Allah kita memohon keselamatan.

[Disalin dari kitab Asyraathus Saa’ah, Penulis Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil, Daar Ibnil Jauzi, Cetakan Kelima 1415H-1995M, Edisi Indonesia Hari Kiamat Sudah Dekat, Penerjemah Beni Sarbeni, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
_______
Footnote
[1]. Shahiih al-Bukhari, kitab al-I’tishaam bil Kitaab was Sunnah, bab Qaulun Nabiyyi Latattabi’unna Sunaan man Kaana Qablakum (XIII/300, al-Fat-hul).
[2]. Shahiih al-Bukhari (XIII/300, dalam al-Fat-h), dan Shahiih Muslim, kitab al-‘Ilmi bab al-Aladdul Khasmu (XVI/219-220, Syarh an-Nawawi).
[3]. Dia adalah Abul Hasan ‘Ali bin Khalaf bin ‘Abdul Malik bin Baththal al-Qurthubi, beliau me-riwayatkan dari al-Mutharraf al-Qanazi dan Yunus bin ‘Abdillah al-Qadhi, beliau memiliki kitab syarah hadits Shahiih al-Bukhari, wafat pada bulan Shafar tahun 449 H rahimahullah.
Lihat biografinya dalam kitab Syadzaraatudz Dzahab (III/283), dan al-A’laam (IV/285), karya az-Zarkali.
[4]. Fat-hul Baari (XIII/301, al-Fat-h).
[5]. Ibid.
[6]. Takhrij hadits ini telah diungkapkan sebelumnya.
[7]. Syarh Muslim, karya an-Nawawi (XVI/219-220).

Tinggalkan komentar